OSPEK KOTA JAKARTA
BAGIAN 11;
Jangan Berucap "Hanya" atau "Cuma"
Tiupan hangat dan menggairahkan kuhaturkan pada lengan yang kini
berdarah. Tidak banyak sebenarnya, tapi cukup perih. Hah, inilah berkat terlalu
lebay dalam akting berkelahi Nyiahahaha. Tapi heiii, tunggu! Bukan cuma aku
saja yang lebay! Yang lebih lebay pun banyak. Sebut saja, mawar. Laki-laki
berperut gentong ini mengeluarkan semua jurus karatenya. Dengan muka tegang,
kaki kuda-kuda lebar, bapak tua ini mulai meninju layaknya sedang latihan
karate. Ada juga pria berambut gondrong yang sepanjang akting berantemnya,
ia sumpah serapah berkata-kata kotor. Dan juga masih tak kalah berlebihannya,
sosok laki-laki bertulang lunak pun tidak mau kalah unjuk gigi. Tak peduli ia
kalau alisnya sungguh tebal sampai-sampai lebih cenderung mirip ulat bulu yang
sedang bertelur di atas matanya. Gayanya bahenol. Pukulannya saja pakai kipas
yang masih ia genggam. Ihhh cucok binggow
deh yaa.
Setelah hari itu, masih banyak lagi casting yang kadang membuat bulu
kuduk merinding. Ada laki-laki entah dia sutrada, produser, atau crew
biasa #kutakmaupeduli. Tapi sih ngakunya produser. Oh no! Aku masih inget jelas apa yang dikatakannya.
Kalau mau dapat peran di film,
harus rela 'main' bareng gueh.
What the...?? Shit! Dengan malu-malu
babi akhirnya kutolak juga tawaran aneh ini. Fiuhhh, ente pikir ane laki-laki
apapun?
Selain mengincar badanku, ada juga yang mengincar uang. Nah ini ceritanya
beda lagi. Dengan embel-embel open casting,
eh tahunya pas lolos malah disuruh bayar dengan alasan inilah itulah. Sowreeeyy eaaa, aku mau memulai dengan
cara yang baik. Tidak mengandalkan badan atau uang, melainkan bakat. Ya,
walaupun masih sekelas tempe busuk. Tapi tenang, suatu saat tempe busuk ini
akan mengalahkan steak termahal sekalipun #apalah.
***
Pada sebuah kasur tipis berwarna biru dengan gambar Winnie The Pooh, hiduplah laki-laki menggemaskan. Ia tengah tidur.
Badannya terkulai kaku. Andai saja jika ia menyadari posisi tidurnya sekarang,
hah... mungkin bakal dinobatkan sebagai laki-laki teraneh. Mirip ibu kera yang
air susunya dicuri anak kambing. Kaki di kepala. Kepala di kaki. Mulut terbuka
lebar. Tangan terangkat ke atas seperti kupu-kupu yang hendak terbang.
Sayang, tidur laki-laki ini tak bertahan lama ketika sebuah bunyi di
hapenya menyala. Matanya masih berat. Ilernya pun belum hilang. Sedikit enggan,
ia membuka satu pesan yang tertera dari nomor tak dikenal.
“Haaaa??? Ciusss nih??? Gua lolos??? Kyaaaaaaaaaaa!!!” teriak laki-laki
itu bahagia.
Yap. Sang laki-laki itu adalah akooh -_-. Senangnya bukan kepalang saat
membaca isi pesan.
Untuk pertama kalinya selama satu bulan di Jakarta, akhirnya aku
tembus casting juga. Tak sia-sia kemarin tangan sampai berdarah buahahaha.
Selamat anda dinyatakan lolos
casting Film “Nama” Silahkan datang pada hari minggu buat workshop dan
keperluan lainnya.
Secepat kilat, kubalas isi pesannya.
Demi penguasa bumi dan langit. Demi
matahari, rembulan, gunung, pantai, dan halilintar. Engkau tahu betapa
berartinya sms-mu ini? Air mataku tak henti-hentinya jatuh. Oh, kau laksana
pelita di kegelapan, Nyonya/Tuan. Terimakasih. Saya akan datang di hari minggu.
Aku senyum-senyum sendiri membaca ulang balasan sms. Sungguh kalimat yang
cerdas, pikirku :’)
Hari minggu pun tiba. Bukan untuk bertamasya keliling kota, atau pula
bukan karena kuturut paman paman pergi ke kota, tapi hari ini kusambangin
Fatmawati Festival yang persis di depan RS Fatmawati.
