Tuesday, May 12, 2015

RSWGF; Firasat aneh dari insial yang hilang

BY Ricky Douglas IN 3 comments




Firasat aneh dari insial yang hilang
By : Ricky Douglas

#1

            Beberapa di antaranya datang dari alam, lalu menelusuk relung hati tanpa pernah terjabar menjadi hal pasti yang mampu disebut logika. Mengaum dalam diam, membuat sekelebat perasaan aneh menjalar dan mengusik kedamaian. Tembok merah. Seringai seram. Wanita di atas ranjang. Kakek beruban. Sebuah pantai. Laki-laki setengah telanjang. Dering telepon. Tetes air mata. Malam hari. Titik bintang. Dan, kami berlima. Perasaan aneh itulah yang kali ini kuterka sebagai... firasat.

***
            Unsur alam pertama yang menyambutku di loteng ini adalah angin. Berputar-putar aneh di sekitar tengkuk. Suasana senyap, maklum, sudah lewat tengah malam. Berbekal laptop dalam pelukan, juga nyali yang tersusun abstrak dalam bungkusan tipis, aku berdiri di tengah kekosongan malam ini. Suasana tenang tapi menegangkan. Aneh.

            “Bukankah tempat seperti inilah yang selalu dielu-elukan para penulis, Mas? Malam hari. Semilir angin. Bulan setengah jadi. Atap loteng. Ah, gua yakin pasti lu sering menghasilkan karya di sini?” Setelah merebahkan badan di loteng kontrakan, kami terlibat obrolan santai yang menyenangkan.

            “Aku suka nongkrong di sini sih. Biasanya juga selonjoran sambil nulis cerpen hehe.”

            Namanya Wawan Esideika. Laki-laki yang jauh dari kata parlente ini ternyata menyimpan segudang cerita hidup yang cukup menarik. Mulai dari angkatan hujan yang selalu dijabarkannya dengan mata menerawang jauh. Pun, beberapa potongan kisah hidupnya yang tak kumengerti sepenuhnya. Dia, malam ini..., aneh! Suara tawa laki-laki Jawa tulen itu terasa lebih menggelegar dari biasanya. Mata yang sebelumnya bulat terasa lebih meruncing, menusuk titik kengerianku.

            “Eh, lu siapa sih? Mas Wawan bukan? Kok muka lu ngeri gitu, sumpah! Aura lu beda banget. Kayak dirasuki setan!” Aku memukul pelan pundak laki-laki itu. Kalimat serapah muncul dari bibirku karena leluconnya dengan mimik muka yang dibuat seram itu mampu mengusik kedamaian.

            “Apa sih Glass? Masa mukaku serem? Haha. Eh, hape kamu layarnya nyala tuh! Ada notif mungkin.”

***
            Aku percaya bahwa peran manusia itu seperti lingkaran rantai. Satu sama lain sebenarnya terhubung dengan ikatan kuat. Hanya saja, ikatan itu sering samar, bahkan ada yang belum sempurna membentuk sebuah lingkaran. Namaku Rara Aywara. Gadis berperawakan kecil dengan sejuta imajinasinya. Lama-lamat, duniaku menjadi satu dengan khayalan yang tak kunjung kumengerti artinya.

            Barisan tembok bercat merah mengisi semua pandanganku malam ini. Jalan setapak di depannya tak lebih dari tiga meter. Angin melarung terlalu sadis membuat kuduk berdiri. Anehnya, ada transisi momen yang langsung menghantarkanku ke sebuah ruang waktu berbeda. 

Hamparan gurun tak ada tiik ujung dipandangan mata. Matahari terik membuat kerongkongan haus belaian air. Saat itu aku berjalan di tengah gurun pasir dengan dua temanku, Glass dan Lugina WG. Mataku mulai meremang. Aku tersungkur dengan kepala menghadap samping kanan. Beberapa pasir panas terdampar di pipiku. Kulihat, Glass dan Lugina pun bernasip sama. Tubuh mereka terlentang di hamparan gurun dengan dada kembang kempis.

Sekelebat bayangan hitam menarik tanganku dari kesadaran yang hampir punah. Ia mencengkran leherku, kuat sekali. Dilemparkannya tubuh mungil ini ke sana-kemari. Aku sekarat. Ke dua temanku pun bernasib sama. Pandangan mata mereka kosong. Selanjutnya, transisi moment itu kembali menghantarkan adegan di tempat yang berbeda. 

