Thursday, December 31, 2015

Ospek Kota Jakarta. Bagian Ke-8; Tempat Tinggal Baru.

BY Ricky Douglas IN 5 comments



Bagian Ke-8
Tempat Tinggal Baru

25 November 2015.
Gigiku bergemetak. Jantung berdegub manja-manja enak. Ah-ih-uh-ah-ih-uh, pandanganku menatap sang Ibu tua di depan. Dengan bibirnya—yang kini baru kusadari kalau bibir itu sungguh seperti malaikat pembawa kabar baik—ia pun memberitahu ada kontrakan kosong di samping mushola.  Huaaaa...!!! Kusalami sang Ibu tua dengan gerakan pangeran yang seperti ingin melamar sang Putri Raja. Kemudian, kuseret langkah ke samping mushola. Berlari dengan gaya yang entah kenapa saat itu suasana mendadak slow motion.
  
“Halo,” sapaku pada orang di seberang telepon. 

“Iya,” jawabnya. 

“Nama saya Ricky Douglas. Anak dari pasangan Rusman A Thalib dan Syurlina. Saya ingin meyewa kontrakan Ibu, bisa?” ucapku panjang lebar. Was-was sekali menunggu jawaban si Ibu. 

“Oiiyaaa kebetulan masih ada yang kosong. Mas di mana?”

“Ini saya di depan rumah kontrakan Ibu. Dapat no hape Ibu dari papan pengumuman yang ada di depan rumah kontrakan. Ibu sekarang di mana ya, Bu?” tanyaku tak sabar. 

“Saya di sini mas,” seka si Ibu. Kepalanya tiba-tiba saja nongol dari balik pagar. 

“Lho, Ibu tinggal di sini juga?”

Yaaaah tau gitu tadi gak usah telepon. Kan sayang pulsanya haha.  

Bu Neneng, itulah nama wanita paruh baya berkulit cokelat ini. Senyumnya hangat sekali. Kalau kalian menonton D Academy Asia, nah Bu Neneng sangat mirip dengan Kak Rose! Beliau mengajak-ku bertamasya ke kontrakan yang persis ada di samping rumah. Bergabung dengan rumah utama tapi juga terlihat terpisah. Aggrrh, sangat sulit mendeskripsikan kontrakan ini. Tempat yang lebih mirip kosan. Inilah penampakannya; 

GAMBAR MENYUSUL


“Bu Neneng,” ucapku mantab. Mataku menatap syahdu matanya. “Apapun yang terjadi, halangin orang lain untuk menyewa tempat ini. Saya pergi bentar ketemu orang tua saya di masjid  depan ya Bu,” lanjutku.

Bu Neneng hanya mengangguk dengan pandangan bingung melihat sikapku. 

Di persimpangan mushola, kupanggil Yuk Rika yang mencari kontrakan di pedalaman gang. Setelah memberitahunya kalau ada kontrakan kosong, kami pun menjemput orang tua dan selanjutnya bersamaan kembali mengunjungi Bu Neneng. 

Sekarang keluargaku tengah berbincang hangat dengan keluarga Bu Neneng. Ia menawarkan kopi Aceh. Kopi yang sangat pahit. Ah, aku tidak menyukai kopi kecuali dicampur susu. Keputusan telah diambil, kami meresmikan kontrakan Bu Neneng sebagai tempat tinggal baru. Yaey! Akhirnya! Aku merasa tempat ini sudah menunggu kedatangan kami. Selanjutnya, proses pemindahan barang! 


***

Semua barang di kos lama yuk Rika sudah masuk mobil. Sebelumnya kos ini terlihat seperti kapal pecah. Semua teman Yuk Rika di kosan ikut serta membantu proses pengangkatan barang. Hanya ada tiga orang, yaa karena memang cuma ada tiga kamar di lantai dasar ini. Mereka semua terlihat perkasa. Angkut sana, angkut sini. Otot menjembul di lengan-lengan mereka. Aku hanya bengong menyaksikan kejadian langkah ini.

“He, bengong aja! Bantuin dong!” rutuk Yuk Rika. 

“Sabar kali. Ini juga gua lagi bantuin kok,” bantahku.

“Bantuin dari Korea ha?!” Ia nyolot.

“Idih, biasanya tuh dari Hongkong bukan Korea!”

“Terserah gue dong,” balas Yuk Rika. “Jangan bengong keleus, sono bantuin!”

“Eh gua kan bilang ini lagi bantuin kali. Gua bantuin mikir gimana caranya semua barang ini bisa muat di mobil.”

“Idih alesan! Nih pantat!” ucap Yuk Rika sambil menirukan gayaku. 

Aku, Yuk Rika, Ibu, dan Mang Bidit sudah duduk siap di dalam mobil. Semua muka kami hanya tersesnyum kecut. Senyum paksa. Senyum menderita. Bagaimana tidak, jika duduk di dalam mobil sangat tak nyaman karena semua barang memenuhi sudut. Di sisi kananku ada gitar. Di atas pahaku ada TV. Kipas diletakkan di atas TV. Dan, wajan bergelantungan di kepalaku. Benar-benar miris, kan? Tak ada lagi celah kosong di dalam mobil ini. Semuanya terisi penuh. Bahkan, unttuk mengabadikan momen ini pun tak bisa karena saat itu aku tidak dapat bergerak sedikit pun. Yuk Rika dan Ibu yang ada  di kursi belakang pun tak kalah miris. Dari depan sini, wajah mereka tan nampak karena tertutup pigura besar yang menjadi benteng antara kami.

Dari Lenteng Agung, mobil yang bermuatan dipaksakan ini pun melaju ke Kalibata. Jalanan macet. Membuat pantat, leher, dan ketiakku tegang. Kesemutan. Leher tertekan sisi wajan. Ketiak mengangkang untuk memeluk tv, kipas angin, gitar, dan biola. Sedangkan pantat... entahlah, saat itu pokoknya terasa kesemutan sekujur tubuh. 

