Wednesday, July 15, 2015

FIRST LOVE. Chapter 1 “Cinta pertama, bukan Cinta Monyet”

BY Ricky Douglas IN No comments






FIRST LOVE
“Cinta pertama, bukan Cinta Monyet”










BAB I
Nam

Ramai sekali suasana rumah makan tradisional Thailand siang ini. Meja-meja sudah penuh dengan orang yang sibuk menyantab hidangan, beberapa lainnya mengangkat tangan untuk memesan makanan. Dinding-dinding kayu dibiarkan berwarna cokelat alami, tanpa pewarna. Berhias belalai gajah yang telah diawetkan, pintu masuk rumah makan terlihat unik. Ada juga miniatur gajah menghiasi setiap meja. Yang menarik, karena bernuansa tradisional, para turis mancanagera dibuat penasaran dengan kekhasan masakan negara gajah putih ini.

            Nam. Gadis berstatus siswi di sekolah menengah pertama di daerahnya, menjadi andalan keluarga dalam menghadapi para tamu. Yap. Gadis berpenampilan biasa ini, dengan rambut pendek, kulit hitam, berkacamata tebal, menjadi pramusaji di rumah makan keluarganya. Keahliannya berbahasa inggris membuat ia sedikit berguna dalam komunikasi, walaupun tampangnya tak cukup menarik—bahkan membuat mata sakit—bagi pari pelanggan. 

            Setelah mencatat menu yang dipilih pria bule bertampang sangar di hadapnnya, Nam berjalan ke dapur. Di sana, mamanya memasak pesanan lain dengan ditemani Ern, adik Nam.

            “Ma, Tom Yum Gum-nya satu, ya. Meja 08,” ucap Nam.

Nam mendekati Ern yang duduk di meja dapur. Ia mengamati adiknya. Dengan buku pelajran SD di tangan, Ern bermuka masam. Nam berani bertaruh tak ada laki-laki yang berani mendekati adiknya, sekali pun adiknya itu cantik di usia belianya. 

Ern tak sudi menatap Nam yang menurutnya sangat buruk rupa! Ia berpura-pura sibuk membaca. Namun, mulutnya tak bisa ia tahan.

“Hih, untung aja aku terlahir cantik seperti Mama. Gak jelek kayak Nam dan Ayah, wek” canda Ern menyebalkan. 

“Ern!” tegur mamanya. “Ayah pasti sedih kalau dengar ucapanmu.” Ia menoleh kesal pada Ern.

“Ayahkan di Amerika. Gak mungkin dia denger dong,” bantah Ern. Tangannya kini sibuk membenahi kepang rambut yang entah sudah kali keberapa ia lakukan.

“Ya, tapi kan gak boleh ngomong gitu. Lagian Nam tuh Kakak kamu, gak boleh sembarangan bicara,” ujar mamanya, masih dengan kesibukan bersama alat-alat masak.
 
Ern kalah. Ia kembali membaca buku. 

“Nam, gimana sekolahmu? Masih sekelas sama teman-temanmu dulu?”

“Masih dong, Ma. Mereka baik, jadi kami selalu bersama,” ucap Nam bahagia.

“Hih, baik? Dari dulu temannya itu-itu aja. Mana ada yang mau temenan sama Nam selain mereka! Nam kan jelek, mereka juga jelek, pas banget kalo temenan, haha,” ejek Ern.

“Cheer, Gei, sama Nim emang baik kok,” bantah Nam. “Ma, liat tuh si Ern. Dari tadi ngatain aku mulu.” Nam meminta bantuin mamanya. 

“Ern, teman ya teman. Bukan karena tampang mereka mau berteman. Jangan mengganggap hubungan pertemanan serendah itu,” bantu Lin, Mama Nam. Di usia ke 35 tahun, ia masih sangat cantik. 

Nam menjulurkan lidah ke adiknya. Tanda kemenangan. Ia berteriak hore dalam hati. Ern mendengus. Kesel karena kekalahannya, ia kembali berpura-pura sibuk membaca. 

“Nam, bantu Mama beli kubis di pasar ya. Mau, kan?”

“Iya, Ma. Nam pergi dulu ya,” sahut Nam.

Ia beranjak pergi dari dapur, saat melintasi adiknya, dengan jahilnya Nam memukul buku yang dibaca Ern. Kontan saja membuat gadis kecil itu menyalak kesal. Ia mengaduh ke Mamanya, tapi, Nam sudah terlanjur pergi.

