Cuaca
yang dingin tak menghentikan rencanaku dan Brayden untuk mengajak Lisa
berkeliling kota hari ini. Lisa adalah anak Dooriya yang merupakan tetangga
Brayden. Kemarin Dooriya menitipkan anaknya yang masih berumur sepuluh tahun
itu pada Brayden, karena ia dan suaminya ada urusan pekerjaan di Australia
beberapa minggu ke depan.
Aku tinggal di sisi selatan kota Philadelphia di negara
Pennsylvania, yang merupakan negara bagian Amerika Serikat, sementara Brayden tinggal di sisi Downtown atau inti kota Philadelphia.
Hari ini kami mulai perjalanan dengan mengendarai
mobil mengunjungi Please Touch Museum.
Awalnya Brayden menolak untuk mengunjungi tempat itu, karena
ia pikir kemungkinan akan sedikit membosankan berada di sana, namun setelah Lisa
membujuknya akhir ia menyerah. Menurut Lisa, ia sangat ingin sekali berkunjung
ke sana, karena semua teman-temannya telah mengunjungi tempat itu, dan orang
tuanya selalu tidak punya waktu untuk mengajaknya berkunjung ke sana.
Awal masuk gedung Please Touch Museum ini kami telah disuguhi dengan
bangunan yang megah nan luas. Dengan antusias kami segera menuju ke ekshibisi
tentang air. Jadi, di sini kita dapat melihat bagaimana asal muasal air, dari
hujan turun ke bumi, dan mengalir dari gunung sampai kembali ke laut.
“Amazing. Hey Magenta, lihat!” ditariknya ujung jaketku sembari menunjuk ke atap.
“Yes.
Beautifull!”aku
mulai menyerukan apa yang Lisa tunjukkan padaku.
Di atas langit-langitnya ada replica awan,
sehingga membuat ruangan ini terlihat cantik. Sepertinya perkiraan Brayden tentang betapa membosankannya tempat
ini tidaklah benar, karena sedari tadi ia pun juga menikmati suasana tempat
ini.
Kami melanjutkan perjalanan menuju lantai bawah,
dan di sana ternyata bernuansa Alice in
The Wonderland. Lisa sedari tadi asyik sendiri, mulai dari melihat taman
bunga mawar, tea partynya Mad Hatter,
dan ruangan yang serba kecil. Tak jarang Brayden memelukku, ia beberapa kali
mencium pipi dan hidungku yang mancung. Sudah lama sekali rasanya kami tidak menghabiskan
waktu berdua, walaupun sekarang kami tidak hanya berdua, tetapi ada Lisa yang
ikut serta.
“I love
you, Brad,” kupeluk
tubuhnya yang tegap.
“I love
you too, Magenta,” dikecupnya
keningku.
“Aku
rasa bukan hanya aku yang menikmati tempat ini,” tegur Lisa dengan nada bercanda.
Kami
mengakhiri perjalanan di lantai bawah ini karena perut yang sudah terasa lapar
dan minta segera harus diisi. Akhirnya kami memutuskan untuk makan siang di
salah satu caffe yang ada di museum ini, kemudian memesan beberapa sandwich. Setelah lunch, kami
pun mengakhiri kunjungan di meseum ini, walaupun awalnya Lisa enggan untuk
beranjak dari tempat yang lebih terlihat seperti taman bermain dari pada museum
ini, namun setelah aku membujuknya akhirnya ia pun setuju untuk melanjutkan
perjalanan.
***
Walaupun
udara malam ini terasa sangat menusuk kulit namun yang kurasa hanyalah kehangatan
yang di berikan Brayden. Malam ini kami habiskan dengan bercinta seperti biasa
di kamar tunanganku itu. Rumah ini nampak sepi karena hanya Brayden yang
tinggal di sini. Sementara Lisa sudah tidur di kamar tamu.
Beberapa
kali kuajak tunanganku itu untuk bicara serius mengenai pernikahan kami, namun
dia hanya tersenyum dan kemudian memelukku. Sebenarnya aku sudah bosan dengan
status tunangan ini. Pernikahan kami sempat tertunda dan akhirnya di batalkan
karena kematian orang tua Brayden.