Dinding masih bercat merah. Suasana temaram. Di sudut ruangan, ada sosok nenek memakai baju bernuansa serba putih, dengan rambut gimbal yang mengembang panjang hingga menyentuh kaki. Nenek berwajah pucat itu tersenyum penuh makna pada dua laki-laki yang terlelap di atas kasur. Ia tertawa ngeri menggelegar.

***
“Lho, apa maksud dari pesan Mba Rara, ya?” tanyaku penasaran setelah membaca isi pesan whatsapp dari temanku itu.

“Iya tuh. Dia mimpi, kan? Serem banget mimpinya Mba Ara.” 

Laki-laki di sampingku ini mulai mengepulkan asap rokoknya ke udara, membentuk bulatan kecil yang bertebrangan. Angin sepoi kembali mengerubungi tengkuk-ku. Bulu-bulu halus di lengan pun bahkan ikut berdiri.

“Mas Wawan... pasti di sini banyak setan, ya?” tanyaku tiba-tiba dengan tubuh menggigil.

“Hahaha, enggak ada apa-apa kok,” pungkasnya.

Dering ponsel kembali berbuyi secara runtut, menandakan ada beberapa pesan masuk. Mataku bersitatap dengan Mas Wawan. Baru saja aku mempertanyakan hal mistis, tiba-tiba ponselku berdering. Ah, seperti di film-film saja!

***
Tubuh setengah telajangku berjalan gagah menuju kolam berisi manusia-manusia yang berpenampilan sama denganku, setengah telanjang! Dari atas kolam, aku menyaksikan pergumulan mereka yang begitu kentara ada nafsu menggebu di sana. Riak-riak air tercipta akibat hentakan tubuh mereka. Puluhan pakaian dalam wanita mengapung memenuhi kolam. Perutku mual menyaksikan adegan-adegan itu.

“Sayfullan, ayo sini ikutan nyebur ke kolam!” teriak slah satu wanita padaku.

Ah, lupakan tentang kolam maksiat itu! Aku yakin tak akan ada kedamaian yang bisa kuraup darinya. Bukan kedamaian sesaat dari maksiat yang kuinginkan. Aku ingin memiliki ketenangan abadi. Kurajut langkah menjauh dari kolam.

Sekarang aku mirip orang gila. Malam hari dengan bulan sabitnya menemani laki-laki yang hanya mengenakan boxer ini. Aku berjalan tak tentu arah. Menembus gulita-gulita bak  pencari jejak ulung. Kepala tertunduk. Aku kesal!

“Kamu kenapa?”

Suara berat tapi terasa getir membuatku hampir melonjak saking terkejutnya. Aku mendangak. Ada sosok kakek-kakek berambut keriting pajang dengan kombinasi uban yang berdiri di hadapanku sekarang.

“Ehem. Em, enggak kok, Kek.  Saya cuma lagi kesal aja.”

“Kalau Kakek boleh tahu, kamu kesal kenapa, Nak?” tanya dia seperti penasaran dengan kisahku. 

Aku melirik bajunya yang usang, berdebu. “Tadi mau renang, tapi enggak jadi gara-gara kolam renangnya terlalu ramai, Pak,” rutukku.

“Berenanglah di Pantai saja.” Ia berjalan pelan, anehnya aku pun mengikuti langkah laki-laki renta itu.

----------
Suasana pantai didominasi ketenangan yang tulus dari alam. Tanpa ikut campur tangan manusia memalsukan kesejukkan malam ini. Aku berdiri mematung menghadap hamparan air. Tangan merentang lebar-lebar. Sepertinya, kakiku mempunyai pikiran sendiri untuk berjalan masuk ke dalam air dangkal di bibir pantai itu, hingga airnya makin tinggi dan hampir membuatku tenggelam. Aku merasa ada bongkahan kekosongan di dalam jiwaku. Ada sesuatu yang tercuri dari tubuhku. Tapi, entahlah. Apa itu hanya firasat? Tubuhku makin hanyut terbawa air yang sudah menggenangi sebatas leher. Namun, melihatku sekarat di dalam air, Kakek itu justru tertawa menyeramkan. Ia memberikan wejangan yang sulit kumengerti. 

