Sunday, December 27, 2015

Ospek Kota Jakarta. Bagian Ke-7; Selamat Datang

BY Ricky Douglas IN No comments



Bagian Ke-7
Selamat Datang

Habislah malam itu kami gunakan dalam renungan. Badan tergolek. Mata terpejam. Tapi pikiran melayang. Oh, tidak! Membayangkan orang tua perjalanan dari Palembang ke Jakarta tengah malam seperti ini.... Mengkhawatirkan sekali. Semoga di jalan lancar-lancar saja. 

Aku mengitarkan pandangan ke kamar kos Yuk Rika yang sekarang jauh terlihat lebih sempit. Dipenuhi barang-barangku yang beberapa hari kemarin telah sampai melalui jasa pengirimin ekspedisi. 

Pagi harinya, kami terbangun karena sebuah panggilan masuk. Orang tuaku telah sampai! Yappy!

            “Ini kos Yuk Rika posisinya deket Masjid kosannya yang lama lho, Pak. Gampang kok nyarinya. Di depannya ada lorong, tinggal masuk aja. Gak sampe sepuluh meter udah keliatan kosan ayuk,” ucapku panjang lebar. 

            Setelah memberi arahan, bunyi mobil terdengar dari luar pagar. Kami—aku, dan Yuk Rika—pun keluar. Menyambut hangat sang keluarga. Meski dengan tampilan bangun tidur; rambut berantakan, bekas iler bergelantungan di sudut bibir, belek masih bersembunyi di ujung mata, tapi tak surut niat menghadiakan senyum hangat.  

            “Haloooo, Adeek!!!” kupeluk Dek Okta yang baru turun dari mobil.

            Terjadilah peluk-memeluk hari itu. Lebaran tentu masih jauh, tapi ciuman di tangan, pipi, dan pelukan hangat sudah kami lakukan dari sekarang. Di dalam kamar  Yuk Rika, kami cerita panjang lebar. Melepas rindu yang hampir satu tahun tak bertemu. Setelahnya, mereka tertidur pulas. Maklum perjalan jauh tentu menggerus tenaga bahkan pikiran. Ya, walaupun yang nyetir mobil bukan Ayahku. Sengaja ayah meminta tolong temannya yang menyetir mobil. 

            Aku menghamburkan napas yang benar-benar berat. Di dalam tidur pulas Ayah dan Ibu, pandangan mataku tertuju pada wajah damai mereka. Wajah yang entah kenapa sekarang terlihat banyak kerutan di sana. Menggambarkan seberapa banyak perjuangan. Kesedihan. Pengorbanan. Dan... wajah yang penuh kasih sayang. Kantung mata mereka terkesan letih. 

Beberapa pertanyaan mendadak menjadi tenar di dalam pikiranku. Aku tidak pernah paham apa yang sebenarnya dimiliki suatu hubungan keluarga, hingga membuat para orang tua bersikeras memahat letih di pundak mereka demi sang anak. Mungkin kodratnya sudah seperti itu? Apa  karena hubungan darah? Karena Ibu yang susah payah melahirkan kami? Atau mungkin karena, kenangan? Ya, para orang tua menyayangi anaknya bukan karena hubungan darah, kurasa. Tapi karena kenangan. Kenangan saat proses membuat anak, melahirkan, menyusui,  menafkai, membesarkan, dan segalanya. Cinta mereka merupakan kernangan yang tak pernah pudar. Seperti itulah kesimpulanku saat melihat raut pulas mereka.  

            “Dek, gih sana beli sarapan,” ucap Yuk Rika pelan-pelan. 

            “Beli apaan nih?” tanyaku akhirnya yang ikut berbisik. 

            “Beli bubur ayam dong!” teriak Dek Okta secara tiba-tiba. 

            Eh, aku kira nih anak udah tidur. Denger makanan aja bangun. Dasar! Hahaha. 

            “Kalo Bapak nasik uduk ya Dek Iki,” ucap ayahku tiba-tiba yang ikut berpendapat masalah sarapan.

            “Iya, enak tuh. Ibu juga nasi uduk ya Dek Iki.” Kali ini Ibu yang berucap. Ia tersenyum. 

            Aku melihat bergilir ke arah keluargaku. Dari Dek Okta, Ayah, dan Ibu yang kini sudah bangkit dari tidur singkat mereka. Kesemuanya menatapku sambil tersenyum. 

            Ataga, ini kenapa telinga mereka bisa sepeka ini sih dengar makanan? batinku tertawa geli. Duh, kasian. Kayaknya pada laper.

