Wednesday, January 27, 2016

OSPEK KOTA JAKARTA. BAGIAN 12; Kerja atau Tidak, Ya?

BY Ricky Douglas IN No comments



OSPEK KOTA JAKARTA
BAGIAN 12;
Kerja atau Tidak, ya?

Sudah lewat satu bulan aku hidup di Kota Jakarta. Carut-marut kehidupannya pun mulai biasa di mataku. Dulu, saat melihat gedung-gedung tinggi daerah Kuningan ataupun Sudirman selalu berhasil membuatku bergidik. Mata melotot kagum. Tapi kini, jadi hal lumrah. Termasuk kemacetan lalu lintas. Bahkan salah satu teman asli Jakarta berkata padaku; “Kemacetan adalah napas bagi Kota Jakarta. Jadi, segeralah terbiasa.” Dan... eng ing eng, bak mantra ajaib kini aku benar-benar melebur dengan nuansa kota ini. Macet. Debu. Keegoisan manusia dalam kereta. Bengisnya sifat. Dan, semuanya. Termasuk ‘nyinyir’ mulut-mulut orang.  

“Udah mendingan lu gak usah fokus banget deh jadi artis. Muka biasa kayak lu mah hal gini jangan diseriusin. Gak bakal jadi udah. Kecuali lu muka-muka bule. Nah baru deh boleh seriusin dunia entertaint. Mending kerja aja.” 

Aku ingat betul ucapan laki-laki ini. Cukup kasar dan menendang tepat sasaran. Aku yang lagi dilema masalah pilihan pun seakan ikut dalam atmosfir yang diciptakannya. Ohh iyaa kaah? Kayaknya aku emang harus mundur perlahan. Jangan terlalu diseriusin deh, pikiran seperti inilah yang merasuk tanpa ampun dalam sanubari melankolia-ku. 

“Jangan kerja dulu, cah bagus. Kalau emang pengen serius di entertaint, kamu harus fokus. Soaalnya saingan banyak. Mending gitu deh. Ndak usah dulu kerja baik part time maupun full time. Kamu kan bisa nulis, nah udah jadiin itu aja dulu buat cari duit.” 

Nah, saran satu ini lumayan masuk dan cocok buat otak-ku. Secaralah ya, saingan banyak. Yang lebih berbakat dan oke secara fisik pun banyak sekali. Jika aku tidak mengencangkan sabuk, maka aku yang harus terlempar. 

Dan berkat perkataan wanita berumur inilah yang membuatku makin semangat meneruskan novel yang sempat ke-pending. Tiap malam kembali kucumbui barisan paragraf di laptop. Tapi heeeii, ini kan project jauh kedepan. Sementara untuk menopang hidupku tiap bulannya bagaimana? 

“Yaudah gapapa kalau belum mau kerja. Silahkan kamu kejar cita-citamu dulu, Nak. Masalah biaya hidup, InsyaAllah bapak masih bisa menyokong buatmu dan Yuk Rika. Kalian fokus aja.” 

“Sungguh, Pak? Benarkah? Aku tidak salah mendengar kan? Terimakasih Baginda Raja,” ucapku lebay. 

 “Tapi heeeeii, tunggu!” ucap Ayah menirukan gayaku. Satu jari terangkat di depan mulut. “Bapak cuma kasih waktu satu tahun ya. Lewat dari itu, kamu harus fokus cari kerja. Nah, kalo udah dapet kerjaan, masih boleeh sih kalo mau nyambi dunia artis,” lanjutnya. 

            Agak sedikit disayangkan sebenarnya, aku yang sudah diumur seperti ini, dengan stastus lulusan salah satu Universitas di Semarang, masih harus membebankan orang tua dalam hal biaya. Bukan apa-apa, yang kutakutkan hanya satu hal, jika aku benar-benar tidak fokus di jalan ini, maka tak ada ruang bagiku sedikitpun di dalamnya. 

