Dua
Puluh Sembilan Hari Sebelum Februari.
Sepertinya...
aku menulis karena orang lain menulis. Berkarya karena orang lain berkarya.
Takut kalah? Mungkin! Iri hati? Ah, tidak juga! Aku melakukannya karena dunia literasi
ibarat cahaya matahari yang sangat terang bagiku. Sulit sekali buat menatap
dengan tajam, tapi aku sungkan buat terpejam karena gelap tidaklah
menyenangkan.
“Ah, ngapain lo nulis? Kayak orang
kagak ada kerjaan aja?!” tegur suara mantab sahabatku yang justru terdengar
seperti bentakan preman pasar johar.
“Emm...
nulis itu kayak orang enggak ada kerjaan, ya?” pertanyaanku itu hanya mampu
tertahan di ulu dada, dan lama-kelamaan meradang membuat perut melilit. Muak!
Ada satu pikiran miris dan juga
cukup picik jika didengar para (penulis) lain. Yah, aku beranggapan kalau
penulis itu adalah orang-orang yang kesepian! Hidupnya hanya bertutur pada lembaran
cerita karangan. Walaupun rute hidup tidak cuma kampus-kosan dan sebaliknya, tapi
akhirnya ia tetap mendekam dalam satu dunia seolah-olah yang berhasil ditipu
daya oleh dirinya sendiri. Setidaknya... itu menurutku. Atau, lebih tepatnya
itu aku! Hidupku tentunya tidak membosankan! Banyak teman buat berbagi, banyak
tempat buat membuang sampah dalam pikiran. Namun, lagi-lagi aku terlihat miris
karena hanya coretan dari jemari ini lah yang mampu memuaskan semua hasrat
manusiawiku. Yap. Hasrat ingin berkeluh kesah!
***
Lima Hari di Bulan Februari.
Bodoh. Aku lupa kalau kacamata bisa
membantuku melihat sinar matahari secara gamblang. Lagi-lagi, walaupun sinarnya
sedikit redup karena retina mataku terhalang lensa yang menjadi penyekat antara
aku dan matahari.
“Lo
nulis lagi? Kayak orang kagak ada kerjaan aja sih lo?!” tegur sahabatku yang
kali ini jauh lebih beringas dari pada ombak di bibir pantai.
“Dengan
menulis, aku bisa bertahan sekaligus menyerang dalam waktu yang bersamaan,”
jawabku mantab dengan rasa bangga yang luar biasa berlebihan.
“Maksud
lo?” tanyanya bingung. Ia merapatkan bangku ke sisi mejaku. Tidak peduli dengan
keberadaan dosen yang sedang berorasi tak jelas di depan kelas.
“Tebak,
senjata apa yang paling mematikan?” tanyaku dengan nada yang... emm, sedikit
memuakkan. Mirip para motivator dadakan.
Sahabatku
itu menjentikkan jari di kening, “Apa, ya?” gumamnya pada diri sendiri. “Kayaknya
Pistol deh, atau bom?!” sergahnya percaya diri, seperti memecahkan kasus yang
tidak bisa ditangani Sherlock Holmes.
“Salah!
Senjata yang paling mematikan itu adalah tulisan. Ia menyerang pikiran,
idealisme seseorang. Mungkin kamu juga sebentar lagi akan kuserang pemikirannya
lewat cerita baruku, haha” jelasku panjang lebar.
Bibirnya
menekuk, “Cerita apa?” ia mengedarkan pandang ke arah jendela yang
menghantarkan panas siang hari, lalu mendekatkan telinga ke bibirku. Kepalanya
sedikit tertunduk.
“Aku
ngasih judulnya Kampus Fiksi Emas. Ini kisah nyata! Walaupun sebenarnya enggak
ada kata-kata emasnya sih. Tapi, semoga saja aku enggak salah menyematkan kata
emas di sana.”
