Wednesday, April 23, 2014

Pohon yang Tak Akan Mungkin Tumbuh

BY Ricky Douglas IN No comments



            “Jangan gila!”
            “Hahaha.” tawaku menggema.
            “Apa salahku?” rintihnya perlahan.
            “Salahmu? Coba kuingat. Hem, mungkin….”

***
Hanya sekali, tak lebih dari lima detik. Namun aku tak menyangka, hal sekecil itu betah bertahan hampir dua tahun lamanya di dalam memori otakku. Hal yang disebut cinta, tak kusangka akan menjadi lentera padam yang sukar menyala.
Pelataran lahan beralaskan rimbun rumput ini, menjadi awal dari kakiku menapak. Sosoknya berdiri dengan rapi di tengah mahluk lain yang serupa. Tak ada yang istimewa. Wajahnya pun dengan cepat terlupakan dari kenanganku. Hanya kata-kata dari bibirnyalah yang masih menggema,
“Panas!” ujarnya kesal.
 Aneh. Aku tak tahu bagian mana dari kata itu yang menarik, sehingga mampu merajai setiap memoriku. Beberapa kali kuremas rambut yang mulai kusut. Bayangan itu tak kunjung surut. Sebenarnya, aku pun tak ingin menghilangkannya dari setiap tawa riuh yang tercipta.
***
Namaku, Tera. Hidupku bukanlah sebuah roman picisan atau dongeng yang menaburkan kisah indah. Aku tak dapat memilih. Pada saat rasa itu datang, aku hanya dapat menerimanya dengan senyuman kecut. Yah, aku sadar bahwa rasa ini kembali hadir. Bahkan ketika logikaku mati sekali pun, rasa ini benar-benar akan selalu hidup dan tumbuh. Tersimpan rapat dengan bola mata yang terpaksa bersinar.
Aku mengenal sosoknya dengan baik. Bagaimana ia berbicara, tersenyum, dan tertawa. Aku mengenalnya dengan baik. Bagaimana saat tangan jentiknya mulai memainkan kamera yang selalu setia terkalung di lehernya. Walaupun, pertemuanku dengannya hanya berlangsung satu minggu sekali, dan itu pun tak lebih dari lima detik. Tanpa senyuman dan sapaan.
***
Tak dapat kusangkal, tubuhku membatu. Kicauan para mahasiswa di dalam kelas ini pun tak berhasil membuyarkan lamunanku. Semua lampu terlihat temaram dan akhirnya padam. Hanya menyisakan satu titik lampu yang menyilaukan, tepat di atas sosoknya. Semester dua, kami dipertemukan oleh jadwal kuliah yang sama. Mungkin, ini sebuah anugerah. 
Dia harus mengenal sosokku, entah sebagai teman atau lawan, teriakku dalam hati. Terdengar cukup menyedihkan. Aku yang masih tak sanggup hanya sekedar untuk menyapa dan duduk di sebelahnya. Aku yang masih tak sanggup hanya sekedar memberi senyuman padanya. Ternyata, aku hanya mampu menghadirkan sosoknya dalam imajiku di setiap sepi melanda.
Sosok pengecut seperti apa yang mampu mendapatkan hadiah berupa perasaan dari hati sang pujaan? Tidak. Tidak ada!
***
            “Tera, kenapa kau belakangan ini terlihat murung?” disentuhnya ujung jariku. Naila. Sahabat terdekatku.
Hanya seberkas senyuman yang mampu kuberikan padanya. Tak sampai hati membebani sahabatku itu dengan semua permasalahan yang sebenarnya aku sendirilah penciptanya. Walaupun, mungkin ia sudah merasa terbebani melihat raut wajahku yang kian tirus dan lusuh. Lekungan hitam di sudut mataku pun menambah kesan bahwa akulah mayat hidup itu.
Aku menyimpan sebuah bangkai. Sangat busuk. Bangkai itu bernama perasaan. Perasaan yang terlalu lama terpendam dalam ruang kosong, pengap, dan tanpa pendingin ruangan. Perasaan itu telah busuk. Menjadi koreng menjijikkan yang setiap saat selalu sigap melukai dinding-dinding ruangan yang keropos.
Hari ini akan kupasak keberanian di dalam diri. Mungkin, dengan menyatakan cinta padanya akan jauh lebih berguna. Walaupun, lagi-lagi pernyataan itu tak bertuan dan tanpa identitas. 
Beberapa kali kucium sekeping kaset ini. Lekuk bundarnya akan selalu terbayang dalam perjalanan panjang yang melelahkan. Sedikit tersengal. Ah, hiraukan. Aku harus cepat menyampirkan hadiah ini kepadanya. Semua hati dan perasaanku selama hampir dua tahun ini, kutitipkan pada sekeping kaset yang akan menyibak semuanya.
Tunggulah. Sebentar lagi.

