Wednesday, April 30, 2014

Aku adalah Sahabatku

BY Ricky Douglas IN No comments




Sepatu  itu kusam. Rasanya, debu sangat betah bersarang di sana. Talinya pun tak putih seperti semula, banyak bercak yang sulit buat dihilangkan. Ingatkah wajah serampangan kita waktu itu? Ketika tanpa malu ingus bermunculan di sudut hidung. Lepas dan tanpa beban. Tidak ada koreng yang menjijikkan di bongkahan dada. Bersih, tak berparas.
***
            “Hey, kau kan sudah ada sepeda. Ini  sepedaku, Cakka!” tiba-tiba sepeda itu terlalu menjadi idola pada hari ini.
            “Tapi, sepedaku jelek. Rantainya putus terus.” Pipinya terlihat menggelembung, serta tangan yang dilipat kan ke dada.
            Setiap embun mulai menyeruak menjadi tak berasa lagi, kami pun mengayuh sepeda kecil ini menuju jalanan perkampungan. Selalu berbagi dan melempar canda seolah hari ini tak akan pernah berakhir. Beberapa kali Cakka menghentikan sepedanya karena rantai itu terlepas. Ia merutuki setiap jengkal bagian sepedanya, menyesali kenapa orang tuanya tak pernah mampu membelikan sepeda baru.
            “Ini pakai sepedaku,” tawarku padanya.
            “Wah, benarkah, Ian?” jawabnya sambil memamerkan rentetan gigi kuda yang putih.
            “Tentu!”
***
            Belum sempat aku menghentikan langkah kaki yang memburu. Namun, sudah bisa kurasakan tangisan yang menggema di pelataran danau ini. Ah, selalu seperti ini!

            “Cakka.” Panggilku lirih.
            Ia tak menoleh kepadaku. Berusaha menyembunyikan tangis yang terdengar memekakkan telinga.
            “Kan sudah aku bilang, jangan nangis lagi. Masih ada aku!” tubuh kecilnya kurangkul, permen kapas selalu berhasil menenangkannya.
            “Ayah dan Ibu selalu bertengkar, Ian. Ayah bilang aku bukan anak kandungnya. Ibu berselingkuh,” matanya sembab.
Kriukk … kriuk ….
            “Hahaha, itu bunyi perutmu, Cakka?”
            Ia mengangguk malu.
            “Kau belum makan?” tanyaku ragu.
            “Seharian ini aku tidak diberi makan Ibu, Ian. Ibu bilang karena akulah Ayah jadi sering marah,” kepalanya kembali tertunduk.
***
            Seperti biasa, saat sang fajar mulai menyapa, kami beradu berpacu dengan sepeda yang justru sering kami sebut sebagai kuda. Kali ini kubiarkan Cakka memakai sepedaku, selain karena sepedanya sering rusak, sepedaku adalah yang tercepat di kampung ini. 
            Sedari tadi lekungan bahagia tak pernah pudar dari bibirnya, hingga aku sadar ia telah mengayuh sepeda cukup jauh dariku. Sosoknya telah hialng di pertigaan jalan. Sepedaku makin capat melesat, mengejar ketertinggalanku.
            Diam. Sepedaku terjatuh bersama dengan tubuhku. Air mataku mengucur deras seperti hujan yang tak pernah di undang saat musim kemarau. Aku menemukan sosok Cakka tergeletak bersimbah darah, dan sebuah mobil melaju kencang meninggalkan tubuh itu. Tak ada lagi irama detak jantung pada tubuh Cakka.
***
             Belum sempat aku menghentikan langkah kaki yang memburu. Namun, sudah bisa kurasakan tangisan yang menggema di pelataran danau ini. Ah, selalu seperti ini! Kuambil permen kapas dan memberikan padanya. Cakka.
            “Terimakasih, sudah seharian ini aku belum makan,” jawabnya sedih.
            “Ayah dan Ibu selalu kejam padaku! Mereka bilang aku ini bukan anaknya!” lanjutnya pilu.
            “Ayo, kita pulang, Cakka.” Ajakku.
            “Danu,” suara lembut menghentikan langkahku dan Cakka. Ia merupakan Ibu Cakka.
            “Cakka, kau pulang duluan, biar aku bicara sama ibumu.” Cakka pun pergi.
            “Danu, keadaan Ian masih belum sembuh?” tanyanya perlahan, sambil menoleh sosok rapuh yang kian menjauh.itu.
            “Belum. Semenjak kematian Cakka, Ian bertingkah seakan dirinya adalah Cakka. Namun, terkadang ia pun kembali menjadi Ian seperti biasa. Mungkin, ia sangat merindukan Cakka.”






BIODATA NARASI

Ricky Douglas, seorang penulis muda kelahiran 14 Juli 1994 ini tinggal di Kabupaten Ogan Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, dan sekarang sedang menempuh pendidikan di Universitas Diponegoro Semarang. Profil lebih lengkap dari seorang penggila dunia sastra ini dapat kalian lihat di Facebook: Ricky DouglasTwitter: @RickyDouglasz, atau email : ricky_douglas@rocketmail.com Terimakasih.

 Catatan Kaki :
Awalnya cerita ini dibuat untuk mengikuti tantangan bikin cerita selama 30 menit, dari salah satu group kepenulisan. Setelah berhasil membuatnya selama 30 menit dengan tema "Sahabat kecilku", tapi sayang kuota internet ane habis buahahaa. Akhirnya harus ngisi pulsa dulu, dan gak jadi ikut lomba karena waktunya udah habis wkwk.