            “Yoshh!!! Suduh kuputuskan untuk fokus casting! Kerja nanti aja deh.” 

            Dengan komitmen seperti inilah hidupku berjalan dari hari ke hari. Ah, memang kebutuhan terpenuhi, namun keinginan seringkali terpendam dalam-dalam karena harus bisa mengatur keuangan. Hingga suatu hari, tanpa mimpi apa pun, aku mengikuti yuk Rika mengirimkan surat lamaran di salah satu Bank. Ini sebenarnya hanya iseng, tapi tak dinyana, panggilan interview pun datang. 

            “Duh, bro, gua dapet panggilan interview nih di bank,” ucapku pada teman baru. Namanya Doni. Anak Lampung. 

            “Yaudah lu datang aja kali, Dog. Pentingan kerja. Dunia entertaint mah jangan terlalu diseriusin. Mending lu kerja baek-baek, kumpulin duit. Habis itu beli peran deh,” ujarnya gamblang. 

            Meskipun kami tengah di kebisingan khalayak ramai—saat itu tengah shooting menjadi penonton konser sebuah band yang ada di salah satu adegan film—tapi aku masih bisa mendengar jelas suara Doni. 

            “Lu pikir deh, berapa banyak perjuangan lu buat dateng shooting kali ini? Dan lu tahu kan gimana bayarannya? Kecil man! Mending kerja!” lanjut Doni. 

            Dan, pikiranku pun terbayang melayang-layang terapung mirip benda basah berwarna kuning di sungai. Membayangkan perjuangan buat datang shooting hari ini. 

            Tepat pukul satu dini hari, mataku terbuka dari lelap yang cukup damai. Tanpa mimpi. Tapi entah kenapa,  ada yang basah. Setalah ngulet kiri dan kanan. Menguap lebar. Mengerjap-ngerjapkan mata. Memonyongkan bibir lalu membasahinya dengan lidah, aku pun mulai berdiri. Mandi. Ganti pakaian. Masak. Makan. Dan izin sama Yuk Rika, lantas langsung memesan gojek menuju daerah pasar Rebo.

            “Pak, Jakarta subuh gini dingin ya,” ujarku basa-basi pada si Kakek gojek. 

            “Mas-nya kode mau dipeluk ya?” 

            “Ebuset. Gak deh pak buahaha.” 

Sampai di pasar Rebo sekitar pukul tiga pagi. Suasana hiruk pikuk kentara sekali. Terlebih kini ada empat bus besar parkir di sisi jalan. Keramain anak muda-mudi nampak mengelilingi sang bus. Wuih rame ya, pikirku.  

            “Halo... haiii semuanya,” teriak-ku girang. “Nama saya Douglas, salam kenal ya.” 

            Gerombolan manusia itu hanya memandangku sekilas, lalu kembali melanjutkan aktifitas mereka. 

            Tapi ada satu yang balik menyapa, “Halo Douglas. Dari agency mana?” 

            “Saya dari Mas Kris, Kak.”

            “Haa??? Kris??? Siapa itu???”

            Byaaaaaaaaaarrrr!!! Seperti ada ribuan lele yang menyengat leherku, aku pun terkejut seterkejut-terkejutnya orang yang lagi terkejut karena mendapat hal yang mengejutkan #ApalahIni.  

            Alhasil, dengan bantuin Kakak cantik itu, aku pun digiring masuk salah satu bus. Duduk di kursi nomer tiga dari belakang. Satu persatu remaja lain memasuki bus. Ada yang cantik. Sedikit cantik. Biasa saja. Ada pula kaum labil. Kaum yang bingung akan jati dirinya sebagai perempuan atau laki-laki. Pun ada kaum kacamata’ers. Satu geng pakai kacamata hitam tebal semua. Perjalanan menuju lokasi shooting pun dimulai. 

