Thursday, January 21, 2016

OSPEK KOTA JAKARTA. BAGIAN 11; Jangan Berucap "Hanya" atau "Cuma"

BY Ricky Douglas IN No comments



OSPEK KOTA JAKARTA
BAGIAN 11;
Jangan Berucap "Hanya" atau "Cuma"


Tiupan hangat dan menggairahkan kuhaturkan pada lengan yang kini berdarah. Tidak banyak sebenarnya, tapi cukup perih. Hah, inilah berkat terlalu lebay dalam akting berkelahi Nyiahahaha. Tapi heiii, tunggu! Bukan cuma aku saja yang lebay! Yang lebih lebay pun banyak. Sebut saja, mawar. Laki-laki berperut gentong ini mengeluarkan semua jurus karatenya. Dengan muka tegang, kaki kuda-kuda lebar, bapak tua ini mulai meninju layaknya sedang latihan karate. Ada juga pria berambut gondrong yang sepanjang akting berantemnya, ia sumpah serapah berkata-kata kotor. Dan juga masih tak kalah berlebihannya, sosok laki-laki bertulang lunak pun tidak mau kalah unjuk gigi. Tak peduli ia kalau alisnya sungguh tebal sampai-sampai lebih cenderung mirip ulat bulu yang sedang bertelur di atas matanya. Gayanya bahenol. Pukulannya saja pakai kipas yang masih ia genggam. Ihhh cucok binggow deh yaa.

Setelah hari itu, masih banyak lagi casting yang kadang membuat bulu kuduk merinding. Ada  laki-laki entah dia sutrada, produser, atau crew biasa #kutakmaupeduli. Tapi  sih ngakunya produser. Oh no! Aku masih inget jelas apa yang dikatakannya. 

Kalau mau dapat peran di film, harus rela 'main' bareng gueh. 

What the...?? Shit! Dengan malu-malu babi akhirnya kutolak juga tawaran aneh ini. Fiuhhh, ente pikir ane laki-laki apapun? 

Selain mengincar badanku, ada juga yang mengincar uang. Nah ini ceritanya beda lagi. Dengan embel-embel open casting, eh tahunya pas  lolos malah disuruh bayar dengan alasan inilah itulah. Sowreeeyy eaaa, aku mau memulai dengan cara yang baik. Tidak mengandalkan badan atau uang, melainkan bakat. Ya, walaupun masih sekelas tempe busuk. Tapi tenang, suatu saat tempe busuk ini akan mengalahkan steak termahal sekalipun #apalah.

***
Pada sebuah kasur tipis berwarna biru dengan gambar Winnie The Pooh, hiduplah laki-laki menggemaskan. Ia tengah tidur. Badannya terkulai kaku. Andai saja jika ia menyadari posisi tidurnya sekarang, hah... mungkin bakal dinobatkan sebagai laki-laki teraneh. Mirip ibu kera yang air susunya dicuri anak kambing. Kaki di kepala. Kepala di kaki. Mulut terbuka lebar. Tangan terangkat ke atas seperti kupu-kupu yang hendak terbang. 

Sayang, tidur laki-laki ini tak bertahan lama ketika sebuah bunyi di hapenya menyala. Matanya masih berat. Ilernya pun belum hilang. Sedikit enggan, ia membuka satu pesan yang tertera dari nomor tak dikenal. 

“Haaaa??? Ciusss nih??? Gua lolos??? Kyaaaaaaaaaaa!!!” teriak laki-laki itu bahagia. 

Yap. Sang laki-laki itu adalah akooh -_-. Senangnya bukan kepalang saat membaca isi pesan.
  
 Untuk pertama kalinya selama satu bulan di Jakarta, akhirnya aku tembus casting juga. Tak sia-sia kemarin tangan sampai berdarah buahahaha.

Selamat anda dinyatakan lolos casting Film “Nama” Silahkan datang pada hari minggu buat workshop dan keperluan lainnya.

Secepat kilat, kubalas isi pesannya.

Demi penguasa bumi dan langit. Demi matahari, rembulan, gunung, pantai, dan halilintar. Engkau tahu betapa berartinya sms-mu ini? Air mataku tak henti-hentinya jatuh. Oh, kau laksana pelita di kegelapan, Nyonya/Tuan. Terimakasih. Saya akan datang di hari minggu. 

Aku senyum-senyum sendiri membaca ulang balasan sms. Sungguh kalimat yang cerdas, pikirku :’)

Hari minggu pun tiba. Bukan untuk bertamasya keliling kota, atau pula bukan karena kuturut paman paman pergi ke kota, tapi hari ini kusambangin Fatmawati Festival yang persis di depan RS Fatmawati.

