Part 5.
Masih dengan rasa syok dan keterkejutanku akan kosan Yuk Rika, aku pun
akhirnya memilih tiduran sambil membuka laptop. Ha! Coba kalian bayangkan saja!
Ini kan Kota Jakarta, Ibu Kota negara Indonesia. Kota yang katanya tujuan bagi
semua orang. Kota yang penuh dengan gedung-gedung tinggi dan ‘modernitas’
kehidupan. Tapi sungguh sial, di sini, di Lenteng Agung, Jakarta Selatan, tepat
di Kosan Yuk Rika, tidak ada sinyal sama sekali. Nihil. Setitik pun tak ada.
Lucu kan?!
Laptop yang semulanya ingin kugunakan untuk berselancar di dunia maya pun
terbengkalai. Hah, sial sekali hari ini. Dari mulai perjalanan hingga sampai
pun tak urung henti penderitaan. Oke, tidak masalah. Aku anggap ini menrupakan
Ospek Kota Jakarta yang mengucapkan ‘Selamat Datang’ pada pendatang tengil
sepertiku. Pendatang yang anehnya tidak begitu menyukai TV tapi sangat
terobsesi berada di dalam TV.
Ini dia si Douglas yang akhirnya memutuskan bersibuk ria dengan membuat
kisah “Ospek Kota Jakarta Bagian ke satu”. Dan, tanpa sadar ada saja paparazi
yang mengabadikan moment ini. Huh, susah sih yaa kalau udah aura bintang.
Maunya bersinar terus aja, sampe-sampe keadaan kucel gitu pun tetap terlihat
benderang wkwk. Yap. Benderang. Bercahaya. Sama seperti selimut unyu warna
kuning itu tuh. Tapi tenang, alas tidur tidak menggambarkan kepribadian
seseorang kok (Berharap kalian percaaya hahaha).
Malam semakin menggiringku ke pembaringan. Dan akhirnya, lelaplah yang
menjadi pilihan terakhir untuk menggenapkan hari ini. Ya, tanggal 19 November
2015 merupakan hari bersejarah dalam hidupku. Hari di mana dengan lancangnya
mimpi yang kupendam bertahun-tahun lamanya, akan dipertaruhkan bersama jutaan
pencari mimpi lainnya. Seorang anak desa yang berharap menemukan tempatnya di
kota ini. Menjadi seperti apa yang diinginkannya. Aku membuat pertaruhan dengan
hidupku sendiri. Selagi bernapas, memiliki kekuatan, kemampuan, kepercayaan,
akan kukejar impian ini hingga titik entah.
20-25 November 2015.
Hari ini, pagi-pagi sekali aku sudah bangun dan tentunya telah mandi.
Hmm, walaupun menggunakan air seadaanya.
Ahhh, pusing sekali memikirkan kosan yang tak berair ini.
“Gimana sih yuk. Kok kosannya gak ada air? Kita kan di sini bayar,”
omelku.
“Baru kok kayak gini, emang kebetulan mesin airnya tuh lagi rusak. Yodah
dari pada pusing mikirin air, kita cabut aja yuk. Mulai cari kontrakannya aja
deh,” tawar Yuk Rika.
Kami pun memutuskan pergi. Mencari kesana-kemari tiada henti. Yap, tujuan
kami adalah menemukan tempat tinggal baru
Berbekal satu payung dan satu botol air mineral, kami pun siap berkelana.
Dari mulai naik kereta, angkot, koapaja, metromini, bahkan bajaj pun menjadi
sasaran perjalanan. Cuaca jakarta yang tak menentu pun kerap kali membuat
gondok. Hujan yang tanpa aba-aba turun merembes dari langit. Panas terik yang
menyengat kulit. Huh, saran dari Yuk Rika untuk membawa payung ternyata tepat
sekali. Seperti sekarang, kami tengah duduk di pos kamling tak berpenghuni,
menunggu hujan reda.
Agrrrrrhh, proses pencarian ini berlangsung berhari-hari, mengurus keringat, tenaga,
duit, waktu, dan air mata wkwkw. Dari jalanan besar, gang kecil, gang banyak
sampah, jalanan seram, dan perumahan padat penduduk kami jamah.
“Wah kurang tau sih kak di sini ada gak kontrakan yang kosong. Kayaknya
udah keisi semua deh,” ucap anak kecil yang kami tanyai.
“Eh ada kok tuh yang kosong di sana,” jawab yang lainnya.
“Emang di mana?” tanyaku antusias. Hampir saja ingus meluber karena
terlalu bahagia mendengar kabar ini.
“Itu ada di belakang kandang kambing,” jawabnya polos.
“Haaaa??? Di belakang kandang kambing??? Bau eek-nya pasti bau kan???”
jawabku histeris.
“Coba aja bauin, Bang. Gua belum pernah nyium bau tai kambing sih.”
Selain percakapan dengan anak kecil ini, kami pun bertemu beberapa orang
unik lainnya selama perjalan mencari kontrakan.
“Kenapa dek? Cari kosan ya?” ucap laki-laki paruh baya yang tiba-tiba
menghampiri kami.
Siang itu langit masih menyalak garang. Bahkan wajah kesal penuh amarahku
pun karena letih, tak cukup menyaingi keganasan terik matahari. Yuk Rika pun
sama. Dengan napas megap-megap seperti kehilangan oksigen, ia bersandar di
tembok gapura sebuah gang.