Monday, April 28, 2014

Partitur Pengganggu Tidur

BY Ricky Douglas IN 2 comments



Aku mengenalnya tak cukup lama. Banyak yang tertoreh atau sengaja ditorehkan di sana. Kusam dan bau berdebu melekat erat pada setiap kain yang sengaja dirajut dengan apik.  Warnanya tak akan pernah pulih seperti dulu. Namun, masih bisa kurasakan aroma penghantar memori terdahulu di setiap hunusan tajam baunya. Seragam kerja. Selalu menyibak masa lampau yang sukar terobati.
***
            “Bagaimana kabar anak dan istrimu, Jon?” ia berbicara cukup lantang, walaupun beberapa suap nasi terus dilahapnya.
            “Baik,” jawabku singkat.
            “Kau tidak merindukan mereka? Sudah dua tahun kau tak pernah pulang.” Ia menatapku lekat.
            “Mereka butuh uang! Maka dari itu aku harus kerja mati-matian, Fik!” pitamku sedikit berpacu. Ia tak pernah bosan membahas masalah ini.
***
            “Klintung … klintung….”
            Pekatnya malam selalu mengundang bola mata untuk segera terbenam. Purnama mendelik adalah tanda bahwa aku harus segera bersembunyi di balik selimut hangat. Senyap.
            “Klintung … klintung ….”
            Kusingkap selimut hangat yang semula hampir menutupi semua bagian tubuh. Suara itu! Sudah hampir satu minggu ini, selalu menjadi partitur pengganggu di setiap malam. Suaranya membuat bulu kudukku berdiri menantang. Suara aneh yang sepertinya tercipta dari guncangan kaleng rombeng.
            Perlahan, kubuka pintu kamar kos yang langsung berhadapan dengan gang kumuh. Alisku saling beradu, menatap aneh pada kakek tua dengan gerobak lusuhnya. Benar dugaanku! Suara aneh itu akibat guncangan dari kaleng rombeng, yang terikat pada gerobak reotnya.
***
            “Mas, adek sakit,” suara di ujung telepon itu membuatku menelan ludah.
            “Biarkan saja, nanti sembuh sendiri.”
            “Anakmu sakit, Mas. Batuknya makin parah. Beberapa kali ia menyebut namamu dalam tidurnya,” wanita itu terisak.
            “Aku akan kirim uang. Nanti kau ajak dia berobat!” kumatikan handphone dengan cepat.
***
            Berkat pendingin ruangan ini, aku tak perlu merasakan teriknya mentari. Pekerjaan yang sungguh menyenangkan, cukup berdiam diri di depan komputer. Hari ini aku pulang lebih awal, karena tak enak badan.
            Langkahku yang semula lunglai, kini justru terhenti. Aku melihat sosok kakek yang selama ini selalu membuat partitur pengganggu tidur. Ia sedang mengais kumpulan bekas makanan di bak sampah. Miris.
***                      
            “Klintung … klintung …” suara itu kembali terdengar. Tepat saat rembulan tanpa malu menampakkan diri,
            Malam ini aku sengaja menunggu kakek itu. Cukup penasaran dengan penampilannya yang lusuh, serta bunyi mengerikan dari kaleng itu. Ia berjalan pelan sambil menarik gerobak reotnya. Tanah yang berbatu, justru membuat kaleng itu makin beritme.
            Ia berhenti pada  penghujung gang. Gubuk kecil itu menjadi pemberhentian terakhirnya. Sesosok wanita tua dengan rambut putihnya, terlihat berhambur masuk ke dalam pelukan sang kakek. Kemudian, kakek tua itu mengeluarkan nasi hasil pungutannya.
            “Kek,” tegurku yang akhirnya tak bisa menahan diri.
            “Ya, kenapa?” senyuman tulus menghiasi sudut bibirnya.
            “Maaf, Kek. Kalalu boleh tahu, nasi itu buat siapa? Bukannya itu nasi bekas?” tanyaku perlahan.
            Raut wajah sang kakek seketika berubah sendu.
            “Cucu kakek sakit, Nak. Dari kemarin, ia sangat ingin makan makanan enak. Kakek tak sampai hati setiap hari harus memberinya nasi aking dan garam saja,” air matanya berkumpul pada pelupuk yang nampak lelah.
            Hening. Pikiranku menembus dan menerawang ingatan terdahulu. Yah, putriku pun sedang sakit. Dia hanya ingin bertemu denganku.  Lalu, apa yang kulakukan? Suaraku tercekat.
            Perjalanan ini membuatku buta dan tuli akan suara-suara yang sebenarnya. Terlalu terlena dengan setiap kegiatan yang merajai tubuhku. Harusnya aku sadar dari dulu! Bukanlah uang dan tahta yang akan mengukir senyuman di bibir. Senyuman itu akan terukir dari hal kecil yang sering terlupakan. Yaitu, perhatian.


                                                            

                                                                      BIODATA NARASI

Ricky Douglas, seorang penulis muda kelahiran 14 Juli 1994 ini tinggal di Kabupaten Ogan Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, dan sekarang sedang menempuh pendidikan di Universitas Diponegoro Semarang. Profil lebih lengkap dari seorang penggila dunia sastra ini dapat kalian lihat di Facebook: Ricky DouglasTwitter: @RickyDouglasz, atau email : ricky_douglas@rocketmail.com Terimakasih.
 Catatan kaki :
           Cerita ini merupakan karya yang dibuat saat mengikuti #KampusFiksiSpesialJogja. Waktu pembuatan selama dua jam, dengan tema yang sudah ditentukan. "Perjalanan yang mengubah hati, pikiran, serta pribadi sesorang"



Wednesday, April 23, 2014

Pohon yang Tak Akan Mungkin Tumbuh

BY Ricky Douglas IN No comments



            “Jangan gila!”
            “Hahaha.” tawaku menggema.
            “Apa salahku?” rintihnya perlahan.
            “Salahmu? Coba kuingat. Hem, mungkin….”

