Thursday, February 5, 2015

Kampus Fiksi Emas-ku

BY Ricky Douglas 3 comments




Dua Puluh Sembilan Hari Sebelum Februari. 

Sepertinya... aku menulis karena orang lain menulis. Berkarya karena orang lain berkarya. Takut kalah? Mungkin! Iri hati? Ah, tidak juga! Aku melakukannya karena dunia literasi ibarat cahaya matahari yang sangat terang bagiku. Sulit sekali buat menatap dengan tajam, tapi aku sungkan buat terpejam karena gelap tidaklah menyenangkan.  

            “Ah, ngapain lo nulis? Kayak orang kagak ada kerjaan aja?!” tegur suara mantab sahabatku yang justru terdengar seperti bentakan preman pasar johar. 

            “Emm... nulis itu kayak orang enggak ada kerjaan, ya?” pertanyaanku itu hanya mampu tertahan di ulu dada, dan lama-kelamaan meradang membuat perut melilit. Muak!

            Ada satu pikiran miris dan juga cukup picik jika didengar para (penulis) lain. Yah, aku beranggapan kalau penulis itu adalah orang-orang yang kesepian! Hidupnya hanya bertutur pada lembaran cerita karangan. Walaupun rute hidup tidak cuma kampus-kosan dan sebaliknya, tapi akhirnya ia tetap mendekam dalam satu dunia seolah-olah yang berhasil ditipu daya oleh dirinya sendiri. Setidaknya... itu menurutku. Atau, lebih tepatnya itu aku! Hidupku tentunya tidak membosankan! Banyak teman buat berbagi, banyak tempat buat membuang sampah dalam pikiran. Namun, lagi-lagi aku terlihat miris karena hanya coretan dari jemari ini lah yang mampu memuaskan semua hasrat manusiawiku. Yap. Hasrat ingin berkeluh kesah!
***

Lima Hari di Bulan Februari.
            Bodoh. Aku lupa kalau kacamata bisa membantuku melihat sinar matahari secara gamblang. Lagi-lagi, walaupun sinarnya sedikit redup karena retina mataku terhalang lensa yang menjadi penyekat antara aku dan matahari. 

“Lo nulis lagi? Kayak orang kagak ada kerjaan aja sih lo?!” tegur sahabatku yang kali ini jauh lebih beringas dari pada ombak di bibir pantai. 

“Dengan menulis, aku bisa bertahan sekaligus menyerang dalam waktu yang bersamaan,” jawabku mantab dengan rasa bangga yang luar biasa berlebihan. 

“Maksud lo?” tanyanya bingung. Ia merapatkan bangku ke sisi mejaku. Tidak peduli dengan keberadaan dosen yang sedang berorasi tak jelas di depan kelas. 

“Tebak, senjata apa yang paling mematikan?” tanyaku dengan nada yang... emm, sedikit memuakkan. Mirip para motivator dadakan. 

Sahabatku itu menjentikkan jari di kening, “Apa, ya?” gumamnya pada diri sendiri. “Kayaknya Pistol deh, atau bom?!” sergahnya percaya diri, seperti memecahkan kasus yang tidak bisa ditangani Sherlock Holmes

“Salah! Senjata yang paling mematikan itu adalah tulisan. Ia menyerang pikiran, idealisme seseorang. Mungkin kamu juga sebentar lagi akan kuserang pemikirannya lewat cerita baruku, haha” jelasku panjang lebar. 

Bibirnya menekuk, “Cerita apa?” ia mengedarkan pandang ke arah jendela yang menghantarkan panas siang hari, lalu mendekatkan telinga ke bibirku. Kepalanya sedikit tertunduk.

“Aku ngasih judulnya Kampus Fiksi Emas. Ini kisah nyata! Walaupun sebenarnya enggak ada kata-kata emasnya sih. Tapi, semoga saja aku enggak salah menyematkan kata emas di sana.”  


