OSPEK KOTA JAKARTA
BAGIAN 12;
Kerja atau Tidak, ya?
Sudah lewat satu bulan aku hidup di Kota Jakarta. Carut-marut
kehidupannya pun mulai biasa di mataku. Dulu, saat melihat gedung-gedung tinggi
daerah Kuningan ataupun Sudirman selalu berhasil membuatku bergidik. Mata
melotot kagum. Tapi kini, jadi hal lumrah. Termasuk kemacetan lalu lintas.
Bahkan salah satu teman asli Jakarta berkata padaku; “Kemacetan adalah napas
bagi Kota Jakarta. Jadi, segeralah terbiasa.” Dan... eng ing eng, bak mantra
ajaib kini aku benar-benar melebur dengan nuansa kota ini. Macet. Debu.
Keegoisan manusia dalam kereta. Bengisnya sifat. Dan, semuanya. Termasuk
‘nyinyir’ mulut-mulut orang.
“Udah mendingan lu gak usah fokus banget deh jadi artis. Muka biasa kayak
lu mah hal gini jangan diseriusin. Gak bakal jadi udah. Kecuali lu muka-muka
bule. Nah baru deh boleh seriusin dunia entertaint. Mending kerja aja.”
Aku ingat betul ucapan laki-laki ini. Cukup kasar dan menendang tepat
sasaran. Aku yang lagi dilema masalah pilihan
pun seakan ikut dalam atmosfir yang diciptakannya. Ohh iyaa kaah? Kayaknya aku emang harus mundur perlahan. Jangan terlalu
diseriusin deh, pikiran seperti inilah yang merasuk tanpa ampun dalam
sanubari melankolia-ku.
“Jangan kerja dulu, cah bagus. Kalau emang pengen serius di entertaint, kamu harus fokus. Soaalnya
saingan banyak. Mending gitu deh. Ndak
usah dulu kerja baik part time maupun
full time. Kamu kan bisa nulis, nah
udah jadiin itu aja dulu buat cari duit.”
Nah, saran satu ini lumayan masuk dan cocok buat otak-ku. Secaralah ya,
saingan banyak. Yang lebih berbakat dan oke secara fisik pun banyak sekali.
Jika aku tidak mengencangkan sabuk, maka aku yang harus terlempar.
Dan berkat perkataan wanita berumur inilah yang membuatku makin semangat
meneruskan novel yang sempat ke-pending.
Tiap malam kembali kucumbui barisan paragraf di laptop. Tapi heeeii, ini kan
project jauh kedepan. Sementara untuk menopang hidupku tiap bulannya bagaimana?
“Yaudah gapapa kalau belum mau kerja. Silahkan kamu kejar cita-citamu
dulu, Nak. Masalah biaya hidup, InsyaAllah bapak masih bisa menyokong buatmu
dan Yuk Rika. Kalian fokus aja.”
“Sungguh, Pak? Benarkah? Aku tidak salah mendengar kan? Terimakasih
Baginda Raja,” ucapku lebay.
“Tapi heeeeii, tunggu!” ucap Ayah
menirukan gayaku. Satu jari terangkat di depan mulut. “Bapak cuma kasih waktu
satu tahun ya. Lewat dari itu, kamu harus fokus cari kerja. Nah, kalo udah
dapet kerjaan, masih boleeh sih kalo mau nyambi dunia artis,” lanjutnya.
Agak sedikit disayangkan sebenarnya,
aku yang sudah diumur seperti ini, dengan stastus lulusan salah satu
Universitas di Semarang, masih harus membebankan orang tua dalam hal biaya.
Bukan apa-apa, yang kutakutkan hanya satu hal, jika aku benar-benar tidak fokus
di jalan ini, maka tak ada ruang bagiku sedikitpun di dalamnya.
“Yoshh!!! Suduh kuputuskan untuk
fokus casting! Kerja nanti aja deh.”
Dengan komitmen seperti inilah
hidupku berjalan dari hari ke hari. Ah, memang kebutuhan terpenuhi, namun keinginan
seringkali terpendam dalam-dalam karena harus bisa mengatur keuangan. Hingga
suatu hari, tanpa mimpi apa pun, aku mengikuti yuk Rika mengirimkan surat
lamaran di salah satu Bank. Ini sebenarnya hanya iseng, tapi tak dinyana,
panggilan interview pun datang.