***
            “Lho, kok? Em, Bang Ipul mimpi aneh juga ya? Kok bisa bareng gitu mimpinya sama Mba Rara?” tanyaku heran kepada Mas Wawan yang kuterka ada sinar keterkejutan juga di matanya.

            Pandangan mata Mas Wawan kembali aneh. Tangannya gemetar. Ia menyesap panjang rokok di sela jari, lalu membuang puntung rokoknya. “Ayo kita turun! Ada yang enggak beres nih,” ajaknya padaku.

            Melihat perubahan sikapnya, kontan saja aku panik. Kuterkam sisi kaos yang dikenakannya, berharap laki-laki itu menungguku yang sedikit tak siap akan ajakannya. Dengan tergesa, kami menuruni anak tangga, namun, suara geraman yang sangat kuat terdengar menghantar kepergian kami dari atap loteng. Suara itu seperti sengaja mengusir kami.

            Pungguku bersandar pada tembok bercat merah di kamar Mas Wawan. Aku menatap jalanan yang tak lebih tiga meter dari celah jendela. Kami hening. Mencoba menenangkan pikiran masing-masing. Serangkaian kejadian mulai kami terka maksud yang ingin disampaikan alam. Mulai dari cerita Mba Rara yang baru saja mengalami mimpi buurk, disusul Bang Ipul yang mengalami hal sama. Mimpi mereka seperti mempunyai benang merah yang saling terhubung satu sama lain. Nenek berambut panjang. Kakek berambut gimbal. Padang pasir yang terik. Sebuah pantai yang damai. Semilir angin. Terik mentari.  Belum sempat kami mengatur napas, tiba-tiba suara ponsel kembali berdering. Namun, kali ini giliran ponsel Mas Wawan yang berbunyi. Mata kami saling beradu.



Catatan Penulis :
            Cerita di atas sepenuhnya merupakan kisah nyata yang dialami Penulis (Ricky Douglas), Wawan Esideika, Rara Aywara, Sayffulan, Furqonie Akbar. Firasat lewat mimpi dan serangkaian kejadian-kejadian aneh ini dialami kemarin malam (11 Mei 2015). Cerita ini belum usai, karena masih banyak serangkain firasat yang entah kenapa mempersatukan kami dalam suatu lingkaran aneh yang absurd.




Tentang Penulis

            Ricky Douglas. Bisa dipanggil Douglas atau dipersingkat lagi menjadi Dog. Berkat nama inilah membuat orang lain sering terbahak ketika melafalkannya. Lahir pada tanggal 14 Juli 1994. Hoby berimajinasi tentang segala hal, termasuk kematian. Kalian bisa membaca beberapa jejak hidup saya di blog : rickydouglass.blogspot.com atau Twitter : @Ricky Douglas.  Salam budaya!


Malam Pertama

BY Ricky Douglas IN No comments




            Di dunia ini, ada dua hal yang kubenci. Pertama, janji. Kedua, ikatan. Setahu dan sepemahamanku tentang perkataan, janji itu adalah ajang kebohongan, sarang bagi mulut-mulut yang tak mengerti betapa sakralnya sebuah ucapan. Begitupun juga ikatan, kesuciannya telah banyak direnggut egoisme manusia akan kepuasan jenaka hidupnya. Sebuah pemerkosaan otak oleh muslihat ucapan hingga orgasme menghasilkan ikatan setan. Hanya dijadikan alasan untuk meliuk di ranjang. Tuhan, aku benci manusia. Menurutku, manusia adalah produk gagal yang telah kau ciptakan dari tangan iseng-Mu itu. Maka itu aku ada. Unsur di antara setan dan malaikat. 

***
            Semua mata melihat padaku. Mereka menguliti dari atas sampai titik terbawah tubuhku. Pergi sana, gadis aneh! Seperti itulah yang bisa kuterka dari pandangan kejam mata-mata itu. Biarlah, mereka hanya menormalkan sesuatu yang dianggap kebanyakan orang sebagai hal lumrah. Apa salahnya kalau gadis berjilbab dengan rok panjang dan lebar ini memasuki studio tatto? Siapa yang menormalitaskan suatu hal? 

            Tak peduli dengan mata sadis mereka, kini aku telah duduk kemayu di sofa ruang tatto, menunggu kehadiran sang seniman pelukis sejarah di kulit itu. Ruangan ini sepi. Hanya ada aku dan jarum-jarum tatto. Suara gaduh tertangkap gendang telingaku dari arah dalam ruangan kecil di sudut ruang besar ini. Kemudian,  sosok laki-laki bertindik tergagap berjalan ke arahku. Ia tersenyum dipaksakan. Senyum palsu, memuakkan! 

