Bagian Ke-6
Konflik
Rumah yang kami kunjungi kali ini
terbilang sangat megah. Bahkan, untuk melepas sepatu pun aku harus hati-hati sekali. Maklum, seluruh rumah Bu Rajab ini full
AC. Yah, takut saja kalau bau kaos
kaki-ku memenuhi seluruh seluk-beluk rumah. Kan malu jika beredar kabar bahwa
juragan kontrakan meninggal dengan mulut berbusa akibat bau kaki calon penyewa
kamarnya. Aku merinding membayangkan jika benar-benar terjadi.
Setelah menggsek-gesekkan kaki,
dan yakin tidak ada bau menyengat, aku pun melangkah semangat ke dalam rumah.
Kesan pertama, nampak dalam rumah jauh lebih megah daripada luar. Dengan arsitektur
dan detail-detail keren. Tapi rumah ini terlihat sepi.
“Rumah ini emang gak ada yang
nempatin mas. Kalo Ibu dan keluarga tinggal di rumah sebelah,” jelas Bu Rajab
seperti tahu persis dari raut muka-ku yang terlihat pelongoh.
“Iya, Buk. Sepi banget,” potong Yuk
Rika tak mau kalah mencuri perhatian. Hih!
“Kamarnya yang mana, Buk?” seka-ku.
Bu Rajab pun membimbing kami. Kamar
pertama di lantai dasar ini sangat luas. Bisa di-isi dua orang bahkan lebih.
Kasurnya king size! Aku jungkir
balik kesana-sini pun masih muat di kasurnya. Dan, kamar ini pun dilengkapi
kamar mandi dalam yang bernuansa alam. Jadi, kamar mandi ini ada taman mini di
dalamnya, dengan danau kecil dihiasi bebatuan dan di atasnya ada shower. Jangan
salah, ini kamar mandi ya bukan taman. Harganya?! Skip aja! Perutku terasa mual mendengarnya.
“Ayo kita ke lantai atas aja
anak-anak?” ajak Bu Rajab.
Wut??? Anak-anak??? Haaih, aku berasa anak TK yang lagi study tour keliling kebun binatang aja,
dengan seekor gajah di depanku yang dari tadi mulutnya menganga lebar melihat
kondisi rumah. Sadar sedang diperhatikan,
si gajah pun cemberut.
“Apa???” tanya Yuk Rika tegas.
“Gak kok Gaj—Eh, Yuk!”
Yuk Rika hanya mesem-mesem.
Sampai di lantai atas, tak kalah menarik. Lampu bergelantungan di langit-langit.
Lampu kecil mengelilingi lampu besar nan megah. Wah, di sini jauh lebih nyaman.
“Kalau di lantai atas ada empat kamar. Tapi satu kamarnya udah terisi. Satu
lagi ibu jadiin gudang baju-baju. Nah, dua kamar lainnya masih kosong,” ucap Bu
Rajab.
“Wah, bagus-bagus yaa buk kamarnya,” ucapku terpanah asmara melihat
tumpukan kasur.
Dua kamar yang kosong lumayan unik. Satu kamar bergaya jepang dengan
pintu geser yang dibuka ke arah samping. Kamar satunya lagi berhias jendela
yang langsung menghadap gedung-gedung kota Jakarta.
“Ayuk kamar yang ini yaa,” bisik Yuk Rika mengejutkan.
“Iyee. Gua udah paham lu emang maunya enak sendiri. Wuuu,” cibir gua tak
kalah sengit. Yuk Rika melotot mendengar jawabanku.
Sadar dengan aura perkelahianku dan Yuk Rika, Bu Rajab pun membuka
obrolan, “Tenang aja, kamarnya kan ada dua,” ujarnya menahan geli. “Atau mau di
kamar satunya?”
“Kamar yang gudang baju, Buk?” tanyaku. “Mau dong! Sekalian bajunya jadi
bonus ya, Buk?”
“Oh, boleh,” kata Bu Rajab ramah. “Tapi beneran harus dipake ya baju,
lanjutnya.
“Wah pasti!”
Kami ke kamar satunya. Pintu pun dibuka. Walaupun dengan sebutan
embel-embel gudang, tapi di sini tak ada bau pengap sama sekali.