            Sampai di lokasi sekitar pukul enam pagi. Di sana aku seperti orang hilang dan tak tahu arah jalan pulang mirip kisah pilu dari lagu yang dilantunkan Rumor. Tak ada teman ngobrol satupun. Aku mencoba mendekati beberapa orang.

            “Hai, aku Douglas. Salam kenal ya.”

            “Oiiya. Eko.” 

            “Asli mana, Ko?”

            “Jakarta.”

            “Udah lama ikut gini-ginian?”

            “Udah.” 

            “Enak?”

            “Apanya?”

            “Yaa di dunia gini.”

            “Lumayan.”

            “Oiiya. Kamu se—

            “Gua ksana dulu ya.” Eko pun pergi meninggalkanku bersama laler yang memenuhi atas kepalaku. 

            Shit!!!

            “Tapi tenang, orang baik akan selalu menemukan orang baik lainnya. Setidaknya, walau tidak menemukan, pasti akan ditemukan.” Inilah kutipan yang kubaca pagi ini. 

            Dan benar saja, aku bertemu dengan Doni. Tapi sebelum bertemu dengan makhluk ini, ada kejadian yang membuatku miris.

            “Permisi, Mas. Toiletnya di mana ya?” tanyaku sopan dan menggemaskan. 

            “Wah akhirnya dateng juga,” ucap laki-laki ini ngelindur. 

            “Maskudnya?” 

            “Nih bawain kardus-kardus air ke lokasi shooting! Kasian kan para pemain nanti kehausan,” titahnya penuh kecemberutan. 

            “Lhooo, tapi mas..., saya ini yang mau shooting juga lhoo.”

            “Alaah udah. Gua lagi gak mood becanda. Bawa kardus air dan makanan ini ke pinggir panggung ya!” Dia pun berlau pergi meninggalkanku.

            “Mas! Tidak! Kyaaaaaaaaaaaaa!!! Jangan tinggalin aku!”

            “Sekarang!” teriaknya dari kejauhan. 

            Apalah dayaku yang hanya seperti ini. Aku pun dengan iklash membantunya. Hingga, dari kejadian itulah aku bertemu Doni. 

            “Wooiii Dog, ngelamun aja lu!!! Gmna? Mau dateng interview-nya gak lu???” 

            “Eh sorry-sorry. Yaudah deh gua dateng aja kali yak. Soalnya cuma hari ini doang interview-nya.”

            “Yaudah buruan mumpung belum take nih.”

            “Izin dulu gak ya?”

            “Udah gak usah, lagian yang bawa lu kesini kan gak jelas orangnya di mana. Gak ngurusin lu lagi.” 

            “Oke oke. Gua cabut dulu yaaa. Tapii heiii... keep contact ya bro! Bye!”

            Aku meninggalkan lapangan konser. Baru beberapa langkah, tubuh ini berpasapan dengan sosok artis muda yang berjalan penuh wibawa ke arah panggung. Yap. Namanya Adipati Dolken. Tak mengindahkannya karena terburu-buru, aku pun kembali melangkah.

Menggunakan aplikasi ojek online lagi, aku meluncur menuju daerah Kota Tua Jakarta. Lalu melipir di salah satu Bank di sana. Tapiii heeeii, tunggu dulu! Ini kan interview, tapi lihat penampilanku sekarang. Kemeja putih, celana jeans, serta sepatu booth. Mana bisa dikondisikan buat interview kerja?! Alamakjang! Kini di toilet bank, aku mondar-mandir memikirkan cara agar penampilanku masih terlihat sopan. 

Eh, tunggu deh! Gua kan bawa jas!

Hah, lega rasanya pas shooting tadi ternyata aku membawa satu stel jas. Jadi lumayanlah sekarang baju yang kukenakan terlihat necis. Jas. Kemeja putih. Celana jeans warna abu-abu. Sepatu booth cokelat. 

“Silahkan, Mas. Isi daftar hadirnya dulu,” ucap pegawai di sana. 