“Susah ya pindahan,” celetuk-ku.

“Iyaa ih,” balas Yuk Rika yang suaranya terdengar samar karena terhalang kardus-kardus juga pigura. 

“Duh!!! Awwww!!!” teriak-ku tiba-tiba. 

“Ado apo, Dek?” ucap Ibu antara kaget dan khawatir. Suaranya kental sekali dengan logat Palembang. 

“Aduuuhh Buk. Awwwww Tidaak!!! Arrrrrrggghhhh!!! Tolong!!!” teriak-ku makin kencang. 

“Ada apa sih dek Iki? Alay banget teriaknya,” ucap Yuk Rika tak berwelas asih. 

“Ketek aku gatal nih. Serius!!! Ini serius banget lhoo. Aku benar-benar serius,” ucapku mantab. 

“Yaa terus?” ujar Yuk Rika malas. 

“Iyaaa lu mikir dong. Tangan dan jari gua sekarang gak bisa bergerak. Ketimpa TV, kipas angin, gitar, biola, kardus, dan semua kawan-kawannya. Tolongin dong!!!’ ucapku merengek-rengek seperti bocah mau nyusu. “Ibu garukin dong, please. Ini aku gak bisa gerak lhoo. Duhh gatel banget!!! Awwww!!! Ini kayaknya ada semut deh di keteknya aku.”

“Ih!!! Masa minta garukin Ibuk!!! Ibu juga gak bisa gerak kalee,” balas Yuk Rika cepat. Padahal bukan jawaban dari dia yang kuharapkan. “Udah, coba lu gesek-gesekin aja. Mana tau tuh ketek bisa berganti kulit habis digesekin,” ucap Yuk Rika si makhluk stress. 

Aku pun mengikuti saran Yuk Rika. Mencoba mggesek-gesekkan ketek di jok mobil. Tapi gak bisa, kan posisi ketek aku sekarang lagi menganga, bukan terhimpit. 

“Aggrrrrrrh!!! Gak bisa!!!” teriak-ku makin panik. “Ini gatel banget woii Yuk, sumpah! Gak pernah ngerasaain ketek digigit semut apa, haa??”

“Gatel nian yo, Dek? Ibu gak bisa bantuin nih. Gak bisa gerak juga,” ujar Ibu dengan nada sedih. Pasrah. 

“Minta tolong Mang Bidit sana!” ucap Yuk Rika.

Ah! Betul! Minta tolong Mang Bidit aja! Dia kan di sampingku, lagi nyetir mobil sih. Tapi gpp ah. 

Dengan tatapan harap dan  mengiba, aku memasung pandangan ke bola mata Mang Bidit. Mimik muka dibuat selucu kucing yang memelas. 

“Riki mau minta tolong Mang Bidit buat garukin ketek Riki?” tanya Mang Bidit dengan wajah kaget. Aku mengangguk bahagia. 

“Gatal banget Mang. Yaaa Allah!!! Astaga dragon!!! Sekarang dua-dua ketek aku gatal semua!!! Aggrrrhh!!!" Aku meliuk-liuk kan badan. Mencoba menghilangkan rasa gatal.

“Tunggu,” ucap Mang Bidit.

Alhamdulilah ada yang mau garukin ketek-ku buahahaa, ucap batinku legah. 

Mendadak mobil menepi. Berhenti.

“Lho, lho... kok berhenti?” protesku.

Mang Bidit pun keluar mobil. Ia membuka pintu sampingku lalu mengambil barang-barang di sekitarku. 

Great idea! Tv, kardus, gitar, biola, panci, dan kawan-kawannya sudah diturunkan Mang Bidit. Dan sudah bisa kalian tebak kan hal apa yang terjadi selanjutnya. Dengan kekuatan Iblis, aku menggaruk-garuk sangat kencang di kedua ketek-ku. Rasa legahnya luar biasa tak terbayang dan tak terbayarkan oleh apapun. Hah, terimakasih Ya Allah Engkau berikan kenikmatan duniawi seperti ini. 

“Ayok jalan lagi!” ucapku bahagia.

Setelah kembali memasukkan barang-barang ke mobil, kami pun meneruskan perjalannan. Sampai di daerah kontrakan, mobil kami parkirkan di samping mushola. Bapak dan Dek Okta sudah menunggu di depan Mushola. Kami pun mengangkut barang ke dalam kontrakan sederhana.

Usai menata barang, ya walaupun banyak yang tidak dikeluarkan dari kardus karena ruangan di sini sempit, tapi aku masih bisa menikmatinya. Lingkungan di sini bersajah, nikmat. Tidak bising, tapi tidak sepi. Tetangganya tidak menggangu privasi orang, tapi juga tidak acuh. Semuanya terasa pas pada tempatnya. Sekarang, kami bisa menikmati tidur pulas malam ini. Aku, Yuk Rika, Ibu, dan Dek Okta tidur di kamar atas, sementara Bapak dan Mang Bidit tidur di kamar bawah. 

Terimakasih Ya Allah telah memberikan satu tempat bagiku di Jakarta. Apapun yang terjadi, dekatkanlah padaku orang yang hanya membawa kebaikan. Menuju hal positif. Aku hanya bisa senyum bahagia saat melihat keluargaku sudah tidur pulas malam ini. Setelah puas memandangi wajah mereka, aku pun hendak tidur sebelum akhirnya satu suara mengurungkan niatku. Suara dari gudang di samping kontrakan. Aku yang penasaran pun turun ke lantai bawah, lalu membuka pintu. 

Deg! Melihat pemandangan di dekat gudang, perutku tiba-tiba mual. Keringat bercucuran. 

“Ini kan?” ucapku tertahan.