***
Sepanjang perjalan, terik matahari bukan halangan bagi Nam. Ia bersiul-siul ria. Menikmati perjalan ke pasar yang padahal sama sekali tak ada hal menarik. Pikirannya hanya merasa bahagia masih mempunyai teman setia seperti Cheer, Gei, dan Nim. Bagaimana jika tak ada mereka? Nam benar-benar akan menjadi pecundang sejati di sekolah. Yah, walaupun gadis itu tetap saja menjadi bahan olok-olokan bersama sahabatnya. 
 
Barisan gigi putih Nam tersungging. Kontras memang dengan wajah legamnya. Namun, justru itu yang menarik. Ia seakan tak peduli dengan penampilan jeleknya, kecuali di hadapan satu orang. Cinta pertamanya. 

Dia lagi apa, ya? pikir Nam.

Dengan celana pendek selutut, baju berwarna biru langit yang sudah terlihat kusam, Nam berjalan percaya diri. Sudah lupa ia kalau dirinya mendapat predikat looser di sekolah. Kini, sekelumit bayangan tentang para sahabat, berganti dengan sosok pemuda impian. Ia senyum-senyum malu. Menutupi sebagian wajah dengan rambut pendeknya. Namun, seakan menyesali perbuatannya, buru-buru dikibasnya jauh rambut berbau busuk miliknya. Rambut pendek, kering, rontok, bercabang, ahh kalimat ini justru terdengar seperti iklan shampo yang ternyata masih ada gadis dengan rambut semengerikan itu. 

Jalanan sepi. Nam kini melenggang santai di trotoar kiri jalan. Ia melihat terowongan kecil di depannya. Tidak seram dan suram memang, karena terowongan itu tercipta hanya dari jembatan kecil di atasnya. Ia bersidekap. Kemudian, perlahan melintasi terowongan. Cahaya dari ujung terowongan sudah nampak. 

Besok hari pertama masuk sekolah setelah libur semesester. Nam tidak sabar melihat wajah tampan Shone, cinta pertamanya. Di ujung terowongan ini, ia bertekad akan lebih berani dalam menghadapi shone. Mengajak laki-laki itu berbicara, jalan bareng, berha-ha-hi-hi, dan—

Buk!!!

            Nam kaget bukan kepalang. Lamunannya barusan hilang berhambur entah ke mana. Di ujung terowongan, sosok yang sangat ia kenal tiba-tiba saja melompat dari atas jembatan, dan kini... ada di hadapannya! Ia tak berkedip.Terlalu sayang menghilangkan moment bersejarah ini. 

Tepat di depannya, laki-laki yang ia idamkan, berdiri dengan raut menahan sakit. Shone! Yap. Pemuda itu menggendong bayi kucing di deakapannya, sementara tangan kirinya menggenggam buah mangga. 

Shone, batin Nam.

Tak pernah disangkanya jika akan ada moment saat dirinya memandang puas wajah Shone dari sedekat itu. Kulit putihnya, hidung manjugnya, bibir merah dan terluhat ranum baginya, rambut spike yang benar-benar mengundang tangan untuk mengelusnya... ahh, Nam benar-benar telah jatuh dalam ketampanan cinta pertamanya. 

“Mau mangga?” tawar Shone masih dengan ekspresi menahan perih. Jelas saja, kakinya terkilir karena menolong anak kucing yang hampir ketabrak.

Tak sempat menggeleng atau mengangguk, Shone langsung memberikan sebuah mangga ke Nam. Kemudian, ia berlalu dengan kaki pincang karena terkilir. Nam bahagia bukan main. Ia melompat-lompat bahagia. Mencium tak terhitung buah mangga di pelukannya. Senyum-senyum percaya diri kalau Shone sudah mulai cinta padanya. Seketika, tanpa aba-aba, kebahagian raib begitu saja saat Nam melihat Shone memberikan buah mangga dengan jumlah yang lebih banyak kepada gadis di persimpangan jalan. Gadis itu lebih cantik. Putih. Rambut panjang. Mata sipit. Seksi. Ciri khas perempuan-perempuan China yang selalu Nam idamkan. 

Cinta begitu menyiksa, pikirnya. Namun, cinta juga selalu mencari celah untuk menemukan kebahagiaan. Nam terlalu jauh menjatuhkan hatinya pada Shone, sampai-sampai ia lupa kapan memberikannya. Semua mengalir begitu saja. Seperti rintik hujan, satu sisi menyegarkan, dan sisi lainnya begitu menyakitkan. Membangkitkan nostalgia sendu bagi siapa pun.

---Bersambung---


Catatan Penulis :
Cerita ini sepenuhnya merupakan adegan dalam film First Love (A Little Thing Called Love) dari Thailand. Sedang latihan membuat tulisan dari Film.