“Taraaa.” Bu Rajab membentangkan tangan. Seolah-olah memperkenalkan
dunianya.
Lho, ini kan baju gamis cwe??? Dih,
yang ini malah tumpukan jilbab! batinku saat melihat sekeliling kamar.
“Gak dipake sekrang aja mas baju-bajunya?” pancing Bu Rajab.
“Anggh... emmmm... gak deh buk.”
“Hahahaha,” tawanya pecah.
Sementara Yuk Rika hanya sibuk melirik-lirik gamis dan jilbab di kamar itu.
“Hee ayok ke sana. Bu Rajabnya udah ke teras depan tuh,” tegurku pada Yuk
Rika. “Mau nyolong ya?” lanjutku sambil bersidekap.
“Enak aja nyolong! Gak elit banget sih. Todong langsung dong ke Ibu-nya!”
“Hih, dasar jiwa penjahat!”
Kami pun berkeliling melihat teras depan, lapangan kosong di belakang
kamar yang ada di lantai dua, juga tak kalah menariknya ternyata di lantai
dasar ada sebuah taman mini di dalam rumah.
“Wuaaaah keren banget nih, Buk. Saya bisa bikin novel nih sambil
nongkrong di sini.”
“Yodah buk nanti kita kabari lagi yaa. Kalau masalah harga sih udah
cocok,” ucap Yuk Rika.
Begitulah sepintas kenangan terindah di rumah Bu Rajab. Rumah yang ingin
sekali kutempati untuk membuah karya-karya sastraku. Tapi, duh, kesal sekali
dengan perangai Yuk Rika yang tadinya bilang suka, eh malah sekarang berubah
pikiran.
“Kenapa sih, Yuk? Kan enak di rumah Bu Rajab?”
“Enak sih. Enak banget malah. Tapi, masa harganya bisa berubah gitu.
Padahal belum ada sejam kita tinggal bentar,” tutur Yuk Rika.
“Yaelah naik seratus ribu doang.”
“Tapi tetap aja gak konsisten! Lagian tuh yaaa, si Ibu dan keluarganya
akses dia ke rumah kontrakan tuh lues banget. Maklum sih, kan rumah
kontrakan sama rumah Bu Rajab gak terpisah apapun. Jadinya Ayuk rada males.”
“Why?”
“Gak ada priviasi aja.”
“Lhaa terus untungnya rumah ijo yang deket warnet itu apa coba? Kenapa
milih tuh kontrakan?” sekatku tak mau kalah.
“Yaaah setidaknya dia rumah sendirian, walopun masuk gang-gang kecil
banget sih.”
“Nah tuh tau. Lagian di sana rame banget Yuk. Depan rumahnya ada warnet
gitu, jadinya bising. Malah lebih gak privite.”
Kami mengakhiri obrolan yang jika diteruskan bakal mermbet kemana mana
ini, lalu beranjak pulang setelah adzan magrib sudah lama berlalu.
***
Keesokan harinya pun masih dalam proses pencarian. Sebelum mengelilingi
kota, Yuk Rika membawaku ke salah satu warung makan di dekat kawasan
Universitas Pancasila.
“Gileee tuh laundry-an banyak banget,” tegur Yuk rika saat kami
melintasi rel tanpa palang.
“Iyaaa nih. Cucian kotor dari Semarang ada satu dus. Gak sempet laundry.
Mahal gak yaa laundry di Jakarta?” tanyaku khawatir.
“Satu kilonya tujuh ribu,” ucap Yuk Rika enteng.
“Haaaa??? Serius L???” tanyaku dengan bahasa alay anak Jakarta. “Kalo di
Semarang mah cuma tiga ribu. Ini gak bisa dibiarkan!!! Ini namanya diskriminasi
daerah!!! Masa beda harganya jauh banget coba?!” Aku berapi-api.
“Tuh di depan udah ada laundry’an.
Protes aja sono!”
“Oke. Tolong jangan halangi harimau yang hendak mengaum ini ya!” tuturku
diplomatis.
“Baiklah. Ayo kita mengaum,” balas Yuk Rika.
