#Part 4
Mata semua orang masih memandang
satu arah. Ke atas tanpa berkedip. Oke, berkedip, tapi tak sesering seperti
biasa. Aku mengikuti gerak pandang semua orang di gerbong itu. Dan, inilah yang
kudapatkan...
Nampaknya semua isi kereta menikmati
wajah-wajah cantik yang tertayang. Commuter
line yang kunaiki ini tergolong kereta baru. Jadi tak semua kereta memiliki
iklan elektronik seperti ini di dalamnya. Bukan hanya informasi ini saja yang
diberikan, namun penumpang seakan dibuat tak bosan dengan liputan-liputan yang
sangat informatif. Seperti kilas balik sejarah, peradaban bumi, stand up
comedy, dari informasi tradisional hingga modern. Iklan ini cukup menyita mata,
pikiran, dan hatiku. Hingga tanpa sadar sesuatu yang mencekam pun datang.
Mataku memandang ngeri sosok pria
yang sebelumnya berdiri di belakang Yuk Rika. Entah kenapa ada rasa “Hust, sana pergi!” di dalam diri saat
melihatnya yang kini terlalu mepet Yuk Rika. Wah wah nih orang mau mesum
nampaknya. Kuangkat dagu tinggi-tinggi. Bahu kupasang kokoh dan tegap. Berlaga
seperti raja yang mampu mengenyahkan dan mengintimidasi musuh hanya dari
perawakannya saja.
Duh,
atau jangan-jangan dia copet ya? batinku.
Panik. Aku mencari akal untuk
membuat Yuk Rika sadar kalau ada pria yang berdiri terlalu dekat dengannya.
Kukedipkan mata pelan-pelan. Tapi, tak berhasil. Tidak ada respon dari Yuk
Rika. Aku pun mempercepat kedipan, kali ini diiringi sudut bibir yang ikut
naik-turun. Tapi sial, Yuk Rikaa masih tak menangkap sinyal ketampananku.
Agggrrrhhh, hampir frustasi dibuatnya.
Layar iklan di kereta masih saja
menggema. Menghantarkan radang kemarahanku makin di pucuk kepala. Oke, Tenang
Glas! Gak lucu kan kalau lu ngangkang terus tarik napas di dalam sini?
Grrrr....
Tak kehabisan akal. Kali ini aku
pura-pura batuk. Dari batuk kecil hingga terbatuk-batuk mirip orang sakaratul
maut. Yuppy, berhasil!!! Yuk Rika menoleh padaku. Namun sialnya bukan hanya dia
yang menoleh, tapi juga banyak orang. Ada yang memandang sinis. Jijik. Geli.
Omegiiii,
memalukan sekali!
Suara dari speaker di dalam gerbong kembali terdengar, yang intinya memberi informasi
jika sesaat lagi kereta akan sampai di stasiun Lenteng Agung. Dengan cekatan,
aku mengambil koper di atas kursi duduk yang berfungsi memang sebagai bagasi
barang-barang penumpang. Tiba-tiba, dari arah belakang, sepasang tangan
membantuku menurunkan koper.
Dia?
batinku kecut.
Ternyata si penolong adalah pria yang berdiri di belakang Yuk Rika. Pria
yang selama ini kucurigai sebagai sindikat laki-laki mesum Jakarta. Dia
tersenyum ramah.
Pada saat proses senyum-mensenyumi itulah telingaku kembali menangkap
suara dari papan iklan elektronik yang berbunyi kurang lebih;
“Jika Anda selalu berprasangka
buruk pada orang lain, maka Anda tidak mempunyai waktu untuk mencintainya.”
Itulah kata-kata yang kudengar, yang kalau tidak salah merupakan kutipan
dari em... Bunda Maria? Atau, siapa ya? Hahahaa, yang jelas tokoh dari agama
Kristen.
Pintu kereta terbuka. Aku dan Yuk Rika pun melangkah pergi. Sebelum makin
menjauh, ku-ucapkan rasa terimaksih pada pria penolong tadi dengan memberi
senyum dan ucapan “thanks”. Terkesan sederhana, namun rasanya aku benar-benar
tersentak dengan bantuannya dan juga kutipan barusan.
“Jika Anda selalu berprasangka
buruk pada orang lain, maka Anda tidak mempunyai waktu untuk mencintainya.”
Di peron Lenteng Agung, masih saja kutipan itu terngiang melayang-layang
gentayang di otakku.