*Bersambung









Monday, December 28, 2015

Privacy Policy

BY Ricky Douglas No comments

 

Kebijakan Privasi untuk Ricky Douglass

 
Jika Anda memerlukan informasi lebih lanjut atau memiliki pertanyaan tentang kebijakan privasi kami, jangan ragu untuk menghubungi kami melalui email di Privasi.
Pada http://rickydouglass.blogspot.co.id/ kita mempertimbangkan privasi dari pengunjung kami menjadi sangat penting. Dokumen kebijakan privasi ini menjelaskan secara rinci jenis informasi pribadi yang dikumpulkan dan dicatat oleh http://rickydouglass.blogspot.co.id/ dan bagaimana kami menggunakannya.
File log
Seperti banyak situs Web lain, http://rickydouglass.blogspot.co.id/ yang menggunakan file log. File-file ini hanya log pengunjung ke situs - biasanya prosedur standar untuk perusahaan hosting dan bagian hosting analisis layanan ini. Informasi di dalam file log meliputi protokol internet (IP) alamat, jenis browser, Internet Service Provider (ISP), tanggal / waktu cap, merujuk / keluar halaman, dan mungkin jumlah klik. Informasi ini digunakan untuk menganalisis kecenderungan, mengelola situs, melacak gerakan pengguna di sekitar lokasi, dan mengumpulkan informasi demografis. Alamat IP, dan lain informasi tersebut tidak terkait dengan informasi yang pribadi.



Cookies dan Web Beacon
http://rickydouglass.blogspot.co.id/ menggunakan cookies untuk menyimpan informasi tentang preferensi pengunjung, untuk merekam informasi pengguna tertentu pada halaman mana pengunjung situs mengakses atau kunjungan, dan untuk personalisasi atau menyesuaikan konten halaman web kami berdasarkan pengunjung 'jenis browser atau informasi lain yang mengirimkan pengunjung melalui browser mereka.



Cookie DoubleClick DART
→ Google, sebagai vendor pihak ketiga, menggunakan cookies untuk melayani iklan di http://rickydouglass.blogspot.co.id/.
→ Google menggunakan cookie DART memungkinkan untuk menampilkan iklan kepada pengunjung situs kami berdasarkan kunjungan mereka ke http://rickydouglass.blogspot.co.id/~~V dan situs lainnya di Internet.
→ Pengguna dapat membatalkan penggunaan cookie DART dengan mengunjungi kebijakan privasi jaringan iklan dan konten Google di URL berikut - http://www.google.com/privacy_ads.html
Iklan Mitra kami
Beberapa partner periklanan kami mungkin menggunakan cookies dan web beacon di situs kami. Mitra iklan kami meliputi .......


    
Google
Sementara masing-masing mitra iklan ini memiliki Kebijakan privasi mereka sendiri untuk situs mereka, sumber daya diperbarui dan hyperlink dipertahankan di sini: Kebijakan Privasi.Anda dapat berkonsultasi daftar ini untuk menemukan kebijakan privasi untuk masing-masing mitra iklan http://rickydouglass.blogspot.co.id/.
Server-server iklan pihak ketiga atau jaringan iklan dengan menggunakan teknologi iklan di masing-masing dan link yang muncul di http://rickydouglass.blogspot.co.id/ dan yang dikirim langsung ke browser Anda. Mereka secara otomatis menerima alamat IP anda ketika hal ini terjadi. Teknologi lainnya (seperti cookies, JavaScript, atau Web Beacon) juga dapat digunakan oleh jaringan iklan pihak ketiga situs kami untuk mengukur efektivitas kampanye iklan mereka dan / atau untuk personalisasi konten iklan yang Anda lihat di situs.
http://rickydouglass.blogspot.co.id/ tidak memiliki akses ke atau kontrol terhadap cookies yang digunakan oleh pihak ketiga pemasang iklan.
Pihak Ketiga Kebijakan Privasi
Anda harus berkonsultasi dengan kebijakan privasi masing-masing dari server iklan pihak ketiga untuk informasi lebih rinci tentang praktek-praktek mereka serta untuk petunjuk tentang cara opt-out dari praktek-praktek tertentu. http://rickydouglass.blogspot.co.id/'s kebijakan privasi tidak berlaku untuk, dan kita tidak dapat mengontrol kegiatan, pengiklan lain seperti atau situs web. Anda mungkin menemukan daftar komprehensif kebijakan privasi ini dan link mereka di sini: Link Kebijakan Privasi.
Jika Anda ingin menonaktifkan cookie, Anda dapat melakukannya melalui individu pilihan browser. Informasi lebih lanjut tentang cookie manajemen khusus dengan web browser dapat ditemukan di website masing-masing browser '. Apakah Cookies?
Informasi Anak
Kami percaya bahwa sangat penting untuk memberikan perlindungan tambahan untuk anak-anak secara online. Kami mendorong orang tua dan wali untuk menghabiskan waktu online dengan anak-anak mereka untuk mengamati, berpartisipasi dan / atau memonitor dan membimbing aktivitas online mereka. http://rickydouglass.blogspot.co.id/ tidak sadar mengumpulkan informasi pribadi dari anak-anak di bawah usia 13. Jika orang tua atau wali percaya bahwa http://rickydouglass.blogspot.co.id/ telah di-nya database informasi identitas pribadi dari seorang anak di bawah usia 13, silahkan hubungi kami segera (menggunakan kontak dalam paragraf pertama) dan kami akan menggunakan upaya terbaik kami untuk segera menghapus informasi tersebut dari catatan kami.
Kebijakan Privasi Online Hanya
Kebijakan privasi ini berlaku hanya untuk aktivitas online kami dan berlaku bagi pengunjung ke situs kami dan mengenai informasi bersama dan / atau dikumpulkan di sana. Kebijakan ini tidak berlaku untuk informasi yang dikumpulkan offline atau melalui saluran lain selain situs ini.
Persetujuan
Dengan menggunakan website kami, Anda dengan ini setuju untuk kebijakan privasi kami dan setuju dengan ketentuan-ketentuannya.
Kebijakan Privasi Online Disetujui SiteUpdate
Kebijakan Privasi ini terakhir diperbaharui pada: Senin, 28 Desember, 2015.
Haruskah kita update, mengubah atau membuat perubahan kebijakan privasi kami, perubahan tersebut akan diposting di sini







Privacy Policy for Ricky douglass

 
If you require any more information or have any questions about our privacy policy, please feel free to contact us by email at Privacy.