            “Yodah, aku beli sarapan dulu yak.” Baru hendak melangkah, aku kelupaan sesuatu. “Eh, mang bidit mau sarapan apa ya, Pak?” tanyaku, sambil melirik mang bidit yang masih tergolek tak sadarkan diri di pojok ruangan. 

            “Samain aja dek Iki,” balas Ayah. 

            “Okeeeiiss. Emmm, duitnya mana? Buahahaha.”

            Usai mendapat beberapa lembar uang, aku pun melangkah dengan perasaan bahagia di sepanjang jalan. Bersiul. Bersenandung memperdengarkan suara artisku.

            “Nyanyi, Bang?” celetuk bocah yang berpapasan denganku. 

            “Gak! Lagi nahan boker!” jawabku ketus yang berhasil membuat sang bocah lari tebirit-birit. 

            Berhasil mendapatkan yang dicari; nasi uduk, gorengan, dan semacamnya, aku pun pulang. 

            “Lho, Kak. Kok gak ada bubur ayam?” protes Dek Okta. 

            “Iya nih, lagi gak jualan. Mamam nasi uduk aja ya? Menurut rumput yang bergoyang, kalo anak kecil suka makan nasi uduk gedenya jadi artis lho kayak kakak,” ucapku bangga. 

            Dek Okta hanya menatapku datar. Malah matanya terkesan aneh memandangku. “Artis kayak Kak Iki?” tanyanya yang kubalas sebuah anggukan tampan. “Emang kakak pernah masuk tipi?”

Jleb! Oke, hentikan pembicaraan ini.
 
“Sarapan dulu yuk!” ujarku mengalihkan topik. 
 
            Sementara yang lain hanya bisa tertawa puas mendengar obrolan kami. 

            Siangnya, sekitar pukul sembilan, kami berkeliling mencari kontrakan. Kali ini bukan naik kopaja dan teman-temannya, syukurlah Ayah membawa mobil. Padahal rencana awal ke Jakarta ingin naik pesawat. 

            “Nyari daerah Pasar Minggu-Kalibata lagi aja ya, Pak,” ucap Yuk Rika.

            Kami kembali berkeliling di kawasan Pasar minggu dan Kalibata. Tapi kali ini di gang yang berbeda. Ternyata mencari kontrakan menggunakan mobil jauh lebih sulit. Jarak beberapa meter saja, harus turun dan bertanya sama orang. Begitu seterusnya.

 Beberapa kontrakan kami jumpai tapi masih tak sesuai. Hingga sekarang matahari menantang tepat di atas kepala. 

            “Makan yuh, Pak. Perut Pevita udah laper nih,” ucap Yuk Rika narsis. 

            “Haaa??? Pevita??? Nih pantat!!!” protesku. 

            Sebuah kedai soto di Jl. Samali yang terletak di jalan besar Pasar Minggu-Kalibata pun menjadi pilihan. Dan, kali ini tak salah pilih. Sotonya segar dan enak sekali! Saat itu aku memesan soto ceker dan sayap. Sumpah! Soto ini masuk dalam deretan soto terbaik yang pernah kumasukkan ke perut. 

            Kami melanjutkan perjalanan saat perut dirasa sudah cukup buncit. Hari sudah sore, orang tuaku kentara sekali sangat letih. Alhasil, akulah di sini yang harus diandalkan. Sementara yang lainnya masih di dalam mobil, aku sebagai sosok yang turun dari mobil dan bertanya warga sekitar. Begitu terus. Tapi, ketika sudah tahu ada kontrakan yang kosong, jelas mereka akan menemaniku hingga sampai ditujuan. Sama seperti sekrang, setelah keluar mobil dan berjalan kaki cukup jauh melewati gang sempit dan... em, maaf, agak kumuh, kami pun sampai di salah satu rumah. 

            Aku dan Yuk Rika tidak suka lingkungan di sini, kami pun melanjutkan perjalanan. Saat itu, adzan Ashar berkumandang. Ayah langsung saja memerintahkan berhenti. Mereka pun menunaikan shalat, kecuali aku dan Yuk Rika. Kami sibuk berkeliling sekitar kawasan masjid, hingga satu suara perempuan membuatku merinding. Layaknya manusia yang kehilangan kekuatan tulang untuk bersanggah. Kakiku mendadak lunglai. Aku masih tak percaya dengan kenyataan yang terdengar telingaku ini. 

*Bersambung.

0 comments:

Post a Comment

Silahkan, semuanya dapat berkomentar. Namun, jadilah komentator yang cerdik dan beretika ya :)