“Kenapa Dek Iki?” tegur Yuk Rika.
“Ah? Eh, gak kok.”
Kami pun berlalu. Melangkah ke pintu keluar.
Kulihat Yuk Rika sudah keluar kawasan peron dengan menge-tap kartu
langgangan KRL.
Lubang hidungku mengembang drastis. Rasa ngeri meledak-ledak di dalam
jiwa. Ahhh, kemana kartu KRL-ku? Mulailah pencarian kartu dengan rasa panik tak
redam. Di saku kemeja, nihil. Saku celana, tas, dompet, semuanya nihil.
“Ngapo, Dek?”
“Kartu aku hilang, Yuk.”
“Haaaaa??” Duh, coba deh dicari-cari dulu,” ucap Yuk Rika dari seberang
alat pembatas antara calon penumpang KRL yang sudah membeli tiket dan yang
belum membeli tiket.
“Pak,” ucapku panik pada satpam.
“Iya, ada apa, Mas?”
“Ini tiket KRL saya hilang.”
“Iya, Pak. Kalau tiketnya hilang di-denda berapa ya?” sambar Yuk Rika.
“Wah coba dicari lagi dulu mas baik-baik. Sayang uangnya Mas kalau
dipakai buat bayar denda,” tuturnya simpatik. Ramah.
“Udah, Pak. Udah saya cari tapi masih gak ada. Apa yang harus saya lakukan? Saya letih. Capek. Penat menghadapi
cobaan ini! Saya ingin bersandar di bahu bapak saja!
“Gak apa-apa Mas coba dicari lagi aja. Lumayan lho uangnya bisa dipake
untuk hal lain daripada buat bayar denda.”
Wuiihhh Pak Satpam ini betul-betul
peduli ternyata. Baiklah, aku cari sekali lagi!
FYI, untuk menggunakan jasa layakan commuter line, kita harus mempunyai
tiket. Dan, tiket yang tersedia ada dua jenis. Tiket pertama itu merupakan
tiket harian, dibeli dengan harga dua belas ribu dan berlaku selama seminggu.
Apabila nanti kita mengembalikan tiketnya, maka ada uang kembalian sebesar
sepuluh ribu. Intinya, kita hanya ditarik uang sebesar dua ribu rupiah
persekali perjalanan. Dan tiket yang kedua merupakan tiket member. Dibeli dengan harga limapuluh ribu dan berlaku selamanya,
selagi memiliki saldo.
Aku yang masih sibuk mencari kartu hilang pun, akhirnya menyerah. Bisakah
kalian membantuku mencari kartu KRL?
Jika kalian melihat kartu, sebut kartu! Apakah kalian meihat kartu?
*kedip-kedip. Baiklah, sekali lagi, jika kalian melihat kartu maka sebut kartu!
Hah, inilah penampakan dari kartu KRL-ku yang hilang. Sudah letih dari
perjalanan panjang pun masih harus menghadapi hal seperti ini. Nampaknya,
kehidupanku sungguh berwarna.
“Emang kalau kartunya hilang didenda berapa, Pak?” tanya Yuk Rika yang
masih di luar peron pembatas.
Krik... krik... krik....
Pertanyaan dari Yuk Rikaa seperti cambuk yang menandakan kalau pencarian
kartu ini harus segera diakhiri saja. Kami bertiga—Aku, Yuk Rika, dan Pak
satpam—berpandang-pandangan.
“Yaudah bapak ikut saya ke ruang petugas aja,” sahut Pak Satpam memecah
keheningan.
Aku pun mengekor Pak satpam menuju ruangan karyawan KRL. Selagi
diperjalanan, mulutku bernyayi tak terkontrol.
Aku berjalan di dalam kesendirian.
Aku tlah hancur lebih dari berkeping-keping karena tiketku, karena duitku telah
banyak habis.
Akkkh, aku benar-benar tertatih di rel kerata api!
“Silahkan masuk, Pak,” ucap Pak Satpam.
“Oiyaaa terimakasih.”
“Nanti ketemu sama Mba Mawar ya (nama disamarkan) untuk masalah biaya.”
“Iya,” jawabku singkat sambil menundukkan kepala dalam-dalam.
Benar-benar melelahkan!
“Halo, Mas. Ada yang bisa saya bantu,” tegur satu suara lembut. Ringan.