At http://rickydouglass.blogspot.co.id/ we consider the privacy of our visitors to be extremely important. This privacy policy document describes in detail the types of personal information is collected and recorded by http://rickydouglass.blogspot.co.id/ and how we use it.


Log Files
Like many other Web sites, http://rickydouglass.blogspot.co.id/ makes use of log files. These files merely logs visitors to the site - usually a standard procedure for hosting companies and a part of hosting services's analytics. The information inside the log files includes internet protocol (IP) addresses, browser type, Internet Service Provider (ISP), date/time stamp, referring/exit pages, and possibly the number of clicks. This information is used to analyze trends, administer the site, track user's movement around the site, and gather demographic information. IP addresses, and other such information are not linked to any information that is personally identifiable.


Cookies and Web Beacons
http://rickydouglass.blogspot.co.id/ uses cookies to store information about visitors' preferences, to record user-specific information on which pages the site visitor accesses or visits, and to personalize or customize our web page content based upon visitors' browser type or other information that the visitor sends via their browser.


DoubleClick DART Cookie
→ Google, as a third party vendor, uses cookies to serve ads on http://rickydouglass.blogspot.co.id/.
→ Google's use of the DART cookie enables it to serve ads to our site's visitors based upon their visit to http://rickydouglass.blogspot.co.id/ and other sites on the Internet.
→ Users may opt out of the use of the DART cookie by visiting the Google ad and content network privacy policy at the following URL - http://www.google.com/privacy_ads.html

 
Our Advertising Partners
Some of our advertising partners may use cookies and web beacons on our site. Our advertising partners include .......

  • Google
While each of these advertising partners has their own Privacy Policy for their site, an updated and hyperlinked resource is maintained here: Privacy Policies.
You may consult this listing to find the privacy policy for each of the advertising partners of http://rickydouglass.blogspot.co.id/.

These third-party ad servers or ad networks use technology in their respective advertisements and links that appear on http://rickydouglass.blogspot.co.id/ and which are sent directly to your browser. They automatically receive your IP address when this occurs. Other technologies (such as cookies, JavaScript, or Web Beacons) may also be used by our site's third-party ad networks to measure the effectiveness of their advertising campaigns and/or to personalize the advertising content that you see on the site.
http://rickydouglass.blogspot.co.id/ has no access to or control over these cookies that are used by third-party advertisers.


Third Party Privacy Policies
You should consult the respective privacy policies of these third-party ad servers for more detailed information on their practices as well as for instructions about how to opt-out of certain practices. http://rickydouglass.blogspot.co.id/'s privacy policy does not apply to, and we cannot control the activities of, such other advertisers or web sites. You may find a comprehensive listing of these privacy policies and their links here: Privacy Policy Links.
If you wish to disable cookies, you may do so through your individual browser options. More detailed information about cookie management with specific web browsers can be found at the browsers' respective websites. What Are Cookies?


Children's Information
We believe it is important to provide added protection for children online. We encourage parents and guardians to spend time online with their children to observe, participate in and/or monitor and guide their online activity. http://rickydouglass.blogspot.co.id/ does not knowingly collect any personally identifiable information from children under the age of 13. If a parent or guardian believes that http://rickydouglass.blogspot.co.id/ has in its database the personally-identifiable information of a child under the age of 13, please contact us immediately (using the contact in the first paragraph) and we will use our best efforts to promptly remove such information from our records.


Online Privacy Policy Only
This privacy policy applies only to our online activities and is valid for visitors to our website and regarding information shared and/or collected there. This policy does not apply to any information collected offline or via channels other than this website.


Consent
By using our website, you hereby consent to our privacy policy and agree to its terms.


Privacy Policy Online Approved SiteUpdate
This Privacy Policy was last updated on: Monday, December 28th, 2015.
Should we update, amend or make any changes to our privacy policy, those changes will be posted here.

Sunday, December 27, 2015

Ospek Kota Jakarta. Bagian Ke-7; Selamat Datang

BY Ricky Douglas IN No comments



Bagian Ke-7
Selamat Datang

Habislah malam itu kami gunakan dalam renungan. Badan tergolek. Mata terpejam. Tapi pikiran melayang. Oh, tidak! Membayangkan orang tua perjalanan dari Palembang ke Jakarta tengah malam seperti ini.... Mengkhawatirkan sekali. Semoga di jalan lancar-lancar saja. 

Aku mengitarkan pandangan ke kamar kos Yuk Rika yang sekarang jauh terlihat lebih sempit. Dipenuhi barang-barangku yang beberapa hari kemarin telah sampai melalui jasa pengirimin ekspedisi. 

Pagi harinya, kami terbangun karena sebuah panggilan masuk. Orang tuaku telah sampai! Yappy!

            “Ini kos Yuk Rika posisinya deket Masjid kosannya yang lama lho, Pak. Gampang kok nyarinya. Di depannya ada lorong, tinggal masuk aja. Gak sampe sepuluh meter udah keliatan kosan ayuk,” ucapku panjang lebar. 

            Setelah memberi arahan, bunyi mobil terdengar dari luar pagar. Kami—aku, dan Yuk Rika—pun keluar. Menyambut hangat sang keluarga. Meski dengan tampilan bangun tidur; rambut berantakan, bekas iler bergelantungan di sudut bibir, belek masih bersembunyi di ujung mata, tapi tak surut niat menghadiakan senyum hangat.  

            “Haloooo, Adeek!!!” kupeluk Dek Okta yang baru turun dari mobil.