“Haloooo haaaaii haaaaii Mba Dian,” sapaku ramah kepada makhluk astral di depan. “Haaiii adek, Haii Ibuk,” sapaku lagi melihat orang-orang di samping Mba Dian. 

Oiiyyaa, mereka ini kusebut sebagai geng Bajaj. Mba Dian memang temenku saat shooting di Semarang, sementara Ibu dan adik kecil yang kupanggil sebelumnya, mereka adalah kerabat Mba Dian. 

Kabar tentang casting Film Nama ini pun kudapat dari Mba Dian. Fiuh, aku masih ingat saat kami harus adu mulut dengan bapak-bapak Bajaj pengkolan jalan Wijaya I. 

“Gak bisa! Ini gak adil dong namanya pak? Di mana lagi keadilan di dunia ini jika bahkan di dalam bajaj pun gak ada?! Oh Tuhan, bapak gak becanda kan?” ucapku hsiteris. Dramatis. Diplomatis. 

“Iya, Pak. Ini tuh kemahalan,” tambah Mba Dian. 

Melihat kami yang adu mulut, adik Ninin—Anaknya Ibu Nanan—hanya menangis di pelukan sang Ibu.

“Ayolah pak, tolong berpikir lebih jernih. Bapak gak lihat matahari tengah panas-panasnya begini? Bapak mau saya berubah jadi Kyubi?” tuturku.

Si Bapak bajaj melongo. 

“Kami tuh udah gak punya uang, Pak hiksss. Masa bapak tega ngeliat saya ngemis-ngemis di jalan demi naik bajaj ini?” Mba Dian berakting nangis.

Wuihhh, aku terkagum-kagum melihatnya. Dengan ini inisiatif cerdas, aku pun membantu akting Mba Dian.

“Huaaaaaaaa huaaaaaa kyaaaaaaa kyaaaaaaaa.... Hiksss hiksss kenapa dunia ini selalu jahat pada saya pak? Kenapa? Kenapa bapak tidak berbelas kasih sedikit pun pada kami??? Kenapa pak??? Kenapa??? Huaaaaaa hiaaaaaa heeemmm hiiiiikksss....”

Aku jongkok di pinggir pintu bajaj Si bapak. Seakan-akan kaki pun lumpuh lemas tak berdaya lagi. Mataku terpejam penuh kesedihan. 

Asiikk, pasti Mbaa Dia sekarang terkagum sekali dengan bakat akting-ku? Nyiahahahahaha. Tapi, kok sepi yaa? Bahkan tangisan adik Ninin pun udah gak terdengar. 

 Kubuka album biru, Kubuka mata perlahan. Dan, krik krik krik krik. Suasana menjadi kikuk. Mba dian, Bu Nanan, dek Ninin, dan Bapak Bajaj hanya melihatku dengan mata kosong. Mulut mereka kompak sontak menganga. Kenapa sih? Segitu berbakat kah gua jadi aktor? Kayaknya mereka terpesona sekali.
 
“Mas sehat?” tanya Bapak Bajaj. 

Jdaaaaaaaaarr!!! Halilintar langsung menyambar wajah mulusku. 

“Cukup, Pak! Kita ini mau casting lho. Bapak gak tahu kalau kita ini ditunggu-tunggu banget sama sang sutrada??? Kita ini artis besar pak. Oke, oke, kita emang masih casting, tapi heeeeiii!!! Jangan sekali-kali meremehkan saya yaa pak. Saya kalau diem emang imut kayak kucing, tapi kalau lagi maraah wuiiihhh naga pun lewat.”
 
“Terus?” ujar Pak Bajaj lempeng.

“Yaaa terusss.. emm.. anu, gitu pokoknya! Yaudah deh, kalau gak mau. Yuk kita cabut gengs!” Aku pun melangkah sedih meninggalkan satu-satunya transportasi yang saat itu ada di jalan Wijaya. 

“Woiii Dog, lu mau jalan kaki??? Sini naik!!!” teriak Mba Dian. 

Ini dia yang kutunggu-tunggu. Ditahan saat ingin pergi. Dicegah ketika ingin berlari wkwk. Dengan kekuatan rembulan, aku berlari kembali menuju bajaj. Perjalan ke Fatmawati pun dimulai. 

“Bapak tuh salah jalan! Belok kiri dong!” ucapku geram. Bagaimana mungkin tukang Bajaj tapi tidak tahu jalan. 

“Dih salah lagi pak, nah habis lurusan itu ada belokan ke kiri. Bapak lurus lagi terus belokan pertama masuk deh ke sana.” Aku memberi arahan pada si Bapak sambil melihat GPS di hape. Sementara Mba Dian dan yang lain sibuk memegang erat kursinya masing-masing. 

“Jangan belok sini!!! Kyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!! Kita salah jalan, pak!!! Duh mundur-mundur! Awas janagn terlalu mundur, di belakang ada nenek-nenek.” 