***

Tujuh Hari Terakhir di Bulan Januari

Bulan Januari menghentakkanku dari zona yang selalu menina bobokan manusia aneh, sepertiku! Ah, ini yang disebut-sebut mereka dengan rasa letih dan bosan di waktu yang bersamaan. Rute hidupku tiba-tiba mengalami fluktuasi yang cukup tinggi. Dari seorang (Mahasiswa), kini di(paksa) bekerja seharian. Pergi jam delapan pagi lalu pulang saat jarum jam mendekati angka sepuluh malam. Kerjaanku? Marketing di salah satu Bank. 

Maaf, aku tidak akan bercita... atau mungkin memang tidak bisa bercerita tentang bagaimana jerihnya menunggu bertahun-tahun seperti para teman alumni Kampus Fiksi11 yang lainnya. Ada satu rahasia yang tidak akan kubagi dengan kalian yang mengaku (pembaca), dan akan banyak rahasia yang mampu kuobral untuk kalian yang mengaku (sahabat).  

Singkatnya, handphone-ku berdering saat jam kerja, dan setelah itu... hanya wajah girang serta lompatan kecil yang mengiasi ruang kerja. 

Aku akan menjadi keluarga besar Kampus Fiksi, batinku. 

Untuk kalian yang belum tahu Kampus Fiksi (Walaupun mustahil banget sih buat para penulis pemula enggak tahu apa itu Kampus Fiksi). Kampus Fiksi atau KF adalah acara yang digelar oleh penerbit DivaPress. Ada Kampus Fiksi Reguler, Emas, RoadShow, dan Spesial. (Paragraf ini sengaja dibikin kayak laporan berita, buahaha).



***
Dua Hari Terakhir di Bulan Januari 

Perjalanan dari Semarang-Yogyakarta hanya membutuhkan waktu sekitar 3-4 jam. Tergantung si pengemudi membawa kendarannya dengan laju siput atau kelinci. Dan, aku memilih menjadi siput. Empat jam di perjalanan full diserang mahluk yang bernama hujan. Alhasil badan basah semua (Ceritanya naik motor).  Aku tersenyum masygul, pasti nanti para peserta Kampus Fiksi itu orang-orangnya sudah tua semua. Ada yang berjenggot, perut buncit, kacamata tebal, perempuan tomboy, laki-laki yang meng-imutkan dirinya sendiri, atau mungkin sudah ada yang ubanan? Bisa jadi, kan?! 

Menurut kabar burung yang beredar (entahlah burung siapa yang mau beredar di malam selarut ini), Kampus Fiksi juga bisa dijadikan ajang buat mereka yang ingin menaikkan status dari jomblo menuju manusia yang di PHP-in, lalu berlabuh ke pacaran, dan akhirnya jungkir balik di sudut ruangan karena putus cinta. 

Karena hujan makin deras, aku memilih berteduh di warung makan nasi padang yang herannya selalu ada di manapun dan kapanpun. Puas makan dua piring nasi rendang, roda motorku melaju ke arah Jogja dan melipir ke Jl.Wonosari.

“Halo, Mas Imam. Mau laporan nih. Aku udah ada di depan Alf*mart Jl.Wonosari,” tuturku pada orang yang belum pernah kutemui di seberang telepon itu.  

“Oke, Mas Ricky. Saya menuju ke sana. Tunggu, ya!” ia mematikan telepon.

Mas Imam, menurut penuturannya sendiri, ia adalah wakil dari Kampus Fiksi untuk menjemput para peserta yang tidak tahu jalan menuju rumah baru mereka. Berhubung aku adalah orang yang sangat tertarik dengan dunia psikologi, belum bertemu dengan Mas Imam saja, aku sudah menebak-nebak rupa fisik dan psikisnya. Dari ciri-ciri suara, aku sudah bisa dengan geniusnya menebak kalau dia adalah seorang laki-laki! 

