“Jangan gila!”
“Hahaha.” tawaku menggema.
“Apa salahku?” rintihnya perlahan.
“Salahmu? Coba kuingat. Hem,
mungkin….”
***
Hanya
sekali, tak lebih dari lima detik. Namun aku tak menyangka, hal sekecil itu
betah bertahan hampir dua tahun lamanya di dalam memori otakku. Hal yang disebut
cinta, tak kusangka akan menjadi
lentera padam yang sukar menyala.
Pelataran
lahan beralaskan rimbun rumput ini, menjadi awal dari kakiku menapak. Sosoknya
berdiri dengan rapi di tengah mahluk lain yang serupa. Tak ada yang istimewa.
Wajahnya pun dengan cepat terlupakan dari kenanganku. Hanya kata-kata dari
bibirnyalah yang masih menggema,
“Panas!”
ujarnya kesal.
Aneh. Aku tak tahu bagian mana dari kata itu
yang menarik, sehingga mampu merajai setiap memoriku. Beberapa kali kuremas
rambut yang mulai kusut. Bayangan itu tak kunjung surut. Sebenarnya, aku pun
tak ingin menghilangkannya dari setiap tawa riuh yang tercipta.
***
Namaku,
Tera. Hidupku bukanlah sebuah roman picisan atau dongeng yang menaburkan kisah
indah. Aku tak dapat memilih. Pada saat rasa itu datang, aku hanya dapat
menerimanya dengan senyuman kecut. Yah, aku sadar bahwa rasa ini kembali hadir.
Bahkan ketika logikaku mati sekali pun, rasa ini benar-benar akan selalu hidup
dan tumbuh. Tersimpan rapat dengan bola mata yang terpaksa bersinar.
Aku
mengenal sosoknya dengan baik. Bagaimana ia berbicara, tersenyum, dan tertawa.
Aku mengenalnya dengan baik. Bagaimana saat tangan jentiknya mulai memainkan
kamera yang selalu setia terkalung di lehernya. Walaupun, pertemuanku dengannya
hanya berlangsung satu minggu sekali, dan itu pun tak lebih dari lima detik.
Tanpa senyuman dan sapaan.
***
Tak
dapat kusangkal, tubuhku membatu. Kicauan para mahasiswa di dalam kelas ini pun
tak berhasil membuyarkan lamunanku. Semua lampu terlihat temaram dan akhirnya
padam. Hanya menyisakan satu titik lampu yang menyilaukan, tepat di atas
sosoknya. Semester dua, kami dipertemukan oleh jadwal kuliah yang sama.
Mungkin, ini sebuah anugerah.
Dia harus mengenal sosokku, entah
sebagai teman atau lawan, teriakku dalam hati. Terdengar
cukup menyedihkan. Aku yang masih tak sanggup hanya sekedar untuk menyapa dan duduk
di sebelahnya. Aku yang masih tak sanggup hanya sekedar memberi senyuman
padanya. Ternyata, aku hanya mampu menghadirkan sosoknya dalam imajiku di
setiap sepi melanda.
Sosok
pengecut seperti apa yang mampu mendapatkan hadiah berupa perasaan dari hati
sang pujaan? Tidak. Tidak ada!
***
“Tera, kenapa kau belakangan ini
terlihat murung?” disentuhnya ujung jariku. Naila. Sahabat terdekatku.
Hanya
seberkas senyuman yang mampu kuberikan padanya. Tak sampai hati membebani
sahabatku itu dengan semua permasalahan yang sebenarnya aku sendirilah
penciptanya. Walaupun, mungkin ia sudah merasa terbebani melihat raut wajahku
yang kian tirus dan lusuh. Lekungan hitam di sudut mataku pun menambah kesan
bahwa akulah mayat hidup itu.
Aku
menyimpan sebuah bangkai. Sangat busuk. Bangkai itu bernama perasaan. Perasaan
yang terlalu lama terpendam dalam ruang kosong, pengap, dan tanpa pendingin
ruangan. Perasaan itu telah busuk. Menjadi koreng menjijikkan yang setiap saat
selalu sigap melukai dinding-dinding ruangan yang keropos.
Hari
ini akan kupasak keberanian di dalam diri. Mungkin, dengan menyatakan cinta
padanya akan jauh lebih berguna. Walaupun, lagi-lagi pernyataan itu tak bertuan
dan tanpa identitas.
Beberapa
kali kucium sekeping kaset ini. Lekuk bundarnya akan selalu terbayang dalam
perjalanan panjang yang melelahkan. Sedikit
tersengal. Ah, hiraukan. Aku harus cepat menyampirkan hadiah ini kepadanya.
