Saturday, July 27, 2019

KOPI. PEDAS. DAN, PERPISAHAN.

BY Ricky Douglas IN No comments


PROLOG


“Saat tak ada satu pun yang di sisimu, jangan lupa kau masih Punya Tuhan,” katamu. Dengan mata yang entah kenapa cukup berbinar menurutku


Hampir saja aku benar-benar bertekuk lutut dengan argumen barusan, andai saja dia tak melanjutkan ucapan, “Itu aku kutip dari Film kok. Di bawah lindungan Kakhbah hehe.”


Malam ini—di kedai kopi—terasa nikmat dengan secangkir kopi walau bersama dengan orang yang nyatanya tak suka kopi. “Kopi. Pedas. Perpisahan.” tambahmu. Melanjutkan ucapan saat kutanya yang tidak kamu sukai selain kopi.


“Jadi ada kisah apa di balik kopi, pedas, dan perpisahan ini?” tegasku. Mencoba mencari korelasi antara ketiganya.


“Em...” jawabmu nampak berat. Entah karena memorinya sudah hilang atau justru tak ada alasan mendasar. Ya, kamu tahu. Kadang untuk tidak menyukai sesuatu pun tidak butuh alasan. Hanya, aku tidak suka. Dan, cukup. Tidak perlu bersusah payah mencari alasannya.


“Udah, Gara. Gak usah dipikirin. Kasian aku lihat kamu dari tadi muter mata mulu, nyari-nyari alasannya haha,” bantahku cepat, yang makin kasihan melihat kondisi syndrom short memory-nya.


“Aku gak sedang mencari alasannya, kok. Oke, aku cerita ya...”

***


Thursday, December 28, 2017

MANUSIA PESAKITAN

BY Ricky Douglas No comments



Hari pertama setelah aku mendeklarasikan kata menyerah untukmu, adalah hari pertamaku jadi manusia pesakitan. Manusia kosong. Nyaris lupa cari menarik bibir untuk tersenyum. Malam itu, aku pura-pura menenangkan hati dengan menipu pikiran kalau saja kau masih mau berdampingan lagi denganku. Tapi, ada yang beda. Sorot matamu datar. Senyummu bukan lagi yang kukenal seperti lalu-lalu. Kaukah itu? Sekuat apa kau sekarang? Aku saja sudah sekuat tenaga menahan tangis pecah, tapi dirimu masih pintar bergurau di depanku. Aku rindu memelukmu. Mencium bau tubuhmu. 

"Kau bahagia sekarang? Sudah tidak ada lagi bekas sakit yang sempat aku torehkan?"

Tanyaku padamu, sebagian dariku ingin mendengar kau bahagia, dan sisi lainnya ingin kau masih menyimpan luka. Luka karenaku. Sebab, itu satu-satunya alsanku untuk terus bisa dekat denganmu. Untuk menghapus kesedihanmu. 

"Aku sekarang jauh lebih bahagia. Gak ada lagi tuh kesedihan. Aku udah lupain yang kemarin-kemarin," jawabmu tegas.

Ada rasa sesak yang lamban-laun mulai menggerogoti diriku. Satu kesadaran baru muncul di benak, kau akan baik-baik saja tanpaku, Atau mungkin, jauh lebih baik tanpaku. 

"Jujur, aku memang masih sayang sama kamu. Tapi, aku udah gak percaya lagi sama kamu. Gak tahu kenapa, kalau deket kamu tuh bawaannya selalu emosi. Aku lebih bahagia sekarang. Tanpa kamu." 

Buliran air yang sedari tadi kokoh di pelupuk, kini akhirnya jatuh. Aku sudah benar-benar kehilanganmu dalam artian sesungguhnya. Ya, kau lebih bahagia tanpaku. Lantas, apalagi yang harus kupaksakan? Mungkin aku bisa egois memaksakan kau kembali lagi padaku, demi kebahagianku, tapi rasanya terlalu picik! Karena kebahagian kita sudah beda. 

"Kok diem. Mukanya mana? Aku pengen liat muka kamu...,"ucapmu lewat layar smartphone. 
  
Jujur, aku malu karena terlalu lemah untuk tidak menangis. Aku pengen marah. Memaki. Teriak. Aku ingin memberitahukan padamu kalau aku membutuhkanmu! Menyayangimu. Tidak bisa jauh darimu. Karena aku, cinta padamu. 

"Jadi gak ada lagi kesempatan buat aku?" tanyaku dan dijawab gelengan cepat kepalamu. 

"Baiklah. Aku meneyrah, Ini adalah akhir dari perjuanganku. Kalau kamu sudah bahagia, sudah tidak ada sakit di hatimu, itu sudah cukup bagiku. Sekarang biarkan giliranku yang menyembuhkan hati. Mungkin kita tidak perlu lagi saling sapa di dunia maya, tidak perlu lagi video call. Aku bakal nge-block semua sosmed dan kontak hp kamu. Bukan karena aku benci kamu, hanya saja, aku ingin menyembuhkan sakitku."

Kulihat matamu pun sudah mulai berkaca. Beberapa kali kau menentang gagasanku untuk tidak mengenal lagi satu sama lain, "bagaimana kalau aku kangen? Aku boleh nelepon kamu kan?"'

