Bagian Ke-7
Selamat Datang
Habislah malam itu kami gunakan dalam renungan. Badan tergolek. Mata
terpejam. Tapi pikiran melayang. Oh, tidak! Membayangkan orang tua perjalanan
dari Palembang ke Jakarta tengah malam seperti ini.... Mengkhawatirkan sekali.
Semoga di jalan lancar-lancar saja.
Aku mengitarkan pandangan ke kamar kos Yuk Rika yang sekarang jauh
terlihat lebih sempit. Dipenuhi barang-barangku yang beberapa hari kemarin telah
sampai melalui jasa pengirimin ekspedisi.
Pagi harinya, kami terbangun karena sebuah panggilan masuk. Orang tuaku
telah sampai! Yappy!
“Ini kos Yuk Rika posisinya deket
Masjid kosannya yang lama lho, Pak. Gampang kok nyarinya. Di depannya ada
lorong, tinggal masuk aja. Gak sampe sepuluh meter udah keliatan kosan ayuk,”
ucapku panjang lebar.
Setelah
memberi arahan, bunyi mobil terdengar dari luar pagar. Kami—aku, dan Yuk
Rika—pun keluar. Menyambut hangat sang keluarga. Meski dengan tampilan bangun
tidur; rambut berantakan, bekas iler bergelantungan di sudut bibir, belek masih bersembunyi di ujung mata,
tapi tak surut niat menghadiakan senyum hangat.
“Haloooo, Adeek!!!” kupeluk Dek Okta
yang baru turun dari mobil.
Terjadilah peluk-memeluk hari itu.
Lebaran tentu masih jauh, tapi ciuman di tangan, pipi, dan pelukan hangat sudah
kami lakukan dari sekarang. Di dalam kamar Yuk Rika, kami cerita panjang lebar.
Melepas rindu yang hampir satu tahun tak bertemu. Setelahnya, mereka tertidur
pulas. Maklum perjalan jauh tentu menggerus tenaga bahkan pikiran. Ya, walaupun
yang nyetir mobil bukan Ayahku. Sengaja ayah meminta tolong temannya yang
menyetir mobil.
Aku menghamburkan napas yang
benar-benar berat. Di dalam tidur pulas Ayah dan Ibu, pandangan mataku tertuju
pada wajah damai mereka. Wajah yang entah kenapa sekarang terlihat banyak kerutan
di sana. Menggambarkan seberapa banyak perjuangan. Kesedihan. Pengorbanan. Dan...
wajah yang penuh kasih sayang. Kantung mata mereka terkesan letih.
Beberapa pertanyaan mendadak menjadi tenar di dalam pikiranku. Aku tidak
pernah paham apa yang sebenarnya dimiliki suatu hubungan keluarga, hingga
membuat para orang tua bersikeras memahat letih di pundak mereka demi sang
anak. Mungkin kodratnya sudah seperti itu? Apa karena hubungan darah? Karena Ibu yang susah payah melahirkan
kami? Atau mungkin karena, kenangan? Ya, para orang tua menyayangi anaknya bukan karena
hubungan darah, kurasa. Tapi karena kenangan. Kenangan saat proses membuat
anak, melahirkan, menyusui, menafkai,
membesarkan, dan segalanya. Cinta mereka merupakan kernangan yang tak pernah
pudar. Seperti itulah kesimpulanku saat melihat raut pulas mereka.
“Dek, gih sana beli sarapan,” ucap
Yuk Rika pelan-pelan.
“Beli apaan nih?” tanyaku akhirnya
yang ikut berbisik.
“Beli bubur ayam dong!” teriak Dek
Okta secara tiba-tiba.
Eh,
aku kira nih anak udah tidur. Denger makanan aja bangun. Dasar! Hahaha.
“Kalo Bapak nasik uduk ya Dek Iki,”
ucap ayahku tiba-tiba yang ikut berpendapat masalah sarapan.
“Iya, enak tuh. Ibu juga nasi uduk
ya Dek Iki.” Kali ini Ibu yang berucap. Ia tersenyum.
Aku melihat bergilir ke arah
keluargaku. Dari Dek Okta, Ayah, dan Ibu yang kini sudah bangkit dari tidur
singkat mereka. Kesemuanya menatapku sambil tersenyum.
Ataga,
ini kenapa telinga mereka bisa sepeka ini sih dengar makanan? batinku tertawa
geli. Duh, kasian. Kayaknya pada laper.