            “Maaf lama nunggu ya, Mba.” Ia menyapa dengan senyum yang jauh lebih dipaksakan.
Mataku beralih pada bercak kemerahan yang menempel di siku kirinya. Itu darah! Aku paham benar aroma khas yang ditimbulkannya! Kemudian, ada sosok lain yang mengekor laki-laki itu di belakangnya, keluar dari ruangan yang sama. Laki-laki satunya terlihat jauh lebih gagah.

“Jangan lupa datang ke pernikahanku!” Ia memegang pundak laki-laki pemilik studio tatto, lalu merajut jalan dengan busungan dada sombongnya. 

“Jonathan, kau mau ke mana?!”

Ada yang aneh dari mereka! 

“Kamu bisa mulai mentato-ku sekarang,” sekatku membuyarkan tatapan sendunya melihat laki-laki itu pergi.

“Mau tatto di bagian mana, Mba?” Ia sibuk mempersiapkaan segal hal. 

Mataku memicing mendengar pertanyaannya. Di bagian mana? Hm.... Aku berdiri—yang lagi-lagi bergaya kemayu—kancing demi kancing berhasil kubuka. Jilbab yang biasanya jadi topeng ini kutanggalkan tanpa pamrih. Hai, lihatlah dua gundukan ini! Menggiurkan, bukan?! Kini giliran jeans sialan ini yang kulepas, menampilkan sesuatu rimbun di inti tubuhku.  Lalu, bola mata cokelatku beralih menusuk retina laki-laki itu. Namun, ekspresi yang kuharapkan tak dapat kunikmati. Ia menatap datar ke tubuhku tanpa riak apa pun, sial! Aku mengamit tangannya, lalu mengalungkan lengan kiri ke lehernya. Lengan dengan siku berdarah itu terasa menggelitik lidahku. Kujilati sikunya yang kemerahan dan masih bertitik daraah segar. Ah, ada sesuatu yang basah di bawah sana. Hasrat liarku membuncah. Laki-laki gagah itu! 

“Buatkan aku tatto di dekat organ intimku. Em, tolong tuliskan sebuah nama di sana.”  

“Banyak sekai nama laki-laki di sekujur tubuhmu. Kali ini, kau mau menuliskan nama siapa?” matanya menerawang mataku.

Aku tersnyum, “Jonathan.” Kali ini aku bisa menangkap ekspresi terkejut dari raut wajahnya. 

***

Cincin bagiku merupakan sebuah pertanda pengekangan. Cinta yang berbalut penyiksaan. Sebuah kamuflase pembodohan laki-laki terhadap wanita. Bagiku, cincin itu bukan berkata “aku mencintaimu” tapi, “jadilah budakku”. Bagaimana mungkin derajat wanita digeneralisasikan berada di bawah laki-laki? Dengan iming-iming alkitab sialan yang bagiku telah lapuk dimakan zaman. Itu lelucon paling bodoh yang pernah kudengar. Para wanita, jangan mau berdiri dan menyesap di bawah ketiak laki-laki! Terbuai dengan lidah-lidah biadab mereka.

Puluhan bingkaai foto dengan coretan tinta merah berhasil menyita malam hari ini. Aku memandang tubuh telanjangku. Menelusuri setiap tatto nama di sekujur tubuh, kemudian melihat foto-foto yang tertempel di dinding. Yah, dengan cara inilah aku mengenang kebaikanku. Gadis aneh bernama Arinta Aghea Warashi yang membantu para wanita bodoh keluar dari belenggu ikatan. Aku ada. Sebagai penyelamat kalian, para wanita!
***
“Kamu serius? Bukannya enggak mau sih, tapi aneh aja etelah empat tahun kita pacaran, dan selama itu pula aku nyuruh kamu nikahin aku, tapi, kenapa sekarang kamu berubah pikiran?” 

“Sayang, mungkin ini sudah waktunya kita saling mengikat satu sama lain. Kamu mau kan jadi istri aku?”

“Pertanyaan macam apa itu! Pasti aku mau dong jadi istri kamu!” 