***
Hanya sekali, tak lebih dari lima detik. Namun aku tak menyangka, hal sekecil itu betah bertahan hampir dua tahun lamanya di dalam memori otakku. Hal yang disebut cinta, tak kusangka akan menjadi lentera padam yang sukar menyala.
Pelataran lahan beralaskan rimbun rumput ini, menjadi awal dari kakiku menapak. Sosoknya berdiri dengan rapi di tengah mahluk lain yang serupa. Tak ada yang istimewa. Wajahnya pun dengan cepat terlupakan dari kenanganku. Hanya kata-kata dari bibirnyalah yang masih menggema,
“Panas!” ujarnya kesal.
 Aneh. Aku tak tahu bagian mana dari kata itu yang menarik, sehingga mampu merajai setiap memoriku. Beberapa kali kuremas rambut yang mulai kusut. Bayangan itu tak kunjung surut. Sebenarnya, aku pun tak ingin menghilangkannya dari setiap tawa riuh yang tercipta.
***
Namaku, Tera. Hidupku bukanlah sebuah roman picisan atau dongeng yang menaburkan kisah indah. Aku tak dapat memilih. Pada saat rasa itu datang, aku hanya dapat menerimanya dengan senyuman kecut. Yah, aku sadar bahwa rasa ini kembali hadir. Bahkan ketika logikaku mati sekali pun, rasa ini benar-benar akan selalu hidup dan tumbuh. Tersimpan rapat dengan bola mata yang terpaksa bersinar.
Aku mengenal sosoknya dengan baik. Bagaimana ia berbicara, tersenyum, dan tertawa. Aku mengenalnya dengan baik. Bagaimana saat tangan jentiknya mulai memainkan kamera yang selalu setia terkalung di lehernya. Walaupun, pertemuanku dengannya hanya berlangsung satu minggu sekali, dan itu pun tak lebih dari lima detik. Tanpa senyuman dan sapaan.
***
Tak dapat kusangkal, tubuhku membatu. Kicauan para mahasiswa di dalam kelas ini pun tak berhasil membuyarkan lamunanku. Semua lampu terlihat temaram dan akhirnya padam. Hanya menyisakan satu titik lampu yang menyilaukan, tepat di atas sosoknya. Semester dua, kami dipertemukan oleh jadwal kuliah yang sama. Mungkin, ini sebuah anugerah. 
Dia harus mengenal sosokku, entah sebagai teman atau lawan, teriakku dalam hati. Terdengar cukup menyedihkan. Aku yang masih tak sanggup hanya sekedar untuk menyapa dan duduk di sebelahnya. Aku yang masih tak sanggup hanya sekedar memberi senyuman padanya. Ternyata, aku hanya mampu menghadirkan sosoknya dalam imajiku di setiap sepi melanda.
Sosok pengecut seperti apa yang mampu mendapatkan hadiah berupa perasaan dari hati sang pujaan? Tidak. Tidak ada!
***
            “Tera, kenapa kau belakangan ini terlihat murung?” disentuhnya ujung jariku. Naila. Sahabat terdekatku.
Hanya seberkas senyuman yang mampu kuberikan padanya. Tak sampai hati membebani sahabatku itu dengan semua permasalahan yang sebenarnya aku sendirilah penciptanya. Walaupun, mungkin ia sudah merasa terbebani melihat raut wajahku yang kian tirus dan lusuh. Lekungan hitam di sudut mataku pun menambah kesan bahwa akulah mayat hidup itu.
Aku menyimpan sebuah bangkai. Sangat busuk. Bangkai itu bernama perasaan. Perasaan yang terlalu lama terpendam dalam ruang kosong, pengap, dan tanpa pendingin ruangan. Perasaan itu telah busuk. Menjadi koreng menjijikkan yang setiap saat selalu sigap melukai dinding-dinding ruangan yang keropos.
Hari ini akan kupasak keberanian di dalam diri. Mungkin, dengan menyatakan cinta padanya akan jauh lebih berguna. Walaupun, lagi-lagi pernyataan itu tak bertuan dan tanpa identitas. 
Beberapa kali kucium sekeping kaset ini. Lekuk bundarnya akan selalu terbayang dalam perjalanan panjang yang melelahkan. Sedikit tersengal. Ah, hiraukan. Aku harus cepat menyampirkan hadiah ini kepadanya. Semua hati dan perasaanku selama hampir dua tahun ini, kutitipkan pada sekeping kaset yang akan menyibak semuanya.
Tunggulah. Sebentar lagi.