"Jangan. Aku tidak mau lagi terjebak dengan rasa percaya diriku kalau kau masih mengharapkan cintaku. Aku harus membuka mata kalau semua sekarang sudah berbeda. Terimakasih buat semuanya. Maaf untuk kesalahanku selama ini"

Setelah aku menyampaikan kalimat perpisahanku padamu, giliran kau berujar. Dan kalimatmu mampu membuatku sadar kalau selama apapun dan sejauh apa pun aku pergi darimu, hatiku akan terus mengingatmu. Akan terus menjadi milikmu. Aku tidak tahu lagi caranya agar kau kembali percaya padaku. Agar kau kembali percaya kalau aku menyayangimu. Aku yang terlalu lemah, dan kau yang terlalu terluka untuk memulai percaya padaku lagi. 

"Kuliah yang rajin. Kalau habis mandi jangan langsung pakai kipas angin ya, bahaya lho. Jaga kesehatannya. Jaga magh-nya. Fokus kerjanya,"ucapmu. 

Sayang, bolehkah aku memelukmu untuk yang terkahir? Atau, bolehkan aku kembali padamu? Aku kosong tanpamu. Dan aku tak ingin menjadi manusia yang bergerak dengan kepura-puraan. 

Tapi terimakasih untuk malam ini. Kau menyadarkanku kalau aku memang sudah tidak ada apa-apanya lagi. Terimakasih karena mengajarkanku untuk bisa mengenang kesakitan ini dengan cara yang bijak. Mengenangmu dengan cara yang indah. Ya, meski aku pesakitan, tapi aku tidak akan mengenangmu dalam sakit! Karena semua yang kulalui bersamamu terlalu indah untuk bisa disebut sebagai rasa sakit. 













Wednesday, December 27, 2017

Kita Tidak Butuh Cinta, Melainkan Rasa Percaya.

BY Ricky Douglas IN No comments

Katamu malam itu--ketika mataku sudah berat dan lelah dengan hari ini--, "Aku tidak butuh cinta. Cinta bisa didapatkan di mana saja. Dari siapa saja. Keluarga. Teman. Sahabat. Siapa pun. Aku lebih menghargai dan butuh rasa percaya. Dan sayangnya, kau tidak pernah memberikan rasa percayamu padaku." 


Aku tertegun. Bingung harus menimpal kalimatmu dengan apa. Setengah setuju. Dan sisi lainnya terus mempertanyakan kebenaran kalimatmu. Lantas, salahkah aku dengan cinta berlebihku padamu? Dan, benarkah tidak ada rasa percaya sedikitpun yang kutaruh padamu? 


Baik. Aku ingat. Boleh aku menyanggah kalimatmu? 


Pada perpisahan setelah pertemuan awal kita, saat itu tanggal enam Juni, aku percaya kau akan menghubungiku kembali, ya, atau setidaknya antusias membalas pesan pertamaku padamu. Nyatanya, kepercayaanku tidak bertepuk sebelah tangan. Kau cukup antusias membalas pesanku, Bahkan, kau dengan rasa khawatir berlebihmu yang saat itu mampu membuat pipiku merona, sigap ingin mengantarku ke rumah sakit karena bibirku yang mulai merah dan membengkak. Aku senyum. Rasa percayaku berbuah manis. 


Dulu sekali, sebelum kau bertutur panjang lebar tentang kisahmu. Kesedihanmu karena dia. Sampai kau terlanjur memilih hengkang dari negri kita dan hijrah ke negri yang jauh di sana, aku sudah tahu semuanya... sayang. Matamu terlanjur memberi tahu semuanya. Gerak implusif pipimu yang begitu nyaman istirahat di dadaku pun memberitahukan kalau kau seorang yang pernah terluka dan sekarang sedikit tersesat. Aku percaya kau tidak seperti apa yang kau bicarakan. Kau bukan orang hina. Bukan pelacur. Bukan juga manusia dari neraka. Kau hanya orang yang pernah disakiti dan kini tidak percaya lagi akan cinta. Cinta yang membuatmu berbunga tapi ia pula yang menghancurkan indah kelopakmu. 


Yang kurasa saat itu bukan antusias ingin memilikimu, hanya saja, aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian dengan lukamu. Kau bukan orang yang pantas dilahap kegelapan. Bukan orang yang tepat ditelan kesengsaraan. Sebuah cerita pendek kubuat untukmu. Tentang angan-angan rasaku yang kian tumbuh padamu. Kau boleh melihat kembali tulisan itu, aku yakin kau masih samar-samar mampu mengingatnya. Dan semenjak kau membacanya, hatimu mulai mencair. Sekali lagi, aku percaya padamu. Percaya kau mampu menghapus lukamu. Percaya kalau kita bisa menerima sesuatu yang lebih layak dari pada sebuah rasa pedih. 


Enam bulan kemudian, kau terluka kembali. Mungkin lebih dalam dari sebelumnya. Dan kali ini, bukan karena dia, melaikan karena aku! Aku yang kau bilang tidak pernah menaruh rasa percaya padamu. Aku yang kau bilang tidak pernah cinta padamu. Sayang, mari kita lihat ke dalam diriku yang terlalu kolot ini. Aku tidak suka minuman alkohol. Bukan penikmat club-club malam yang memanjakan para tamunya. Pun juga bukan orang yang pandai bergaul. Tapi, aku percaya padamu. Percaya pada duniamu yang selama ini ikut andil dalam kebahagianmu. Untuk pertama kali, aku merasakan dunia malam-mu. Melihat kau begitu lepas. Bahagia. Jujur, mataku terlalu awas memperhatikan orang sekitar yang kalau saja berniat aneh padamu. Tapi, aku percaya padamu. Aku tidak pernah melarangmu ketempat bahagiamu itu. Bukan karena aku tidak peduli, tapi aku percaya padamu. 