Usai mengisinya. Aku berkenalan dengan seorang laki-laki yang duduk di sofa. 

“Tyo,” ucapnya singkat dengan seulas senyum. 

“Kenalin. Saya Douglas yang hari ini shooting film bareng Adipati Dolken.”

Krik... krik... krik.... 

“Ah iya. Wah artis ya,” balasnya kaku. 

Kami jadi semakin akrab. Terlebih saat tahu dia orang Palembang sama sepertiku. 

“Ini kok dikit banget sih peserta Interview-nya?” tanyaku heran. 

“Lumayan banyak kok. Sekitar orang tujuh. Noh ada di sana,” tunjuk Tyo. 

Sedang asyik mengobrol. Sepasang perempuan dan perempuan datang. Mereka duduk di samping kami. 

“Hai. Tyo,” ujar Tyo memperkenalkan diri. 

“Halo, Ria.” 

“Aku Laras,” sambar perempuan satunya. 

“Hai semuanya. Perkenalkan, saya Douglas. Laki-laki yang tadi pagi shooting film bareng Adipati Dolken.” 

“Wuaaah hebat dong,” saut Laras antusias. 

“Iya, nih tadi gak sempet balik kosan jadinya pake baju seadanya gini. Shooting-nya dari jam tiga pagi sih. Aduh capek banget gila!” cerocosku tanpa henti. 

“Emang disuruh akting ngapain, Glas?” tanya Ria. 

“Disuruh berdiri di bawah panggung. Nonton Adipati Dolken lagi konser Nyiahahahahaha.” 

“Keren ya pasti akting kamu,” ucap Tyo.

“Yaa dong! Eh tapi tadi gak jadi shooting sih, udah keburu dapet panggilan interview duluan.”

“Aeeelaaah.” Sorak kecewa para fans-ku Nyoahahaha.

            “Douglas dan Ria silahkan masuk ruang interview,” ucap recepcionist. 

            Kami melangkah gagah. Di dalam ruang interview, Ria memperkenalkan diri terlebih dahulu. Kemudian,  lugas sekali aku pun ikut memperkenalkann diri. 

            “Perkenalkan. Nama saya Ricky Douglas. Laki-laki yang tadi pagi shooting film bareng Adipati Dolken,” ucapku mantab. Bangga. 

            Kulirik samping, Ria hanya menganga lebar melihatku yang seperti ini. 

            “Wah, artis nih yaa kali ini yang interview di tempat kerja kita,” ujar sang bapak yang lebih tua kepada rekannya yang agak sedikit banget lebih muda. “Kebetulan, teman saya ini juga artis lho. Dia artis di Bandung,” tambahnya. 

            “Wuih, kita bisa banget dong ya pak jadi teman. Bapak artisnya artis apa? Kalau saya suka dunia peran, Pak.”

            “Saya juga suka dunia peran. Akitng. Nyanyi. Host. Kadang suka ngumpul juga sama musisi jalanan Bandung.”

            “Duh enak ya Bapak. Kalau saya baru memulai, Pak. Sedih banget ya Pak. Sana-sini casting gak ada temen. Naik gojek mulu. Castingnya banyak gak ketrima. Tapi gitulah penderitaan yang akan membawa kesuksesan. Amin.” 

            Dan selanjutnya, obrolan kami hanya seputar dunia entertaint. Dari awal karir si bapak hingga akhirnya terjebak di dunia perbankan. Dari raut wajah senyum, tertawa, sedih, nangis, marah, semua ada. 

            “Aku tuh sedih, Pak. Hikkss ternyata saingan buaaaanyak banget! Yang lebih oke bakat dan fisiknya dari aku tuh bejibun banget pak.” 

            “Semangat aja pokoknya mah harus fokus. Lha terus kamu siap kerja di bank? Kita kan kerjanya dari pagi sampe sore. Terus gimana kamu casting?” tanya-nya. 