***
            “Apa kau sudah ingat, cantik?” kutatap tajam matanya.
            “I…itu, darimu?” bola matanya membesar.
            “Salahmu ya? Hem….Akan kucoba mengingatnya lagi.”
            “Aku tak tahu itu semua darimu Tera. Maaf” isaknya menggema.
            “Tai. Kau sudah tahu kan semua kado-kado sampah itu dariku! Kau membakarnya tak bersisa! Kau pun juga tahu kalau Dika, pacarmu itu adalah pacar adikku!” kuberikan sebuah kado di pipi mulusnya. Sebuah tamparan.
            Pesona anggunnya tak berbekas di mataku. Ia menjadi sosok penghancur di setiap harapan yang mulai tumbuh. Ruangan gelap dan pengap ini menjadi saksi bahwa cintaku telah tertelan. Seonggok mayat laki-laki itu menjadi teman bagi Ailee beradu mulut dengan setiap tetesan air yang jatuh dari matanya. Yah, aku telah membunuh Dika tanpa rasa sesal sedikit pun. Aku tak akan membiarkan siapapun memiliki wanitaku. Hanya aku seorang yang berhak memiliki hati dan tubuhnya, bahkan Ailee pun tak berhak atas dirinya sendiri hahaha.
            “Tera…,” suara paraunya mengembalikanku dari lamunan.
            “Apa sayang?” kudekap tubuhnya yang terikat temali.
Wangi. Leher jenjangnya begitu indah. Kuendus setiap inci kulitnya. Kulumat bibir merahnya. Basah.
            “Jangan menangis!! Nikmati saja bibirku ini bangsat!” kucium kasar bibirnya.
Nikmat. Sungguh nikmat. Suara tangisan itu justru menjadi alat pemicu bagiku untuk menjajah tubuhnya.
            Bibirnya makin terisak. Matanya penuh butiran hangat yang mengalir. Ah, cantik sekali dia saat menangis seperti ini! Akan kubuat tubuhnya membatu. Setelah itu, akan kunikmati birahi bersamanya. Satu hujaman pisau di dadanya mungkin cukup.
            “Te…Tera. Apa yang akan kau lakukan! Aku ... aku,” tak sempat ia berucap, pisau ini sudah bercengkrama dengan perutnya.
            Hahaha sekarang dia milikku seutuhnya. Kurobek bajunya, dan mulai bergerilya disana.
            “Tee … ra...,” ternyata wanita ini masih memiliki nafas. Jemarinya nampak bergerak-gerak di ubin yang berdebu. Sialan! Dia harus mati! Kuhujamkan beberapa tusukan lagi ke perutnya. Hening. Darah dari perutnya terus mengalir pelan sampai ke jemari. Oh, indah sekali jari itu, dan juga … tulisan itu?
            Mataku membulat. Keringat dingin mengucur tanpa ampun. Sebuah kalimat yang kunantikan sedari dulu terlihat dengan jelas di ubin berdebu itu, dekat dengan jari telunjuknya. 
             “I love u Tera”.
Tubuhku mengigil, kupeluk erat tubuh Ailee. Matanya nampak terpejam. Namun, dengan gamang, lengan Ailee yang berlumur darah itu pun memberikan kamera yang terkalung di lehernya padaku. Kamera? Kuhidupkan kamera itu. Seketika air mataku menerobos tanpa izin. Teriakanku makin menggema di setiap sudut ruangan. Semua isi kamera itu adalah foto-fotoku mulai dari awal ospek hingga sampai sebelum kejadian ini.

-END-



BIODATA NARASI

Ricky Douglas, seorang penulis muda kelahiran 14 Juli 1994 ini tinggal di Kabupaten Ogan Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, dan sekarang sedang menempuh pendidikan di Universitas Diponegoro Semarang. Profil lebih lengkap dari seorang penggila dunia sastra ini dapat kalian lihat di Facebook: Ricky DouglasTwitter: @RickyDouglasz, atau email : ricky_douglas@rocketmail.com Terimakasih. 

Monday, April 21, 2014

Bukan Aphrodite

BY Ricky Douglas IN No comments




“Ayah,” ia memeluk erat lenganku.
Hening.
“Mas,” diciumnya keningku.
 “Ayah, main kuda-kudaan yuk!” kepala kecil itu menengadah.
Hening.
“Ayah!” lenganku berguncang akibat tarikan manja darinya.
“Ma, kenapa ayah udah gak mau ngomong lagi sama Melati? Ayah jahat!” ia sesenggukan, air matanya menggenangi pelupuk yang kian sembab.
Gigiku bergemetak kencang. Bongkahan air bening yang sedari tadi kutahan, akhirnya mengoyak mata. Ironis, aku membiarkan diriku berteman karib dengan malaikat pencabut nyawaku sendiri. Pikiranku terbang ke masa silam.
***
Rongga dadaku makin penuh. Setiap hisapan dan kepulan yang tercipta, justru membuat paru-paruku serasa mendapat asupan gizi menyegarkan. Ia laksana dewi Aphrodite yang menebarkan cinta dan keindahan lewat setiap asap yang mampu kupanen. Malaikat itu terlihat manis dan mengugah untuk segera dilumat. Sebenarnya, sedari dulu aku sudah sadar bahwa asupan gizi itu hanyalah khayalan semata dari otakku yang terlalu munafik.
“Mas, rokoknya bisa dimatikan? Ini kan tempat umum,” tegur wanita itu.
“Justru karena tempat umum. Jadi, terserah saya mau ngapain aja!” balasku tak kalah sengit.
“Kamu mau merokok sampai puas itu terserah kamu! Tapi kamu sudah melanggar hak orang lain untuk menghirup udara bersih!” dengan sigap, ia mengamit tanganku lalu mematikan rokok yang baru saja kusulut. Wanita itu pun turun dari bis yang belum sempat melesat.