Kau mungkin tidak bisa melihat dan merasakan rasa percayaku. Atau mungkin rasa percayaku yang terlalu malu untuk bisa bersinggungan denganmu. Kau ingat berapa banyak masalah yang selalu hadir di antara kita? Sangat banyak! Dan karena rasa percayaku padamu, begitu juga sebaliknya, kita selalu berhasil kembali menemukan satu sama lain. Dan karena rasa percayaku padamulah, aku tidak pernah menelan bulat-bulat setiap kalimat sarkasmu padaku. Karena aku percaya kau cinta padaku. Masih cinta. Dan akan terus mencinta. 


Kemarin malam, saat mataku sudah berat dan lelah dengan hari ini, akhirnya aku menjawab pertanyaanmu, "Kita sama-sama terluka. Baik aku, maupun kamu. Kita pun sudah tahu obatnya apa. Lantas, apa yang kita tunggu?" 


---- 








Wednesday, May 31, 2017

MERINDU SESUATU YANG BUKAN MILIKKU

BY Ricky Douglas IN No comments

Dan, predikat kurang ajar saja ternyata tidak puas melekat padaku. Ya, aku kurang ajar dan bodoh! Merindukan sesuatu yang bukan milikku. Konyol. Ckh! Rasanya halusinasi terlalu menjadi angan-angan yang diagungkan. Karena nyatanya, kenyataan begitu biadap. Haha, biarlah!

Aku begitu naif merindukan dia yang bukan milikku. Kenangan tentangnya saja hanya seujung kuku yang mampu kuingat. Lantas, apa yang kurindukan? Aku dan dia sekalipun bahkantak pernah bersua di bibir pantai. Menikmati arogansi manusia di tengah kemacetan. Duduk diam dengan debar saat melihat layar bioskop. Menyantap sajian yang cenderung tidak lebih lezat dari dia yang kuidamkan. Lalu, apa yang bisa kusebut rindu jika hal barusan saja tak pernah benar-benar tercipta di antara kita? 

Mungkin aku terlalu betah memikirkanmu dalam angan. Merindukanmu dalam melankolia menyebalkan yang selalu membuatku sedih dan tertawa di waktu yang sama. Terus meraba wajahmu dalam ingatan agar kau tak punah dalam kenangan, adalah tugas wajibku belakangan. Agar wajahmu tak binasa dari otak kerdilku yang ternyata hanya cukup bisa memenuhinya dengan namamu. 

Sayangnya, selepas aku memakai lagi baju dan celanaku--begitupun dengan kau, semuanya berakhir. Dan beberapa uang dariku untukmu pertanda kita telah usai. Terimakasih cinta satu malam!

Thursday, March 10, 2016

Aku Membenci Hujan, sebab....