***
            “Apa kau sudah ingat, cantik?” kutatap tajam matanya.
            “I…itu, darimu?” bola matanya membesar.
            “Salahmu ya? Hem….Akan kucoba mengingatnya lagi.”
            “Aku tak tahu itu semua darimu Tera. Maaf” isaknya menggema.
            “Tai. Kau sudah tahu kan semua kado-kado sampah itu dariku! Kau membakarnya tak bersisa! Kau pun juga tahu kalau Dika, pacarmu itu adalah pacar adikku!” kuberikan sebuah kado di pipi mulusnya. Sebuah tamparan.
            Pesona anggunnya tak berbekas di mataku. Ia menjadi sosok penghancur di setiap harapan yang mulai tumbuh. Ruangan gelap dan pengap ini menjadi saksi bahwa cintaku telah tertelan. Seonggok mayat laki-laki itu menjadi teman bagi Ailee beradu mulut dengan setiap tetesan air yang jatuh dari matanya. Yah, aku telah membunuh Dika tanpa rasa sesal sedikit pun. Aku tak akan membiarkan siapapun memiliki wanitaku. Hanya aku seorang yang berhak memiliki hati dan tubuhnya, bahkan Ailee pun tak berhak atas dirinya sendiri hahaha.
            “Tera…,” suara paraunya mengembalikanku dari lamunan.
            “Apa sayang?” kudekap tubuhnya yang terikat temali.
Wangi. Leher jenjangnya begitu indah. Kuendus setiap inci kulitnya. Kulumat bibir merahnya. Basah.
            “Jangan menangis!! Nikmati saja bibirku ini bangsat!” kucium kasar bibirnya.
Nikmat. Sungguh nikmat. Suara tangisan itu justru menjadi alat pemicu bagiku untuk menjajah tubuhnya.
            Bibirnya makin terisak. Matanya penuh butiran hangat yang mengalir. Ah, cantik sekali dia saat menangis seperti ini! Akan kubuat tubuhnya membatu. Setelah itu, akan kunikmati birahi bersamanya. Satu hujaman pisau di dadanya mungkin cukup.
            “Te…Tera. Apa yang akan kau lakukan! Aku ... aku,” tak sempat ia berucap, pisau ini sudah bercengkrama dengan perutnya.
            Hahaha sekarang dia milikku seutuhnya. Kurobek bajunya, dan mulai bergerilya disana.
            “Tee … ra...,” ternyata wanita ini masih memiliki nafas. Jemarinya nampak bergerak-gerak di ubin yang berdebu. Sialan! Dia harus mati! Kuhujamkan beberapa tusukan lagi ke perutnya. Hening. Darah dari perutnya terus mengalir pelan sampai ke jemari. Oh, indah sekali jari itu, dan juga … tulisan itu?
            Mataku membulat. Keringat dingin mengucur tanpa ampun. Sebuah kalimat yang kunantikan sedari dulu terlihat dengan jelas di ubin berdebu itu, dekat dengan jari telunjuknya. 
             “I love u Tera”.
Tubuhku mengigil, kupeluk erat tubuh Ailee. Matanya nampak terpejam. Namun, dengan gamang, lengan Ailee yang berlumur darah itu pun memberikan kamera yang terkalung di lehernya padaku. Kamera? Kuhidupkan kamera itu. Seketika air mataku menerobos tanpa izin. Teriakanku makin menggema di setiap sudut ruangan. Semua isi kamera itu adalah foto-fotoku mulai dari awal ospek hingga sampai sebelum kejadian ini.

-END-



BIODATA NARASI

Ricky Douglas, seorang penulis muda kelahiran 14 Juli 1994 ini tinggal di Kabupaten Ogan Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, dan sekarang sedang menempuh pendidikan di Universitas Diponegoro Semarang. Profil lebih lengkap dari seorang penggila dunia sastra ini dapat kalian lihat di Facebook: Ricky DouglasTwitter: @RickyDouglasz, atau email : ricky_douglas@rocketmail.com Terimakasih. 

0 comments:

Post a Comment

Silahkan, semuanya dapat berkomentar. Namun, jadilah komentator yang cerdik dan beretika ya :)