Sesederhana itu pertemuanku dengan Rina. Banyak yang bilang, cinta sejati hadir dengan cara yang tak terduga. Terkadang menempatkan diri sebagai musuh, atau mungkin sahabat. Rasa kebencian itu terkikis seiring pertemuan kami yang kian marak. Hingga akhirnya, sebatang rokok itulah yang menyatukan kami dalam ikatan pernikahan.
***
Tubuhku kian kurus. Entahlah, kemana perginya gumpalan lemak yang dulu selalu setia bersanding dengan tulang-tulangku. Tiap kegelapan mulai memeluk bumi, saat itu juga aku ikut menyertainya dengan partitur irama batuk yang beritme. Perputaran waktu tak kunjung menghentikan batuk yang kian mengganas. Panas menyelubungi leherku.
“Uhuku … uhuk….” kucengkram leher ini.
“Mas, sebaiknya kamu berhenti merokok.”
“Ini bukan karena rokok, Rin.”
Tiap malam selalu sama. Tubuhku meringkuk di sudut kamar yang terlihat seperti neraka. Batuk itu tak kunjung hilang, menyebabkan nyeri yang berkepanjangan di leher. Kusulut sebatang rokok, dan menyampirkannya di sela-sela jari. Hisapan pertama seperti angin surga. Batuk itu kalah pamor dengan setiap asap yang merajai tenggorokanku.
“Mas, besok kita ke rumah sakit ya?” tegur suarnya pelan.
“Buat apa?” suaraku tercekat. Sedikit serak.
“Batukmu makin  parah, Mas. Lihat! Suaramu saja semakin serak,” bujuknya meyakinkanku.
“Aku ingin hidup tenang tanpa harus terikat akan larangan-larangan dokter, Rin”
***
Sudah satu bulan ini aku tergolek tak bernyali di kasur. Batuk yang kian menyiksa ini sudah mengeluarkan cairan merah. Telingaku nyeri. Wajahku pun kebas, tak lagi terasa saraf yang dapat menghantarkan berjuta ekspresi. Benjolan aneh menghiasi sudut leherku.

Lihat! Istri dan anakku sungguh setia mengurusi diriku yang terlihat seperti mayat hidup ini. Ah, kemana perginya dewi Aphrodite-ku itu? Dewi yang dahulu selalu mengepulkan asupan gizinya di paru-paruku. Busuk! Ia balut dirinya dengan kenikmatan, serta rasa manis. Terkadang, ia pun membuat rasa percaya diri ini meningkat. Namun, pada akhirnya ia hanya mampu meninggalkanku dalam kesengsaraan. Aku salah! Aku telah membuat nerakaku sendiri.
Aku hanya dapat membuat keluargaku nelangsa karena telah melibatkan mereka dalam hal ini. Mereka semua terlihat bersedih, sudah tak terhitung airmata yang mengaliri kulit pipi. Apa ini yang sedari dulu kuharapkan dari sebatang rokok itu? Kesedihan yang tak kunjung kandas!
***
Tubuh kaku ini terpatri pada pembaringan yang entah mengapa terlihat menakutkan bagiku. Lampu yang menyilaukan mata, seketika menyeruak membuat hati gamang. Operasi. Yah, ini adalah satu-satunya cara untuk  dapat menghilangkan sel kanker yang mulai menjalar di tenggorokanku.
Hasil dari operasi itu tak terlalu buruk. Aku hanya kehilangan pita suaraku. Bukankah ini harga yang harus kubayar dari berbatang-batang rokok itu? Hahaha manusia bodoh!





BIODATA NARASI

Ricky Douglas, seorang penulis muda kelahiran 14 Juli 1994 ini tinggal di Kabupaten Ogan Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, dan sekarang sedang menempuh pendidikan di Universitas Diponegoro Semarang. Profil lebih lengkap dari seorang penggila dunia sastra ini dapat kalian lihat di Facebook: Ricky DouglasTwitter: @RickyDouglasz, atau email : ricky_douglas@rocketmail.com Terimakasih.







Friday, April 18, 2014

The Mystery of Wedding Dress

BY Ricky Douglas IN No comments








            Cuaca yang dingin tak menghentikan rencanaku dan Brayden untuk mengajak Lisa berkeliling kota hari ini. Lisa adalah anak Dooriya yang merupakan tetangga Brayden. Kemarin Dooriya menitipkan anaknya yang masih berumur sepuluh tahun itu pada Brayden, karena ia dan suaminya ada urusan pekerjaan di Australia beberapa minggu ke depan.        
Aku tinggal di sisi selatan kota Philadelphia di negara Pennsylvania, yang merupakan negara bagian Amerika Serikat, sementara Brayden tinggal di sisi Downtown atau inti kota Philadelphia. Hari ini kami mulai perjalanan dengan mengendarai mobil mengunjungi Please Touch Museum.
Awalnya Brayden menolak untuk mengunjungi tempat itu, karena ia pikir kemungkinan akan sedikit membosankan berada di sana, namun setelah Lisa membujuknya akhir ia menyerah. Menurut Lisa, ia sangat ingin sekali berkunjung ke sana, karena semua teman-temannya telah mengunjungi tempat itu, dan orang tuanya selalu tidak punya waktu untuk mengajaknya berkunjung ke sana.
Awal masuk gedung Please Touch Museum  ini kami telah disuguhi dengan bangunan yang megah nan luas. Dengan antusias kami segera menuju ke ekshibisi tentang air. Jadi, di sini kita dapat melihat bagaimana asal muasal air, dari hujan turun ke bumi, dan mengalir dari gunung sampai kembali ke laut.
Amazing. Hey Magenta, lihat!” ditariknya ujung jaketku sembari menunjuk  ke  atap.
Yes. Beautifull!”aku mulai menyerukan apa yang Lisa tunjukkan padaku.
Di atas langit-langitnya ada replica awan, sehingga membuat ruangan ini terlihat cantik. Sepertinya perkiraan  Brayden tentang betapa membosankannya tempat ini tidaklah benar, karena sedari tadi ia pun juga menikmati suasana tempat ini.
Kami melanjutkan perjalanan menuju lantai bawah, dan di sana ternyata bernuansa Alice in The Wonderland. Lisa sedari tadi asyik sendiri, mulai dari melihat taman bunga mawar, tea partynya Mad Hatter, dan ruangan yang serba kecil. Tak jarang Brayden memelukku, ia beberapa kali mencium pipi dan hidungku yang mancung. Sudah lama sekali rasanya kami tidak menghabiskan waktu berdua, walaupun sekarang kami tidak hanya berdua, tetapi ada Lisa yang ikut serta.
“I love you, Brad,” kupeluk tubuhnya yang tegap.
“I love you too, Magenta,” dikecupnya keningku.
Aku rasa bukan hanya aku yang menikmati tempat ini, tegur Lisa dengan nada bercanda.
 Kami mengakhiri perjalanan di lantai bawah ini karena perut yang sudah terasa lapar dan minta segera harus diisi. Akhirnya kami memutuskan untuk makan siang di salah satu caffe yang ada di museum ini, kemudian memesan beberapa sandwich. Setelah lunch, kami pun mengakhiri kunjungan di meseum ini, walaupun awalnya Lisa enggan untuk beranjak dari tempat yang lebih terlihat seperti taman bermain dari pada museum ini, namun setelah aku membujuknya akhirnya ia pun setuju untuk melanjutkan perjalanan.
***
            Walaupun udara malam ini terasa sangat menusuk kulit namun yang kurasa hanyalah kehangatan yang di berikan Brayden. Malam ini kami habiskan dengan bercinta seperti biasa di kamar tunanganku itu. Rumah ini nampak sepi karena hanya Brayden yang tinggal di sini. Sementara Lisa sudah tidur di kamar tamu.
            Beberapa kali kuajak tunanganku itu untuk bicara serius mengenai pernikahan kami, namun dia hanya tersenyum dan kemudian memelukku. Sebenarnya aku sudah bosan dengan status tunangan ini. Pernikahan kami sempat tertunda dan akhirnya di batalkan karena kematian orang tua Brayden.
***
            Pagi hari ini aku dan Lisa menyiapkan breakfast dengan  menu cheesesteak yang merupakan makanan khas Philly untuk menjadi teman sarapan. Lisa terlihat cukup hebat dalam membuat cheesesteak. Setelah selesai membuat  cheesesteak dan juga susu hangat, kemudian aku menuju  kamar Brayden untuk membangunkannya.