***
Tujuh Hari Terakhir di
Bulan Januari
Bulan
Januari menghentakkanku dari zona yang selalu menina bobokan manusia aneh,
sepertiku! Ah, ini yang disebut-sebut mereka dengan rasa letih dan bosan di
waktu yang bersamaan. Rute hidupku tiba-tiba mengalami fluktuasi yang cukup
tinggi. Dari seorang (Mahasiswa), kini di(paksa) bekerja seharian. Pergi jam
delapan pagi lalu pulang saat jarum jam mendekati angka sepuluh malam. Kerjaanku?
Marketing di salah satu Bank.
Maaf,
aku tidak akan bercita... atau mungkin memang tidak bisa bercerita tentang
bagaimana jerihnya menunggu bertahun-tahun seperti para teman alumni Kampus
Fiksi11 yang lainnya. Ada satu rahasia yang tidak akan kubagi dengan kalian
yang mengaku (pembaca), dan akan banyak rahasia yang mampu kuobral untuk kalian
yang mengaku (sahabat).
Singkatnya,
handphone-ku berdering saat jam kerja,
dan setelah itu... hanya wajah girang serta lompatan kecil yang mengiasi ruang
kerja.
Aku akan menjadi
keluarga besar Kampus Fiksi, batinku.
Untuk
kalian yang belum tahu Kampus Fiksi (Walaupun mustahil banget sih buat para
penulis pemula enggak tahu apa itu Kampus Fiksi). Kampus Fiksi atau KF adalah
acara yang digelar oleh penerbit DivaPress. Ada Kampus Fiksi Reguler, Emas,
RoadShow, dan Spesial. (Paragraf ini sengaja dibikin kayak laporan berita,
buahaha).
***
Dua Hari Terakhir di
Bulan Januari
Perjalanan
dari Semarang-Yogyakarta hanya membutuhkan waktu sekitar 3-4 jam. Tergantung si
pengemudi membawa kendarannya dengan laju siput atau kelinci. Dan, aku memilih
menjadi siput. Empat jam di perjalanan full
diserang mahluk yang bernama hujan. Alhasil badan basah semua (Ceritanya naik
motor). Aku tersenyum masygul, pasti nanti para peserta Kampus
Fiksi itu orang-orangnya sudah tua semua. Ada yang berjenggot, perut buncit,
kacamata tebal, perempuan tomboy, laki-laki yang meng-imutkan dirinya sendiri, atau
mungkin sudah ada yang ubanan? Bisa jadi, kan?!
Menurut
kabar burung yang beredar (entahlah burung siapa yang mau beredar di malam
selarut ini), Kampus Fiksi juga bisa dijadikan ajang buat mereka yang ingin
menaikkan status dari jomblo menuju manusia yang di PHP-in, lalu berlabuh ke
pacaran, dan akhirnya jungkir balik di sudut ruangan karena putus cinta.
Karena
hujan makin deras, aku memilih berteduh di warung makan nasi padang yang
herannya selalu ada di manapun dan kapanpun. Puas makan dua piring nasi
rendang, roda motorku melaju ke arah Jogja dan melipir ke Jl.Wonosari.
“Halo,
Mas Imam. Mau laporan nih. Aku udah ada di depan Alf*mart Jl.Wonosari,” tuturku
pada orang yang belum pernah kutemui di seberang telepon itu.
“Oke,
Mas Ricky. Saya menuju ke sana. Tunggu, ya!” ia mematikan telepon.
Mas
Imam, menurut penuturannya sendiri, ia adalah wakil dari Kampus Fiksi untuk
menjemput para peserta yang tidak tahu jalan menuju rumah baru mereka.
Berhubung aku adalah orang yang sangat tertarik dengan dunia psikologi, belum
bertemu dengan Mas Imam saja, aku sudah menebak-nebak rupa fisik dan psikisnya.
Dari ciri-ciri suara, aku sudah bisa dengan geniusnya menebak kalau dia adalah
seorang laki-laki!