Benar saja! Mas Imam adalah laki-laki yang alhamdulilah tulen, haha. Perjalanan dari toko berwarna merah menuju asrama DivaPress tidaklah jauh, hanya melewati gang-gang yang cukup gelap dan seram. Woaah, ini dia... DivaPress. Setelah penasaran dengan sesuatu bernama DivaPress yang selalu saja bergentayangan di dunia mayaku, akhirnya bangga sekali bisa berkenalan secara langsung dengan mereka. 

Sekarang pukul satu pagi di dua hari terakhir bulan Januari. Aku dikasih titah Mas Imam untuk langsung saja naik ke lantai dua. Di sana, ada mahluk-mahluk yang (ternyata) kasat mata sudah menungguku (mungkin) di emperan tangga. 

“Haloo, kenalin. Namaku Douglas,” aku menyodorkan tangan. Bergaya sok ramah di tengah lingkungan yang masih asing buat kita, adalah cara paling cerdik menyelamatkanmu dari rasa kesepian.

“Yuhuuu, jenengku Yusuf. Panggil aja Ucup” terangnya singkat dengaan senyuman yang entah kenapa sangat super duper lebarnya, mana dialeq-nya sangat Jawa sekali. 

Melangkah sedikit ke atas, aku berkenalan juga dengan Mas Reza, Mas Kiki, Mas Awal, dan mereka semua tercecer di sudut tangga. Entahlah, mungkin itu tempat nongkrongnya.

Benakku saat melihat ruangan lantai dua, Woah acara ini pasti bakal menyenangkan! Ruangan yang pertama kali menyambutku adalah aula dengan beberapa meja menyatu lalu membentuk Huruf-U. Baru tiba, aku langsung ditodong dan diberi hadiah satu tas berisi buku dan nasi bungkus, luar biasa! Lampu temaram, ada dua anak laki-laki tidur di tengah barisan meja yang membentuk huruf-U, dan dua lagi di sudut ruangan.  Bagian paling menyenangkan adalah saat dengan sok cool—nya aku berkenalan sama gadis bernama Mba Tiwi dan Gyta. Mereka terlihat sangat akrab. Aku Bingung. Mereka itu peserta atau panitia!

Masuk ke dalam kamar, aku bertemu dengan dua laki-laki yang tanpa sadar telah membuatku benci dengaan mereka! Namanya Joko dan Nasrul! Aku benci karena mereka jauh lebih tinggi dari padaku, haha! Nampaknya bukan benci atau dendam kesumat... mungkin, hanya pelampiasan saja kenapa aku tidak bisa setinggi mereka. Setelah itu, makan dan tidur!
***

Hari Terakhir di Bulan Januari
Dua puluh orang peserta yang digadang-gadang adalah para keluarga Kampus Fiksi11 ini pun sudah rapi duduk di deretan meja. Aku adalah satu-satunya pria di barisan para wanita. Apa mungkin ada yang salah dengan urutannya? Hah! Kami satu per satu memperkenalkan diri. Di sebelahku ada adek SMA bernama Refa yang sayangnya bukan actris pemeran Asalamualikum Beijing. Dan, di sisi kananku ada (perempuan juga) bernama Mega. Rambutnya pendek, tapi ekspektasi-ku salah! Ia tidak tomboy. Bahkan, semua bayanganku tentang para peserta, tidak ada yang benar! Tidak ada para tante-tante dengan wajah yang (sedikit) tua selain Tante Siska dan Tante Yenitta Anggi. Tidak ada laki-laki buncit dan tua selain Joko, Ucup, dan Awal. Tidak ada laki-laki yang suka meng-imutkan dirinya sendiri selain Ajar. Hah! Ternyata semua tebakanku salah! 