BY Ricky Douglas IN No comments



Judul: Hujanlah Lain Hari
Penulis: Lindaisy
Penerbit: DIVA Press
ISBN: 978-602-296-050-8
Tebal: 355 halaman
Tahun terbit: November 2014
Cetakan: Pertama
Genre: Fiksi Remaja
Rating:
Annyeong haseyo pembaca setia yang tersayang. Hm, mungkin sudah bisa sedikit ditebak kali yaa saya akan me-review buku seperti apa? Nah, review buku kedua ini berkisah tentang novel fiksi remaja dengan setting negri gingseng, Korea.
Novel ini beraroma sangat manis! Ya-ya-ya, seperti kebanyakan cerita yang mengangkat kehidupan anak Korea lainnya, Drama Queen! Novel dengan tebal 355 halaman ini sukses membuat saya jungkir balik. Gigit jari. Senyum tidak jelas. Dan sedih bukan kepalang.
Cerita dibuka dengan kehidupan masa kecil Jangwoo. Saat ia dituduh mencuri uang teman kelasnya. Hidup dengan predikat melarat membuat siswa lain dan guru tak mempercayai anak ini, termasuk orang tuanya sendiri. Ayahnya yang kecewa pun marah bukan main. Ia mengguyur tubuh Jangwoo dengan air seember! Dan, di sisi lain, di pekarangan rumahnya, sepasang mata imut dari gadis kecil berusia lima tahun memandangnya nanar, Janhwa namanya. Orang tua Janhwa jauh-jauh datang dari luar kota menengok sahabat lamanya, Jangsuk—Ayah Jangwoo.
“Memangnya kenapa kalau aku nakal? Kau mau mengejekku? Apa kau pikir anak orang kaya sepertimu selalu benar” Jangwoo menjadi lebih sensitif malam ini. –Halaman 15
“Kau ini tuli atau apa? Berhenti mengikutiku! Pulang!” –Halaman 16.
“Aku tak tahu jalan pulang,” sahut Janhwa tahut-takut. –Halaman 16.
Tragedi terjadi saat Jangwoo yang berusia sembilan tahun mengusir Janhwa dengan geram. Semua panik saat Janhwa tak kunjung pulang. Padahal, hari sudah gelap terlebih sekarang hujan. Dengan susah payah bahkan mengalami luka sayat di lengannya, Jangwoo berhasil menemukan gadis kecil itu dan membopongnya balik. Jangwoo pun dihukum berdiri di bawah guyuran hujan.
Masalah tak sampai di sana, suatu hari saat Jangwoo asyik menyantab makanan bersama keluarga, pintu rumah mereka digedor tak sabar. Hujan deras sekali saat itu. Kejadian pun begitu cepat di mata Jangwoo. Yang ia tangkap, setelah perkelahian sengit, ayahnya terkapar bersimbah darah di pekarangan mereka dengan luka tembak di leher. Jangwoo yang panik mengajak ibunya berlari menghindari sang penjahat. Namun sayang, saat bersembunyi di kebun ubi bertanah liat, Ibunya pun ditembak mati. Sebelum nyawa benar-benar melayang dari Misun—Ibu jangwoo—wanita ini menusukkan pisau ke dada salah satu penjahat, membuat Jangwoo berhasil melarikan diri.  
***
“Nona itu memberikanku porsi spesial, payung, dan rela kehujanan demi diriku? Nona... kau menyukaiku, ya?” –Halaman 48.
Jangwoo yang kini sudah dewasa, bertubuh jangkung, rambut gondrong, menatap kedai mie yang baru ia singgahi. Terlebih membayangkan pelayan wanita berambut panjang yang sangat baik padanya.
Suatu kejadian tak terduga membuat Jangwoo berminat kerja di kedai mie. Dilatih atasannya, ia pun resmi menjadi koki di sana. Namun, sering bertemu dengan wanita berambut panjang yang sebelumnya ia duga sebagai pelayan, membuat hubungan mereka lebih dari atasan dan bawahan. Keduanya berteman.
“Janhwa itu ibarat buku tebal yang bersampul polos dan hanya berjudulkan satu nama. Geum Janhwa. Tapi begitu kau membukanya, kau akan tahu berapa banyak kata yang tertulis pada buku itu. Bacalah dan nikmati waktumu bersama buku itu.” –Halaman 94.
Ya, Jangwoo akhirnya mengetahui fakta bahwa bos pemilik kedainya adalah Janhwa. Gadis sama yang ada di masa lalunya. Gadis cengeng. Merepotkan. Menyebalkan. Jangwoo semakin masuk ke kehidupan Janhwa, laki-laki ini pun sangat karib denngan Janmyung—adik Janhwa—yang sudah satu tahun menginap di rumah sakit akibat penyakit yang dideritanya.
Janmyung meninggal, membuat Janwha sebatang kara sekarang. Kedua orang tuanya pun telah tiada bertahun-tahun silam. Saat hendak menjemput bocah laki-laki kecil anak dari sahabatnya. Kini hanya Woohyun sahabat karib yang dimiliki Janwha. Sahabat yang sempat mengisi hatinya dulu.
Bahu Janwha terluka. Ditusuk panjahat yang menyelinap masuk ke kedainya di malam hari. Untunglah ada Jangwoo yang datang kala itu meskipun ia harus rela babak belur. Kasus ini sudah diusut polisi, mencari tahu motiv tersangka yang mengambil sertifikat kedai dan rumah Janhwa. Tersangka pun ditangkap. Namun, kesaksian tak terduga keluar dari bibirnya.
“Kau lupa? Malam itu aku mengintai rumahmu dan saat aku sedang berdiskusi dengan Jangwoo, kau pulang.” Pria itu menyeringai, memaksa Janhwa mengingat-ingat.         –Halaman 221.  
Janhwa marah besar pada Jangwoo, ucapannya pun tak terkontrol lagi.
“Jangan berani menginjakkan kakimu di sini lagi! Ambil ini, kau lebih perlu uang ini.” Janhwa mendorong sebuah amplop tebal berisi uang. –Halaman 223.
“Dari mana kau menjelaskannya? Melamar kerja di sini? Mencari segala informasi tentangku, adikku, penyakitnya, dan membayar biayanya? Merencanakan sesuatu dengan teman masa kecilmu untuk medapat segala milikku?” –Halaman 223.
Jangwoo geram sekaligus sedih. Kecewa. Ia tak menyangka niat baiknya dituduh seperti itu oleh Janhwa hanya karena kesaksian palsu si tersangka. Ia pun memutuskan pergi dari tempat itu. Dari kehidupan Geum Janhwa.