            “Em, anu, kayaknya saya bakal ngurangin casting deh Pak. Bakal casting akhir pekan aja, Pak. Ngomong-ngomong soal casting akhir pekan, ternyata rame banget yaa pak yang casting kalo akhir minggu gitu. Yang pengen jadi artis banyak banget Nyoahahahaha.”

            Obrolan kami pun kembali seputaran dunia entertaint. Bahkan, Ria dan bapak yang lebih tua hanya bisa bengong sambil bertopang dagu mendengar obrolan kami. 

            Hari terus berganti. Dan sampai sekrang pun tak ada panggilan ketrima kerja. Dari kejadian ini, aku menyadari satu hal. Impianku menjadi seorang aktor bukan bertolak ukur pada uang! Meskipun aku hidup dengan uang yang kembang-kempis. Status tidak jelas karena memang tidak bekerja. Gaji shooting yang kadang tak seberapa. Tapi, aku senang menjalaninya. Menyukai dunianya. Pun caranya berproses. Mengembangkan diri. Bertemu teman dengan cita-cita yang sama sepertiku. Mungkin kalian akan menganggap ini berlebihan, tapi bagiku, dunia entertaint adalah napas. Sejauh apapun aku pergi dan di manapun berada. Aku tak bisa lepas dari oksigen. Aku tak bisa berhenti untuk bernapas. Karena aku, membutuhkannya!

*Bersambung



Thursday, January 21, 2016

OSPEK KOTA JAKARTA. BAGIAN 11; Jangan Berucap "Hanya" atau "Cuma"

BY Ricky Douglas IN No comments



OSPEK KOTA JAKARTA
BAGIAN 11;
Jangan Berucap "Hanya" atau "Cuma"


Tiupan hangat dan menggairahkan kuhaturkan pada lengan yang kini berdarah. Tidak banyak sebenarnya, tapi cukup perih. Hah, inilah berkat terlalu lebay dalam akting berkelahi Nyiahahaha. Tapi heiii, tunggu! Bukan cuma aku saja yang lebay! Yang lebih lebay pun banyak. Sebut saja, mawar. Laki-laki berperut gentong ini mengeluarkan semua jurus karatenya. Dengan muka tegang, kaki kuda-kuda lebar, bapak tua ini mulai meninju layaknya sedang latihan karate. Ada juga pria berambut gondrong yang sepanjang akting berantemnya, ia sumpah serapah berkata-kata kotor. Dan juga masih tak kalah berlebihannya, sosok laki-laki bertulang lunak pun tidak mau kalah unjuk gigi. Tak peduli ia kalau alisnya sungguh tebal sampai-sampai lebih cenderung mirip ulat bulu yang sedang bertelur di atas matanya. Gayanya bahenol. Pukulannya saja pakai kipas yang masih ia genggam. Ihhh cucok binggow deh yaa.

Setelah hari itu, masih banyak lagi casting yang kadang membuat bulu kuduk merinding. Ada  laki-laki entah dia sutrada, produser, atau crew biasa #kutakmaupeduli. Tapi  sih ngakunya produser. Oh no! Aku masih inget jelas apa yang dikatakannya. 

Kalau mau dapat peran di film, harus rela 'main' bareng gueh. 

What the...?? Shit! Dengan malu-malu babi akhirnya kutolak juga tawaran aneh ini. Fiuhhh, ente pikir ane laki-laki apapun? 

Selain mengincar badanku, ada juga yang mengincar uang. Nah ini ceritanya beda lagi. Dengan embel-embel open casting, eh tahunya pas  lolos malah disuruh bayar dengan alasan inilah itulah. Sowreeeyy eaaa, aku mau memulai dengan cara yang baik. Tidak mengandalkan badan atau uang, melainkan bakat. Ya, walaupun masih sekelas tempe busuk. Tapi tenang, suatu saat tempe busuk ini akan mengalahkan steak termahal sekalipun #apalah.