Aku mencium mesra bibir ranum wanita ini. Lidahnya melilit dan mengguyur mulutku dengan ludah lengketnya. Aneh, seluruh saraf di tubuhku rasanya ingin menyatu dengan tubuh wanita mungil ini. Sebelah tangganku yang semula memegang stir mobil, kini beralih ke kaitan bra di punggungnya. Setelah itu, pernikahan yang kami idamkan menjadi gelap. Bulan pun tak akan mampu meneranginya walau hanya setitik cahaya pendar. Karena setelah ciuman mesra itu, semuanya menjadi hilang tak bersisa saat sebuah truk menghantam mobil kami.

***

Rumah megah ini benar-benar sepi. Hanya ada satu rintihan kecil yang samar merambat indera pendengaranku. Itu mereka! Suara menijikan! Malam ini aku mengenakan jamper tebal berwarna hitam. Mudah sekali menyusup ke rumah ini, tak ada pengamanan sama sekali. Tanganku menenteng rantai perak yang telah kupersiapkan dari rumah.  

Napas sengaja dihela pelan-pelan, di dalam kamar, aku melihat pergumulan dua manusia yang setengah telanjang. Jonathan dan Rahajeng. Aku mengintip mereka dari  celah pintu yang terbuka. Tenang wanita, aku akan membebaskan dirimu dari kepura-puraan cinta. Lihat saja. 

Pergumulan mereka terhenti. Laki-laki bertubuh tegap itu mengambil jeda dari penautan bibir yang cukup lama dengan pengantin wanitanya, Rahajeng! Ia mengusap kening yang sepertinya berkeringat. Kemudian, laki-laki itu berjalan menuju kamar mandi di dalam ruaang tidurnya. Ini kesempatanku!

***

            Ruang kamar gelap. Benar-benar tak ada celah yang mampu menghantarkan cahaya sekecil apa pun masuk. Laki-laki itu berdiri tepat di depanku. Dari ricau suaranya, aku mampu menangkap keanehan dari dirinya yang menyadari kalau ruangan telah gulita. Ah, biarlah. Saatnya aku bergerilya. 

            Ke dua kakiku mengalung di pinggang Jonathan. Aku mendekap, melilit tubuhnya agar merapat ke unsur kenikmatanku. Kuciumi setiap lekuk wajah laki-laki ini. Tak ada desahan dari bibir merahku. Hanya ada hujaman demi hujaman dari daging tak bertulang yang entah kenapa sekarang justru terasa lebih keras dari biasanya. Oh, aku menikmati permainan laki-laki ini, sungguh! Malam pertama yang indah.

            Mulutnya kusekap dengan mulutku. Tubuhnya kutindih dengan bobotku yang tak seberapa. Pinggulku naik turun pelan sekali. Ini segera dimulai, Jonathan! Aku meliuk lebih ganas dari sebelumnya. Naik turun lebih sadis layaknya memacu kuda liar. Kuputar tubuh membelakanginya dengan organ intim yang masih menempel satu sama lain! Aku menyeringai. Laki-laki biadab! Tak ada yang namanya cinta dan ikatan suci jika kaum kalian masih ada. Biarkan hanya ada wanita di dunia ini. Pinggulku menghentak dengan keras ke samping kiri-kanan-depan-belakang. Jonathan meringis kesakitan. Ia meronta. Kulit di tengah selangkangannya terjepit di lubang sempitku. Dengan hentakan berkali-kali, aku merasakan ada carian yang keluar dari dalam sana, bukan darah perawan karena aku tak perawan! Tapi, penis Jonathan patah. Terkulai. Berdarah. Aku tertawa. Terpingkal. Bahagia luar biasa. 

            “Rahajeng! Lebih baik kau mati!”

            Terikan kencang menggema dan seketika memenuhi ruangan ini, diikuti sebuah benda melesat ke arahku yang kuterka itu adalah pisau, lalu lesatannya mampu memotong sisi kanan rambut panajngku. Tubuh menegang. Kontan saja serangan itu membuatku merinding. Ada yang mencoba membunuh wanita ini, Rahajeng!

            Dalam pendar lampu. Siluet bayangan sosok itu seketika bergerak cepat menujuku. Tak bisa dihindari, ia berhasil mencengkram leherku. Kuku panjangnya menancap di sisi-sisi batang leher. Jarinya menekan kerongkongan. Napasku mengendur, pening berkelanjutan mengisi otak. Aku terkulai, sebelum akhirnya mampu meraih vas bunga di atas meja lalu menghantam kepala laki-laki misterius itu. Bau darah semakin semerbak. Pecahan kaca menempel di sisi kepalanya. Ia terjatuh.