Sampai di tempat laundry. Hatiku sudah acak kadut melihat banner yang
tertera angka tujuh ribu perkilo. Hah!
“Selamat siang, ucapku angkuh.
“Iya? Mau laundry?” tanya ramah perempuan paruh baya ini.
“Ehem, iya saya mau laundry,” jawabku dengan dada dibusungkan.
Sepuluh menit kemudian.
“Iya mbaa. Jadi saya tuh rada syok aja. Mahal semua di sini. Makan
perkedel plus sayur aja habis 17 ribu,” ucapku sedih. “Belum lagi panas kota
Jakarta. Aduh, polusi semua yaa."
“Bikin jerawatan,” sambar tukang laundry.
“Iya nih, Mba. Kulit aku jadi jerawat banget di sini. Padahal sebelumnya
gak pernah jerawatan lho. Suer. Baru di Jakarta beberapa hari udah tumbuh dua
biji jerawat.”
“Mana jerawatnya??” tanya Mba laundry antusias.
“Nih, Mbaa.” Aku menunjuk pipi bagian kiri. “Ngerusak pernampilan banget
kan?”
“Gak juga kok. Masih ganteng,” ucapnya diselingi tawa. Aku pun tertawa
mendengar celotehannya.
“Udah dulu yaa, Mbaa. Nanti bayarnya pas ambil aja ya?”
“Oke, terimakasih Mas.”
Aku dan Yuk Rika pun bergegas pergi.
Di perjalanan, “Wah, ternyata kalau harimau mengaum serem banget yaa?
Baru dengar kalo harimau peduli banget sama jerawat,” sindir Yuk Rika. “Yakin
tuh lagi mengaum?” lanjutnya lagi.
Deg. Mati kutu.
“Em, itu lagi mengaum kok! Kalau harimau mengaum emang gitu! Harimau kan
raja hutan keleus, makanya harus peduli penampilan,” jawabku asal.
“Duh, gue mau muntah nih. Buka mulut dong,” ucap Yuk Rika menyebalkan.
“Nih pantat!” balasku.
Kami melanjutkan perjalan. Kali ini kembali mengelilingi daerah tebet.
Dari pagi, siang, sore, hasilnya masih mengecewakan. Dan, rapat darurat di
pinggir jalan pun kembali digelar.
“Jadi gimana nih? Kita udah empat hari nyari tapi gak ketemu-ketemu?"
“Wait,” balas Yuk Rika cepat. Ia terlihat sibuk sekali dengan iphone-nya.
“Idih orang lagi ngomong juga.”
“Iyaaa bentar. Bawel ah!” protesnya. “Nih gua dapet info dari teman SMA
gua. Dia sekarang nyewa apartemen di Jakarta Timur. Ada yang kosong tuh di
sana. Mau gak?” tawar Yuk Rika.
“Jaktim? Jauh dong ya dari Jaksel? Terus gua casting-nya gimana dong?”
tanyaku ragu. “Em, yodah gapap deh coba diliat aja dulu besok.”
“Oke.”
Besoknya, kami langsung menuju salah satu apartemen di Jaktim. Setelah
turun di stasiun Klender, angkot menjadi pilihan selanjutnya untuk mencapai
lokasi. Tiba di sana, suasana tidak terlalu ramai. Tidak bising. Kawasannya pun
rindang, banyak pepohonan. Apartemen terdiri dari tiga gedung; A, B, dan C. Kami
ke gedung A untuk bertemu orang yang menyewakan unitnya. Jadi teman Yuk Rika
hanya memberi informasi saja, tapi ia menyarankan silahkan cari diinternet
untuk sewa untinya. Alhasil, bertemulah kami dengan Pak Sudiro.
“Ya, ini dia kondisi apartemennya, Pak. Ada dua kamar.”
Siang itu kami memasuki salah satu kamar apartemen. Cukup indah, dengan
jendela yang langsung menghadap kolam renang.
Setelah memberi tahu harga, ternyata tidak sesuai sama apa yang tertulis
di-internet. Kami masih harus membayar biaya keamanan, service kamar, dll.