***
Pada sebuah kasur tipis berwarna biru dengan gambar Winnie The Pooh, hiduplah laki-laki menggemaskan. Ia tengah tidur. Badannya terkulai kaku. Andai saja jika ia menyadari posisi tidurnya sekarang, hah... mungkin bakal dinobatkan sebagai laki-laki teraneh. Mirip ibu kera yang air susunya dicuri anak kambing. Kaki di kepala. Kepala di kaki. Mulut terbuka lebar. Tangan terangkat ke atas seperti kupu-kupu yang hendak terbang. 

Sayang, tidur laki-laki ini tak bertahan lama ketika sebuah bunyi di hapenya menyala. Matanya masih berat. Ilernya pun belum hilang. Sedikit enggan, ia membuka satu pesan yang tertera dari nomor tak dikenal. 

“Haaaa??? Ciusss nih??? Gua lolos??? Kyaaaaaaaaaaa!!!” teriak laki-laki itu bahagia. 

Yap. Sang laki-laki itu adalah akooh -_-. Senangnya bukan kepalang saat membaca isi pesan.
  
 Untuk pertama kalinya selama satu bulan di Jakarta, akhirnya aku tembus casting juga. Tak sia-sia kemarin tangan sampai berdarah buahahaha.

Selamat anda dinyatakan lolos casting Film “Nama” Silahkan datang pada hari minggu buat workshop dan keperluan lainnya.

Secepat kilat, kubalas isi pesannya.

Demi penguasa bumi dan langit. Demi matahari, rembulan, gunung, pantai, dan halilintar. Engkau tahu betapa berartinya sms-mu ini? Air mataku tak henti-hentinya jatuh. Oh, kau laksana pelita di kegelapan, Nyonya/Tuan. Terimakasih. Saya akan datang di hari minggu. 

Aku senyum-senyum sendiri membaca ulang balasan sms. Sungguh kalimat yang cerdas, pikirku :’)

Hari minggu pun tiba. Bukan untuk bertamasya keliling kota, atau pula bukan karena kuturut paman paman pergi ke kota, tapi hari ini kusambangin Fatmawati Festival yang persis di depan RS Fatmawati.

“Haloooo haaaaii haaaaii Mba Dian,” sapaku ramah kepada makhluk astral di depan. “Haaiii adek, Haii Ibuk,” sapaku lagi melihat orang-orang di samping Mba Dian. 

Oiiyyaa, mereka ini kusebut sebagai geng Bajaj. Mba Dian memang temenku saat shooting di Semarang, sementara Ibu dan adik kecil yang kupanggil sebelumnya, mereka adalah kerabat Mba Dian. 

Kabar tentang casting Film Nama ini pun kudapat dari Mba Dian. Fiuh, aku masih ingat saat kami harus adu mulut dengan bapak-bapak Bajaj pengkolan jalan Wijaya I. 

“Gak bisa! Ini gak adil dong namanya pak? Di mana lagi keadilan di dunia ini jika bahkan di dalam bajaj pun gak ada?! Oh Tuhan, bapak gak becanda kan?” ucapku hsiteris. Dramatis. Diplomatis. 

“Iya, Pak. Ini tuh kemahalan,” tambah Mba Dian. 

Melihat kami yang adu mulut, adik Ninin—Anaknya Ibu Nanan—hanya menangis di pelukan sang Ibu.

“Ayolah pak, tolong berpikir lebih jernih. Bapak gak lihat matahari tengah panas-panasnya begini? Bapak mau saya berubah jadi Kyubi?” tuturku.

Si Bapak bajaj melongo. 

“Kami tuh udah gak punya uang, Pak hiksss. Masa bapak tega ngeliat saya ngemis-ngemis di jalan demi naik bajaj ini?” Mba Dian berakting nangis.