***
Pagi hari
ini aku dan Lisa menyiapkan breakfast
dengan menu cheesesteak yang merupakan makanan khas Philly untuk menjadi teman
sarapan. Lisa terlihat cukup hebat dalam membuat cheesesteak. Setelah selesai membuat cheesesteak
dan juga susu hangat, kemudian aku menuju kamar Brayden untuk membangunkannya.
***
Dengan lahap kami pun memakan cheesesteak yang telah tersaji. Brayden sangat suka makanan buatanku,
terlebih lagi cheesesteak. Brayden pun memuji Lisa karena telah membuat cheesesteak yang lezat.
Dengan mengenakan jas dan juga dasi di lehernya, Brayden
nampak rapih dan terlihat sempurna di mataku. Lisa pun juga terlihat cantik
dengan seragam yang dikenakannya, serta topi yang menutupi rambut panjangnya
itu. Seperti biasanya, pagi ini pun Brayden harus pergi ke kantor, hanya saja
kali ini ia harus mengantar Lisa ke sekolah terlebih dahulu. Saat kami
menikmati cheesesteak, terdengar
suara bel dari balik pintu. Tanpa banyak berpikir, aku pun langsung membuka
pintu itu.
“Selamat pagi,” sapa suara laki-laki yang ada di hadapanku ini.
“Pagi. Cari siapa
ya?” tanyaku pada laki-laki itu.
Paul, Laki-laki paruh baya yang mengaku seorang kurir
pengantar barang. Paul sedikit berbeda dari kurir biasanya yang ada di
Philedelphia ini, ia mengikutsertakan seekor kucing dalam kegiatannya
mengantarkan barang. Kucing itu sangat manis, dia duduk dengan tenang di bahu
Paul.
Setelah aku menerima
bingkisan kotak yang terlihat cukup besar itu, Paul pun pergi melanjutkan
perjalanannya. Aneh! menurut Paul bingkisan ini di tujukan untukku, tapi kenapa
mengirimnya ke alamat Brayden? dan juga di bingkisannya tidak tertera nama si
pengirim.
“Siapa?” tanya Brayden yang kemudian meminum segelas susu.
“Kurir. Ada bingkisin, tapi terlihat cukup aneh,” aku duduk kembali di meja makan.
“Whoaa,
apakah isinya boneka barbie?” teriak
Lisa antusias.
“Mungkin,” jawabku.
Brayden
menyarankanku agar segera membuka bingkisan yang terlihat cukup simple ini. Lisa yang sudah tak sabar
mengharapkan isi kotak itu adalah boneka Barbie pun akhirnya ikut serta
membantuku membuka bingkisan ini.
Aku menatap tak percaya dengan apa yang kulihat di dalam
kotak ini, dan kulirik Brayden yang tersenyum menatapku. Air mataku mengalir
seiring rasa bahagia yang kurasakan
sekarang. Dalam kotak itu ada sebuah gaun pengantin yang sangat cantik, di atasnya
pun ada sebuah cincin dan kertas yang bertuliskan "Do you be my wife?"
***
Cincin ini
sangat cantik dan terlihat pas di jari manisku, pagi tadi Braydenlah yang
memasangkannya. Hari sudah mulai sore, matahari pun sudah nampak lelah untuk
memperlihatkan sinarnya. Brayden belum pulang dari kantor, sementara Lisa
mungkin sedang bermain di ruang keluarga.
Kulihat
bayanganku di cermin, lalu seulas senyum manis menghiasi bibir mungil itu.
Tepat di hari Valentine tahun ini, kami akan melangsungkan pernikahan. Sudah tidak
sabar rasanya aku mengenakan gaun pengantin. Kembali kubuka kotak bingkisan
yang berisi gaun pengantin itu, lalu dengan antusias mulai mengenakannya. Perfect! Aku terlihat cukup cantik
dengan gaun pengantin ini yang membungkus tubuh langsingku. Kulihat bayanganku
dicermin, namun bayangan itu makin pudar dan menghilang, lalu gelap!
