Monday, May 19, 2014

Bayangan

BY Ricky Douglas No comments


            Aku menyibakkan rambut yang kian panjang. Kubersihkan beberapa bagian seragam yang nampak sedikit  lusuh. Aneh sekali, padahal ini seragam baru! Kuperhatikan wajahku di cermin. “Cantik,” selorohku dengan senyum terkembang. Ah, sepertinya, aku terlalu banyak memakai bedak! Putih wajahku sudah sedikit berlebihan.
***
            Langkahku terasa ringan. Entahlah, mungkin karena aku terlalu bersemangat menimba ilmu. Maklum saja, hari ini adalah hari pertama masuk sekolah! Tentu semangatku masih menggebu-gebu. Dengan lahkah cepat, aku mulai masuk ke dalam kelas, walaupun langit nampak mendung.

            Duduk, lalu diam! Tak seoarang anak pun yang bertata krama padaku. Tak seorang anak pun yang menyapa atau membalas sapaanku! Menyebalkan! Guru di depan kelas pun nampak sibuk menjelaskan materi yang sulit buat kupahami.

            Aku duduk di barisan paling belakang, dengan dua anak mengapitku. Sedari tadi, mereka tak pernah mendengarkan materi yang disampaikan, karena selalu berbicara, dan sesekali melempar tawa. Aku tersenyum mendengar pembicaraan mereka, dan beberapa kali ikut andil dalam pembicaraan itu. Walapun mereka mengabaikanku, bahkan tak melirik sejengkal pun kearahku.
***
Tak jarang kugerakkan pantat ini! Rasanya tak nyaman duduk berlama-lama di dalam kelas. Bukan karena tak betah, namun rasa sakit yang mendera leher ini, membuatku sedikit meringis. Kuangkat tanganku ke atas, berharap guru yang sedang mengajar megnizinkanku pergi ke toilet. Namun, sekali lagi! Aku diabaikan! Suaraku seperti tertelan bising dari celoteh sang guru.

Kuseret kaki yang terasa berat, kemudian menghampiri guru di depan kelas.
“Pak, saya ingin izin ke toilet,” suaraku sedikit tertahan, karena menahan rasa sakit.
Seperti ada yang mencekik leherku. Guru itu angkat bicara. Tapi! Bukannya menanggapi omonganku, justru dia menghampiri salah satu siswa yang terlihat sedang berteriak hiteris.

Tak dapat lagi rasanya kutampung rasa sakit ini. Aku duduk meringkuk di depan kelas. Leherku kian terasa perih, seperti di jerat oleh temali tak kasat mata. Mataku kian meremang, dan tubuhku pun ikut menggigil. Beberapa kali kuhembuskan nafas berat. Teriakan minta tolongku tak terdengar atau mungkin memang tak diperdulikan mereka! Kuhapus air mata ini.
“Darah?” gumamku heran. Kenapa air mataku berwarna merah? Terlihat seperti darah!
“Kamu kenapa?” teriak panik Pak guru, kepada salah satu siswa.
Kutolehkan kepala kearah mereka. Hebat! Guru yang pilih kasih! Aku pun menderita! Tak lihatkah kalian sekujur tubuhku yang kian meringkuk? Lihat! Mataku pun mengeluarkan cairan mirip darah! Hey! Jangan sungkan untuk menolongku!
“Pak … i … itu … ku … kunti,” pekik suara anak itu, sambil melihat dan menunjuk kearahku.
“Oh, syukurlah. Bapak kira kamu sakit. Jangan khawatir, ia cuma ingin ikut belajar. Itu salah satu siswi yang meninggal dua puluh tahun lalu, akibat bunuh diri,” jelas Pak guru.
 “Ayo, kita bacakan doa untuknya,” sambungnya kemudian.

Mataku membesar, degup jantungku berirama secepat kilat. Aku? kenapa mereka menyebutku … kunti? Rasa sakit di tubuhku perlahan menghilang, darah yang menghiasi pipiku pun lenyap tak bersisa. Seperti bayangan yang tertelan gulita, perlahan tubuhku pun menghilang. Senyap!






BIODATA NARASI
Ricky Douglas, seorang penulis muda kelahiran 14 Juli 1994 ini tinggal di Kabupaten Ogan Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, dan sekarang sedang menempuh pendidikan di Universitas Diponegoro Semarang. Facebook: Ricky DouglasTwitter: @RickyDouglasz, atau email : ricky_douglas@rocketmail.com Terimakasih.