Benar
saja! Mas Imam adalah laki-laki yang alhamdulilah tulen, haha. Perjalanan dari
toko berwarna merah menuju asrama DivaPress tidaklah jauh, hanya melewati
gang-gang yang cukup gelap dan seram. Woaah, ini dia... DivaPress. Setelah penasaran dengan sesuatu bernama DivaPress yang
selalu saja bergentayangan di dunia mayaku, akhirnya bangga sekali bisa
berkenalan secara langsung dengan mereka.
Sekarang
pukul satu pagi di dua hari terakhir bulan Januari. Aku dikasih titah Mas Imam
untuk langsung saja naik ke lantai dua. Di sana, ada mahluk-mahluk yang
(ternyata) kasat mata sudah menungguku (mungkin) di emperan tangga.
“Haloo,
kenalin. Namaku Douglas,” aku menyodorkan tangan. Bergaya sok ramah di tengah
lingkungan yang masih asing buat kita, adalah cara paling cerdik
menyelamatkanmu dari rasa kesepian.
“Yuhuuu,
jenengku Yusuf. Panggil aja Ucup” terangnya singkat dengaan senyuman yang entah
kenapa sangat super duper lebarnya, mana dialeq-nya sangat Jawa sekali.
Melangkah
sedikit ke atas, aku berkenalan juga dengan Mas Reza, Mas Kiki, Mas Awal, dan
mereka semua tercecer di sudut tangga. Entahlah, mungkin itu tempat
nongkrongnya.
Benakku
saat melihat ruangan lantai dua, Woah
acara ini pasti bakal menyenangkan! Ruangan yang pertama kali menyambutku
adalah aula dengan beberapa meja menyatu lalu membentuk Huruf-U. Baru tiba, aku
langsung ditodong dan diberi hadiah satu tas berisi buku dan nasi bungkus, luar
biasa! Lampu temaram, ada dua anak laki-laki tidur di tengah barisan meja yang
membentuk huruf-U, dan dua lagi di sudut ruangan. Bagian paling menyenangkan
adalah saat dengan sok cool—nya aku
berkenalan sama gadis bernama Mba Tiwi dan Gyta. Mereka terlihat sangat akrab.
Aku Bingung. Mereka itu peserta atau panitia!
Masuk
ke dalam kamar, aku bertemu dengan dua laki-laki yang tanpa sadar telah
membuatku benci dengaan mereka! Namanya Joko dan Nasrul! Aku benci karena
mereka jauh lebih tinggi dari padaku, haha! Nampaknya bukan benci atau dendam
kesumat... mungkin, hanya pelampiasan saja kenapa aku tidak bisa setinggi
mereka. Setelah itu, makan dan tidur!
***
Hari Terakhir di Bulan
Januari
Dua
puluh orang peserta yang digadang-gadang adalah para keluarga Kampus Fiksi11
ini pun sudah rapi duduk di deretan meja. Aku adalah satu-satunya pria di
barisan para wanita. Apa mungkin ada yang salah dengan urutannya? Hah! Kami
satu per satu memperkenalkan diri. Di sebelahku ada adek SMA bernama Refa yang
sayangnya bukan actris pemeran Asalamualikum Beijing. Dan, di sisi kananku ada
(perempuan juga) bernama Mega. Rambutnya pendek, tapi ekspektasi-ku salah! Ia
tidak tomboy. Bahkan, semua bayanganku tentang para peserta, tidak ada yang
benar! Tidak ada para tante-tante dengan wajah yang (sedikit) tua selain Tante
Siska dan Tante Yenitta Anggi. Tidak ada laki-laki buncit dan tua selain Joko,
Ucup, dan Awal. Tidak ada laki-laki yang suka meng-imutkan dirinya sendiri
selain Ajar. Hah! Ternyata semua tebakanku salah!
Masuk
ke acara pertama. Pembukaan yang sayangnya tidak bisa dihadiri langsung oleh
Pak Edi, lalu ada penyerahan membercard
secara simbolis. Dan, yang paling mengejutkan, kami diberi tantangan untuk
menulis selama tiga jam dengan tema masa kolonial. Ini bagian yang paling menguras
semua cairan di dalam tubuh. Satu sisi mikirin riset, dan yang lainnya harus
fokus ke alur cerita, Hah! Nulis dengan degup jantung yang lebih kencang itu
ternyata jauh lebih menyenangkan. Kita harus bisa satu langkah di depan rasa
tertekan dan bingung. Mampu meminjamkan otak untuk riset dan hati untuk
pendalaman karakter dalam waktu yang bersamaan, itu sedikit sulit!