“Duh, bro, gua dapet panggilan
interview nih di bank,” ucapku pada teman baru. Namanya Doni. Anak Lampung.
“Yaudah lu datang aja kali, Dog.
Pentingan kerja. Dunia entertaint mah jangan terlalu diseriusin. Mending lu
kerja baek-baek, kumpulin duit. Habis itu beli peran deh,” ujarnya gamblang.
Meskipun kami tengah di kebisingan
khalayak ramai—saat itu tengah shooting menjadi
penonton konser sebuah band yang ada di salah satu adegan film—tapi aku masih bisa
mendengar jelas suara Doni.
“Lu pikir deh, berapa banyak
perjuangan lu buat dateng shooting
kali ini? Dan lu tahu kan gimana bayarannya? Kecil man! Mending kerja!” lanjut
Doni.
Dan, pikiranku pun terbayang
melayang-layang terapung mirip benda basah berwarna kuning di sungai.
Membayangkan perjuangan buat datang shooting
hari ini.
Tepat
pukul satu dini hari, mataku terbuka dari lelap yang cukup damai. Tanpa mimpi.
Tapi entah kenapa, ada yang basah.
Setalah ngulet kiri dan kanan. Menguap
lebar. Mengerjap-ngerjapkan mata. Memonyongkan bibir lalu membasahinya dengan
lidah, aku pun mulai berdiri. Mandi. Ganti pakaian. Masak. Makan. Dan izin sama
Yuk Rika, lantas langsung memesan gojek menuju daerah pasar Rebo.
“Pak, Jakarta subuh gini dingin ya,”
ujarku basa-basi pada si Kakek gojek.
“Mas-nya kode mau dipeluk ya?”
“Ebuset. Gak deh pak buahaha.”
Sampai di pasar Rebo sekitar pukul tiga pagi. Suasana hiruk pikuk kentara
sekali. Terlebih kini ada empat bus besar parkir di sisi jalan. Keramain anak
muda-mudi nampak mengelilingi sang bus. Wuih
rame ya, pikirku.
“Halo... haiii semuanya,” teriak-ku
girang. “Nama saya Douglas, salam kenal ya.”
Gerombolan manusia itu hanya
memandangku sekilas, lalu kembali melanjutkan aktifitas mereka.
Tapi ada satu yang balik menyapa,
“Halo Douglas. Dari agency mana?”
“Saya dari Mas Kris, Kak.”
“Haa??? Kris??? Siapa itu???”
Byaaaaaaaaaarrrr!!! Seperti ada
ribuan lele yang menyengat leherku, aku pun terkejut seterkejut-terkejutnya
orang yang lagi terkejut karena mendapat hal yang mengejutkan #ApalahIni.
Alhasil, dengan bantuin Kakak cantik
itu, aku pun digiring masuk salah satu bus. Duduk di kursi nomer tiga dari
belakang. Satu persatu remaja lain memasuki bus. Ada yang cantik. Sedikit
cantik. Biasa saja. Ada pula kaum labil. Kaum yang bingung akan jati dirinya
sebagai perempuan atau laki-laki. Pun ada kaum kacamata’ers. Satu geng pakai kacamata hitam tebal semua.
Perjalanan menuju lokasi shooting pun
dimulai.
Sampai
di lokasi sekitar pukul enam pagi. Di sana aku seperti orang hilang dan tak
tahu arah jalan pulang mirip kisah pilu dari lagu yang dilantunkan Rumor. Tak
ada teman ngobrol satupun. Aku mencoba mendekati beberapa orang.
“Hai, aku Douglas. Salam kenal ya.”
“Oiiya. Eko.”
“Asli mana, Ko?”
“Jakarta.”
“Udah lama ikut gini-ginian?”
“Udah.”
“Enak?”
“Apanya?”
“Yaa di dunia gini.”
“Lumayan.”
“Oiiya. Kamu se—
“Gua ksana dulu ya.” Eko pun pergi
meninggalkanku bersama laler yang memenuhi atas kepalaku.
Shit!!!
“Tapi tenang, orang baik akan selalu
menemukan orang baik lainnya. Setidaknya, walau tidak menemukan, pasti akan
ditemukan.” Inilah kutipan yang kubaca pagi ini.
