FIRST
LOVE
“Cinta
pertama, bukan Cinta Monyet”
BAB I
Nam
Ramai sekali suasana rumah makan tradisional
Thailand siang ini. Meja-meja sudah penuh dengan orang yang sibuk menyantab
hidangan, beberapa lainnya mengangkat tangan untuk memesan makanan.
Dinding-dinding kayu dibiarkan berwarna cokelat alami, tanpa pewarna. Berhias
belalai gajah yang telah diawetkan, pintu masuk rumah makan terlihat unik. Ada
juga miniatur gajah menghiasi setiap meja. Yang menarik, karena bernuansa
tradisional, para turis mancanagera dibuat penasaran dengan kekhasan masakan
negara gajah putih ini.
Nam.
Gadis berstatus siswi di sekolah menengah pertama di daerahnya, menjadi andalan
keluarga dalam menghadapi para tamu. Yap. Gadis berpenampilan biasa ini, dengan
rambut pendek, kulit hitam, berkacamata tebal, menjadi pramusaji di rumah makan
keluarganya. Keahliannya berbahasa inggris membuat ia sedikit berguna dalam
komunikasi, walaupun tampangnya tak cukup menarik—bahkan membuat mata
sakit—bagi pari pelanggan.
Setelah
mencatat menu yang dipilih pria bule bertampang sangar di hadapnnya, Nam berjalan
ke dapur. Di sana, mamanya memasak pesanan lain dengan ditemani Ern, adik Nam.
“Ma, Tom Yum Gum-nya satu, ya. Meja 08,” ucap Nam.
Nam mendekati Ern yang duduk di meja dapur.
Ia mengamati adiknya. Dengan buku pelajran SD di tangan, Ern bermuka masam. Nam
berani bertaruh tak ada laki-laki yang berani mendekati adiknya, sekali pun
adiknya itu cantik di usia belianya.
Ern tak sudi menatap Nam yang menurutnya
sangat buruk rupa! Ia berpura-pura sibuk membaca. Namun, mulutnya tak bisa ia
tahan.
“Hih, untung aja aku terlahir cantik seperti
Mama. Gak jelek kayak Nam dan Ayah, wek” canda Ern menyebalkan.
“Ern!” tegur mamanya. “Ayah pasti sedih
kalau dengar ucapanmu.” Ia menoleh kesal pada Ern.
“Ayahkan di Amerika. Gak mungkin dia denger
dong,” bantah Ern. Tangannya kini sibuk membenahi kepang rambut yang entah
sudah kali keberapa ia lakukan.
“Ya, tapi kan gak boleh ngomong gitu. Lagian
Nam tuh Kakak kamu, gak boleh sembarangan bicara,” ujar mamanya, masih dengan
kesibukan bersama alat-alat masak.
Ern kalah. Ia kembali membaca buku.
“Nam, gimana sekolahmu? Masih sekelas sama
teman-temanmu dulu?”
“Masih dong, Ma. Mereka baik, jadi kami
selalu bersama,” ucap Nam bahagia.
“Hih, baik? Dari dulu temannya itu-itu aja.
Mana ada yang mau temenan sama Nam selain mereka! Nam kan jelek, mereka juga
jelek, pas banget kalo temenan, haha,” ejek Ern.
“Cheer, Gei, sama Nim emang baik kok,” bantah
Nam. “Ma, liat tuh si Ern. Dari tadi ngatain aku mulu.” Nam meminta bantuin mamanya.
“Ern, teman ya teman. Bukan karena tampang
mereka mau berteman. Jangan mengganggap hubungan pertemanan serendah itu,”
bantu Lin, Mama Nam. Di usia ke 35 tahun, ia masih sangat cantik.
Nam menjulurkan lidah ke adiknya. Tanda
kemenangan. Ia berteriak hore dalam
hati. Ern mendengus. Kesel karena kekalahannya, ia kembali berpura-pura sibuk
membaca.
“Nam, bantu Mama beli kubis di pasar ya.
Mau, kan?”
“Iya, Ma. Nam pergi dulu ya,” sahut Nam.
Ia beranjak pergi dari dapur, saat melintasi
adiknya, dengan jahilnya Nam memukul buku yang dibaca Ern. Kontan saja membuat
gadis kecil itu menyalak kesal. Ia mengaduh ke Mamanya, tapi, Nam sudah
terlanjur pergi.
***
Sepanjang perjalan, terik matahari bukan
halangan bagi Nam. Ia bersiul-siul ria. Menikmati perjalan ke pasar yang
padahal sama sekali tak ada hal menarik. Pikirannya hanya merasa bahagia masih
mempunyai teman setia seperti Cheer, Gei, dan Nim. Bagaimana jika
tak ada mereka? Nam benar-benar akan menjadi pecundang sejati di sekolah. Yah,
walaupun gadis itu tetap saja menjadi bahan olok-olokan bersama sahabatnya.