***
Kepalaku
pusing, badan terasa pegal, dan mataku sangat perih. Aku terjaga dengan masih
mengenakan gaun, dan di sampingku ada Brayden. Kulirik jam dinding, pukul
sepuluh pagi! Aneh, yang kuingat hanyalah saat bercermin dengan gaun cantik itu
melekat di tubuh, namun setelah itu semuanya
nampak gelap! Lalu aku terjaga di pagi harinya dengan kondisi yang
sedikit buruk.
“Kau
sudah bangun, sayang?”
Brayden terjaga kemudian memelukku.
“Honey, apa yang
terjadi?” tanyaku pada Brayden.
Setelah melepas
gaun pengantin yang lumayan sulit untuk di lepas ini, Brayden pun menceritakan
kejadian kemarin sore. Menurut Brayden, semalam aku tergeletak pingsan di depan
cermin dan pada saat Lisa ingin membopongku ke kasur, tetapi aku malah mencekiknya.
Untung saja saat itu Bryaden telah pulang dan kemudian ia langsung menolong
Lisa. Aku tidak mengingat apa pun! Aneh sekali rasanya!
***
Hari ini aku
dan Brayden bersiap-siap untuk foto pre wedding.
Kami meminta bantuan George yang
merupakan sahabat Brayden sebagai photographer
pre wedding kami. Tema yang kami
pilih sedikit simple, dengan
menonjolkan suasana khas kota Philadelphia. Brayden terlihat gagah dengan jas
putih yang dikenakannya, dan aku pun terlihat cukup anggun dengan gaun
pengantin yang di berikan oleh Brayden. Kami Photo shoot di beberapa tempat, seperti Chestnut Street, Ben
Franklin Bridge, dan
Love park.
“Brayden,
kamu yakin nantinya gaun itu yang akan dikenakan Lisa?” kata George di sela pemotretan.
“Tentu saja.
Kenapa?” jawab Brayden.
“Entahlah, gaun
itu terlihat sudah tua. Lusuh,” jawab
Goerge berbisik.
***
Aku sedang
duduk di dekat jendela sambil memandang pekarangan rumah Brayden yang luas,
dengan di temani gaun pengantin yang cantik. Entah kenapa aku sangat sayang pada
gaun ini, dan selalu rindu untuk membelai serta memakainya. Aku heran dengan
George yang mengatakan kalau gaun ini terlihat sudah tua, menurutku gaun ini
sangat cantik dan desainnya juga modern.
“Magenta, aku
ingin memakai gaun itu,” kata Lisa sambil menarik
gaunku.
Entah kenapa emosiku memuncak karena Lisa sudah berani
memegang gaun ini dan ingin memakainya. Dengan amarah yang sudah berada di
puncaknya, kutampar pipi gadis kecil itu. Lisa berlari sambil menangis dan ia
pun terlihat memegang pipinya yang merah.
Ternyata amarahku belum padam! Dengan gaun yang masih melekat
ditubuhku dan sebuah gunting yang berada di genggamanku ini, aku pun berlari
mengejar Lisa sampai ke lantai dasar. Teriakan dan tangisan Lisa justru
menambah semangatku untuk menusukkan gunting ini ke tubuhnya yang kecil.
Setelah berhasil menangkap Lisa, kutarik rambut pirangnya itu dan kuarahkan
gunting yang kugenggam ke matanya!
***
Suara
berisik itu terdengar dari arah lemari pakaian Brayden. Sekarang sudah tengah
malam dan Brayden pun sedang terlelap di sampingku. Suara gaduh itu kembali terdengar.
Karena penasaran, aku pun menuju lemari itu, dan semakin dekat suaranya pun makin
jelas terdengar. Kosong! Di dalam lemari pakaian itu hanya ada gaun pengantin
yang sangat kukenal. Kuambil gaun itu dan tersenyum melihat betapa indahnya
dia. Namun, senyum di bibirku hilang dan berganti dengan bibir pucat. Gemetar
dan menggigil.