Masuk ke acara pertama. Pembukaan yang sayangnya tidak bisa dihadiri langsung oleh Pak Edi, lalu ada penyerahan membercard secara simbolis. Dan, yang paling mengejutkan, kami diberi tantangan untuk menulis selama tiga jam dengan tema masa kolonial. Ini bagian yang paling menguras semua cairan di dalam tubuh. Satu sisi mikirin riset, dan yang lainnya harus fokus ke alur cerita, Hah! Nulis dengan degup jantung yang lebih kencang itu ternyata jauh lebih menyenangkan. Kita harus bisa satu langkah di depan rasa tertekan dan bingung. Mampu meminjamkan otak untuk riset dan hati untuk pendalaman karakter dalam waktu yang bersamaan, itu sedikit sulit! 

Benar saja, saaat evaluasi cerpen di sore harinya, Aku kalah! Lebih tepatnya belum berkesempatan untuk menang. Oh iya, kami dibagi menjadi beberapa kelompok kecil dalam proses kreatif menulis. Kelompok empat yang beranggotakan aku (Ricky Douglas), dedek SMA (Refa), dan pemuda dari Pare-Pare (Nasrul). 

Setelah saya amati dengan kening berkerut dan alis yang saling bertabrakan, di Kampus Fiksi banyak yang lucu. Salah satunya, entah kenapa semua mata laki-laki di sana (yang belum beristri) selalu saja melihat ke arah perempuan yang bernama (Suci = salah satu peserta KF). Terutama Kang Reza. Duh, sepertinya laaki-laki satu itu sudah kena kutukan maut dari senyum seorang Suci, haha. 

Percaya padaku, semua pengalaman selama dua hari dua malam itu tidak akan selesai jika dijadikan satu rangkaian cerita. Akan banyak kisah di balik kisah, makna di balik makna, pertemuan di balik pertemuan. Kami mengkahiri semua rangkain acara dua hari itu dengan menonton video lucu yang diperankan oleh keluarga besar Kampus Fiksi. Perpisahan. Sama seperti perkataan Pak Edi Akhiles yang kurang lebih seperti ini,  “Kadang... saat pertemuan, kita lupa bahwa nantinya kita akan berpisah.”

Benar sekali, Pak! Hari perpisahan sudah datang. Dan, sayangnya aku terlalu lama memahami kalau ternyata diriku sudah nyaman bersama kalian, senyumku sudah sepadan dengan kalian, gerakku sudah seirama dengan kalian. Teman-teman, pertemuan memang menipu, ia terlalu menina bobokanku hingga lupa caranya mengucapkan perpisahaan yang menyentuh. Yah, tidak seperti Risky Ananda dari pulau Medan yang terlalu pandai merangkai kata perpisahan. Benarkah, Ky? Kami bagimu seperti tanda baca? Atau seperti Refa yang dengan keluguhan mampu membekaskan rasa tenang di hati teman-teman, mungkin juga seperti Nasrul yang berkata kalau ia hanya ingin mengucapkan perpisahaan hanya untuk dirinya sendiri. 

Ada juga Nailiz yang menurutku ramah dan asyik. Perempuan dengan panggilan Pipit juga tidak kalah lucu dengan muka selalu merona jika melihat Joko di sampingnya. Ha, satu lagi gadis imut di KF, namanya Ocha, anaknya bener-bener imut. Laki-laki perawakan Uztad juga ada, namanya Mas Anwar. Ada perempuan penyuka korea bernama Deasy, ada Dhanik yang entah kenapa matanya terlihat sangat tajam, dan Anis si ramah. Gyta si... misterius tapi senyumnya bikin tenang, dan ada juga laki-laki cantik bernama Ajar. Dan, orang yang tidak kalah bakal membuatku rindu adalah si Gara (anak Pak Edi), dia teman beracanda, berantem, sekaligus ber-selfi-ria. 

Ah, maaf, aku tidak pandai mengucapkan kata-kata perpisahan! Aku terlalu kaku untuk berucap kalau saat ini aku... merindukan masa yang baru berlalu empat hari itu. Jika aku menggangu kalian dengan celotehku di dunia maya kemudian hari, aku hanya bisa meminta maaf. Hanya itu satu-satunya yang bisa menandakan kalau aku merindukan masa Kampus Fiksi Emas-ku.