Sepatu itu kusam. Rasanya, debu sangat betah
bersarang di sana. Talinya pun tak putih seperti semula, banyak bercak yang
sulit buat dihilangkan. Ingatkah wajah serampangan kita waktu itu? Ketika tanpa
malu ingus bermunculan di sudut hidung. Lepas dan tanpa beban. Tidak ada koreng
yang menjijikkan di bongkahan dada. Bersih, tak berparas.
***
“Hey, kau kan sudah ada sepeda. Ini sepedaku, Cakka!” tiba-tiba sepeda itu terlalu
menjadi idola pada hari ini.
“Tapi, sepedaku jelek. Rantainya
putus terus.” Pipinya terlihat menggelembung, serta tangan yang dilipat kan ke
dada.
Setiap embun mulai menyeruak menjadi
tak berasa lagi, kami pun mengayuh sepeda kecil ini menuju jalanan
perkampungan. Selalu berbagi dan melempar canda seolah hari ini tak akan pernah
berakhir. Beberapa kali Cakka menghentikan sepedanya karena rantai itu
terlepas. Ia merutuki setiap jengkal bagian sepedanya, menyesali kenapa orang
tuanya tak pernah mampu membelikan sepeda baru.
“Ini pakai sepedaku,” tawarku
padanya.
“Wah, benarkah, Ian?” jawabnya
sambil memamerkan rentetan gigi kuda yang putih.
“Tentu!”
***
Belum sempat aku menghentikan
langkah kaki yang memburu. Namun, sudah bisa kurasakan tangisan yang menggema
di pelataran danau ini. Ah, selalu seperti ini!
“Cakka.” Panggilku lirih.
Ia tak menoleh kepadaku. Berusaha
menyembunyikan tangis yang terdengar memekakkan telinga.
“Kan sudah aku bilang, jangan nangis
lagi. Masih ada aku!” tubuh kecilnya kurangkul, permen kapas selalu berhasil
menenangkannya.
“Ayah dan Ibu selalu bertengkar,
Ian. Ayah bilang aku bukan anak kandungnya. Ibu berselingkuh,” matanya sembab.
Kriukk
… kriuk ….
“Hahaha, itu bunyi perutmu, Cakka?”
Ia mengangguk malu.
“Kau belum makan?” tanyaku ragu.
“Seharian ini aku tidak diberi makan
Ibu, Ian. Ibu bilang karena akulah Ayah jadi sering marah,” kepalanya kembali
tertunduk.
***
Seperti biasa, saat sang fajar mulai
menyapa, kami beradu berpacu dengan sepeda yang justru sering kami sebut
sebagai kuda. Kali ini kubiarkan Cakka memakai sepedaku, selain karena
sepedanya sering rusak, sepedaku adalah yang tercepat di kampung ini.
Sedari tadi lekungan bahagia tak
pernah pudar dari bibirnya, hingga aku sadar ia telah mengayuh sepeda cukup
jauh dariku. Sosoknya telah hialng di pertigaan jalan. Sepedaku makin capat
melesat, mengejar ketertinggalanku.
Diam. Sepedaku terjatuh bersama
dengan tubuhku. Air mataku mengucur deras seperti hujan yang tak pernah di
undang saat musim kemarau. Aku menemukan sosok Cakka tergeletak bersimbah
darah, dan sebuah mobil melaju kencang meninggalkan tubuh itu. Tak ada lagi
irama detak jantung pada tubuh Cakka.
***
Belum sempat aku menghentikan langkah kaki
yang memburu. Namun, sudah bisa kurasakan tangisan yang menggema di pelataran
danau ini. Ah, selalu seperti ini! Kuambil permen kapas dan memberikan padanya.
Cakka.
“Terimakasih, sudah seharian ini aku
belum makan,” jawabnya sedih.
“Ayah dan Ibu selalu kejam padaku!
Mereka bilang aku ini bukan anaknya!” lanjutnya pilu.
“Ayo, kita pulang, Cakka.” Ajakku.
“Danu,” suara lembut menghentikan
langkahku dan Cakka. Ia merupakan Ibu Cakka.
“Cakka, kau pulang duluan, biar aku
bicara sama ibumu.” Cakka pun pergi.
“Danu, keadaan Ian masih belum
sembuh?” tanyanya perlahan, sambil menoleh sosok rapuh yang kian menjauh.itu.
“Belum. Semenjak kematian Cakka, Ian
bertingkah seakan dirinya adalah Cakka. Namun, terkadang ia pun kembali menjadi
Ian seperti biasa. Mungkin, ia sangat merindukan Cakka.”
BIODATA
NARASI
Ricky
Douglas, seorang penulis muda kelahiran 14 Juli 1994 ini tinggal di Kabupaten
Ogan Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, dan sekarang sedang menempuh pendidikan
di Universitas Diponegoro Semarang. Profil lebih lengkap dari seorang penggila dunia sastra ini dapat kalian
lihat di Facebook: Ricky
Douglas, Twitter: @RickyDouglasz,
atau email : ricky_douglas@rocketmail.com
Terimakasih.
Catatan Kaki :
0 comments:
Post a Comment
Silahkan, semuanya dapat berkomentar. Namun, jadilah komentator yang cerdik dan beretika ya :)