Aku mendengar ada suara tangisan yang sangat lirih dari arah
lantai dasar rumah Brayden. Enggan rasanya untuk membangunkan tunanganku, lalu
aku pun mencari sumber tangisan itu. Kususuri setiap bagian rumah ini yang
terlihat nampak gelap. Ah! Tangisan itu terdengar makin kencang, dan betapa
kagetnya aku saat mendapati sosok wanita muda yang mengenakan gaun pengantinku
sedang menangis lirih di sana, tapi gaun itu terlihat sedikit berbeda. Usang. Kakiku
gemetar hebat, dan air mataku pun mengalir deras saat mendapati ternyata di belakang
sosok wanita muda itu ada tubuh Lisa yang terlihat pucat dengan gunting yang
tertancap di matanya. Aku berlari sekencang mungkin menuju kamar Bryaden.
Kejadian itu membuatku sangat takut tapi Brayden mencoba
menenangkan, walaupun aku tahu ada gurat khawatir diwajahnya. Kenyataan pahit
harus kami terima kalau Lisa telah meninggal dengan cara yang menyeramkan, dan
hal ini masih kami sembunyikan dari orang tuanya. Satu yang kami ketahui. Semua kejadian
janggal ini berawal setelah kehadiran gaun pengantin itu. Aku dan Bryaden
memutuskan membawa kembali gaun itu ke tempat Brayden memesannya, yaitu di kota
Altoona, Pennsylvania.
***
Aku dan Brayden sudah berada di kota Altoona yang merupakan kota tempat Brayden memesan gaun pengantin.
Kami menginap dirumah James dan Nathalie yang merupakan teman akrab kedua orang
tuaku. Besok sore rencananya kami membawa gaun itu ke Boutique asalnya.
Brayden sudah terlelap di sampingku, sementara aku yang berada
dalam pelukannya sama sekali tidak bisa tidur karena merasa seperti ada yang
mengawasiku dari tadi.
Hari sudah semakin sore, aku dan calon suamiku ini pun sedang
bergegas menuju Boutique. Jarak yang
ditempuh tidak terlalu jauh sehingga kami memutuskan untuk jalan kaki. Sesampainya
di sana, yang kami dapat hanyalah rasa kecewa, karena Boutique itu terlihat sepi. Kami sempat bertanya dengan warga
sekitar mengenai Boutique itu. Menurut
mereka tempat itu bangkrut dan tidak beroprasi lagi, sementara pemiliknya sudah
pindah ke kota lain. Dengan perasaan kecewa kami pun memilih untuk pulang ke
rumah James dan Nathalie.
Kami baru tiba di kediaman James setelah langit nampak gelap.
Sepertinya mereka melihat raut sedih di wajah
kami, dan dengan sedikit berat akhirnya kami pun menceritakan kejadian-kejadian
aneh di rumah Brayden, tetapi kami tidak menceritakan tentang kematian Lisa.
Aku menunjukkan gaun itu karena Lucas dan Nancy yang merupakan anak dari James
dan Nathalie ini terlihat cukup penasaran. Raut wajah mereka berubah dengan
cepat! Mereka semua terlihat seperti orang ketakutan, bahkan Nancy jatuh
terduduk setelah melihat gaun itu. Dengan sedikit ragu dan takut, akhirnya Nathalie
pun menceritakan kisah tentang gaun yang sekarang ada di genggamanku ini.
***
Kisah
tentang gaun itu bermula ketika seorang pandai besi kaya raya bernama Elias
Baker, ingin menikahkan putri bungsunya yang bernama Anna. Elias. Elias Baker
ingin keluarganya selalu dikelilingi oleh sesuatu yang berharga dan mahal. Tak
disangka, Anna ternyata jatuh hati pada seorang pria miskin yang bekerja untuk
ayahnya. Elias menolak permintaan putrinya untuk menikahkannya dengan pemuda
miskin itu. Dia lalu mengusir pemuda malang itu dari kampung halaman mereka
yaitu Altoona, Pennsylvania.