Dan benar saja, aku bertemu dengan
Doni. Tapi sebelum bertemu dengan makhluk ini, ada kejadian yang membuatku
miris.
“Permisi, Mas. Toiletnya di mana
ya?” tanyaku sopan dan menggemaskan.
“Wah akhirnya dateng juga,” ucap
laki-laki ini ngelindur.
“Maskudnya?”
“Nih bawain kardus-kardus air ke
lokasi shooting! Kasian kan para
pemain nanti kehausan,” titahnya penuh kecemberutan.
“Lhooo, tapi mas..., saya ini yang
mau shooting juga lhoo.”
“Alaah udah. Gua lagi gak mood becanda. Bawa kardus air dan
makanan ini ke pinggir panggung ya!” Dia pun berlau pergi meninggalkanku.
“Mas! Tidak! Kyaaaaaaaaaaaaa!!!
Jangan tinggalin aku!”
“Sekarang!” teriaknya dari kejauhan.
Apalah dayaku yang hanya seperti
ini. Aku pun dengan iklash membantunya. Hingga, dari kejadian itulah aku
bertemu Doni.
“Wooiii Dog, ngelamun aja lu!!!
Gmna? Mau dateng interview-nya gak lu???”
“Eh sorry-sorry. Yaudah deh gua dateng aja kali yak. Soalnya cuma hari
ini doang interview-nya.”
“Yaudah buruan mumpung belum take nih.”
“Izin dulu gak ya?”
“Udah gak usah, lagian yang bawa lu
kesini kan gak jelas orangnya di mana. Gak ngurusin lu lagi.”
“Oke oke. Gua cabut dulu yaaa. Tapii
heiii... keep contact ya bro! Bye!”
Aku meninggalkan lapangan konser. Baru
beberapa langkah, tubuh ini berpasapan dengan sosok artis muda yang berjalan
penuh wibawa ke arah panggung. Yap. Namanya Adipati Dolken. Tak mengindahkannya
karena terburu-buru, aku pun kembali melangkah.
Menggunakan aplikasi ojek online lagi, aku meluncur menuju daerah Kota
Tua Jakarta. Lalu melipir di salah satu Bank di sana. Tapiii heeeii, tunggu
dulu! Ini kan interview, tapi lihat penampilanku sekarang. Kemeja putih, celana
jeans, serta sepatu booth. Mana bisa dikondisikan buat interview kerja?!
Alamakjang! Kini di toilet bank, aku mondar-mandir memikirkan cara agar
penampilanku masih terlihat sopan.
Eh, tunggu deh! Gua kan bawa jas!
Hah, lega rasanya pas shooting tadi
ternyata aku membawa satu stel jas. Jadi lumayanlah sekarang baju yang
kukenakan terlihat necis. Jas. Kemeja putih. Celana jeans warna abu-abu. Sepatu
booth cokelat.
“Silahkan, Mas. Isi daftar hadirnya dulu,” ucap pegawai di sana.
Usai mengisinya. Aku berkenalan dengan seorang laki-laki yang duduk di
sofa.
“Tyo,” ucapnya singkat dengan seulas senyum.
“Kenalin. Saya Douglas yang hari ini shooting film bareng Adipati
Dolken.”
Krik... krik... krik....
“Ah iya. Wah artis ya,” balasnya kaku.
Kami jadi semakin akrab. Terlebih saat tahu dia orang Palembang sama
sepertiku.
“Ini kok dikit banget sih peserta Interview-nya?” tanyaku heran.
“Lumayan banyak kok. Sekitar orang tujuh. Noh ada di sana,” tunjuk Tyo.
Sedang asyik mengobrol. Sepasang perempuan dan perempuan datang. Mereka
duduk di samping kami.
“Hai. Tyo,” ujar Tyo memperkenalkan diri.
“Halo, Ria.”
“Aku Laras,” sambar perempuan satunya.
“Hai semuanya. Perkenalkan, saya Douglas. Laki-laki yang tadi pagi shooting film bareng Adipati Dolken.”
“Wuaaah hebat dong,” saut Laras antusias.
“Iya, nih tadi gak sempet balik kosan jadinya pake baju seadanya gini. Shooting-nya dari jam tiga pagi sih.
Aduh capek banget gila!” cerocosku tanpa henti.