“Haloooo haaaaii haaaaii Mba Dian,” sapaku ramah kepada makhluk astral di
depan. “Haaiii adek, Haii Ibuk,” sapaku lagi melihat orang-orang di samping Mba
Dian.
Oiiyyaa, mereka ini kusebut sebagai geng Bajaj. Mba Dian memang temenku
saat shooting di Semarang, sementara Ibu dan adik kecil yang kupanggil
sebelumnya, mereka adalah kerabat Mba Dian.
Kabar tentang casting Film Nama ini pun kudapat dari Mba Dian. Fiuh, aku
masih ingat saat kami harus adu mulut dengan bapak-bapak Bajaj pengkolan jalan
Wijaya I.
“Gak bisa! Ini gak adil dong namanya pak? Di mana lagi keadilan di dunia
ini jika bahkan di dalam bajaj pun gak ada?! Oh Tuhan, bapak gak becanda kan?”
ucapku hsiteris. Dramatis. Diplomatis.
“Iya, Pak. Ini tuh kemahalan,” tambah Mba Dian.
Melihat kami yang adu mulut, adik Ninin—Anaknya Ibu Nanan—hanya menangis
di pelukan sang Ibu.
“Ayolah pak, tolong berpikir lebih jernih. Bapak gak lihat matahari
tengah panas-panasnya begini? Bapak mau saya berubah jadi Kyubi?” tuturku.
Si Bapak bajaj melongo.
“Kami tuh udah gak punya uang, Pak hiksss. Masa bapak tega ngeliat saya
ngemis-ngemis di jalan demi naik bajaj ini?” Mba Dian berakting nangis.
Wuihhh, aku terkagum-kagum melihatnya. Dengan ini inisiatif cerdas, aku
pun membantu akting Mba Dian.
“Huaaaaaaaa huaaaaaa kyaaaaaaa kyaaaaaaaa.... Hiksss hiksss kenapa dunia
ini selalu jahat pada saya pak? Kenapa? Kenapa bapak tidak berbelas kasih
sedikit pun pada kami??? Kenapa pak??? Kenapa??? Huaaaaaa hiaaaaaa heeemmm
hiiiiikksss....”
Aku jongkok di pinggir pintu bajaj Si bapak. Seakan-akan kaki pun lumpuh
lemas tak berdaya lagi. Mataku terpejam penuh kesedihan.
Asiikk, pasti Mbaa Dia sekarang
terkagum sekali dengan bakat akting-ku? Nyiahahahahaha. Tapi, kok sepi yaa?
Bahkan tangisan adik Ninin pun udah gak terdengar.
“Mas sehat?” tanya Bapak Bajaj.
Jdaaaaaaaaarr!!! Halilintar langsung menyambar wajah mulusku.
“Cukup, Pak! Kita ini mau casting lho. Bapak gak tahu kalau kita ini
ditunggu-tunggu banget sama sang sutrada??? Kita ini artis besar pak. Oke, oke,
kita emang masih casting, tapi heeeeiii!!! Jangan sekali-kali meremehkan saya
yaa pak. Saya kalau diem emang imut kayak kucing, tapi kalau lagi maraah
wuiiihhh naga pun lewat.”
“Terus?” ujar Pak Bajaj lempeng.
“Yaaa terusss.. emm.. anu, gitu pokoknya! Yaudah deh, kalau gak mau. Yuk
kita cabut gengs!” Aku pun melangkah sedih meninggalkan satu-satunya
transportasi yang saat itu ada di jalan Wijaya.
“Woiii Dog, lu mau jalan kaki??? Sini naik!!!” teriak Mba Dian.
Ini dia yang kutunggu-tunggu. Ditahan saat ingin pergi. Dicegah ketika
ingin berlari wkwk. Dengan kekuatan rembulan, aku berlari kembali menuju bajaj.
Perjalan ke Fatmawati pun dimulai.
“Bapak tuh salah jalan! Belok kiri dong!” ucapku geram. Bagaimana mungkin
tukang Bajaj tapi tidak tahu jalan.
“Dih salah lagi pak, nah habis lurusan itu ada belokan ke kiri. Bapak
lurus lagi terus belokan pertama masuk deh ke sana.” Aku memberi arahan pada si
Bapak sambil melihat GPS di hape. Sementara Mba Dian dan yang lain sibuk
memegang erat kursinya masing-masing.
“Jangan belok sini!!! Kyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!! Kita salah jalan,
pak!!! Duh mundur-mundur! Awas janagn terlalu mundur, di belakang ada
nenek-nenek.”