            Terjadilah peluk-memeluk hari itu. Lebaran tentu masih jauh, tapi ciuman di tangan, pipi, dan pelukan hangat sudah kami lakukan dari sekarang. Di dalam kamar  Yuk Rika, kami cerita panjang lebar. Melepas rindu yang hampir satu tahun tak bertemu. Setelahnya, mereka tertidur pulas. Maklum perjalan jauh tentu menggerus tenaga bahkan pikiran. Ya, walaupun yang nyetir mobil bukan Ayahku. Sengaja ayah meminta tolong temannya yang menyetir mobil. 

            Aku menghamburkan napas yang benar-benar berat. Di dalam tidur pulas Ayah dan Ibu, pandangan mataku tertuju pada wajah damai mereka. Wajah yang entah kenapa sekarang terlihat banyak kerutan di sana. Menggambarkan seberapa banyak perjuangan. Kesedihan. Pengorbanan. Dan... wajah yang penuh kasih sayang. Kantung mata mereka terkesan letih. 

Beberapa pertanyaan mendadak menjadi tenar di dalam pikiranku. Aku tidak pernah paham apa yang sebenarnya dimiliki suatu hubungan keluarga, hingga membuat para orang tua bersikeras memahat letih di pundak mereka demi sang anak. Mungkin kodratnya sudah seperti itu? Apa  karena hubungan darah? Karena Ibu yang susah payah melahirkan kami? Atau mungkin karena, kenangan? Ya, para orang tua menyayangi anaknya bukan karena hubungan darah, kurasa. Tapi karena kenangan. Kenangan saat proses membuat anak, melahirkan, menyusui,  menafkai, membesarkan, dan segalanya. Cinta mereka merupakan kernangan yang tak pernah pudar. Seperti itulah kesimpulanku saat melihat raut pulas mereka.  

            “Dek, gih sana beli sarapan,” ucap Yuk Rika pelan-pelan. 

            “Beli apaan nih?” tanyaku akhirnya yang ikut berbisik. 

            “Beli bubur ayam dong!” teriak Dek Okta secara tiba-tiba. 

            Eh, aku kira nih anak udah tidur. Denger makanan aja bangun. Dasar! Hahaha. 

            “Kalo Bapak nasik uduk ya Dek Iki,” ucap ayahku tiba-tiba yang ikut berpendapat masalah sarapan.

            “Iya, enak tuh. Ibu juga nasi uduk ya Dek Iki.” Kali ini Ibu yang berucap. Ia tersenyum. 

            Aku melihat bergilir ke arah keluargaku. Dari Dek Okta, Ayah, dan Ibu yang kini sudah bangkit dari tidur singkat mereka. Kesemuanya menatapku sambil tersenyum. 

            Ataga, ini kenapa telinga mereka bisa sepeka ini sih dengar makanan? batinku tertawa geli. Duh, kasian. Kayaknya pada laper.

            “Yodah, aku beli sarapan dulu yak.” Baru hendak melangkah, aku kelupaan sesuatu. “Eh, mang bidit mau sarapan apa ya, Pak?” tanyaku, sambil melirik mang bidit yang masih tergolek tak sadarkan diri di pojok ruangan. 

            “Samain aja dek Iki,” balas Ayah. 

            “Okeeeiiss. Emmm, duitnya mana? Buahahaha.”

            Usai mendapat beberapa lembar uang, aku pun melangkah dengan perasaan bahagia di sepanjang jalan. Bersiul. Bersenandung memperdengarkan suara artisku.

            “Nyanyi, Bang?” celetuk bocah yang berpapasan denganku. 

            “Gak! Lagi nahan boker!” jawabku ketus yang berhasil membuat sang bocah lari tebirit-birit. 

            Berhasil mendapatkan yang dicari; nasi uduk, gorengan, dan semacamnya, aku pun pulang. 

            “Lho, Kak. Kok gak ada bubur ayam?” protes Dek Okta. 

            “Iya nih, lagi gak jualan. Mamam nasi uduk aja ya? Menurut rumput yang bergoyang, kalo anak kecil suka makan nasi uduk gedenya jadi artis lho kayak kakak,” ucapku bangga. 

            Dek Okta hanya menatapku datar. Malah matanya terkesan aneh memandangku. “Artis kayak Kak Iki?” tanyanya yang kubalas sebuah anggukan tampan. “Emang kakak pernah masuk tipi?”

Jleb! Oke, hentikan pembicaraan ini.
 
“Sarapan dulu yuk!” ujarku mengalihkan topik. 
 
            Sementara yang lain hanya bisa tertawa puas mendengar obrolan kami. 

            Siangnya, sekitar pukul sembilan, kami berkeliling mencari kontrakan. Kali ini bukan naik kopaja dan teman-temannya, syukurlah Ayah membawa mobil. Padahal rencana awal ke Jakarta ingin naik pesawat. 

            “Nyari daerah Pasar Minggu-Kalibata lagi aja ya, Pak,” ucap Yuk Rika.

            Kami kembali berkeliling di kawasan Pasar minggu dan Kalibata. Tapi kali ini di gang yang berbeda. Ternyata mencari kontrakan menggunakan mobil jauh lebih sulit. Jarak beberapa meter saja, harus turun dan bertanya sama orang. Begitu seterusnya.

 Beberapa kontrakan kami jumpai tapi masih tak sesuai. Hingga sekarang matahari menantang tepat di atas kepala. 

            “Makan yuh, Pak. Perut Pevita udah laper nih,” ucap Yuk Rika narsis. 

            “Haaa??? Pevita??? Nih pantat!!!” protesku. 

            Sebuah kedai soto di Jl. Samali yang terletak di jalan besar Pasar Minggu-Kalibata pun menjadi pilihan. Dan, kali ini tak salah pilih. Sotonya segar dan enak sekali! Saat itu aku memesan soto ceker dan sayap. Sumpah! Soto ini masuk dalam deretan soto terbaik yang pernah kumasukkan ke perut. 