Tak berselang lama, Woohyun melamar Janhwa menjadi tunangannya. Melingkarkan cincin berlian cantik di gadis itu. Tapi, Janwha tak sepenuhnya bahagia, entah kenapa Jangwoo tiba-tiba mengisi semua pikirannya hingga gadis itu mengambil keputusan paling bodoh. Ia mulai mencari Jangwoo lagi. Sampai tibalah ia di Seol. Cerita pun kembali ke babak selanjutnya antara Jangwoo, Janhwa, dan Woohyun.
-Sekian-
Kelebihan, novel ini alur ceritanya sangat apik. Dibuka dengan BAB awal yang mengharu biru, lalu ke sisi romantis di BAB selanjutnya, membuat pembaca ingin terus membuka lembar demi lembar. Watak setiap tokoh pun sangat ciamik. Penulis benar-benar hebat membangun karakter tokohnya. Salut! Saya sangat menikmati cerita ini.
Bicara tentang kelemahan, hm... lumayan banyak menurutku, terutama tentang aturan menulis dan EYD. Ah, sampai membuat berdecak kesal! Hal-hal seperti ini seharusnya sudah dapat diantisipasi penulis dan editor, tapi... yasudahlah. Namanya juga kita kan manusia. Kumpulan dari sebuah kesalahan. Baiklah, coba saya jabarkan;
A.    Kesalahan EYD, aturan menulis, dan hal yang seharusnya perlu diperbaiki.
1.      Ketiga pria itu menyeret Jangsuk yang masih tersungkur. Menyeretnya seperti karung sampah Sesampainya di teras bla bla bla bla.... –Halaman 35.
KOREKSI: TAMBAHI TANDA TITIK YA! (.)
2.      Tanya pemuda yang sedang duduk bersila sambil menghembuskan asap rokoknya.
KOREKSI: BUKAN HEMBUSKAN YA, TAPI EMBUSKAN! OTOMATIS JADINYA (MENGEMBUSKAN) BUKAN (MENGHEMBUSKAN)
3.      “Eotoriya?” pekik Minsung. “Eotoriya, Eotoriya, dara diri dara du....” –Halaman 131.
KOMENTAR: Apa itu Eotoriya dara diri dara du? Oh ayolah, saya tahu ini novel setting Korea meski deskripsi settingnya buruk sekali, tapi setidaknya dijelaskan dialog apa itu!
KOREKSi: Seharusnya dibuat seperti pada halaman 136. “Tagates erecta, Tagates lucida, Tagates minuta, Tagates patula.” Kakek menyebutkan nama-nama bunga itu seakan menjejalkannya ke kuping Jangwoo.
      Nah! Jadi jelaskan si Kakek ini sedang berbicara tentang apa? Tentang bunga!
4.       “Destilasi atmosferik merupakan tahap pemisahan yang sangat penting. Operasi pemisahan ini didasarkan atas volatilitas komponen-komponennya dengan menggunakan suplai panas pada tekanan atmosfer. Pada akhirnya komponen yang lebih volatil akan terpisah dan terbawa sebagai destilat, sedangkan komponen yang kurang volatil akan tertinggal di dasar. Pemisahan dilakukan pada temperatur tiga ratus sampai tiga ratus lima puluh derajat Celcius.” –Halaman 143.
KOMENTAR: ASTAGA!!! INI APA? NASKAH BERITA? MAKALAH? SKRIPSI?! HELO, INI KARYA FIKSI! SEMPILKANLAH SI TOKOH! MIMIK WAJAHNYA. GERAK TANGANNYA. ATAU APAPUN!
5.      ‘10. Selamat Tinggal, Janmyung.’ –Halaman 157.
KOMENTAR: SAYA KURANG SREK DENGAN JUDUL BAB SEPERTI INI. SANGAT MEMBOCORKAN INTI DAN RAHASIA DARI BAB ITU SENDIRI. MEMBUAT SAYA SEBAGAI PEMBACA JADI MALAS MELANJUTKAN.
6.      (Janhwahanyamenggenggamgelasplastiknyadengankeduatangan,) -Halaman 158.
KOMENTAR: HAH, INI PENULIS DAN EDITOR-NYA MUNGKIN SEDANG LELAH HIHIHIHI J
7.      Beberapa menit berlalu seperti itu. Janwha masih memeluk Woohyun, tapi tak juga ada tangisan dari keduanya. Janhwa bahkan tak menitikan air mata meski matanya sudah sangat basah. –Halaman 174.
KOMENTAR: Di sini logikanya agak kurang. Bayangkan saja! Mata Janhwa sudah sangat basah, dalam artian air sudah menggenang di pelupuk matanya. Tapi, masih tak ada titik air mata yang jatuh walaupun sudah beberapa menit seperti itu. Masuk akal kah? Tidak! Saya rasa, kantung mata itu seperti kandung kemih, jika penuh, maka langsung mengucur sendiri. Ah, malah kandung kemih masih bisa dikontrol.
8.      Sama-sama asyik dengan pikirannya masing-masing. Bedanya, jika yang laki-laki sibuk membolak-balik sampul buku karena bosan, maka perempuan di sampingnya sibuk membolak-balik buku dan mengeliminasinya satu per satu.
KOREKSI: TERLALU BANYAK PENGULANGAN KATA YANG BERDEKATAN. BISA CARI DIKSI LAIN!
9.      (“Tunggu.Akubarumenyadarisatuhal.”Woohyunmencondongkan). –Halaman 248.
KOMENTAR: HUH! CAPEK MATA BACANYA.
10.  Berputar-putar pasrah mengikuti hembusan.... –Halaman 258.
KOMENTAR: PAK, BUK, ENTAH SAYA YANG LUPA ATAU BAGAIMANA, SETAHU SAYA, YANG BETUL ITU EMBUSAN BUKAN HEMBUSAN.
11.  (Tes....
Air mata Woohyun meluncur tanpa henti dan tanpa isakan.) –Halaman 324.
KOMENTAR: HEM... LAGI-LAGI. ADA YANG BISA KASIH TEORI PASTI KALAU BUNYI AIR MATA YANG JATUH ITU ADALAH (TES)??? INI NAMANYA ONOMATOPE! HINDARI SAJA SAAT MENULIS KARENA TERKESAN MEMBODOHI PEMBACA.
12.  “Ini perlu waktu lumayan lama, tapi akan kuusahakan selesai sebelum kelasi ini selesai,” –Halaman 331.
KOMENTAR: Ubah kalimat ini! Penggunaan dua kata dengan jarak yang berdekatan terkesan pemborosan. Membosankan. Tidak kaya akan diksi. Bisa diubah menjadi, “Ini perlu waktu yang lama, tapi akan kuusahakan selesai sebelum kelas ini berakhir.” 
13.  Saya bingung. Ini novel tentang Korea. Mulai dari nama tokoh. Penggunaan tempat seperti Busan, dll. Tapi, saya tidak merasakan unsur negri Korea itu sendiri. Hanya seperti tulisan yang ‘menumpang’ tempat di negara Korea sana. Novel ini kurang sekali deskripsi suasananya.