Semua hati dan perasaanku selama hampir dua tahun ini, kutitipkan pada sekeping
kaset yang akan menyibak semuanya.
Tunggulah.
Sebentar lagi.
***
“Apa kau sudah ingat, cantik?”
kutatap tajam matanya.
“I…itu, darimu?” bola matanya
membesar.
“Salahmu ya? Hem….Akan kucoba
mengingatnya lagi.”
“Aku tak tahu itu semua darimu Tera.
Maaf” isaknya menggema.
“Tai. Kau sudah tahu kan semua
kado-kado sampah itu dariku! Kau membakarnya tak bersisa! Kau pun juga tahu
kalau Dika, pacarmu itu adalah pacar adikku!” kuberikan sebuah kado di pipi
mulusnya. Sebuah tamparan.
Pesona anggunnya tak berbekas di
mataku. Ia menjadi sosok penghancur di setiap harapan yang mulai tumbuh.
Ruangan gelap dan pengap ini menjadi saksi bahwa cintaku telah tertelan.
Seonggok mayat laki-laki itu menjadi teman bagi Ailee beradu mulut dengan
setiap tetesan air yang jatuh dari matanya. Yah, aku telah membunuh Dika tanpa
rasa sesal sedikit pun. Aku tak akan membiarkan siapapun memiliki wanitaku.
Hanya aku seorang yang berhak memiliki hati dan tubuhnya, bahkan Ailee pun tak
berhak atas dirinya sendiri hahaha.
“Tera…,” suara paraunya
mengembalikanku dari lamunan.
“Apa sayang?” kudekap tubuhnya yang
terikat temali.
Wangi.
Leher jenjangnya begitu indah. Kuendus setiap inci kulitnya. Kulumat bibir
merahnya. Basah.
“Jangan menangis!! Nikmati saja
bibirku ini bangsat!” kucium kasar bibirnya.
Nikmat.
Sungguh nikmat. Suara tangisan itu justru menjadi alat pemicu bagiku untuk
menjajah tubuhnya.
Bibirnya makin terisak. Matanya
penuh butiran hangat yang mengalir. Ah, cantik sekali dia saat menangis seperti
ini! Akan kubuat tubuhnya membatu. Setelah itu, akan kunikmati birahi
bersamanya. Satu hujaman pisau di dadanya mungkin cukup.
“Te…Tera. Apa yang akan kau lakukan!
Aku ... aku,” tak sempat ia berucap, pisau ini sudah bercengkrama dengan perutnya.
Hahaha sekarang dia milikku
seutuhnya. Kurobek bajunya, dan mulai bergerilya disana.
“Tee … ra...,” ternyata wanita ini masih
memiliki nafas. Jemarinya nampak bergerak-gerak di ubin yang berdebu. Sialan!
Dia harus mati! Kuhujamkan beberapa tusukan lagi ke perutnya. Hening. Darah
dari perutnya terus mengalir pelan sampai ke jemari. Oh, indah sekali jari itu,
dan juga … tulisan itu?
Mataku membulat. Keringat dingin
mengucur tanpa ampun. Sebuah kalimat yang kunantikan sedari dulu terlihat
dengan jelas di ubin berdebu itu, dekat dengan jari telunjuknya.
“I love u Tera”.
“I love u Tera”.
Tubuhku
mengigil, kupeluk erat tubuh Ailee. Matanya nampak terpejam. Namun, dengan
gamang, lengan Ailee yang berlumur darah itu pun memberikan kamera yang
terkalung di lehernya padaku. Kamera? Kuhidupkan
kamera itu. Seketika air mataku menerobos tanpa izin. Teriakanku makin menggema
di setiap sudut ruangan. Semua isi kamera itu adalah foto-fotoku mulai dari
awal ospek hingga sampai sebelum kejadian ini.
-END-
BIODATA
NARASI
Ricky
Douglas, seorang penulis muda kelahiran 14 Juli 1994 ini tinggal di Kabupaten
Ogan Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, dan sekarang sedang menempuh pendidikan
di Universitas Diponegoro Semarang. Profil lebih lengkap dari seorang penggila dunia sastra ini dapat kalian
lihat di Facebook: Ricky
Douglas, Twitter: @RickyDouglasz,
atau email : ricky_douglas@rocketmail.com
Terimakasih.
0 comments:
Post a Comment
Silahkan, semuanya dapat berkomentar. Namun, jadilah komentator yang cerdik dan beretika ya :)