Intinya satu bulan menambah sekitar 250 ribu. Modal nekat, aku pun menelpon
orang tua untuk memberitahu perihal ini. DAN, bahagianya, sinyal hijau pun didapat. Ayahku setuju untuk kami tinggal di sini.
“Oke, Mas. Saya sewa yang tiga bulan ya. Besok udah bisa ditempati?”
tanyaku basa-basi pada pemilik.
“Besok? Wah belum bisa. Paling satu minggu lagi.”
“Haaa??? Lama banget sih Mas??? Gak bisa dipercepat?” potong Yuk Rika.
“Bisa sih, palingan tiga hari lagi.”
"Wah, gak bisa Mas. Kami mau pindahan besok. Soalnya di kosan yang lama
udah gak betah banget. Gak ada sinya, gak ada air. Besok bisa ya?” pancingku.
“Belum, Mas. Soalnya harus bikin surat perjanjian dan ngomong sama pihak
apartemen dulu.”
Inti dari pembicaraan ini, kami tidak jadi menyewa di sini. Selain ribet,
jika diakumulasikan, kamar sewa apartemen ini setahunnya bisa mencapai 25jt.
Walaupun orang tua sudah menyetujui, tapi sebagai anak yang tampan dan
pengertian, aku lebih baik mencari tempat yang lebih murah.
***
Malam hari di kosan Yuk Rika, kami sibuk mengistirahatkan badan.
“Jadi gimana nih? Kita udah lima harian lhoo kayak gini. Luntang-lantung
mulu,” ujarku membuka obrolan.
“Ayuk sih masih pengen yang kontrakan ijo deket warnet itu aja, Dek.
Lebih enak.”
“Enakan Bu Rajab,” balasku cepat.
“Ih, apaan sih! Jangan terlena cuma gara-gara megah. Tinggal sama orang
lain tuh gak enak rasanya. Kayak numpang di rumah orang,” balas Yuk Rika.
Belum sempat membalas ucapan Yuk Rika, dering hape pun membelah obrolan kami.
“Halo, Pak,” jawabku.
Ya, yang menelpon adalah orang tuaku. Aku pun mengadu tentang proses
pencarian kontrakan yang melelahkan ini.
“Tau tuh Yuk Rika. Masa gak jadi di tempat Bu Rajab gara-gara feeling dia
aja. Katanya gak enak tinggal bareng orang lain. Kata Yuk Rika, Bu Rajab kayaknya orangnya
cerewet. Duh, kan bikin gondok,” keluh kesahku panjang lebar.
“Mana sini Bapak mau ngomong sama Ayuk.”
Aku pun menyerahkan hape. Dan sesekali membantah, memotong ucapan dan
gagasan Yuk Rika. Hingga terjadilah perdebatan di anatara kami yang masih
terdengar orang tua di seberang telepon. Itulah kesalahan fatal! Beradu mulut di
depan orang tua, meski mereka tidak menyaksikan langsung, tapi aku yakin rasa
khawatir mereka akan semakin memuncak. Dan benar saja, setelah telepon di
tutup, setelah berjam-jam kemudian, sebuah panggilan masuk dari orang tua kami
pun kembali terdengar.
“Kalian ini bikin khawatir saja. Yaudah tenang-tenang. Jangan berantem.
Jangan cepat emosi. Besok bapak, Ibu, dek Okta, sama Mang Bidit ke Jakarta ya.
Kita cari kontrakan bareng-bareng.”
“Haaaa???” jawabku dan Yuk Rika serampak. Kami sama-sama kaget.
“Bukannya rencana ke Jakarta masih semingguan lagi?” tanyaku tak percaya.
“Iya. Tapi dipercepat karena kalian berantem terus. Udah, ini mau
siap-siap dulu. Nanti tengah malem mau berangkat,” ucap bapak.
Jadi, mereka nekat ke Jakarta cuma gara-gara mendengar perkelahian kami?
What the,...?! Agggrrhhh!!! Rasa penyesalan tiba-tiba menjalar. Lagi-lagi
merepotkan orang tua.
*Bersambung
*Bersambung
0 comments:
Post a Comment
Silahkan, semuanya dapat berkomentar. Namun, jadilah komentator yang cerdik dan beretika ya :)