Bagian Ke-9
Menuju Dunia Baru. Shin Sekkai.
Lantai atas dan bawah benar-benar telah gulita. Tak ada cahaya sedikit
pun walau hanya berpendar. Ya, hampir di semua keluargaku menyukai tidur dengan
nuansa gelap, kecuali Yuk Rika. Dari tadi ia memainkan hape untuk membuat
cahaya kecil di kamar. Namun, akhirnya mata mengalahkan rasa takut. Ia pun
lelap. Baru saja aku ingin menyusul mereka semua ke dunia mimpi, tapi satu
suara seakan menarik-ku secara paksa. Membuat adrenalin rasa penasaran
membuncah.
Berhasil mengambil senter kecil di dalam tas, aku pun turun ke lantai
bawah kemudian membuka pintu secara perlahan. Sangat hati-hati. Satu kaki
melangkah keluar, kemudian disusul kaki lainnya. Dari luar pintu, aku belok ke
kiri, ke arah gudang kontrakan. Suara dari arah gudang semakin terdengar.
Seperti sesuatu yang merintih. Mirip erangan.
Deg! Melihat pemandangan di
dekat gudang, perutku tiba-tiba mual. Keringat bercucuran.
“Ini kan?” ucapku tertahan.
“Kyaaaaaaaaaa!!! Ahhhh!!!”
Kutarik lagi kenop pintu. Naik ke lantai atas. Pasang selimut. Dan memejam
kan mata. Mencoba melupakan kejadian barusan. Pemandangan mennggelikan yang
kulihat.
Pilsuk banget dah tuh kucing.
Bisa-bisanya mesum di gudang! Eh, tapi... apa enak ya main gelap-gelap gitu?
Syololololo.
Sepasang muda-mudi kucing tengah asik bermesraan dalam kardus. Mereka sedang
berusaha memperbanyak populasi kucing di dunia. Apalah daya jomblo sepertiku
yang melihat kejadian tadi. Hanya bisa memohon cepat didekatkan jodoh agar bisa
main gelap-gelapan juga.
***
Kami sekeluarga memutuskan jalan-jalan sebelum mereka pulang ke Palembang.
Berdasarkan hasil voting—walaupun cuma adik bungsuku yang melakukannya—kami pun
melipir ke Taman Impian Jaya Ancol. Berkeliling-keliling melihat pemandangan di
sana. Dari restoran yang nampak terapung, pantai, wahana air, hingga
akhirnya memutuskan bersantai di dalam gondola. Yuhuuu!!!
“Ibu kenapa matanya mejam-mejam gitu? Ngantuk?” tanyaku melihat Ibu yang
kini mata terpejam tapi mulut komat-kamit tak jelas.
Ibu masih diam. Ia tak menjawab. Mulutnya tetap saja komat-kamit.
“Ibu cacingan ya?” tanya Dek Okta polos.
‘Hust! Kurang ajar ih adek. Ibu kan takut ketinggian,” jawab Yuk Rika.
“Ibu jangan takut ya, kita kan cuma naik gondola. Lagian gondola itu jalannya
pelan kok. Iya gak, Yah?” tanya Yuk Rika yang meminta bantuan Ayah untuk
menenangkan istrinya itu. Tapi, tak disangka, si Ayah kita malah heboh
foto-foto dengan camera digital miliknya.
“Iya, Buk. Gondola itu jalannya pelan kayak siput,” sambarku akhirnya.
“Tapi, tetep aja kan ngeri dek Iki,” protes Ibu dengan muka tegangnya.
“Nyantai aja. Liat deh Buk. Di bawah kita itu ada air, jadi kalo pun
jatuh gak sakit kok, kan jatuhnya ke air. Ada batu-batuan juga sih di bawahnya,
yaaa paling lecet-lecet dikitlah kalo jatuh dari sini.” Aku yang mencoba
menenangkan Ibu jadi bangga dengan daya imajinasiku.
“Astaga!” Ibu makin komat-kamit. Barulah di setengah perjalan, beliau
mulai membuka mata.
