Bayi terlahir menangis di awal karena takut akan
kehidupan yang jauh berbeda di angan saat dalam rahim. Sedangkan aku, menangis
di akhir karena dari awal sudah menyadari tak ada Tuhan dalam diriku. Hah, aku
dianugerahi gelap yang dicipta terlalu melankolis.
Di tengah perjalanan, aku
menemukan sosok Tuhan melambai dalam diriku, tapi... ckh, hanya fatamorgana
saja ternyata. Aku kan tak paham benar bagaimana bentuk Tuhan? Tidak, bukan tak
paham benar... aku benar-benar tak paham.
Cukup lama aku hidup di dunia ini.
Tapi, tak pernah sekali pun Tuhan singgah di hati. Aku pun berkesimpulan bahwa
Tuhan yang kukenal hanya diriku. Aku yang membuat tangisan, dan aku pula yang
menyekanya. Sendirian. Aku yang membuat tawa, dan aku pula yang meredamkannya
menjadi bisu. Hebat, kan? Untuk apalagi mengharapkan kedatangan Tuhan di jiwa
jika aku sudah cukup puas dengan diri sendiri? Tapi... tunggu!!! Ada yang
kosong. Sesuatu yang sepertinya benar-benar inti dari kehidupan. Hmm, aku mulai
berpikir. Ahh, mungkin aku terlalu lama tak mengenal cinta!!! Yah, ini pasti
rasa sepi yang obatnya hanyalah cinta. Baiklah, akan kucari gadis dengan
pahatan terbaik yang bisa kunikmati tubuhnya dengan pandangan.
Aku telah mendapat cinta. Cukup
berbekas dan memberi makna di hidupku. Tapi sialnya, aku tak lagi memiliki
kontrol terhadap air mata, bahagia, sedih, dan tawaku sendiri. Oyaaa, benar!!!
Mungkin cinta adalah Tuhan? Sebab ia mampu mengalahkanku. Membuatku kehilangan
diri sendiri? Pacar adalah Tuhan? Seperti itu, kah? Hihihi, ternyata Tuhan
cantik ya!
Tidak, tidak! Aku lelah dengan
cinta. Tak ada ujungnya dan hanya membawa kesengsaraan. Toh, hatiku masih terasa kosong. Hampa. Atau mungkin... aku sudah
jauh dari orang tua? Keluarga? Maka dari itu hatiku terasa sepi? Untuk anak
rantau yang sibuk kuliah dan berkarir sepertiku, memberi kabar pada orang tua
adalah hal yang membosankan. Wajarkan jika aku meninggalkan mereka untuk
kesibukan masa depanku? Kesibukan duniaku? Tapi, kali ini aku membutuhkan
mereka. Akan kurengkuh lagi keluargaku agar membuang bongkahan rasa sepi yang
memuakkan. Dan jika beruntung, mungkin aku akan menemukan Tuhan di perjalan
nanti. Siapa tahu ia sedang tersenyum padaku? Hahaha.
Sekarang aku tersenyum. Tertawa.
Hihihi bunyi kentutku pun terasa
menyenangkan kali ini. Tak bau seperti biasanya. Yah, mungkin karena aku bertemu dengan Tuhan sekarang. Yap! Tuhan, aku
tahu siapa dirimu. Kau adalah orang tua, iya kan? Karena aku mereasa bahagia
saat bersama keluargaku. Bukankah Kau merupakan zat yang tercipta dari rasa
bahagia? Oleh sebab itu manusia menyembahMu, iya kan, Tuhan? Buahahaha, aku
tangkap kau sekarang Tuhan! Jangan pergi lagi. Sepi di hati dan gelap
melankolisku sudah hilang.
Pergi. Kehilangan. Selamanya. Tidak
hanya gelap melankolis ternyata, tapi kini petir pun mengiringinya. Berarak di
belakangku persis. Tuhan, kenapa Kau pergi? Hari ini keluarga... #Lanjut ke catatan bagian 2: Kelahiran
Tuhan.
Catatan Kaki: Cerita ini tidak ada sangkut paut sama kehidupan nyata saya. Baik tingkah laku, perasaan, maupun lingkungan. Pure Fiksi.