Barisan
gigi putih Nam tersungging. Kontras memang dengan wajah legamnya. Namun, justru
itu yang menarik. Ia seakan tak peduli dengan penampilan jeleknya, kecuali di
hadapan satu orang. Cinta pertamanya.
Dia lagi apa, ya? pikir
Nam.
Dengan
celana pendek selutut, baju berwarna biru langit yang sudah terlihat kusam, Nam
berjalan percaya diri. Sudah lupa ia kalau dirinya mendapat predikat looser di sekolah. Kini, sekelumit
bayangan tentang para sahabat, berganti dengan sosok pemuda impian. Ia
senyum-senyum malu. Menutupi sebagian wajah dengan rambut pendeknya. Namun,
seakan menyesali perbuatannya, buru-buru dikibasnya jauh rambut berbau busuk
miliknya. Rambut pendek, kering, rontok, bercabang, ahh kalimat ini justru
terdengar seperti iklan shampo yang ternyata masih ada gadis dengan rambut
semengerikan itu.
Jalanan
sepi. Nam kini melenggang santai di trotoar kiri jalan. Ia melihat terowongan
kecil di depannya. Tidak seram dan suram memang, karena terowongan itu tercipta
hanya dari jembatan kecil di atasnya. Ia bersidekap. Kemudian, perlahan
melintasi terowongan. Cahaya dari ujung terowongan sudah nampak.
Besok
hari pertama masuk sekolah setelah libur semesester. Nam tidak sabar melihat
wajah tampan Shone, cinta pertamanya. Di ujung terowongan ini, ia bertekad akan
lebih berani dalam menghadapi shone. Mengajak laki-laki itu berbicara, jalan
bareng, berha-ha-hi-hi, dan—
Buk!!!
Nam
kaget bukan kepalang. Lamunannya barusan hilang berhambur entah ke mana. Di ujung
terowongan, sosok yang sangat ia kenal tiba-tiba saja melompat dari atas
jembatan, dan kini... ada di hadapannya! Ia tak berkedip.Terlalu sayang
menghilangkan moment bersejarah ini.
Tepat di depannya, laki-laki yang ia
idamkan, berdiri dengan raut menahan sakit. Shone! Yap. Pemuda itu menggendong
bayi kucing di deakapannya, sementara tangan kirinya menggenggam buah mangga.
Shone, batin Nam.
Tak pernah disangkanya jika akan ada moment
saat dirinya memandang puas wajah Shone dari sedekat itu. Kulit putihnya,
hidung manjugnya, bibir merah dan terluhat ranum baginya, rambut spike yang
benar-benar mengundang tangan untuk mengelusnya... ahh, Nam benar-benar telah
jatuh dalam ketampanan cinta pertamanya.
“Mau mangga?” tawar Shone masih dengan
ekspresi menahan perih. Jelas saja, kakinya terkilir karena menolong anak
kucing yang hampir ketabrak.
Tak sempat menggeleng atau mengangguk, Shone
langsung memberikan sebuah mangga ke Nam. Kemudian, ia berlalu dengan kaki
pincang karena terkilir. Nam bahagia bukan main. Ia melompat-lompat bahagia.
Mencium tak terhitung buah mangga di pelukannya. Senyum-senyum percaya diri
kalau Shone sudah mulai cinta padanya. Seketika, tanpa aba-aba, kebahagian raib
begitu saja saat Nam melihat Shone memberikan buah mangga dengan jumlah yang
lebih banyak kepada gadis di persimpangan jalan. Gadis itu lebih cantik. Putih.
Rambut panjang. Mata sipit. Seksi. Ciri khas perempuan-perempuan China yang
selalu Nam idamkan.
Cinta begitu menyiksa, pikirnya. Namun,
cinta juga selalu mencari celah untuk menemukan kebahagiaan. Nam terlalu jauh
menjatuhkan hatinya pada Shone, sampai-sampai ia lupa kapan memberikannya.
Semua mengalir begitu saja. Seperti rintik hujan, satu sisi menyegarkan, dan
sisi lainnya begitu menyakitkan. Membangkitkan nostalgia sendu bagi siapa pun.
---Bersambung---
Catatan Penulis :
Cerita ini sepenuhnya merupakan adegan dalam film First Love (A Little Thing Called Love) dari Thailand. Sedang latihan membuat tulisan dari Film.
Catatan Penulis :
Cerita ini sepenuhnya merupakan adegan dalam film First Love (A Little Thing Called Love) dari Thailand. Sedang latihan membuat tulisan dari Film.