Judul: Jakarta Love Story
Penulis: Rudy Efendy
Penerbit: DIVA Press
ISBN: 978-602-255-177-5
Tebal: 478 halaman
Tahun terbit: Agustus 2013
Cetakan: Pertama
Genre: Fiksi
Rating: 3/5
Penulis: Rudy Efendy
Penerbit: DIVA Press
ISBN: 978-602-255-177-5
Tebal: 478 halaman
Tahun terbit: Agustus 2013
Cetakan: Pertama
Genre: Fiksi
Rating: 3/5
Bonjour,
pembaca setia yang tercinta! Pada kesempatan kali ini saya akan me-review buku berjudul Jakarta Love Story. Yap. Ini pengalaman
pertama saya me-riew buku. Dan alasan
kenapa buku ini dijadikan yang pertama, hm... tidak ada hal spesial sebenarnya,
hanya kebetulan saja karena sedang riset bahan untuk membuat novel dengan tema
yang sedikit sama. Saya ulangi, hanya sedikit sama, kok.
Saya akan memberikan empat acungan
jempol bagi kalian yang mau membaca novel ini, kenapa? Karena berani menahan
jijik dan mual sepanjang membaca. Oiyaa tentu, sebab novel ini bertema cinta
sejenis. Isinya pun banyak mengumbar adegan ranjang.
Buku ini cukup mewakili bagi kalian
yang penasaran seluk-beluk, jenis, dan bentuk cinta. Termasuk betapa bodoh
orang yang sedang dilandanya.
“Tapi, bukankah cinta tidak pernah bisa
memilih? Kita tidak pernah bisa memilih dengan siapa hati kita akan tertambat,
bukan? Kita tidak pernah bisa hidup dalam
kepura-puraan terus-menerus, bukan? Suatu hari, kebenaran akan muncul. Suatu
hari, semuanya pasti akan terungkap. Ia tidak mungkin hidup terus-menerus dalam
dua dunia yang saling bertolak belakang.” –Halaman 434.
Kisah ini diawali dari pertemuan
Rifai dan Fabio di Lapangan Benteng—tempat bagi kaum seperti mereka menjajakan
diri. Setelah menimang-nimang, Rifai pun sepakat menyewa laki-laki putih
berbadan atletis di hadapannya, Fabio.
Malam itu, Fabio terpaksa menjajakan
tubuhnya karena masalah keuangan. Ia benar-benar pemain baru. Tak mengerti
apapun. Wajahnya lugu. Sikap kaku. Sama sekali tidak seperti kucing profesional. Namun, justru hal
inilah yang membuat Rifai kelimpungan dengan hatinya sendiri.
Hubungan mereka semakin terjalin
ketika pertemuan kedua yang tak sengaja terjadi. Kali ini tidak sebagai penjaja
kenikmatan dan penyesap berahi, namun lebih sebagai teman. Ya, walaupun tetap
berujung di ranjang.
Keduanya makin tenggelam dalam dunia
kenikmatan. Mengarungi samudera yang seharusnya tidak boleh diselami. Yang
suatu saat dapat melahap, menenggelamkan mereka dengan ganas. Dan tentu saja, tak
butuh waktu lama, ujian pun datang.
“Dia pasti bukan cuma marah. Tapi sekaligus cemburu. Mungkin merasa
telah dipermainkan.”Hati Rifai berdesir memikirkan hal itu. -Halaman
199.
Fabio mendadak berang saat mendapati
laki-laki lain setengah telanjang di apartemen Rifai. Ia pun menghilang.
Meninggalkan sosok Rifai yang terlalu fana baginya. Ya, Rifai begitu tergila akan
sexs. Selain dengan Fabio, ia pun tetap
berbagi keringat di ranjang dengan laki-laki dan perempuan muda lainnya. Namun,
Fabio tak bisa marah sepenuhnya karena di antara mereka memang tak ada komitmen
apapun. Semua mengalir begitu saja.
“Tapi, caramu memperlakukanku sudah sama
dengan pelacur,” batin Fabio hancur. -Halaman 238.
Tapi tentu, bukan Rifai namanya jika
tak bisa merebut kembali Fabio. Ia begitu mencintai laki-laki muda itu lebih
dari pemuda dan wanita lain yang pernah ditidurinya. Rifai bertekad menjadikan
Fabio yang terakhir.