Wuihhh, aku terkagum-kagum melihatnya. Dengan ini inisiatif cerdas, aku pun membantu akting Mba Dian.

“Huaaaaaaaa huaaaaaa kyaaaaaaa kyaaaaaaaa.... Hiksss hiksss kenapa dunia ini selalu jahat pada saya pak? Kenapa? Kenapa bapak tidak berbelas kasih sedikit pun pada kami??? Kenapa pak??? Kenapa??? Huaaaaaa hiaaaaaa heeemmm hiiiiikksss....”

Aku jongkok di pinggir pintu bajaj Si bapak. Seakan-akan kaki pun lumpuh lemas tak berdaya lagi. Mataku terpejam penuh kesedihan. 

Asiikk, pasti Mbaa Dia sekarang terkagum sekali dengan bakat akting-ku? Nyiahahahahaha. Tapi, kok sepi yaa? Bahkan tangisan adik Ninin pun udah gak terdengar. 

 Kubuka album biru, Kubuka mata perlahan. Dan, krik krik krik krik. Suasana menjadi kikuk. Mba dian, Bu Nanan, dek Ninin, dan Bapak Bajaj hanya melihatku dengan mata kosong. Mulut mereka kompak sontak menganga. Kenapa sih? Segitu berbakat kah gua jadi aktor? Kayaknya mereka terpesona sekali.
 
“Mas sehat?” tanya Bapak Bajaj. 

Jdaaaaaaaaarr!!! Halilintar langsung menyambar wajah mulusku. 

“Cukup, Pak! Kita ini mau casting lho. Bapak gak tahu kalau kita ini ditunggu-tunggu banget sama sang sutrada??? Kita ini artis besar pak. Oke, oke, kita emang masih casting, tapi heeeeiii!!! Jangan sekali-kali meremehkan saya yaa pak. Saya kalau diem emang imut kayak kucing, tapi kalau lagi maraah wuiiihhh naga pun lewat.”
 
“Terus?” ujar Pak Bajaj lempeng.

“Yaaa terusss.. emm.. anu, gitu pokoknya! Yaudah deh, kalau gak mau. Yuk kita cabut gengs!” Aku pun melangkah sedih meninggalkan satu-satunya transportasi yang saat itu ada di jalan Wijaya. 

“Woiii Dog, lu mau jalan kaki??? Sini naik!!!” teriak Mba Dian. 

Ini dia yang kutunggu-tunggu. Ditahan saat ingin pergi. Dicegah ketika ingin berlari wkwk. Dengan kekuatan rembulan, aku berlari kembali menuju bajaj. Perjalan ke Fatmawati pun dimulai. 

“Bapak tuh salah jalan! Belok kiri dong!” ucapku geram. Bagaimana mungkin tukang Bajaj tapi tidak tahu jalan. 

“Dih salah lagi pak, nah habis lurusan itu ada belokan ke kiri. Bapak lurus lagi terus belokan pertama masuk deh ke sana.” Aku memberi arahan pada si Bapak sambil melihat GPS di hape. Sementara Mba Dian dan yang lain sibuk memegang erat kursinya masing-masing. 

“Jangan belok sini!!! Kyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!! Kita salah jalan, pak!!! Duh mundur-mundur! Awas janagn terlalu mundur, di belakang ada nenek-nenek.” 

Hyaaaa, akhirnya. Selama satu jam muter-muter tak jelas, kami pun sampai di lokasi casting Film Nama. 

“Woii Dog! Ngapain sih senyam-senyum ndewe?!” tegur Mba Dian yang membuayarkan semua lamunanku tentang kejadian tempo lalu. 

“Lagi akting jadi orang gila, Mba. Harap maklum buahaha.”

“Oke, all talent kita mulai workshop-nya ya,” ucap laki-laki yang belakangan kuketahui bernama Hikie.

“Yang namanya Ricky Douglas mana?”

“Shhaaayaaa, Massshh!” ucapku PD dengan suara mendesis. 