***
Dengan lahap kami pun memakan cheesesteak yang telah tersaji. Brayden sangat suka makanan buatanku, terlebih lagi cheesesteak. Brayden pun memuji Lisa karena telah membuat cheesesteak yang lezat. 
Dengan mengenakan jas dan juga dasi di lehernya, Brayden nampak rapih dan terlihat sempurna di mataku. Lisa pun juga terlihat cantik dengan seragam yang dikenakannya, serta topi yang menutupi rambut panjangnya itu. Seperti biasanya, pagi ini pun Brayden harus pergi ke kantor, hanya saja kali ini ia harus mengantar Lisa ke sekolah terlebih dahulu. Saat kami menikmati cheesesteak, terdengar suara bel dari balik pintu. Tanpa banyak berpikir, aku pun langsung membuka pintu itu.
“Selamat pagi,” sapa suara laki-laki yang ada di hadapanku ini.
“Pagi. Cari siapa ya?” tanyaku pada laki-laki itu.
Paul, Laki-laki paruh baya yang mengaku seorang kurir pengantar barang. Paul sedikit berbeda dari kurir biasanya yang ada di Philedelphia ini, ia mengikutsertakan seekor kucing dalam kegiatannya mengantarkan barang. Kucing itu sangat manis, dia duduk dengan tenang di bahu Paul.
 Setelah aku menerima bingkisan kotak yang terlihat cukup besar itu, Paul pun pergi melanjutkan perjalanannya. Aneh! menurut Paul bingkisan ini di tujukan untukku, tapi kenapa mengirimnya ke alamat Brayden? dan juga di bingkisannya tidak tertera nama si pengirim.
“Siapa?” tanya Brayden yang kemudian meminum segelas susu.
 “Kurir. Ada bingkisin, tapi terlihat cukup aneh, aku duduk kembali di meja makan.
Whoaa, apakah isinya boneka barbie?” teriak Lisa antusias.
“Mungkin,” jawabku.
            Brayden menyarankanku agar segera membuka bingkisan yang terlihat cukup simple ini. Lisa yang sudah tak sabar mengharapkan isi kotak itu adalah boneka Barbie pun akhirnya ikut serta membantuku membuka bingkisan ini.
Aku menatap tak percaya dengan apa yang kulihat di dalam kotak ini, dan kulirik Brayden yang tersenyum menatapku. Air mataku mengalir seiring rasa  bahagia yang kurasakan sekarang. Dalam kotak itu ada sebuah gaun pengantin yang sangat cantik, di atasnya pun ada sebuah cincin dan kertas yang bertuliskan "Do you be my wife?"
***
            Cincin ini sangat cantik dan terlihat pas di jari manisku, pagi tadi Braydenlah yang memasangkannya. Hari sudah mulai sore, matahari pun sudah nampak lelah untuk memperlihatkan sinarnya. Brayden belum pulang dari kantor, sementara Lisa mungkin sedang bermain di ruang keluarga.