Kesetiaan
cinta Anna pada pemuda itu membuatnya menjadi seorang perawan tua seumur
hidupnya. Anna begitu marah pada ayahnya karena tidak membiarkannya jatuh cinta
atau menikah dengan seseorang yang sangat dicintainya itu, dan kemarahan itu
dibawanya sampai ke liang lahat, ketika dirinya meninggal pada tahun 1914.
Rupanya, sebelum kepergian pemuda itu, Anna
sudah memilih sebuah gaun pengantin cantik yang akan di kenakannya saat
menikah. Namun karena pernikahan itu tidak terlaksana seperti apa yang
diharapkannya, seorang wanita dari keluarga kaya lain di daerahnya kemudian
mengambil gaun itu. Gaun itu kemudian berpindah-pindah tangan dan kini ditempatkan
di rumah keluarga Baker yang telah dialihfungsikan sebagai museum.
***
Aku
merinding dan juga takut mendengar cerita dari Nathalie. James menyuruhku dan
Brayden untuk membawa gaun itu kembali ke museum Blair County Historical Society di Baker Mansion, Altoona, namun belum sempat
kami melangkahkan kaki, mendadak angin kencang bertiup melewati pintu dan jendela
yang terbuka, kemudian dengan cepat semua jendela dan pintu rumah James itu
tertutup rapat dan lampu pun ikut padam!
***
Dadaku
terasa sesak dan sangat sulit bernafas. Ada rasa sakit yang sangat luar biasa
di perutku. Lampu ruang tengah ini terlihat remang. Dengan sisa tenaga yang ada,
aku mencoba hanya sekedar untuk duduk. Namun, betapa kagetnya aku saat mendapati
pisau yang tertancap di perutku. Walaupun sakit tapi aku mencoba untuk menarik
pisau itu.
Ternyata
rasa kagetku tidak hanya sampai di situ! Di ruangan ini tergeletak beberapa
tubuh yang sangat kukenal dan mereka semua berlumuran darah! Tangan kanan
Nathalie putus, sementara James kaki kanannya yang putus. Lucas dan Nancy pun
tidak kalah menyedihkan, dengan kepala yang hampir putus dan mata yang terlihat
membelalak.
Tangisku makin pecah ketika melihat tubuh tak
bernyawa tunanganku yang bersimbah darah. Kondisi Brayden pun juga mengenaskan!
Telinga kanannya hampir putus dan semua jarinya sudah tidak ada di tangan, kecuali
jari manisnya!
Aku
berteriak sekencang mungkin! Kudekati tubuh Brayden, kemudian menciumnya. Aku
pun memasangkan cincin yang ada di jari manisku, ke jari yang tersisa ditangannya,
yaitu jari manisnya!
Seperti
ada yang menggerakkan tanganku! Aku pun mulai mengambil pisau yang tergeletak
di lantai, kemudian mengarahkannya ke leherku. Di tengah lampu yang terlihat
cukup remang, aku melihat ada sosok wanita cantik memakai gaun pengantin dan
disampingnya ada lelaki yang terlihat cukup tampan. Sekuat tenaga aku mencoba
melawan tanganku sendiri yang ingin melukaiku itu, lalu setelah itu semuanya
gelap!
BIODATA
NARASI
Ricky
Douglas, seorang penulis muda kelahiran 14 Juli 1994 ini tinggal di Kabupaten
Ogan Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, dan sekarang sedang menempuh pendidikan
di Universitas Diponegoro Semarang. Profil lebih lengkap dari seorang penggila dunia sastra ini dapat kalian lihat
di Facebook: Ricky
Douglas, Twitter: @RickyDouglasz,
atau email : ricky_douglas@rocketmail.com
Terimakasih.
0 comments:
Post a Comment
Silahkan, semuanya dapat berkomentar. Namun, jadilah komentator yang cerdik dan beretika ya :)