Hyaaaa, akhirnya. Selama satu jam muter-muter tak jelas, kami pun sampai
di lokasi casting Film Nama.
“Woii Dog! Ngapain sih senyam-senyum ndewe?!” tegur Mba Dian yang
membuayarkan semua lamunanku tentang kejadian tempo lalu.
“Lagi akting jadi orang gila, Mba. Harap maklum buahaha.”
“Oke, all talent kita mulai workshop-nya ya,” ucap laki-laki yang
belakangan kuketahui bernama Hikie.
“Yang namanya Ricky Douglas mana?”
“Shhaaayaaa, Massshh!” ucapku PD dengan suara mendesis.
Nyiahahahahahhaa, pasti gua jadi
pemeran utama nih. Yaaa dong! ucap batinku gembira seperti melangkah di
udara. Pak pos membawa berita dari yang
kucinta. I 2 DAN 3 AH AH Mas Hike pun membacakan peran untuk-ku.
“Kamu perannya jadi SAT POL PP ya.”
#Jdaaaaaaaaaaarrrr #Jgeeeeeeerrrr #Plaaaaaaaanggg. Suara piring-piring
pecah pun mengisi semua otak-ku. What?
Aku jadi Sat Pol PP nih bukan jadi pemeran utamanya? Huaaaaa hiksss sedih
sekali. Tapi heei tunggu dulu dong! Siapa tahu film ini memang bercerita
tentang POL PP. Berarti aku pemeran utama dong? Positif, Glas!
“Kamu dapet dua scene ya. Nih naskahnya di baca,” tambah Mas Hikie.
Astaga Dragon. Pilsuk banget dah!
Ternyata gua bukan pemeran utamanya. Yaiyaaalah, Glas. Main talent-nya pasti
artis dong.
Dengan arahan Mas Hike, aku dan dua anak kecil yang terdiri dari
laki-laki dan perempuan ini pun saling reading
naskah. Baru hendak berucap, tiba-tiba Mba Dian datang.
“Lho Mba Dian? Ko kesini?” tanyaku heran.
“Gua udah dapet peran juga nih. Satu adegan sama kalian. Gua cuma jadi figuran juga. Jadi Ibu-Ibu penjual
nasi uduk,” ucapnya lesu.
Tak dapat lagi kutahan gelora tawa di dalam dada ini, aku pun terbahak “Buahahahahahahhahahahahahhahahahahahhaa.
Ibu penjual nasi uduk??? Nyiahahahahahahaha.”
“Eh, SAT POL PP! Gak usah songgong ya!”
Dan terjadilah tatap menatap tajam antara kami.
“Sudah-sudah, Kak. Mending kita lanjut baca naskahnya,” ucap si adik
kecil.
Kami pun mulai membaca naskah. Memperagakan adegannya. Saling memberi
saran. Komentar. Dan banyak hal. Makin akrablah aku dengan dua akan kecil yang
ternyata mereka adik kakak kandung, asli. Kami saling berbagi tawa di tengah
latihan. Saling merangkul. Hingga, suasana itu pun lenyak saat Negara lumpur
menyarang!
“Mas Mba!” ucap sang Sutradara pada kami setelah menyuruh adik kecil
itu kembali masuk ruangan. “Kalian ini perannya jadi orang galak! Kamu jadi SAT
POL PP.” Tunjuk Sutradara padaku. “Nah kamu jadi Ibu-Ibu nasi uduk yang marahin
anak kecil!” kali ini Sutarada melihat Mba Dian. “Kalian itu tugasnya di sini
membenci anak kecil. Marahin anak kecil. Saya gak mau lagi lihat kalian akrab
sama anak kecil, oke? Karena akan mempengaruhi akting kalian!!!” ucapnya tegas.
“Ba-ba-ba-babi, Pak! Eh..., Ba-baik, Pak maksud saya.”
“Dan satu lagi! “ lanjut Pak Sutradara. “Gak ada kata-kata CUMA atau HANYA
untuk peran-peran figuran/peran kecil. Kalau gak ada figuran, film pun gak
jalan! Kalian paham?”
“I-iya, Pak,” ucapku dan Mba Dian bersamaan.
Haduh, ternyata Bapak Sutradara ini mendengar obrolanku dan Mba dian
tentang peran figuran. Oke, jadi pelajaran hari ini, tidak ada kata CUMA atau
HANYA untuk peran kecil. Berbangga dirilah!
*bersambung!
0 comments:
Post a Comment
Silahkan, semuanya dapat berkomentar. Namun, jadilah komentator yang cerdik dan beretika ya :)