            Sekian Review dari saya. Percayalah, jika saya pun disuruh membuat novel yang baik dan benar, saya akan mengatakan kalau itu sangat sulit. Saya paham betul. Makanya saya sangat menghargai penulis yang mampu menyelesaikan tulisannya.
            Dan percayalah lagi, tak ada niat menjatuhkan, menjelekkan, atau unsur negatif lainnya. Maaf jika penyampaian saya yang mungkin kurang berkenan di hati kalian. Selamat berkarya!

Aku Membenci Hujan, sebab....

BY Ricky Douglas IN No comments



Judul: Hujanlah Lain Hari
Penulis: Lindaisy
Penerbit: DIVA Press
ISBN: 978-602-296-050-8
Tebal: 355 halaman
Tahun terbit: November 2014
Cetakan: Pertama
Genre: Fiksi Remaja
Rating:
Annyeong haseyo pembaca setia yang tersayang. Hm, mungkin sudah bisa sedikit ditebak kali yaa saya akan me-review buku seperti apa? Nah, review buku kedua ini berkisah tentang novel fiksi remaja dengan setting negri gingseng, Korea.
Novel ini beraroma sangat manis! Ya-ya-ya, seperti kebanyakan cerita yang mengangkat kehidupan anak Korea lainnya, Drama Queen! Novel dengan tebal 355 halaman ini sukses membuat saya jungkir balik. Gigit jari. Senyum tidak jelas. Dan sedih bukan kepalang.
Cerita dibuka dengan kehidupan masa kecil Jangwoo. Saat ia dituduh mencuri uang teman kelasnya. Hidup dengan predikat melarat membuat siswa lain dan guru tak mempercayai anak ini, termasuk orang tuanya sendiri. Ayahnya yang kecewa pun marah bukan main. Ia mengguyur tubuh Jangwoo dengan air seember! Dan, di sisi lain, di pekarangan rumahnya, sepasang mata imut dari gadis kecil berusia lima tahun memandangnya nanar, Janhwa namanya. Orang tua Janhwa jauh-jauh datang dari luar kota menengok sahabat lamanya, Jangsuk—Ayah Jangwoo.
“Memangnya kenapa kalau aku nakal? Kau mau mengejekku? Apa kau pikir anak orang kaya sepertimu selalu benar” Jangwoo menjadi lebih sensitif malam ini. –Halaman 15
“Kau ini tuli atau apa? Berhenti mengikutiku! Pulang!” –Halaman 16.
“Aku tak tahu jalan pulang,” sahut Janhwa tahut-takut. –Halaman 16.
Tragedi terjadi saat Jangwoo yang berusia sembilan tahun mengusir Janhwa dengan geram. Semua panik saat Janhwa tak kunjung pulang. Padahal, hari sudah gelap terlebih sekarang hujan. Dengan susah payah bahkan mengalami luka sayat di lengannya, Jangwoo berhasil menemukan gadis kecil itu dan membopongnya balik. Jangwoo pun dihukum berdiri di bawah guyuran hujan.
Masalah tak sampai di sana, suatu hari saat Jangwoo asyik menyantab makanan bersama keluarga, pintu rumah mereka digedor tak sabar. Hujan deras sekali saat itu. Kejadian pun begitu cepat di mata Jangwoo. Yang ia tangkap, setelah perkelahian sengit, ayahnya terkapar bersimbah darah di pekarangan mereka dengan luka tembak di leher. Jangwoo yang panik mengajak ibunya berlari menghindari sang penjahat. Namun sayang, saat bersembunyi di kebun ubi bertanah liat, Ibunya pun ditembak mati. Sebelum nyawa benar-benar melayang dari Misun—Ibu jangwoo—wanita ini menusukkan pisau ke dada salah satu penjahat, membuat Jangwoo berhasil melarikan diri.  
***
“Nona itu memberikanku porsi spesial, payung, dan rela kehujanan demi diriku? Nona... kau menyukaiku, ya?” –Halaman 48.
Jangwoo yang kini sudah dewasa, bertubuh jangkung, rambut gondrong, menatap kedai mie yang baru ia singgahi. Terlebih membayangkan pelayan wanita berambut panjang yang sangat baik padanya.
Suatu kejadian tak terduga membuat Jangwoo berminat kerja di kedai mie. Dilatih atasannya, ia pun resmi menjadi koki di sana. Namun, sering bertemu dengan wanita berambut panjang yang sebelumnya ia duga sebagai pelayan, membuat hubungan mereka lebih dari atasan dan bawahan. Keduanya berteman.
“Janhwa itu ibarat buku tebal yang bersampul polos dan hanya berjudulkan satu nama. Geum Janhwa. Tapi begitu kau membukanya, kau akan tahu berapa banyak kata yang tertulis pada buku itu. Bacalah dan nikmati waktumu bersama buku itu.” –Halaman 94.