“Iya, Pak. Cari kosan!” ucap Yuk Rika bahagia. Ia langsung menyambar dan
menabrak badanku, lalu berganti alih mengambil obrolan.
“Bukan kosan. Tapi kontrakan,” ucapku tak mau kalah. Aku pun menabrak
bahunya pelan. Lalu, terjadilah senggol menyenggol bahu antar kami.
“Ohh, kontrakan,” ucap si Bapak yang membaut kami kembali fokus padanya.
“Ada tuh. Bapak sekarang tinggal di sana juga. Satu rumah isinya empat kamar.
Sekarang tinggal dua kamar yang kosong. Satu bulannya 600rb.”
Aku dan Yuk Rika saling toleh. Hmm,
lumayan juga, pikir kami.
“Daerah mana, Pak?” ucap Yuk Rika kembali berbinar.
“Kramat jati. Enak Mba rumahnya bersih, aman, kemarin baru aja dua
kamarnya kosong. Itungannya murah kok,” tutur si bapak panjang lebar.
Rambutnya berhias warna putih yang menandakan seberapa banyak pengalaman
hidupnya.
Setelah obrolan menyenangkan dan terasa sangat nyambung tersebut, kami
pun bertukar kontak dan janji besok akan menemui si Bapak di kontraknnya. Kemudian,
salam perpisahan pun diberlangsungkan.
“Dadaaaa, Pak. Sehat-sehat ya!!” teriakku sambil melambaikan tangan.
“Kalau jatuh dijalan bangun sendiri ya, Pak,” teriak Yuk Rika heboh.
Baru hendak melanjutkan perjalnan menuju Duren Tiga, bapak-bapak opang
(Ojek Pangkalan) membuka obrolannya dengan kami.
“Ngobrolin apa mas tadi?” tanya salah satu dari mereka.
Hiii, kok kepo yaa, batinku.
“Anu, Pak. Kami mau cari kontrakan, tadi si bapak itu ngasih informasi
gitu.”
“Hahahahahaa,” tawa mereka serempak.
Lho, lho, ada apa ini? Aku dan Yuk Rika hanya bengong melihat
mereka yang terbahak.
“Kenapa Pak ketawa? Kayaknya lucu banget? Bagi-bagi dong,” tegurku mirip
Ibu-ibu kosan yang menagih uang bulanan.
Sambil masih menahan tawa, ia berucap “ Bapak tadi rada miring, Bang,”
jawabnya enteng.
“M-maksudnya?” Yukk Rika histeris.
“Iya dia orang gila. Rada stress, Bang. Emang biasanya tuh bapak mangkal
di sana.”
Whaaaaat??? Jadi... si bapak tadi orang gila??? Terus rasa nyaman,
tertawa bersama, obrolan nyambung yang aku rasain tadi sma orang gila dong?
Kyaaaaaa!!! Ternyata diriku memang lebih nyambung dan nyaman sama orang yang
kurang waras T.T
Begitulah seminggu awal di Jakarta, kuhabiskan dengan mencari tempat
tinggal kesana-kemari. Perumahan daerah Jakarta selatan hampir semuanya terjamah.
Dari Tebet, Kalibata, Pasar Minggu, Duren Tiga, Mampang, Kebayaroan, Fatmawati,
dll. Tapi, tak ada tempat yang sesuai selera.
Tak kehabisan akal, kami pun juga sering menggunakan aplikasi jasa jual,
beli, sewa, yang ada di internet. Tapi sayang, hasil pun tak kunjung nampak.
“Cukup!” teriak-ku lebay. “Ini gak bisa dibiarkan. Mau jadi apa kita
kalau seperti ini terus?” lanjutku
memulai obrolan.
Saat itu, kami tengah duduk di kursi salah satu gang perumahan warga.
Sedang menetralkan napas yang megap karena baru saja melewati tumpukan sampah
di belakang Mall.
“Terus gimana dong?” jawab Yuk Rika kebingungan.
“Oke, sekarang kita re-view kontrakan. Satu orang merekomendasikan satu kontrakan
yang udah kita temui beberapa hari ini. Oke?” pancingku.
“Oke!” balas Yuk Rika cepat.
“Aku suka kamar sewanya rumah Bu Rajab," ucapku mantab dan penuh kepercayaan diri. Aku yakin Yuk Rika pun akan memilih tempat ini.
“Ayuk suka rumah kontrakan Ijo di deket warnet itu," ucap Yuk Rika akhirnya, setelah beberapa lama terlihat berpikir.
“Aphhhaaaaa?” mataku melotot hebat. “Kan sebelumnyo Ayuk udah setuju di
kamar sewa Bu Rajab? Gimana sih???” tanyaku nyolot.
“Biasa aja sih bibirnya gak usah monyong-monyong!" protesnya. "Gak enak kali tinggal
bareng orang lain. Enakan rumah kontrakan sendiri,” jelas Yuk Rika.
“Tapi, kan. Ini tuh rumahnya keren banget gilaa.”
Otak-ku pun lalu kembali terbang mengingat momen romantis bersama sesuatu
yang kuning di dalam kamar mandi, saat di rumah Bu Rajab.
*Bersambung
Haha lawang
ReplyDeleteHai, Tur. Thanks for reading my story. Wait the next chapter, okay? :)
Delete