Benar
saja, saaat evaluasi cerpen di sore harinya, Aku kalah! Lebih tepatnya belum
berkesempatan untuk menang. Oh iya, kami dibagi menjadi beberapa kelompok kecil
dalam proses kreatif menulis. Kelompok empat yang beranggotakan aku (Ricky
Douglas), dedek SMA (Refa), dan pemuda dari Pare-Pare (Nasrul).
Setelah
saya amati dengan kening berkerut dan alis yang saling bertabrakan, di Kampus
Fiksi banyak yang lucu. Salah satunya, entah kenapa semua mata laki-laki di
sana (yang belum beristri) selalu saja melihat ke arah perempuan yang bernama
(Suci = salah satu peserta KF). Terutama Kang Reza. Duh, sepertinya laaki-laki
satu itu sudah kena kutukan maut dari senyum seorang Suci, haha.
Percaya
padaku, semua pengalaman selama dua hari dua malam itu tidak akan selesai jika
dijadikan satu rangkaian cerita. Akan banyak kisah di balik kisah, makna di
balik makna, pertemuan di balik pertemuan. Kami mengkahiri semua rangkain acara
dua hari itu dengan menonton video lucu yang diperankan oleh keluarga besar
Kampus Fiksi. Perpisahan. Sama seperti perkataan Pak Edi Akhiles yang kurang
lebih seperti ini, “Kadang... saat pertemuan, kita lupa bahwa nantinya kita akan berpisah.”
Benar
sekali, Pak! Hari perpisahan sudah datang. Dan, sayangnya aku terlalu lama
memahami kalau ternyata diriku sudah nyaman bersama kalian, senyumku sudah
sepadan dengan kalian, gerakku sudah seirama dengan kalian. Teman-teman,
pertemuan memang menipu, ia terlalu menina bobokanku hingga lupa caranya
mengucapkan perpisahaan yang menyentuh. Yah, tidak seperti Risky Ananda dari
pulau Medan yang terlalu pandai merangkai kata perpisahan. Benarkah, Ky? Kami
bagimu seperti tanda baca? Atau seperti Refa yang dengan keluguhan mampu
membekaskan rasa tenang di hati teman-teman, mungkin juga seperti Nasrul yang
berkata kalau ia hanya ingin mengucapkan perpisahaan hanya untuk dirinya
sendiri.
Ada
juga Nailiz yang menurutku ramah dan asyik. Perempuan dengan panggilan Pipit
juga tidak kalah lucu dengan muka selalu merona jika melihat Joko di
sampingnya. Ha, satu lagi gadis imut di KF, namanya Ocha, anaknya bener-bener
imut. Laki-laki perawakan Uztad juga ada, namanya Mas Anwar. Ada perempuan penyuka korea bernama Deasy, ada Dhanik yang entah kenapa
matanya terlihat sangat tajam, dan Anis si ramah. Gyta si... misterius tapi
senyumnya bikin tenang, dan ada juga laki-laki cantik bernama Ajar. Dan, orang
yang tidak kalah bakal membuatku rindu adalah si Gara (anak Pak Edi), dia teman
beracanda, berantem, sekaligus ber-selfi-ria.
Ah,
maaf, aku tidak pandai mengucapkan kata-kata perpisahan! Aku terlalu kaku untuk
berucap kalau saat ini aku... merindukan masa yang baru berlalu empat hari itu.
Jika aku menggangu kalian dengan celotehku di dunia maya kemudian hari, aku
hanya bisa meminta maaf. Hanya itu satu-satunya yang bisa menandakan kalau aku
merindukan masa Kampus Fiksi Emas-ku.