            Dengan cepat, aku mengenakan pakaian seadanya lalu mencoba kabur. Namun, lengan laki-laki itu menahanku. Ia menerjang tepat di perut. Dan, yang tak kuduga, tikaman tepat di payudaraku ia hadiahkan sebagai salam perkenalan. Aku kalah. Tubuhku lemas terjatuh dalam pelukan laki-laki misterius itu. Bermula dari kepala yang bersandar di bahunya, lalu perlahan berangsur jatuh tak berdaya melewati dada, pinggang, dan akhirnya bersimpuh, berlutut di hadapan si bangsat ini! Mataku melotot. Seringai bengis kutawarkan sebagai pembalasan. Aku menusuk bongkahan di selangkangan laki-laki itu menggunakan pisau yang tertancap di dadaku. Ia teriak histeris. Seperti lolongaan anjing kelaparan. Ckh, dasar laki-laki lemah! 

            Kami berdua terkapar bersimbuh darah dengan muka saling berhadapan, dalam temaram, entah kenapa kesedihan mengisi seluruh paru-paruku saat ini. Cahaya perlahan mulai terlihat, kukira pintu neraka mulai terbuka untukku, ternyata kilatan terang itu berasal dari lampu kamar yang sudah menyalak. Rahajang yang sebelumnya kusekap di bawah ranjang, berhasil meloloskan diri. Ia memandang getir suami seharinya yang terkapar bersimbah darah di ranjang malam pertama mereka! Mataku kembali beralih kepada sosok di depanku. Ah, rupanya keterkejutan menghantarkan kematianku malam ini. Laki-laki itu adalah pemilik studio tatto tempo lalu. Kini, napasnya megap-megap, buliran air mata keluar dari mata pekatnya. Rasa sesak kembali kentara di ulu dadaku. Kilatan-kilatan samar yang makin jelas kebenarannya tiba-tiba meralung di benakku.

***

            “Nanti kalau kamu melamar aku, jangan pakai cincin sebagai pertanda rasa ya, Odin hehe.”

            “Lho kenapa, Rin?”

            “Enggak tahu juga sih, kurang suka aja kalau kesucian cinta dan ikatan dilambangkan dengan cincin.”

“Sayang, mungkin ini sudah waktunya kita saling mengikat satu sama lain. Arinta, kamu mau kan jadi istri aku?”

“Pertanyaan macam apa itu, Din! Pasti aku mau dong jadi istri kamu!” 

            Tubuhku dan Odin tergeletak serampangan di jurang, akibat ulah sembrono kami bermesraan di dalam mobil, berakhirlah tubuh dan tulang ini dalam kehancuran menyedihkan. Darah mengucur dari setiap bagian tubuh. Ia menatap sendu mataku. Serpihan kaca menancap di sisi kepalanya. Buliran air mata merembes keluar dari mata pekatnya. Calon suamiku. 

***

Cinta begitu kejam menguji manusia dengan takdir aneh yang ditawarkannya, bagiamana mungkin Tuhan begitu tega membiarkan kami menonton kematian orang yang dicintai sekaligus menikmati kematian masing-masing. Laki-laki di hadapanku ini. Aku mengingatnya, ia adalah suamiku yang belum sempat mengikatku dengan cincin sakralnya. Dengan gerakan perlahan, Odin—laki-laki pemilik studio tatto—menggenggam jemariku lalu memasangkan cincin yang dengan susah payah ia ambil dari saku celananya. Nampaknya ingatan calon suamiku itu juga pulih akibat tragedi ini. Benar kataku. Hal yang paling kubenci adalah ucapan dan ikatan. Karena keduanya adalah zat yang paling cepat menguap dan tak berbekas. 









Tentang Penulis




         Ricky Douglas. Bisa dipanggil Douglas atau dipersingkat lagi menjadi Dog. Berkat nama inilah membuat orang lain sering terbahak ketika melafalkannya. Lahir pada tanggal 14 Juli 1994. Hoby berimajinasi tentang segala hal, termasuk kematian. Kalian bisa membaca beberapa jejak hidup saya di blog : rickydouglass.blogspot.com atau Twitter : @Ricky Douglas.  Salam budaya!