            Kami melanjutkan perjalanan saat perut dirasa sudah cukup buncit. Hari sudah sore, orang tuaku kentara sekali sangat letih. Alhasil, akulah di sini yang harus diandalkan. Sementara yang lainnya masih di dalam mobil, aku sebagai sosok yang turun dari mobil dan bertanya warga sekitar. Begitu terus. Tapi, ketika sudah tahu ada kontrakan yang kosong, jelas mereka akan menemaniku hingga sampai ditujuan. Sama seperti sekrang, setelah keluar mobil dan berjalan kaki cukup jauh melewati gang sempit dan... em, maaf, agak kumuh, kami pun sampai di salah satu rumah. 

            Aku dan Yuk Rika tidak suka lingkungan di sini, kami pun melanjutkan perjalanan. Saat itu, adzan Ashar berkumandang. Ayah langsung saja memerintahkan berhenti. Mereka pun menunaikan shalat, kecuali aku dan Yuk Rika. Kami sibuk berkeliling sekitar kawasan masjid, hingga satu suara perempuan membuatku merinding. Layaknya manusia yang kehilangan kekuatan tulang untuk bersanggah. Kakiku mendadak lunglai. Aku masih tak percaya dengan kenyataan yang terdengar telingaku ini. 

*Bersambung.

Ospek Kota Jakarta. Bagian Ke-6; Konflik.

BY Ricky Douglas IN No comments



Bagian Ke-6
Konflik
            Rumah yang kami kunjungi kali ini terbilang sangat megah. Bahkan, untuk melepas sepatu pun aku harus hati-hati sekali. Maklum, seluruh rumah Bu Rajab ini full AC. Yah,  takut saja kalau bau kaos kaki-ku memenuhi seluruh seluk-beluk  rumah. Kan malu jika beredar kabar bahwa juragan kontrakan meninggal dengan mulut berbusa akibat bau kaki calon penyewa kamarnya. Aku merinding membayangkan jika benar-benar terjadi. 

 Setelah menggsek-gesekkan kaki, dan yakin tidak ada bau menyengat, aku pun melangkah semangat ke dalam rumah. Kesan pertama, nampak dalam rumah jauh lebih megah daripada luar. Dengan arsitektur dan detail-detail keren. Tapi rumah ini terlihat sepi.

            “Rumah ini emang gak ada yang nempatin mas. Kalo Ibu dan keluarga tinggal di rumah sebelah,” jelas Bu Rajab seperti tahu persis dari raut muka-ku yang terlihat pelongoh.

            “Iya, Buk. Sepi banget,” potong Yuk Rika tak mau kalah mencuri perhatian. Hih!

            “Kamarnya yang mana, Buk?” seka-ku.

            Bu Rajab pun membimbing kami. Kamar pertama di lantai dasar ini sangat luas. Bisa di-isi dua orang bahkan lebih. Kasurnya king size! Aku jungkir balik kesana-sini pun masih muat di kasurnya. Dan, kamar ini pun dilengkapi kamar mandi dalam yang bernuansa alam. Jadi, kamar mandi ini ada taman mini di dalamnya, dengan danau kecil dihiasi bebatuan dan di atasnya ada shower. Jangan salah, ini kamar mandi ya bukan taman. Harganya?! Skip aja! Perutku terasa mual mendengarnya. 

            “Ayo kita ke lantai atas aja anak-anak?” ajak Bu Rajab.

Wut??? Anak-anak???  Haaih, aku berasa anak TK yang lagi study tour keliling kebun binatang aja, dengan seekor gajah di depanku yang dari tadi mulutnya menganga lebar melihat kondisi rumah. Sadar sedang  diperhatikan, si gajah pun cemberut. 

“Apa???” tanya Yuk Rika tegas. 

“Gak kok Gaj—Eh, Yuk!”

Yuk Rika hanya mesem-mesem.

Sampai di lantai atas, tak kalah menarik. Lampu bergelantungan di langit-langit. Lampu kecil mengelilingi lampu besar nan megah. Wah, di sini jauh lebih nyaman.

“Kalau di lantai atas ada empat kamar. Tapi satu kamarnya udah terisi. Satu lagi ibu jadiin gudang baju-baju. Nah, dua kamar lainnya masih kosong,” ucap Bu Rajab.

“Wah, bagus-bagus yaa buk kamarnya,” ucapku terpanah asmara melihat tumpukan kasur.

Dua kamar yang kosong lumayan unik. Satu kamar bergaya jepang dengan pintu geser yang dibuka ke arah samping. Kamar satunya lagi berhias jendela yang langsung menghadap gedung-gedung kota Jakarta.

“Ayuk kamar yang ini yaa,” bisik Yuk Rika mengejutkan.

“Iyee. Gua udah paham lu emang maunya enak sendiri. Wuuu,” cibir gua tak kalah sengit. Yuk Rika melotot mendengar jawabanku.

Sadar dengan aura perkelahianku dan Yuk Rika, Bu Rajab pun membuka obrolan, “Tenang aja, kamarnya kan ada dua,” ujarnya menahan geli. “Atau mau di kamar satunya?”

“Kamar yang gudang baju, Buk?” tanyaku. “Mau dong! Sekalian bajunya jadi bonus ya, Buk?”

“Oh, boleh,” kata Bu Rajab ramah. “Tapi beneran harus dipake ya baju, lanjutnya.

“Wah pasti!”

Kami ke kamar satunya. Pintu pun dibuka. Walaupun dengan sebutan embel-embel gudang, tapi di sini tak ada bau pengap sama sekali.

“Taraaa.” Bu Rajab membentangkan tangan. Seolah-olah memperkenalkan dunianya.

Lho, ini kan baju gamis cwe??? Dih, yang ini malah tumpukan jilbab! batinku saat melihat sekeliling kamar.