            Kulihat bayanganku di cermin, lalu seulas senyum manis menghiasi bibir mungil itu. Tepat di hari Valentine tahun ini, kami akan melangsungkan pernikahan. Sudah tidak sabar rasanya aku mengenakan gaun pengantin. Kembali kubuka kotak bingkisan yang berisi gaun pengantin itu, lalu dengan antusias mulai mengenakannya. Perfect! Aku terlihat cukup cantik dengan gaun pengantin ini yang membungkus tubuh langsingku. Kulihat bayanganku dicermin, namun bayangan itu makin pudar dan menghilang, lalu gelap!
***
            Kepalaku pusing, badan terasa pegal, dan mataku sangat perih. Aku terjaga dengan masih mengenakan gaun, dan di sampingku ada Brayden. Kulirik jam dinding, pukul sepuluh pagi! Aneh, yang kuingat hanyalah saat bercermin dengan gaun cantik itu melekat di tubuh, namun setelah itu semuanya  nampak gelap! Lalu aku terjaga di pagi harinya dengan kondisi yang sedikit buruk.
Kau sudah bangun, sayang? Brayden terjaga kemudian memelukku.
“Honey, apa yang terjadi?” tanyaku pada Brayden.
            Setelah melepas gaun pengantin yang lumayan sulit untuk di lepas ini, Brayden pun menceritakan kejadian kemarin sore. Menurut Brayden, semalam aku tergeletak pingsan di depan cermin dan pada saat Lisa ingin membopongku ke kasur, tetapi aku malah mencekiknya. Untung saja saat itu Bryaden telah pulang dan kemudian ia langsung menolong Lisa. Aku tidak mengingat apa pun! Aneh sekali rasanya!
***
            Hari ini aku dan Brayden bersiap-siap untuk foto pre wedding. Kami meminta bantuan George yang merupakan sahabat Brayden sebagai photographer pre wedding kami. Tema yang kami pilih sedikit simple, dengan menonjolkan suasana khas kota Philadelphia. Brayden terlihat gagah dengan jas putih yang dikenakannya, dan aku pun terlihat cukup anggun dengan gaun pengantin yang di berikan oleh Brayden. Kami Photo shoot di beberapa tempat, seperti Chestnut Street, Ben Franklin Bridge, dan Love park.
Brayden, kamu yakin nantinya gaun itu yang akan dikenakan Lisa? kata George di sela pemotretan.
“Tentu saja. Kenapa?” jawab Brayden.
“Entahlah, gaun itu terlihat sudah tua. Lusuh,” jawab Goerge berbisik.
***
            Aku sedang duduk di dekat jendela sambil memandang pekarangan rumah Brayden yang luas, dengan di temani gaun pengantin yang cantik. Entah kenapa aku sangat sayang pada gaun ini, dan selalu rindu untuk membelai serta memakainya. Aku heran dengan George yang mengatakan kalau gaun ini terlihat sudah tua, menurutku gaun ini sangat cantik dan desainnya juga modern.
“Magenta, aku ingin memakai gaun itu,” kata Lisa sambil menarik gaunku.
Entah kenapa emosiku memuncak karena Lisa sudah berani memegang gaun ini dan ingin memakainya. Dengan amarah yang sudah berada di puncaknya, kutampar pipi gadis kecil itu. Lisa berlari sambil menangis dan ia pun terlihat memegang pipinya yang merah.
Ternyata amarahku belum padam! Dengan gaun yang masih melekat ditubuhku dan sebuah gunting yang berada di genggamanku ini, aku pun berlari mengejar Lisa sampai ke lantai dasar. Teriakan dan tangisan Lisa justru menambah semangatku untuk menusukkan gunting ini ke tubuhnya yang kecil. Setelah berhasil menangkap Lisa, kutarik rambut pirangnya itu dan kuarahkan gunting yang kugenggam ke matanya!
***
            Suara berisik itu terdengar dari arah lemari pakaian Brayden. Sekarang sudah tengah malam dan Brayden pun sedang terlelap di sampingku. Suara gaduh itu kembali terdengar. Karena penasaran, aku pun menuju lemari itu, dan semakin dekat suaranya pun makin jelas terdengar. Kosong! Di dalam lemari pakaian itu hanya ada gaun pengantin yang sangat kukenal. Kuambil gaun itu dan tersenyum melihat betapa indahnya dia. Namun, senyum di bibirku hilang dan berganti dengan bibir pucat. Gemetar dan menggigil.
Aku mendengar ada suara tangisan yang sangat lirih dari arah lantai dasar rumah Brayden. Enggan rasanya untuk membangunkan tunanganku, lalu aku pun mencari sumber tangisan itu. Kususuri setiap bagian rumah ini yang terlihat nampak gelap. Ah! Tangisan itu terdengar makin kencang, dan betapa kagetnya aku saat mendapati sosok wanita muda yang mengenakan gaun pengantinku sedang menangis lirih di sana, tapi gaun itu terlihat sedikit berbeda. Usang. Kakiku gemetar hebat, dan air mataku pun mengalir deras saat mendapati ternyata di belakang sosok wanita muda itu ada tubuh Lisa yang terlihat pucat dengan gunting yang tertancap di matanya. Aku berlari sekencang mungkin menuju kamar Bryaden.
Kejadian itu membuatku sangat takut tapi Brayden mencoba menenangkan, walaupun aku tahu ada gurat khawatir diwajahnya. Kenyataan pahit harus kami terima kalau Lisa telah meninggal dengan cara yang menyeramkan, dan hal ini masih kami sembunyikan dari orang tuanya.  Satu yang kami ketahui. Semua kejadian janggal ini berawal setelah kehadiran gaun pengantin itu. Aku dan Bryaden memutuskan membawa kembali gaun itu ke tempat Brayden memesannya, yaitu di kota Altoona, Pennsylvania.
***
Aku dan Brayden sudah berada di kota Altoona yang merupakan kota tempat Brayden memesan gaun pengantin. Kami menginap dirumah James dan Nathalie yang merupakan teman akrab kedua orang tuaku. Besok sore rencananya kami membawa gaun itu ke Boutique asalnya.
Brayden sudah terlelap di sampingku, sementara aku yang berada dalam pelukannya sama sekali tidak bisa tidur karena merasa seperti ada yang mengawasiku dari tadi.
Hari sudah semakin sore, aku dan calon suamiku ini pun sedang bergegas menuju Boutique. Jarak yang ditempuh tidak terlalu jauh sehingga kami memutuskan untuk jalan kaki. Sesampainya di sana, yang kami dapat hanyalah rasa kecewa, karena Boutique itu terlihat sepi. Kami sempat bertanya dengan warga sekitar mengenai Boutique itu. Menurut mereka tempat itu bangkrut dan tidak beroprasi lagi, sementara pemiliknya sudah pindah ke kota lain. Dengan perasaan kecewa kami pun memilih untuk pulang ke rumah James dan Nathalie.
Kami baru tiba di kediaman James setelah langit nampak gelap. Sepertinya  mereka melihat raut sedih di wajah kami, dan dengan sedikit berat akhirnya kami pun menceritakan kejadian-kejadian aneh di rumah Brayden, tetapi kami tidak menceritakan tentang kematian Lisa. Aku menunjukkan gaun itu karena Lucas dan Nancy yang merupakan anak dari James dan Nathalie ini terlihat cukup penasaran. Raut wajah mereka berubah dengan cepat! Mereka semua terlihat seperti orang ketakutan, bahkan Nancy jatuh terduduk setelah melihat gaun itu. Dengan sedikit ragu dan takut, akhirnya Nathalie pun menceritakan kisah tentang gaun yang sekarang ada di genggamanku ini.
***
Kisah tentang gaun itu bermula ketika seorang pandai besi kaya raya bernama Elias Baker, ingin menikahkan putri bungsunya yang bernama Anna. Elias. Elias Baker ingin keluarganya selalu dikelilingi oleh sesuatu yang berharga dan mahal. Tak disangka, Anna ternyata jatuh hati pada seorang pria miskin yang bekerja untuk ayahnya. Elias menolak permintaan putrinya untuk menikahkannya dengan pemuda miskin itu. Dia lalu mengusir pemuda malang itu dari kampung halaman mereka yaitu Altoona, Pennsylvania.
Kesetiaan cinta Anna pada pemuda itu membuatnya menjadi seorang perawan tua seumur hidupnya. Anna begitu marah pada ayahnya karena tidak membiarkannya jatuh cinta atau menikah dengan seseorang yang sangat dicintainya itu, dan kemarahan itu dibawanya sampai ke liang lahat, ketika dirinya meninggal pada tahun 1914.
 Rupanya, sebelum kepergian pemuda itu, Anna sudah memilih sebuah gaun pengantin cantik yang akan di kenakannya saat menikah. Namun karena pernikahan itu tidak terlaksana seperti apa yang diharapkannya, seorang wanita dari keluarga kaya lain di daerahnya kemudian mengambil gaun itu. Gaun itu kemudian berpindah-pindah tangan dan kini ditempatkan di rumah keluarga Baker yang telah dialihfungsikan sebagai museum.
***
Aku merinding dan juga takut mendengar cerita dari Nathalie. James menyuruhku dan Brayden untuk membawa gaun itu kembali ke museum Blair County Historical Society di Baker Mansion, Altoona, namun belum sempat kami melangkahkan kaki, mendadak angin kencang bertiup melewati pintu dan jendela yang terbuka, kemudian dengan cepat semua jendela dan pintu rumah James itu tertutup rapat dan lampu pun ikut padam!


