Monday, March 7, 2016

BY Ricky Douglas IN No comments



Judul: Jakarta Love Story
Penulis: Rudy Efendy
Penerbit: DIVA Press
ISBN: 978-602-255-177-5
Tebal: 478 halaman
Tahun terbit: Agustus 2013
Cetakan: Pertama
Genre: Fiksi
Rating: 3/5


            Bonjour, pembaca setia yang tercinta! Pada kesempatan kali ini saya akan me-review buku berjudul Jakarta Love Story. Yap. Ini pengalaman pertama saya me-riew buku. Dan alasan kenapa buku ini dijadikan yang pertama, hm... tidak ada hal spesial sebenarnya, hanya kebetulan saja karena sedang riset bahan untuk membuat novel dengan tema yang sedikit sama. Saya ulangi, hanya sedikit sama, kok.
            Saya akan memberikan empat acungan jempol bagi kalian yang mau membaca novel ini, kenapa? Karena berani menahan jijik dan mual sepanjang membaca. Oiyaa tentu, sebab novel ini bertema cinta sejenis. Isinya pun banyak mengumbar adegan ranjang.
            Buku ini cukup mewakili bagi kalian yang penasaran seluk-beluk, jenis, dan bentuk cinta. Termasuk betapa bodoh orang yang sedang dilandanya. 

            “Tapi, bukankah cinta tidak pernah bisa memilih? Kita tidak pernah bisa memilih dengan siapa hati kita akan tertambat, bukan? Kita tidak pernah bisa hidup dalam kepura-puraan terus-menerus, bukan? Suatu hari, kebenaran akan muncul. Suatu hari, semuanya pasti akan terungkap. Ia tidak mungkin hidup terus-menerus dalam dua dunia yang saling bertolak belakang.” –Halaman 434.        
            Kisah ini diawali dari pertemuan Rifai dan Fabio di Lapangan Benteng—tempat bagi kaum seperti mereka menjajakan diri. Setelah menimang-nimang, Rifai pun sepakat menyewa laki-laki putih berbadan atletis di hadapannya, Fabio.
            Malam itu, Fabio terpaksa menjajakan tubuhnya karena masalah keuangan. Ia benar-benar pemain baru. Tak mengerti apapun. Wajahnya lugu. Sikap kaku. Sama sekali tidak seperti kucing profesional. Namun, justru hal inilah yang membuat Rifai kelimpungan dengan hatinya sendiri.
            Hubungan mereka semakin terjalin ketika pertemuan kedua yang tak sengaja terjadi. Kali ini tidak sebagai penjaja kenikmatan dan penyesap berahi, namun lebih sebagai teman. Ya, walaupun tetap berujung di ranjang.
            Keduanya makin tenggelam dalam dunia kenikmatan. Mengarungi samudera yang seharusnya tidak boleh diselami. Yang suatu saat dapat melahap, menenggelamkan mereka dengan ganas. Dan tentu saja, tak butuh waktu lama, ujian pun datang.
            “Dia pasti bukan cuma marah. Tapi sekaligus cemburu. Mungkin merasa telah dipermainkan.”Hati Rifai berdesir memikirkan hal itu.  -Halaman  199.
            Fabio mendadak berang saat mendapati laki-laki lain setengah telanjang di apartemen Rifai. Ia pun menghilang. Meninggalkan sosok Rifai yang terlalu fana baginya. Ya, Rifai begitu tergila akan sexs. Selain dengan Fabio, ia pun tetap berbagi keringat di ranjang dengan laki-laki dan perempuan muda lainnya. Namun, Fabio tak bisa marah sepenuhnya karena di antara mereka memang tak ada komitmen apapun. Semua mengalir begitu saja.
            “Tapi, caramu memperlakukanku sudah sama dengan pelacur,” batin Fabio hancur. -Halaman 238.
            Tapi tentu, bukan Rifai namanya jika tak bisa merebut kembali Fabio. Ia begitu mencintai laki-laki muda itu lebih dari pemuda dan wanita lain yang pernah ditidurinya. Rifai bertekad menjadikan Fabio yang terakhir.   
            “Aku sudah pernah bilang, aku akan menikah suatu hari. Aku tidak akan menjalani hidup begini terus. Aku bukan gay seratus persen. Aku masih doyan wanita. Aku menyukai anak-anak. Kau sudah tahu itu dari awal. Kenapa sekarang kau bersikap seolah-olah kau tidak bisa menerimanya?” –Halaman 358.
            Fabio pasrah saat Rifai memutuskan  untuk menikah dengan Jeny—mantan pacar Rifai saat SMA. Tapi tentu, Rifai tak mau melepaskan Fabio. Ia sudah bicara dengan calon istrinya jika dirinya adalah biseksual dan sekarang memiliki pacar seorang laki-laki muda.
            “Aku tidak ingin membohongimu, Jen. Lebih baik aku berterus terang sekarang.” Rifai berdiri, memandang Jeny sungguh-sungguh. “Kalau kau bisa menerimanya, kita lanjutkan hubungan ini dan aku akan segera menikahimu. Tapi kalau tidak, kau masih punya waktu berpikir ulang.” –Halaman 345.  
            Pernikahan digelar. Dan semenjak itu, Fabio menghilang selamanya. Hingga diusia pernikahan Rifai yang menginjak setahun, laki-laki ini mulai mencari Fabio lagi. Tapi terlambat, dari apa yang dijelaskan Liando—sahabat Fabio—pemuda itu telah pindah ke luar negri.
            Hebatnya, cerita tidak hanya sampai di sini. Walaupun Jeny sedang mengandung, tapi Rifai terus mencari Fabio meski waktu tiga tahun telah terlewati. Cerita kembali terajut saat keduanya tak sengaja bertemu di Paris. Dan, konflik pun bermunculan satu persatu.
            “Kamu memang lelaki egois!” Fabio memberengut. “Dulu, kau seenak perut berhubungan dengan siapapun yang kau suka. Lalu, kau menikah dengan perempuan itu dan aku dipaksa harus menerimanya dengan pahit.” Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirnya. “Sekarang, tiba-tiba kau muncul kembali, dan aku harus menurut semua keinginanmu. Tidakkah kau berpikir kau terlalu egois, Fai?” –Halaman 432.
Bagaimana nasib pernikahan Rifai dan Jeny? Terlebih, sekarang perempuan itu sedang mengandung. Namun, tak layakkah Rifai memperjuangkan hatinya sendiri? Dan pertanyaan terakhir, siapa yang akan berlabuh dan menetap di hati Rifai selamanya?
            -Sekian-