“Yodah, aku beli sarapan dulu yak.” Baru
hendak melangkah, aku kelupaan sesuatu. “Eh, mang bidit mau sarapan apa ya,
Pak?” tanyaku, sambil melirik mang bidit yang masih tergolek tak sadarkan diri
di pojok ruangan.
“Samain aja dek Iki,” balas Ayah.
“Okeeeiiss. Emmm, duitnya mana? Buahahaha.”
Usai mendapat beberapa lembar uang,
aku pun melangkah dengan perasaan bahagia di sepanjang jalan. Bersiul. Bersenandung
memperdengarkan suara artisku.
“Nyanyi, Bang?” celetuk bocah yang
berpapasan denganku.
“Gak! Lagi nahan boker!” jawabku
ketus yang berhasil membuat sang bocah lari tebirit-birit.
Berhasil mendapatkan yang dicari;
nasi uduk, gorengan, dan semacamnya, aku pun pulang.
“Lho, Kak. Kok gak ada bubur ayam?”
protes Dek Okta.
“Iya nih, lagi gak jualan. Mamam
nasi uduk aja ya? Menurut rumput yang bergoyang, kalo anak kecil suka makan
nasi uduk gedenya jadi artis lho kayak kakak,” ucapku bangga.
Dek Okta hanya menatapku datar.
Malah matanya terkesan aneh memandangku. “Artis kayak Kak Iki?” tanyanya yang
kubalas sebuah anggukan tampan. “Emang kakak pernah masuk tipi?”
Jleb! Oke, hentikan pembicaraan
ini.
“Sarapan dulu yuk!” ujarku mengalihkan topik.
Sementara yang lain hanya bisa
tertawa puas mendengar obrolan kami.
Siangnya,
sekitar pukul sembilan, kami berkeliling mencari kontrakan. Kali ini bukan naik
kopaja dan teman-temannya, syukurlah Ayah membawa mobil. Padahal rencana awal
ke Jakarta ingin naik pesawat.
“Nyari daerah Pasar Minggu-Kalibata
lagi aja ya, Pak,” ucap Yuk Rika.
Kami kembali berkeliling di kawasan
Pasar minggu dan Kalibata. Tapi kali ini di gang yang berbeda. Ternyata mencari
kontrakan menggunakan mobil jauh lebih sulit. Jarak beberapa meter saja, harus
turun dan bertanya sama orang. Begitu seterusnya.
Beberapa kontrakan kami jumpai
tapi masih tak sesuai. Hingga sekarang matahari menantang tepat di atas kepala.
“Makan yuh, Pak. Perut Pevita udah
laper nih,” ucap Yuk Rika narsis.
“Haaa??? Pevita??? Nih pantat!!!”
protesku.
Sebuah kedai soto di Jl. Samali yang
terletak di jalan besar Pasar Minggu-Kalibata pun menjadi pilihan. Dan, kali
ini tak salah pilih. Sotonya segar dan enak sekali! Saat itu aku memesan soto
ceker dan sayap. Sumpah! Soto ini masuk dalam deretan soto terbaik yang pernah
kumasukkan ke perut.
Kami melanjutkan perjalanan saat
perut dirasa sudah cukup buncit. Hari sudah sore, orang tuaku kentara sekali
sangat letih. Alhasil, akulah di sini yang harus diandalkan. Sementara yang
lainnya masih di dalam mobil, aku sebagai sosok yang turun dari mobil dan
bertanya warga sekitar. Begitu terus. Tapi, ketika sudah tahu ada kontrakan
yang kosong, jelas mereka akan menemaniku hingga sampai ditujuan. Sama seperti
sekrang, setelah keluar mobil dan berjalan kaki cukup jauh melewati gang sempit
dan... em, maaf, agak kumuh, kami pun sampai di salah satu rumah.
Aku dan Yuk Rika tidak suka
lingkungan di sini, kami pun melanjutkan perjalanan. Saat itu, adzan Ashar
berkumandang. Ayah langsung saja memerintahkan berhenti. Mereka pun menunaikan
shalat, kecuali aku dan Yuk Rika. Kami sibuk berkeliling sekitar kawasan
masjid, hingga satu suara perempuan membuatku merinding. Layaknya manusia yang
kehilangan kekuatan tulang untuk bersanggah. Kakiku mendadak lunglai. Aku masih
tak percaya dengan kenyataan yang terdengar telingaku ini.
*Bersambung.
0 comments:
Post a Comment
Silahkan, semuanya dapat berkomentar. Namun, jadilah komentator yang cerdik dan beretika ya :)