“Aku sudah pernah bilang, aku akan
menikah suatu hari. Aku tidak akan menjalani hidup begini terus. Aku bukan gay
seratus persen. Aku masih doyan wanita. Aku menyukai anak-anak. Kau sudah tahu
itu dari awal. Kenapa sekarang kau bersikap seolah-olah kau tidak bisa
menerimanya?” –Halaman 358.
Fabio
pasrah saat Rifai memutuskan untuk
menikah dengan Jeny—mantan pacar Rifai saat SMA. Tapi tentu, Rifai tak mau
melepaskan Fabio. Ia sudah bicara dengan calon istrinya jika dirinya adalah biseksual
dan sekarang memiliki pacar seorang laki-laki muda.
“Aku tidak ingin membohongimu, Jen. Lebih baik aku berterus
terang sekarang.” Rifai berdiri, memandang Jeny sungguh-sungguh. “Kalau kau
bisa menerimanya, kita lanjutkan hubungan ini dan aku akan segera menikahimu.
Tapi kalau tidak, kau masih punya waktu berpikir ulang.” –Halaman 345.
Pernikahan
digelar. Dan semenjak itu, Fabio menghilang selamanya. Hingga diusia pernikahan
Rifai yang menginjak setahun, laki-laki ini mulai mencari Fabio lagi. Tapi
terlambat, dari apa yang dijelaskan Liando—sahabat Fabio—pemuda itu telah
pindah ke luar negri.
Hebatnya, cerita tidak hanya sampai
di sini. Walaupun Jeny sedang mengandung, tapi Rifai terus mencari Fabio meski waktu
tiga tahun telah terlewati. Cerita kembali terajut saat keduanya tak sengaja
bertemu di Paris. Dan, konflik pun bermunculan satu persatu.
“Kamu memang lelaki egois!” Fabio memberengut. “Dulu, kau
seenak perut berhubungan dengan siapapun yang kau suka. Lalu, kau menikah
dengan perempuan itu dan aku dipaksa harus menerimanya dengan pahit.” Kalimat
itu meluncur begitu saja dari bibirnya. “Sekarang, tiba-tiba kau muncul
kembali, dan aku harus menurut semua keinginanmu. Tidakkah kau berpikir kau
terlalu egois, Fai?” –Halaman 432.
Bagaimana nasib pernikahan Rifai dan Jeny? Terlebih, sekarang perempuan
itu sedang mengandung. Namun, tak layakkah Rifai memperjuangkan hatinya
sendiri? Dan pertanyaan terakhir, siapa yang akan berlabuh dan menetap di hati
Rifai selamanya?
-Sekian-
Kelebihan dari novel ini
mungkin karena penggunaan POV 3 yang begitu mengalir. Tidak banyak menggunakan
diksi yang sulit dipahami, tapi juga tidak hambar dengan diksi yang itu-itu
saja. Kekuatan alur cerita pun sangat mantab. Semua dikemas dengan apik.
Nah, kalau untuk membahas masalah kekurangan,
akan sedikit banyak yang saya jabarkan;
1.
Penokohan tiap karakter sangat buruk, menurut
saya. Penulis sangat-sangat tidak mendeskripsikan seperti apa sosok Rifai. Yang
sering diproklamirkan hanya; Rifai pemuda
yang gagah dan berani. Oh ayolah, saya tidak sedang membaca cerita dongeng,
kan? Hihihi. Pembaca, atau lebih spesifiknya adalah saya, akan jauh lebih puas
jika diberikan sedikit gambaran fisik tentang Rifai. Bagaimana rambutnya.
Wajah. Tinggi. Menggunakan kacamata atau tidak. Ya, seperti itulah kira-kira.
Pak, Rudy Efendi pun tak lebih memperhatikan karakter tokoh yang lain.
Misalnya, Jeny. Entah apa maksudnya. Ah, atau mungkin beliau ingin membuat pembaca
bebas membayangkan siapapun dalam imajinasinya? Oke, baiklah, Pak. Saya anggap
saja Rifai ini berperawakan seperti Bapak, ya? Hehe.
2.
Ada sedikit cacat logika. Entah logika siapa
yang sebenarnya cacat. Saya sebagai pembaca atau kelalaian Pak Rudy sebagi
penulis, entahlah. Tapi tentu, menulis novel memang sulit. Saya paham betul.
Di sini cacat logikanya.
A.