“Gak dipake sekrang aja mas baju-bajunya?” pancing Bu Rajab.

“Anggh... emmmm... gak deh buk.”
 
“Hahahaha,” tawanya pecah.

Sementara Yuk Rika hanya sibuk melirik-lirik gamis dan jilbab di kamar itu.

“Hee ayok ke sana. Bu Rajabnya udah ke teras depan tuh,” tegurku pada Yuk Rika. “Mau nyolong ya?” lanjutku sambil bersidekap.

“Enak aja nyolong! Gak elit banget sih. Todong langsung dong ke Ibu-nya!”

“Hih, dasar jiwa penjahat!”

Kami pun berkeliling melihat teras depan, lapangan kosong di belakang kamar yang ada di lantai dua, juga tak kalah menariknya ternyata di lantai dasar ada sebuah taman mini di dalam rumah.

“Wuaaaah keren banget nih, Buk. Saya bisa bikin novel nih sambil nongkrong di sini.”

 
“Yodah buk nanti kita kabari lagi yaa. Kalau masalah harga sih udah cocok,” ucap Yuk Rika.
Begitulah sepintas kenangan terindah di rumah Bu Rajab. Rumah yang ingin sekali kutempati untuk membuah karya-karya sastraku. Tapi, duh, kesal sekali dengan perangai Yuk Rika yang tadinya bilang suka, eh malah sekarang berubah pikiran.

“Kenapa sih, Yuk? Kan enak di rumah Bu Rajab?”

“Enak sih. Enak banget malah. Tapi, masa harganya bisa berubah gitu. Padahal belum ada sejam kita tinggal bentar,” tutur Yuk Rika.

“Yaelah naik seratus ribu doang.”

“Tapi tetap aja gak konsisten! Lagian tuh yaaa, si Ibu dan keluarganya akses dia ke rumah kontrakan tuh lues banget. Maklum sih, kan rumah kontrakan sama rumah Bu Rajab gak terpisah apapun. Jadinya Ayuk rada males.”

“Why?”

“Gak ada priviasi aja.”

“Lhaa terus untungnya rumah ijo yang deket warnet itu apa coba? Kenapa milih tuh kontrakan?” sekatku tak mau kalah.

“Yaaah setidaknya dia rumah sendirian, walopun masuk gang-gang kecil banget sih.”

“Nah tuh tau. Lagian di sana rame banget Yuk. Depan rumahnya ada warnet gitu, jadinya bising. Malah lebih gak privite.”

Kami mengakhiri obrolan yang jika diteruskan bakal mermbet kemana mana ini, lalu beranjak pulang setelah adzan magrib sudah lama berlalu.

*** 

Keesokan harinya pun masih dalam proses pencarian. Sebelum mengelilingi kota, Yuk Rika membawaku ke salah satu warung makan di dekat kawasan Universitas Pancasila.

“Gileee tuh laundry-an banyak banget,” tegur Yuk rika saat kami melintasi rel tanpa palang.

“Iyaaa nih. Cucian kotor dari Semarang ada satu dus. Gak sempet laundry. Mahal gak yaa laundry di Jakarta?” tanyaku khawatir.

“Satu kilonya tujuh ribu,” ucap Yuk Rika enteng.

“Haaaa??? Serius L???” tanyaku dengan bahasa alay anak Jakarta. “Kalo di Semarang mah cuma tiga ribu. Ini gak bisa dibiarkan!!! Ini namanya diskriminasi daerah!!! Masa beda harganya jauh banget coba?!” Aku berapi-api.  

“Tuh di depan udah ada laundry’an. Protes aja sono!”

“Oke. Tolong jangan halangi harimau yang hendak mengaum ini ya!” tuturku diplomatis.

“Baiklah. Ayo kita mengaum,” balas Yuk Rika.

Sampai di tempat laundry. Hatiku sudah acak kadut melihat banner yang tertera angka tujuh ribu perkilo. Hah!

“Selamat siang, ucapku angkuh.

“Iya? Mau laundry?” tanya ramah perempuan paruh baya ini.

“Ehem, iya saya mau laundry,” jawabku dengan dada dibusungkan.

Sepuluh menit kemudian. 

“Iya mbaa. Jadi saya tuh rada syok aja. Mahal semua di sini. Makan perkedel plus sayur aja habis 17 ribu,” ucapku sedih. “Belum lagi panas kota Jakarta. Aduh, polusi semua yaa."

“Bikin jerawatan,” sambar tukang laundry.

“Iya nih, Mba. Kulit aku jadi jerawat banget di sini. Padahal sebelumnya gak pernah jerawatan lho. Suer. Baru di Jakarta beberapa hari udah tumbuh dua biji jerawat.”

“Mana jerawatnya??” tanya Mba laundry antusias.

“Nih, Mbaa.” Aku menunjuk pipi bagian kiri. “Ngerusak pernampilan banget kan?”

“Gak juga kok. Masih ganteng,” ucapnya diselingi tawa. Aku pun tertawa mendengar celotehannya.

“Udah dulu yaa, Mbaa. Nanti bayarnya pas ambil aja ya?”

“Oke, terimakasih Mas.”

Aku dan Yuk Rika pun bergegas pergi.

Di perjalanan, “Wah, ternyata kalau harimau mengaum serem banget yaa? Baru dengar kalo harimau peduli banget sama jerawat,” sindir Yuk Rika. “Yakin tuh lagi mengaum?” lanjutnya lagi.

Deg. Mati kutu.
 
“Em, itu lagi mengaum kok! Kalau harimau mengaum emang gitu! Harimau kan raja hutan keleus, makanya harus peduli penampilan,” jawabku asal.

“Duh, gue mau muntah nih. Buka mulut dong,” ucap Yuk Rika menyebalkan.

“Nih pantat!” balasku.