Ya, Jangwoo akhirnya mengetahui fakta bahwa bos pemilik kedainya adalah Janhwa. Gadis sama yang ada di masa lalunya. Gadis cengeng. Merepotkan. Menyebalkan. Jangwoo semakin masuk ke kehidupan Janhwa, laki-laki ini pun sangat karib denngan Janmyung—adik Janhwa—yang sudah satu tahun menginap di rumah sakit akibat penyakit yang dideritanya.
Janmyung meninggal, membuat Janwha sebatang kara sekarang. Kedua orang tuanya pun telah tiada bertahun-tahun silam. Saat hendak menjemput bocah laki-laki kecil anak dari sahabatnya. Kini hanya Woohyun sahabat karib yang dimiliki Janwha. Sahabat yang sempat mengisi hatinya dulu.
Bahu Janwha terluka. Ditusuk panjahat yang menyelinap masuk ke kedainya di malam hari. Untunglah ada Jangwoo yang datang kala itu meskipun ia harus rela babak belur. Kasus ini sudah diusut polisi, mencari tahu motiv tersangka yang mengambil sertifikat kedai dan rumah Janhwa. Tersangka pun ditangkap. Namun, kesaksian tak terduga keluar dari bibirnya.
“Kau lupa? Malam itu aku mengintai rumahmu dan saat aku sedang berdiskusi dengan Jangwoo, kau pulang.” Pria itu menyeringai, memaksa Janhwa mengingat-ingat.         –Halaman 221.  
Janhwa marah besar pada Jangwoo, ucapannya pun tak terkontrol lagi.
“Jangan berani menginjakkan kakimu di sini lagi! Ambil ini, kau lebih perlu uang ini.” Janhwa mendorong sebuah amplop tebal berisi uang. –Halaman 223.
“Dari mana kau menjelaskannya? Melamar kerja di sini? Mencari segala informasi tentangku, adikku, penyakitnya, dan membayar biayanya? Merencanakan sesuatu dengan teman masa kecilmu untuk medapat segala milikku?” –Halaman 223.
Jangwoo geram sekaligus sedih. Kecewa. Ia tak menyangka niat baiknya dituduh seperti itu oleh Janhwa hanya karena kesaksian palsu si tersangka. Ia pun memutuskan pergi dari tempat itu. Dari kehidupan Geum Janhwa.
Tak berselang lama, Woohyun melamar Janhwa menjadi tunangannya. Melingkarkan cincin berlian cantik di gadis itu. Tapi, Janwha tak sepenuhnya bahagia, entah kenapa Jangwoo tiba-tiba mengisi semua pikirannya hingga gadis itu mengambil keputusan paling bodoh. Ia mulai mencari Jangwoo lagi. Sampai tibalah ia di Seol. Cerita pun kembali ke babak selanjutnya antara Jangwoo, Janhwa, dan Woohyun.
-Sekian-
Kelebihan, novel ini alur ceritanya sangat apik. Dibuka dengan BAB awal yang mengharu biru, lalu ke sisi romantis di BAB selanjutnya, membuat pembaca ingin terus membuka lembar demi lembar. Watak setiap tokoh pun sangat ciamik. Penulis benar-benar hebat membangun karakter tokohnya. Salut! Saya sangat menikmati cerita ini.
Bicara tentang kelemahan, hm... lumayan banyak menurutku, terutama tentang aturan menulis dan EYD. Ah, sampai membuat berdecak kesal! Hal-hal seperti ini seharusnya sudah dapat diantisipasi penulis dan editor, tapi... yasudahlah. Namanya juga kita kan manusia. Kumpulan dari sebuah kesalahan. Baiklah, coba saya jabarkan;
A.    Kesalahan EYD, aturan menulis, dan hal yang seharusnya perlu diperbaiki.
1.      Ketiga pria itu menyeret Jangsuk yang masih tersungkur. Menyeretnya seperti karung sampah Sesampainya di teras bla bla bla bla.... –Halaman 35.
KOREKSI: TAMBAHI TANDA TITIK YA! (.)
2.      Tanya pemuda yang sedang duduk bersila sambil menghembuskan asap rokoknya.
KOREKSI: BUKAN HEMBUSKAN YA, TAPI EMBUSKAN! OTOMATIS JADINYA (MENGEMBUSKAN) BUKAN (MENGHEMBUSKAN)
3.      “Eotoriya?” pekik Minsung. “Eotoriya, Eotoriya, dara diri dara du....” –Halaman 131.
KOMENTAR: Apa itu Eotoriya dara diri dara du? Oh ayolah, saya tahu ini novel setting Korea meski deskripsi settingnya buruk sekali, tapi setidaknya dijelaskan dialog apa itu!