“Yeeeee.” Tepuk tangan kami serempak. Menyambut Ibu yang telah buka mata.
Di dalam laju gondola ini hanya ada kami sekeluarga yang sibuk sekali
ber-wefie-ria. Setelah melaju cukup jauh dan melewati beberapa pos, gondola ini
pun berputar balik ke arah semula. Di tengah perjalan, ada ‘sekawanan’ manusia
lain yang berpapasan dengan kami di dalam gondola. Bak seorang monyet menemukan
kawanannya, aku heboh melambaikan tangan ke gondola di sebarang.
“Halooooo.... Apa kabar wahai gondola di seberang?” teriakku melengking.
Tak dinyana, bapak-bapak berkacamata di seberang pun melambaikan tangan.
Dia mengeluarkan handphone dan membidik kameranya ke arahku. Aku bergidik
melihat aksi si bapak kumis tebal. Lebih tak disangka lagi, dia memberikan
gerakan bibir ‘kiss’ ke arahku.
Kyaaaaa!!! Astaga dragon!!! Buru-buru
aku memalingkan muka dari bapak tua itu.
***
“Ahhh kalian udah mau balik ajaa
nih. Nginep lagi semalam dong,” bujuk Yuk Rika.
“Kasian Dek Okta, Yuk. Minggu depan dia udah mulai ujian,” balas Yuk
Rika.
Setelah saling memberi pelukan dan melepasnya, Ayah, Ibu, Dek Okta, dan
Mang Bidit pun pamit balik ke Palembang. Ini masih pukul empat pagi, semoga
perjalanan mereka lancar. Amin.
“Daaaadaaaaaaaahhhh, hati-hati di perjalnan yaa!!!” teriakku pada mobil
yang sudah mulai menjauh.
Aku dan Yuk Rika kembali ke kontrakan, dengan muka lesu kami membuka
kenop pintu.
“Yosssshhhhhaaaaa!!!” teriak-ku tiba-tiba dengan kedua tangan mengepal ke
atas.
“Kampret ngapain sih teriak-teriak gitu!!! Ngagetin aja tauk!” cela Yuk
Rika.
“Haa??? Kampret??? Mulai sekarang panggil gua Kapten Monkey D Douglas. Saat
detik ini juga, kita akan berlayar ke dunia baru. Yahooooo!!!”
“Eh, bocah! Mau gua anter ke rumah sakit jiwa gak?!”
“Hey Choper! Lu jangan lancang yaa sama Kapten!” Aku mendelik tajam ke
Yuk Rika.
“Choper??? Rusa dong gua?”
“Lho kok tahu? Emang udah nonton One Piece?”
“Udah sih dikit,” ucap Yuk Rika ragu. “Minggir aah gua mau lewat!” Ia
menyerobot hingga menabrak tubuhku.
Aku yang kesal pun tak tinggal diam. Saatnya menunjukkan siapa kapten
sebenarnya di sini.
“Choper rasakan ini! Gomu Gomu No... pistoll!!!” Kulempar sebuah guling
tepat di punggung Yuk Rika. Ia yang merasa kesal pun melakukan serangan balik.
“Lu gak usah semena-mena ya!!! Gua keluarin jurus nih! Kungfu point!”
Dan, terjadilah perang antara Monkey D Douglas dengan Tony Tonhy Choper
yang lebih mirip gajah ketimbang rusa buahaha. Buat kalian yang tidak paham
bahasan ini, silahkan nonton anime berjudul One Piece dulu deh wkwkw.
*Bersambung.
Baca Episode Sebelumnya di Sini yaaa :) Ospek Kota Jakarta. Bagian Ke-8; Tempat Tinggal Baru.
Baca Episode Selanjutnya di Sini yaaa :) Ospek Kota Jakarta. Bagian ke-10; Orang-Orang Baru
Baca Episode Selanjutnya di Sini yaaa :) Ospek Kota Jakarta. Bagian ke-10; Orang-Orang Baru
0 comments:
Post a Comment
Silahkan, semuanya dapat berkomentar. Namun, jadilah komentator yang cerdik dan beretika ya :)