Setahun setelah pernikahannya, Rifai mati-matian
mencari Fabio yang menghilang. Laki-laki ini menanyakan pada pihak apartemen tentang
keberadaan Fabio. Tapi nihil. Selanjutnya, Rifai dengan geram dan merasa bodoh,
ia berpikir kenapa tidak bertanya pada Liando—sahabat Fabio. Liando pun tidak
tahu di mana Fabio sekarang. Tapi ia baru teringat jika Fabio pernah bercerita
akan pindah kerja ke luar negri, entah di mana. Sebagai langkah akhir karena
pasrah tak tahu harus bagaimana lagi, Rifai meminta alamat email Fabio pada
Liando. Dan semenjak itu, selama tiga tahun kurang lebih, Rifai terus mengirim
email kepada Fabio. Ia menderita luar biasa. Sampai-sampai istrinya pun dinomorsekiankan.
Yang menjadi cacat
logika. Kenapa Rifai tidak bertanya saja sama Ayah Fabio yang merupakan orang
tua tunggal pemuda itu? Tentu kemungkinan berhasil akan jauh lebih besar jika
bertanya dengan orang tua Fabio. Untuk orang secerdas Rifai. Dengan status
sosial dan pendidikan yang tinggi, rasanya msutahil tidak terpikirkan hal
sesederhana ini. Atau alasannya karena Ayah Fabio jauh di laur pulau sana dan
Rifai tidak ada nomor hape-nya? Oh, saya paham betul perangai Rifai. Ia bukan
manusia bodoh yang dengan cepat menyerah dan akhirnya sok menderita dengan mengirim email namun tak pernah dibalas selama
tiga tahun. Ayolah, Rifai! Kau bisa menanyakan pada Liando nomor hape ayah-nya
Fabio. Atau, bisa saja kan bertanya dengan pihak kampus Fabio? Ckh, bagian ini
banyak yang hilang logikanya.
B. Rasa-rasanya
(Mengikuti diksi Pak Rudy yang entah
kenapa banyak sekali bertebaran) hampir nihil tapi memang bukan tidak mungkin
ada perempuan seperti Jeny. Hanya saja, ini sukar dinalar. Jelas sekali wanita
ini sudah mengetahui kalau Rifai biseksual dari saat mereka pacaran di bangku
SMA. Anenhnya, setelah acara reuni bertahun-tahun kemudian, ia tetap nekad
kembali mendekat Rifai. Bahkan setuju dimadu dengan pasangan gay calon suaminya. Bukankah hampir
tidak masuk akal? Ah, atau mungkin... Pak Rudy Efendi menganggap perempuan akan
jauh lebih bisa menerima selingkuhan suaminya yang berjenis laki-laki daripada
permpuan? Hm, otak-ku tidak kerdil kok
Pak untuk mengatakan kalau Jeny ini Idiot! Hanya saja, karakter ini terlalu
bodoh, hihihi.
3. Kelemahan
selanjutnya pada novel ini mungkin pada EYD-nya. Tidak banyak sebenarnya yang
salah, tapi sangat fatal menurut saya.
a.
“Buat apa?” Fabio mendongak, menatap Rifai
dengan tatapan marah. “Apakah akan merubah keadaan? Apakah statusmu berubah?” –Halaman414.
Koreksi:
Kepada Pak Rudy Efendi yang terhormat, yang benar itu mengubah bukan merubah.
Pembaca tidak sedang ingin main rubah-rubah’an kok, Pak.
b.
“Kau memang bisa bersikap seolah-olah kau tidak
membutuhkanku, Fab,” lanjut Rifai krtika melihat Fabio tidak beraksi. –Halaman 425.
Koreksi:
Yang betul itu ketika bukan krtika. Oke, editor juga manusia kok. Saya paham :’)
c.
“Mama ingat pemuda bernama Fabio itu?” Suara Fabio
terdengar gugup. –Halaman 444.
Koreksi:
Ini jelas sekali dialog antara Rifai dan Mamanya, bukan Fabio ya, Pak J
Sekian dari saya yang hanyalah
pembaca biasa ini. Tentu, saya tidak ada maksud menjelekkan, menjatuhkan, atau
apapun itu yang bersifat negatif. Saya hanya menyampaikan unek-unek terhadap
novel ini. Terimakasih J
0 comments:
Post a Comment
Silahkan, semuanya dapat berkomentar. Namun, jadilah komentator yang cerdik dan beretika ya :)