Kelebihan dari novel ini mungkin karena penggunaan POV 3 yang begitu mengalir. Tidak banyak menggunakan diksi yang sulit dipahami, tapi juga tidak hambar dengan diksi yang itu-itu saja. Kekuatan alur cerita pun sangat mantab. Semua dikemas dengan apik.  
Nah, kalau untuk membahas masalah kekurangan, akan sedikit banyak yang saya jabarkan;
1.      Penokohan tiap karakter sangat buruk, menurut saya. Penulis sangat-sangat tidak mendeskripsikan seperti apa sosok Rifai. Yang sering diproklamirkan hanya; Rifai pemuda yang gagah dan berani. Oh ayolah, saya tidak sedang membaca cerita dongeng, kan? Hihihi. Pembaca, atau lebih spesifiknya adalah saya, akan jauh lebih puas jika diberikan sedikit gambaran fisik tentang Rifai. Bagaimana rambutnya. Wajah. Tinggi. Menggunakan kacamata atau tidak. Ya, seperti itulah kira-kira. Pak, Rudy Efendi pun tak lebih memperhatikan karakter tokoh yang lain. Misalnya, Jeny. Entah apa maksudnya. Ah, atau mungkin beliau ingin membuat pembaca bebas membayangkan siapapun dalam imajinasinya? Oke, baiklah, Pak. Saya anggap saja Rifai ini berperawakan seperti Bapak, ya? Hehe.

2.      Ada sedikit cacat logika. Entah logika siapa yang sebenarnya cacat. Saya sebagai pembaca atau kelalaian Pak Rudy sebagi penulis, entahlah. Tapi tentu, menulis novel memang sulit. Saya paham betul.