Kami melanjutkan perjalan. Kali ini kembali mengelilingi daerah tebet. Dari pagi, siang, sore, hasilnya masih mengecewakan. Dan, rapat darurat di pinggir jalan pun kembali digelar.

“Jadi gimana nih? Kita udah empat hari nyari tapi gak ketemu-ketemu?"

Wait,” balas Yuk Rika cepat. Ia terlihat sibuk sekali dengan iphone-nya.

“Idih orang lagi ngomong juga.”

“Iyaaa bentar. Bawel ah!” protesnya. “Nih gua dapet info dari teman SMA gua. Dia sekarang nyewa apartemen di Jakarta Timur. Ada yang kosong tuh di sana. Mau gak?” tawar Yuk Rika.

“Jaktim? Jauh dong ya dari Jaksel? Terus gua casting-nya gimana dong?” tanyaku ragu. “Em, yodah gapap deh coba diliat aja dulu besok.”

“Oke.”

Besoknya, kami langsung menuju salah satu apartemen di Jaktim. Setelah turun di stasiun Klender, angkot menjadi pilihan selanjutnya untuk mencapai lokasi. Tiba di sana, suasana tidak terlalu ramai. Tidak bising. Kawasannya pun rindang, banyak pepohonan. Apartemen terdiri dari tiga gedung; A, B, dan C. Kami ke gedung A untuk bertemu orang yang menyewakan unitnya. Jadi teman Yuk Rika hanya memberi informasi saja, tapi ia menyarankan silahkan cari diinternet untuk sewa untinya. Alhasil, bertemulah kami dengan Pak Sudiro.

“Ya, ini dia kondisi apartemennya, Pak. Ada dua kamar.”

Siang itu kami memasuki salah satu kamar apartemen. Cukup indah, dengan jendela yang langsung menghadap kolam renang.

Setelah memberi tahu harga, ternyata tidak sesuai sama apa yang tertulis di-internet. Kami masih harus membayar biaya keamanan, service kamar, dll. Intinya satu bulan menambah sekitar 250 ribu. Modal nekat, aku pun menelpon orang tua untuk memberitahu perihal ini. DAN, bahagianya, sinyal hijau pun didapat. Ayahku setuju untuk kami tinggal di sini.

“Oke, Mas. Saya sewa yang tiga bulan ya. Besok udah bisa ditempati?” tanyaku basa-basi pada pemilik.

“Besok? Wah belum bisa. Paling satu minggu lagi.”

“Haaa??? Lama banget sih Mas??? Gak bisa dipercepat?” potong Yuk Rika.

“Bisa sih, palingan tiga hari lagi.”

"Wah, gak bisa Mas. Kami mau pindahan besok. Soalnya di kosan yang lama udah gak betah banget. Gak ada sinya, gak ada air. Besok bisa ya?” pancingku.

“Belum, Mas. Soalnya harus bikin surat perjanjian dan ngomong sama pihak apartemen dulu.”

Inti dari pembicaraan ini, kami tidak jadi menyewa di sini. Selain ribet, jika diakumulasikan, kamar sewa apartemen ini setahunnya bisa mencapai 25jt. Walaupun orang tua sudah menyetujui, tapi sebagai anak yang tampan dan pengertian, aku lebih baik mencari tempat yang lebih murah.

*** 

Malam hari di kosan Yuk Rika, kami sibuk mengistirahatkan badan.

“Jadi gimana nih? Kita udah lima harian lhoo kayak gini. Luntang-lantung mulu,” ujarku membuka obrolan.

“Ayuk sih masih pengen yang kontrakan ijo deket warnet itu aja, Dek. Lebih enak.”

“Enakan Bu Rajab,” balasku cepat.

“Ih, apaan sih! Jangan terlena cuma gara-gara megah. Tinggal sama orang lain tuh gak enak rasanya. Kayak numpang di rumah orang,” balas Yuk Rika.

Belum sempat membalas ucapan Yuk Rika, dering hape pun membelah obrolan kami.

“Halo, Pak,” jawabku.

Ya, yang menelpon adalah orang tuaku. Aku pun mengadu tentang proses pencarian kontrakan yang melelahkan ini.

“Tau tuh Yuk Rika. Masa gak jadi di tempat Bu Rajab gara-gara feeling dia aja. Katanya gak enak tinggal bareng orang lain. Kata Yuk Rika, Bu Rajab kayaknya orangnya cerewet. Duh, kan bikin gondok,” keluh kesahku panjang lebar.

“Mana sini Bapak mau ngomong sama Ayuk.”

Aku pun menyerahkan hape. Dan sesekali membantah, memotong ucapan dan gagasan Yuk Rika. Hingga terjadilah perdebatan di anatara kami yang masih terdengar orang tua di seberang telepon. Itulah kesalahan fatal! Beradu mulut di depan orang tua, meski mereka tidak menyaksikan langsung, tapi aku yakin rasa khawatir mereka akan semakin memuncak. Dan benar saja, setelah telepon di tutup, setelah berjam-jam kemudian, sebuah panggilan masuk dari orang tua kami pun kembali terdengar.

“Kalian ini bikin khawatir saja. Yaudah tenang-tenang. Jangan berantem. Jangan cepat emosi. Besok bapak, Ibu, dek Okta, sama Mang Bidit ke Jakarta ya. Kita cari kontrakan bareng-bareng.”
“Haaaa???” jawabku dan Yuk Rika serampak. Kami sama-sama kaget.

“Bukannya rencana ke Jakarta masih semingguan lagi?” tanyaku tak percaya.

“Iya. Tapi dipercepat karena kalian berantem terus. Udah, ini mau siap-siap dulu. Nanti tengah malem mau berangkat,” ucap bapak.

Jadi, mereka nekat ke Jakarta cuma gara-gara mendengar perkelahian kami? What the,...?! Agggrrhhh!!! Rasa penyesalan tiba-tiba menjalar. Lagi-lagi merepotkan orang tua.

*Bersambung