Nyiahahahahahhaa, pasti gua jadi pemeran utama nih. Yaaa dong! ucap batinku gembira seperti melangkah di udara. Pak pos  membawa berita dari yang kucinta. I 2 DAN 3 AH AH Mas Hike pun membacakan peran untuk-ku.  

“Kamu perannya jadi SAT POL PP ya.” 

#Jdaaaaaaaaaaarrrr #Jgeeeeeeerrrr #Plaaaaaaaanggg. Suara piring-piring pecah pun mengisi semua otak-ku. What? Aku jadi Sat Pol PP nih bukan jadi pemeran utamanya? Huaaaaa hiksss sedih sekali. Tapi heei tunggu dulu dong! Siapa tahu film ini memang bercerita tentang POL PP. Berarti aku pemeran utama dong? Positif, Glas!

“Kamu dapet dua scene ya. Nih naskahnya di baca,” tambah Mas Hikie. 

Astaga Dragon. Pilsuk banget dah! Ternyata gua bukan pemeran utamanya. Yaiyaaalah, Glas. Main talent-nya pasti artis dong. 

Dengan arahan Mas Hike, aku dan dua anak kecil yang terdiri dari laki-laki dan perempuan ini pun saling reading naskah. Baru hendak berucap, tiba-tiba Mba Dian datang. 

“Lho Mba Dian? Ko kesini?” tanyaku heran.

“Gua udah dapet peran juga nih. Satu adegan sama kalian. Gua  cuma jadi figuran juga. Jadi Ibu-Ibu penjual nasi uduk,” ucapnya lesu. 

Tak dapat lagi kutahan gelora tawa di dalam dada ini, aku pun terbahak “Buahahahahahahhahahahahahhahahahahahhaa. Ibu penjual nasi uduk??? Nyiahahahahahahaha.” 

“Eh, SAT POL PP! Gak usah songgong ya!”

Dan terjadilah tatap menatap tajam antara kami. 

“Sudah-sudah, Kak. Mending kita lanjut baca naskahnya,” ucap si adik kecil.

Kami pun mulai membaca naskah. Memperagakan adegannya. Saling memberi saran. Komentar. Dan banyak hal. Makin akrablah aku dengan dua akan kecil yang ternyata mereka adik kakak kandung, asli. Kami saling berbagi tawa di tengah latihan. Saling merangkul. Hingga, suasana itu pun lenyak saat Negara lumpur menyarang!

“Mas Mba!” ucap sang Sutradara pada kami setelah menyuruh adik kecil itu kembali masuk ruangan. “Kalian ini perannya jadi orang galak! Kamu jadi SAT POL PP.” Tunjuk Sutradara padaku. “Nah kamu jadi Ibu-Ibu nasi uduk yang marahin anak kecil!” kali ini Sutarada melihat Mba Dian. “Kalian itu tugasnya di sini membenci anak kecil. Marahin anak kecil. Saya gak mau lagi lihat kalian akrab sama anak kecil, oke? Karena akan mempengaruhi akting kalian!!!” ucapnya tegas. 

“Ba-ba-ba-babi, Pak! Eh..., Ba-baik, Pak maksud saya.”

“Dan satu lagi! “ lanjut Pak Sutradara. “Gak ada kata-kata CUMA atau HANYA untuk peran-peran figuran/peran kecil. Kalau gak ada figuran, film pun gak jalan! Kalian paham?”

“I-iya, Pak,” ucapku dan Mba Dian bersamaan. 

Haduh, ternyata Bapak Sutradara ini mendengar obrolanku dan Mba dian tentang peran figuran. Oke, jadi pelajaran hari ini, tidak ada kata CUMA atau HANYA untuk peran kecil. Berbangga dirilah! 

*bersambung!

Baca Episode Sebelumnya di Sini ya :)  Ospek Kota Jakarta. Bagian ke-10; Orang-Orang Baru