“Emang disuruh akting ngapain, Glas?” tanya Ria.
“Disuruh berdiri di bawah panggung. Nonton Adipati Dolken lagi konser
Nyiahahahahaha.”
“Keren ya pasti akting kamu,” ucap Tyo.
“Yaa dong! Eh tapi tadi gak jadi
shooting sih, udah keburu dapet panggilan interview duluan.”
“Aeeelaaah.” Sorak kecewa para fans-ku Nyoahahaha.
“Douglas dan Ria silahkan masuk
ruang interview,” ucap recepcionist.
Kami melangkah gagah. Di dalam ruang
interview, Ria memperkenalkan diri terlebih dahulu. Kemudian, lugas sekali aku pun ikut memperkenalkann
diri.
“Perkenalkan. Nama saya Ricky
Douglas. Laki-laki yang tadi pagi shooting
film bareng Adipati Dolken,” ucapku mantab. Bangga.
Kulirik samping, Ria hanya menganga
lebar melihatku yang seperti ini.
“Wah, artis nih yaa kali ini yang
interview di tempat kerja kita,” ujar sang bapak yang lebih tua kepada rekannya
yang agak sedikit banget lebih muda. “Kebetulan, teman saya ini juga artis lho.
Dia artis di Bandung,” tambahnya.
“Wuih, kita bisa banget dong ya pak
jadi teman. Bapak artisnya artis apa? Kalau saya suka dunia peran, Pak.”
“Saya juga suka dunia peran. Akitng.
Nyanyi. Host. Kadang suka ngumpul juga sama musisi jalanan Bandung.”
“Duh enak ya Bapak. Kalau saya baru
memulai, Pak. Sedih banget ya Pak. Sana-sini casting gak ada temen. Naik gojek
mulu. Castingnya banyak gak ketrima. Tapi gitulah penderitaan yang akan membawa
kesuksesan. Amin.”
Dan selanjutnya, obrolan kami hanya
seputar dunia entertaint. Dari awal karir si bapak hingga akhirnya terjebak di
dunia perbankan. Dari raut wajah senyum, tertawa, sedih, nangis, marah, semua
ada.
“Aku tuh sedih, Pak. Hikkss ternyata
saingan buaaaanyak banget! Yang lebih oke bakat dan fisiknya dari aku tuh
bejibun banget pak.”
“Semangat aja pokoknya mah harus
fokus. Lha terus kamu siap kerja di bank? Kita kan kerjanya dari pagi sampe
sore. Terus gimana kamu casting?” tanya-nya.
“Em, anu, kayaknya saya bakal
ngurangin casting deh Pak. Bakal casting akhir pekan aja, Pak. Ngomong-ngomong
soal casting akhir pekan, ternyata rame banget yaa pak yang casting kalo akhir
minggu gitu. Yang pengen jadi artis banyak banget Nyoahahahaha.”
Obrolan kami pun kembali seputaran
dunia entertaint. Bahkan, Ria dan bapak yang lebih tua hanya bisa bengong
sambil bertopang dagu mendengar obrolan kami.
Hari terus berganti. Dan sampai
sekrang pun tak ada panggilan ketrima kerja. Dari kejadian ini, aku menyadari
satu hal. Impianku menjadi seorang aktor bukan bertolak ukur pada uang!
Meskipun aku hidup dengan uang yang kembang-kempis. Status tidak jelas karena
memang tidak bekerja. Gaji shooting yang
kadang tak seberapa. Tapi, aku senang menjalaninya. Menyukai dunianya. Pun caranya
berproses. Mengembangkan diri. Bertemu teman dengan cita-cita yang sama
sepertiku. Mungkin kalian akan menganggap ini berlebihan, tapi bagiku, dunia
entertaint adalah napas. Sejauh apapun aku pergi dan di manapun berada. Aku tak
bisa lepas dari oksigen. Aku tak bisa berhenti untuk bernapas. Karena aku,
membutuhkannya!
*Bersambung
Baca Episode Sebelumnya di sini, ya OSPEK KOTA JAKARTA. BAGIAN 11; Jangan Berucap "Hanya" atau "Cuma"
0 comments:
Post a Comment
Silahkan, semuanya dapat berkomentar. Namun, jadilah komentator yang cerdik dan beretika ya :)