***
Dadaku terasa sesak dan sangat sulit bernafas. Ada rasa sakit yang sangat luar biasa di perutku. Lampu ruang tengah ini terlihat remang. Dengan sisa tenaga yang ada, aku mencoba hanya sekedar untuk duduk. Namun, betapa kagetnya aku saat mendapati pisau yang tertancap di perutku. Walaupun sakit tapi aku mencoba untuk menarik pisau itu.
Ternyata rasa kagetku tidak hanya sampai di situ! Di ruangan ini tergeletak beberapa tubuh yang sangat kukenal dan mereka semua berlumuran darah! Tangan kanan Nathalie putus, sementara James kaki kanannya yang putus. Lucas dan Nancy pun tidak kalah menyedihkan, dengan kepala yang hampir putus dan mata yang terlihat membelalak.
 Tangisku makin pecah ketika melihat tubuh tak bernyawa tunanganku yang bersimbah darah. Kondisi Brayden pun juga mengenaskan! Telinga kanannya hampir putus dan semua jarinya sudah tidak ada di tangan, kecuali jari manisnya! 
Aku berteriak sekencang mungkin! Kudekati tubuh Brayden, kemudian menciumnya. Aku pun memasangkan cincin yang ada di jari manisku, ke jari yang tersisa ditangannya, yaitu jari manisnya!
Seperti ada yang menggerakkan tanganku! Aku pun mulai mengambil pisau yang tergeletak di lantai, kemudian mengarahkannya ke leherku. Di tengah lampu yang terlihat cukup remang, aku melihat ada sosok wanita cantik memakai gaun pengantin dan disampingnya ada lelaki yang terlihat cukup tampan. Sekuat tenaga aku mencoba melawan tanganku sendiri yang ingin melukaiku itu, lalu setelah itu semuanya gelap!











BIODATA NARASI

                                                             
Ricky Douglas, seorang penulis muda kelahiran 14 Juli 1994 ini tinggal di Kabupaten Ogan Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, dan sekarang sedang menempuh pendidikan di Universitas Diponegoro Semarang. Profil lebih lengkap dari seorang penggila dunia sastra ini dapat kalian lihat di Facebook: Ricky DouglasTwitter: @RickyDouglasz, atau email : ricky_douglas@rocketmail.com Terimakasih.