Di sini cacat logikanya.
A.    Setahun setelah pernikahannya, Rifai mati-matian mencari Fabio yang menghilang. Laki-laki ini menanyakan pada pihak apartemen tentang keberadaan Fabio. Tapi nihil. Selanjutnya, Rifai dengan geram dan merasa bodoh, ia berpikir kenapa tidak bertanya pada Liando—sahabat Fabio. Liando pun tidak tahu di mana Fabio sekarang. Tapi ia baru teringat jika Fabio pernah bercerita akan pindah kerja ke luar negri, entah di mana. Sebagai langkah akhir karena pasrah tak tahu harus bagaimana lagi, Rifai meminta alamat email Fabio pada Liando. Dan semenjak itu, selama tiga tahun kurang lebih, Rifai terus mengirim email kepada Fabio. Ia menderita luar biasa. Sampai-sampai istrinya pun dinomorsekiankan.
Yang menjadi cacat logika. Kenapa Rifai tidak bertanya saja sama Ayah Fabio yang merupakan orang tua tunggal pemuda itu? Tentu kemungkinan berhasil akan jauh lebih besar jika bertanya dengan orang tua Fabio. Untuk orang secerdas Rifai. Dengan status sosial dan pendidikan yang tinggi, rasanya msutahil tidak terpikirkan hal sesederhana ini. Atau alasannya karena Ayah Fabio jauh di laur pulau sana dan Rifai tidak ada nomor hape-nya? Oh, saya paham betul perangai Rifai. Ia bukan manusia bodoh yang dengan cepat menyerah dan akhirnya sok menderita dengan mengirim email namun tak pernah dibalas selama tiga tahun. Ayolah, Rifai! Kau bisa menanyakan pada Liando nomor hape ayah-nya Fabio. Atau, bisa saja kan bertanya dengan pihak kampus Fabio? Ckh, bagian ini banyak yang hilang logikanya.

B.     Rasa-rasanya (Mengikuti diksi Pak Rudy yang entah kenapa banyak sekali bertebaran) hampir nihil tapi memang bukan tidak mungkin ada perempuan seperti Jeny. Hanya saja, ini sukar dinalar. Jelas sekali wanita ini sudah mengetahui kalau Rifai biseksual dari saat mereka pacaran di bangku SMA. Anenhnya, setelah acara reuni bertahun-tahun kemudian, ia tetap nekad kembali mendekat Rifai. Bahkan setuju dimadu dengan pasangan gay calon suaminya. Bukankah hampir tidak masuk akal? Ah, atau mungkin... Pak Rudy Efendi menganggap perempuan akan jauh lebih bisa menerima selingkuhan suaminya yang berjenis laki-laki daripada permpuan? Hm, otak-ku tidak kerdil kok Pak untuk mengatakan kalau Jeny ini Idiot! Hanya saja, karakter ini terlalu bodoh, hihihi.

3.      Kelemahan selanjutnya pada novel ini mungkin pada EYD-nya. Tidak banyak sebenarnya yang salah, tapi sangat fatal menurut saya.
a.       “Buat apa?” Fabio mendongak, menatap Rifai dengan tatapan marah. “Apakah akan merubah keadaan? Apakah statusmu berubah?” –Halaman414.
Koreksi: Kepada Pak Rudy Efendi yang terhormat, yang benar itu mengubah bukan merubah. Pembaca tidak sedang ingin main rubah-rubah’an kok, Pak.
b.      “Kau memang bisa bersikap seolah-olah kau tidak membutuhkanku, Fab,” lanjut Rifai krtika melihat Fabio tidak beraksi.  –Halaman 425.
Koreksi: Yang betul itu ketika bukan krtika. Oke, editor juga manusia kok. Saya paham :’)
c.       “Mama ingat pemuda bernama Fabio itu?” Suara Fabio terdengar gugup.               –Halaman 444.
Koreksi: Ini jelas sekali dialog antara Rifai dan Mamanya, bukan Fabio ya, Pak J

            Sekian dari saya yang hanyalah pembaca biasa ini. Tentu, saya tidak ada maksud menjelekkan, menjatuhkan, atau apapun itu yang bersifat negatif. Saya hanya menyampaikan unek-unek terhadap novel ini. Terimakasih J

0 comments:

Post a Comment

Silahkan, semuanya dapat berkomentar. Namun, jadilah komentator yang cerdik dan beretika ya :)