Merdu. Membuat jantung berkedut-kedut.
Kuangkat kepala, dan.... Tuhan, satu lagi ciptaanmu yang benar-benar
indah kini berada tepat di depan mataku. Nikmat mana yang berani kudustakan?
Selamat menyantap hidangan. Terimakasih Tuhan, batinku saat melihat wanita
didepanku ini dengan name tag bernama
Mawar hahaha.
“Mas, kenapa melamun?” Mawar mengibas-ngibaskan tangan di depan pantat
mukaku.
“Ohhh eeemmm anu ituu anuu. Anu-anuan yuk?”
“Ha? Anu-anuan?”
“Maksudnya, anu itu lhoo kartu saya hilang.”
Mawar pun menjelaskan hal yang perlu dijelaskan, setelah membayar uang
sebesar lima puluh ribu rupiah, aku diberi secarik kertas. Kemudian, aku
bersama Pak Satpam pun kembali menuju alat pembatas peron. Si satpam menge-tap
kan kartu miliknya lalu mempersilahkanku lewat.
Inilah secarik kertas yang diberikan Mawar padaku. Romantis, bukan?
Berharap dibaliknya ada tulisan pin bbm atau nomer hape, tapi sungguh, Mawar
terlalu kejam. Ia tidak memberikan hal itu padaku. Mawar oh mawar, aku rela
menjadi tangkai untuk menyentuh kelopak indahmu itu. Aku rela menjadi duri
untuk dapat berdekatan dengan tangkai dan kelopakmu. Mawar oh Mawar.
Kalau yang ini kartu
member commuter line milik Yuk Rika;
Sebelum meninggalkan kawasan stasiun lenteng Agung, aku menyempatkan diri
untuk mengabadikan tempat ini.
Ha, akhirnya kami pun melanjutkan perjalanan walaupun betis sudah sebesar
telur dinosaurus.
“Kosan ayuk di manonyo?”
“Habis ini sih masih naik angkot dek ke daerah kosan ayuk.”
“Haaaa??? Jadi ini masih belum sampai? Ohh tidak!”
“Semangat yaaa!!! Ayo sini kita naik jembatan dulu,” ucap yuk Rika.
Aku menatap kecewa. Menatap penuh beban ke arah jembatan penyebrangan
orang di depanku. Jelas saja, jika menaiki jembatan itu, otomatis aku harus
menggendong koper. Ampun. Bukannya mudah cepat menyerah atau mengeluh, hanya
saja, sungguh, aku ingin cepat-cepat tidur.
Baiklah, Douglas. Laki-laki
seperkasa dirimu pasti bisa melakukan ini! Kau kan dulu preman di kampungmu saat
masih SMA. Semua anak TK dan SD takut padamu! Ayo, Glas! Semangat! ucap
batinku menguatkan diri sendiri.
Berhasil melalui sang jembatan, kami pun langsung masuk menyungsep salah
satu angkot bernomor 16 yang sudah ngetem
di bawah jembatan. Kemudian, perjalanan menuju kos Yuk Rika pun berlanjut. Kami
berhenti tak lumayan jauh dari awal pemberangkatan angkot. Hanya sekitar lima
belas menit.
Sebuah bangunan cukup mengerikan karena lampunya sedikit pendar pun
menjadi penyambut kedatanganku. Akhirnya, tiba juga.
Aku menghempaskan dan memantul-mantulkan tubuh di kasur. Kuciumi semua
bantal, boneka, bad cover di kamar itu. Legah sekali rasanya. Baru kali ini aku
sangat merindukan kasur. Saatnya tidur!!! Eiiitt, mandi aja dulu enak kali yaaa?
Melangkahlah kaki menggemaskan milikku ke dalam kamar mandi. Tutup pintu kamar
mandi. Lepas baju. Celana. Lalu putar keran.
Lhoooo,
kok??
“Yuuuuukk Rikaaaaaaaaaaaa... ini kenapa airnya gak keluar???” teriak-ku
dari dalam kamar mandi.
“Ya Ampun, mesin airnya masih rusak yaa???” tanya Yuk Rika histeris.
Sumpah, hari ini sempurna sekali. Dasar keran air PILSUK PILSUK PILSUK!!!
UPIL BUSUK!!!
*Bersambung.
0 comments:
Post a Comment
Silahkan, semuanya dapat berkomentar. Namun, jadilah komentator yang cerdik dan beretika ya :)