KOREKSi: Seharusnya dibuat seperti pada halaman 136. “Tagates erecta, Tagates lucida, Tagates minuta, Tagates patula.” Kakek menyebutkan nama-nama bunga itu seakan menjejalkannya ke kuping Jangwoo.
      Nah! Jadi jelaskan si Kakek ini sedang berbicara tentang apa? Tentang bunga!
4.       “Destilasi atmosferik merupakan tahap pemisahan yang sangat penting. Operasi pemisahan ini didasarkan atas volatilitas komponen-komponennya dengan menggunakan suplai panas pada tekanan atmosfer. Pada akhirnya komponen yang lebih volatil akan terpisah dan terbawa sebagai destilat, sedangkan komponen yang kurang volatil akan tertinggal di dasar. Pemisahan dilakukan pada temperatur tiga ratus sampai tiga ratus lima puluh derajat Celcius.” –Halaman 143.
KOMENTAR: ASTAGA!!! INI APA? NASKAH BERITA? MAKALAH? SKRIPSI?! HELO, INI KARYA FIKSI! SEMPILKANLAH SI TOKOH! MIMIK WAJAHNYA. GERAK TANGANNYA. ATAU APAPUN!
5.      ‘10. Selamat Tinggal, Janmyung.’ –Halaman 157.
KOMENTAR: SAYA KURANG SREK DENGAN JUDUL BAB SEPERTI INI. SANGAT MEMBOCORKAN INTI DAN RAHASIA DARI BAB ITU SENDIRI. MEMBUAT SAYA SEBAGAI PEMBACA JADI MALAS MELANJUTKAN.
6.      (Janhwahanyamenggenggamgelasplastiknyadengankeduatangan,) -Halaman 158.
KOMENTAR: HAH, INI PENULIS DAN EDITOR-NYA MUNGKIN SEDANG LELAH HIHIHIHI J
7.      Beberapa menit berlalu seperti itu. Janwha masih memeluk Woohyun, tapi tak juga ada tangisan dari keduanya. Janhwa bahkan tak menitikan air mata meski matanya sudah sangat basah. –Halaman 174.
KOMENTAR: Di sini logikanya agak kurang. Bayangkan saja! Mata Janhwa sudah sangat basah, dalam artian air sudah menggenang di pelupuk matanya. Tapi, masih tak ada titik air mata yang jatuh walaupun sudah beberapa menit seperti itu. Masuk akal kah? Tidak! Saya rasa, kantung mata itu seperti kandung kemih, jika penuh, maka langsung mengucur sendiri. Ah, malah kandung kemih masih bisa dikontrol.
8.      Sama-sama asyik dengan pikirannya masing-masing. Bedanya, jika yang laki-laki sibuk membolak-balik sampul buku karena bosan, maka perempuan di sampingnya sibuk membolak-balik buku dan mengeliminasinya satu per satu.
KOREKSI: TERLALU BANYAK PENGULANGAN KATA YANG BERDEKATAN. BISA CARI DIKSI LAIN!
9.      (“Tunggu.Akubarumenyadarisatuhal.”Woohyunmencondongkan). –Halaman 248.
KOMENTAR: HUH! CAPEK MATA BACANYA.
10.  Berputar-putar pasrah mengikuti hembusan.... –Halaman 258.
KOMENTAR: PAK, BUK, ENTAH SAYA YANG LUPA ATAU BAGAIMANA, SETAHU SAYA, YANG BETUL ITU EMBUSAN BUKAN HEMBUSAN.
11.  (Tes....
Air mata Woohyun meluncur tanpa henti dan tanpa isakan.) –Halaman 324.
KOMENTAR: HEM... LAGI-LAGI. ADA YANG BISA KASIH TEORI PASTI KALAU BUNYI AIR MATA YANG JATUH ITU ADALAH (TES)??? INI NAMANYA ONOMATOPE! HINDARI SAJA SAAT MENULIS KARENA TERKESAN MEMBODOHI PEMBACA.
12.  “Ini perlu waktu lumayan lama, tapi akan kuusahakan selesai sebelum kelasi ini selesai,” –Halaman 331.
KOMENTAR: Ubah kalimat ini! Penggunaan dua kata dengan jarak yang berdekatan terkesan pemborosan. Membosankan. Tidak kaya akan diksi. Bisa diubah menjadi, “Ini perlu waktu yang lama, tapi akan kuusahakan selesai sebelum kelas ini berakhir.” 
13.  Saya bingung. Ini novel tentang Korea. Mulai dari nama tokoh. Penggunaan tempat seperti Busan, dll. Tapi, saya tidak merasakan unsur negri Korea itu sendiri. Hanya seperti tulisan yang ‘menumpang’ tempat di negara Korea sana. Novel ini kurang sekali deskripsi suasananya.

            Sekian Review dari saya. Percayalah, jika saya pun disuruh membuat novel yang baik dan benar, saya akan mengatakan kalau itu sangat sulit. Saya paham betul. Makanya saya sangat menghargai penulis yang mampu menyelesaikan tulisannya.
            Dan percayalah lagi, tak ada niat menjatuhkan, menjelekkan, atau unsur negatif lainnya. Maaf jika penyampaian saya yang mungkin kurang berkenan di hati kalian. Selamat berkarya!