Hyaaaa, akhirnya. Selama satu jam muter-muter tak jelas, kami pun sampai di lokasi casting Film Nama. 

“Woii Dog! Ngapain sih senyam-senyum ndewe?!” tegur Mba Dian yang membuayarkan semua lamunanku tentang kejadian tempo lalu. 

“Lagi akting jadi orang gila, Mba. Harap maklum buahaha.”

“Oke, all talent kita mulai workshop-nya ya,” ucap laki-laki yang belakangan kuketahui bernama Hikie.

“Yang namanya Ricky Douglas mana?”

“Shhaaayaaa, Massshh!” ucapku PD dengan suara mendesis. 

Nyiahahahahahhaa, pasti gua jadi pemeran utama nih. Yaaa dong! ucap batinku gembira seperti melangkah di udara. Pak pos  membawa berita dari yang kucinta. I 2 DAN 3 AH AH Mas Hike pun membacakan peran untuk-ku.  

“Kamu perannya jadi SAT POL PP ya.” 

#Jdaaaaaaaaaaarrrr #Jgeeeeeeerrrr #Plaaaaaaaanggg. Suara piring-piring pecah pun mengisi semua otak-ku. What? Aku jadi Sat Pol PP nih bukan jadi pemeran utamanya? Huaaaaa hiksss sedih sekali. Tapi heei tunggu dulu dong! Siapa tahu film ini memang bercerita tentang POL PP. Berarti aku pemeran utama dong? Positif, Glas!

“Kamu dapet dua scene ya. Nih naskahnya di baca,” tambah Mas Hikie. 

Astaga Dragon. Pilsuk banget dah! Ternyata gua bukan pemeran utamanya. Yaiyaaalah, Glas. Main talent-nya pasti artis dong. 

Dengan arahan Mas Hike, aku dan dua anak kecil yang terdiri dari laki-laki dan perempuan ini pun saling reading naskah. Baru hendak berucap, tiba-tiba Mba Dian datang. 

“Lho Mba Dian? Ko kesini?” tanyaku heran.

“Gua udah dapet peran juga nih. Satu adegan sama kalian. Gua  cuma jadi figuran juga. Jadi Ibu-Ibu penjual nasi uduk,” ucapnya lesu. 

Tak dapat lagi kutahan gelora tawa di dalam dada ini, aku pun terbahak “Buahahahahahahhahahahahahhahahahahahhaa. Ibu penjual nasi uduk??? Nyiahahahahahahaha.” 

“Eh, SAT POL PP! Gak usah songgong ya!”

Dan terjadilah tatap menatap tajam antara kami. 

“Sudah-sudah, Kak. Mending kita lanjut baca naskahnya,” ucap si adik kecil.

Kami pun mulai membaca naskah. Memperagakan adegannya. Saling memberi saran. Komentar. Dan banyak hal. Makin akrablah aku dengan dua akan kecil yang ternyata mereka adik kakak kandung, asli. Kami saling berbagi tawa di tengah latihan. Saling merangkul. Hingga, suasana itu pun lenyak saat Negara lumpur menyarang!

“Mas Mba!” ucap sang Sutradara pada kami setelah menyuruh adik kecil itu kembali masuk ruangan. “Kalian ini perannya jadi orang galak! Kamu jadi SAT POL PP.” Tunjuk Sutradara padaku. “Nah kamu jadi Ibu-Ibu nasi uduk yang marahin anak kecil!” kali ini Sutarada melihat Mba Dian. “Kalian itu tugasnya di sini membenci anak kecil. Marahin anak kecil. Saya gak mau lagi lihat kalian akrab sama anak kecil, oke? Karena akan mempengaruhi akting kalian!!!” ucapnya tegas. 

“Ba-ba-ba-babi, Pak! Eh..., Ba-baik, Pak maksud saya.”

“Dan satu lagi! “ lanjut Pak Sutradara. “Gak ada kata-kata CUMA atau HANYA untuk peran-peran figuran/peran kecil. Kalau gak ada figuran, film pun gak jalan! Kalian paham?”

“I-iya, Pak,” ucapku dan Mba Dian bersamaan. 

Haduh, ternyata Bapak Sutradara ini mendengar obrolanku dan Mba dian tentang peran figuran. Oke, jadi pelajaran hari ini, tidak ada kata CUMA atau HANYA untuk peran kecil. Berbangga dirilah! 

*bersambung!

Baca Episode Sebelumnya di Sini ya :)  Ospek Kota Jakarta. Bagian ke-10; Orang-Orang Baru


0 comments:

Post a Comment

Silahkan, semuanya dapat berkomentar. Namun, jadilah komentator yang cerdik dan beretika ya :)