Wednesday, April 30, 2014

Aku adalah Sahabatku

BY Ricky Douglas IN No comments




Sepatu  itu kusam. Rasanya, debu sangat betah bersarang di sana. Talinya pun tak putih seperti semula, banyak bercak yang sulit buat dihilangkan. Ingatkah wajah serampangan kita waktu itu? Ketika tanpa malu ingus bermunculan di sudut hidung. Lepas dan tanpa beban. Tidak ada koreng yang menjijikkan di bongkahan dada. Bersih, tak berparas.
***
            “Hey, kau kan sudah ada sepeda. Ini  sepedaku, Cakka!” tiba-tiba sepeda itu terlalu menjadi idola pada hari ini.
            “Tapi, sepedaku jelek. Rantainya putus terus.” Pipinya terlihat menggelembung, serta tangan yang dilipat kan ke dada.
            Setiap embun mulai menyeruak menjadi tak berasa lagi, kami pun mengayuh sepeda kecil ini menuju jalanan perkampungan. Selalu berbagi dan melempar canda seolah hari ini tak akan pernah berakhir. Beberapa kali Cakka menghentikan sepedanya karena rantai itu terlepas. Ia merutuki setiap jengkal bagian sepedanya, menyesali kenapa orang tuanya tak pernah mampu membelikan sepeda baru.
            “Ini pakai sepedaku,” tawarku padanya.
            “Wah, benarkah, Ian?” jawabnya sambil memamerkan rentetan gigi kuda yang putih.
            “Tentu!”
***
            Belum sempat aku menghentikan langkah kaki yang memburu. Namun, sudah bisa kurasakan tangisan yang menggema di pelataran danau ini. Ah, selalu seperti ini!

            “Cakka.” Panggilku lirih.
            Ia tak menoleh kepadaku. Berusaha menyembunyikan tangis yang terdengar memekakkan telinga.
            “Kan sudah aku bilang, jangan nangis lagi. Masih ada aku!” tubuh kecilnya kurangkul, permen kapas selalu berhasil menenangkannya.
            “Ayah dan Ibu selalu bertengkar, Ian. Ayah bilang aku bukan anak kandungnya. Ibu berselingkuh,” matanya sembab.
Kriukk … kriuk ….
            “Hahaha, itu bunyi perutmu, Cakka?”
            Ia mengangguk malu.
            “Kau belum makan?” tanyaku ragu.
            “Seharian ini aku tidak diberi makan Ibu, Ian. Ibu bilang karena akulah Ayah jadi sering marah,” kepalanya kembali tertunduk.
***
            Seperti biasa, saat sang fajar mulai menyapa, kami beradu berpacu dengan sepeda yang justru sering kami sebut sebagai kuda. Kali ini kubiarkan Cakka memakai sepedaku, selain karena sepedanya sering rusak, sepedaku adalah yang tercepat di kampung ini. 
            Sedari tadi lekungan bahagia tak pernah pudar dari bibirnya, hingga aku sadar ia telah mengayuh sepeda cukup jauh dariku. Sosoknya telah hialng di pertigaan jalan. Sepedaku makin capat melesat, mengejar ketertinggalanku.
            Diam. Sepedaku terjatuh bersama dengan tubuhku. Air mataku mengucur deras seperti hujan yang tak pernah di undang saat musim kemarau. Aku menemukan sosok Cakka tergeletak bersimbah darah, dan sebuah mobil melaju kencang meninggalkan tubuh itu. Tak ada lagi irama detak jantung pada tubuh Cakka.
***
             Belum sempat aku menghentikan langkah kaki yang memburu. Namun, sudah bisa kurasakan tangisan yang menggema di pelataran danau ini. Ah, selalu seperti ini! Kuambil permen kapas dan memberikan padanya. Cakka.
            “Terimakasih, sudah seharian ini aku belum makan,” jawabnya sedih.
            “Ayah dan Ibu selalu kejam padaku! Mereka bilang aku ini bukan anaknya!” lanjutnya pilu.
            “Ayo, kita pulang, Cakka.” Ajakku.
            “Danu,” suara lembut menghentikan langkahku dan Cakka. Ia merupakan Ibu Cakka.
            “Cakka, kau pulang duluan, biar aku bicara sama ibumu.” Cakka pun pergi.
            “Danu, keadaan Ian masih belum sembuh?” tanyanya perlahan, sambil menoleh sosok rapuh yang kian menjauh.itu.
            “Belum. Semenjak kematian Cakka, Ian bertingkah seakan dirinya adalah Cakka. Namun, terkadang ia pun kembali menjadi Ian seperti biasa. Mungkin, ia sangat merindukan Cakka.”






BIODATA NARASI

Ricky Douglas, seorang penulis muda kelahiran 14 Juli 1994 ini tinggal di Kabupaten Ogan Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, dan sekarang sedang menempuh pendidikan di Universitas Diponegoro Semarang. Profil lebih lengkap dari seorang penggila dunia sastra ini dapat kalian lihat di Facebook: Ricky DouglasTwitter: @RickyDouglasz, atau email : ricky_douglas@rocketmail.com Terimakasih.

 Catatan Kaki :
Awalnya cerita ini dibuat untuk mengikuti tantangan bikin cerita selama 30 menit, dari salah satu group kepenulisan. Setelah berhasil membuatnya selama 30 menit dengan tema "Sahabat kecilku", tapi sayang kuota internet ane habis buahahaa. Akhirnya harus ngisi pulsa dulu, dan gak jadi ikut lomba karena waktunya udah habis wkwk.



0 comments:

Post a Comment

Silahkan, semuanya dapat berkomentar. Namun, jadilah komentator yang cerdik dan beretika ya :)