Saturday, November 21, 2015

Cerita Tentang Tradisi Tingkat Dunia. Bagian kedua; Hal yang paling mengerikan.

BY Ricky Douglas IN No comments



            Part II.
            Kenapa aku begitu tertarik dengan kenangan dan selalu ingin mengulasnya? Hm... menurutku manusia adalah kumpulan dari kenangan. Sebuah wadah yang jika didedah hanya berisi ingatan tentang apapun. Ingatan penting. Ingatan tak berguna. Ingatan hambar. Ingatan buruk. Baik. Manis. Segalanya! Yap. Manusia adalah kenangan.  

            Jika membedah ingatanku satu setengah bulan lalu, maka hal yang paling dominan akan kalian temui adalah memori tentang Merpatih Putih. Saat aku berjalan pelan di parkiran Dinas Perhutani. Saat perjumpaanku dengan laki-laki bernama Danu. Kemudian berlanjut ke anggota perguruan yang lain. Semuanya begitu manis. Dan, aku sadar telah jatuh cinta dengan lingkungan ini. Untuk merayakan rasa cintaku, aku pun harus membuat mereka tak mudah melupakanku. 

Segala cara kulakukan. Senyum kuda. Ketawa kuntilanak. Bertingakah aneh. Kekanak-kanakan. Membuat diri terlihat seperti badut. Menyebutkan dan memperkenalkan diri tanpa henti. Berbicara betapa besar obsesiku ingin menjadi seperti Naruto. Ah, andai mereka tahu, semua itu hanya akal kusaja untuk tak ingin dilupakan. Karena aku sadar, setelah pindah dari kolat ini, jangankan membicarakan tentangku, membayangkan sepintas pun belum tentu. Cukup! Aku terlalu jauh mendedah kenangan. Lebih baik kembali pada masa lima hari yang lalu. 7 dan 8 November. Saat tradisi yang kujadikan ajang membuat kenangan baru.
***



07 November 2015
PUKUL 15:00 WIB

            Seragam yang sama masih menemaniku berbaris di lapangan luas ini. Bedanya, bau kecut mulai timbul dari kerah di sekitaran leher. Lipatan ketiak. Dan sekitaran pantat. Tapi, bau inilah yang membuatku semakin semangat buahahahaha.

 Kali ini, semua genk bikers sudah sampai. Kabar buruk datang bersama mereka. Sebab kenapa keterlambatan datang tentunya. Salah satu genk bikers bernama Evan mengalami kecelakaan yang mau tidak mau harus mengurungkan niat ikut tradisi. Sementara itu, para bikers lainnya tentu dengan rasa tanggung jawab karena telah melakukan dosa ternikmat menemani Evan di rumah sakit sebelum orang tuanya datang menjenguk. Evan, lekas sembuh ya, Nak. 

Suasana lapangan selalu gaduh sebelum ada komando dari panitia. Semuanya sibuk berfoto. Para bule menjadi artis dadakan di sana. Ah, kenapa tidak ada yang mau minta foto dan tanda tanganku ya? Apa bedanya aku dengan bule-bule itu? Kami sama-sama memiliki bulu hidung, kan? Oke, ini absurd! Yang anehnya lagi, dan tentu berhasil membuat mulutku terbuka lebar serta berliur deras, ternyata pendekar zaman sekarang eksis-nya laur biasa. Bukan membawa tongkat, golok, pisau, tapi malah ada salah satu cowok menenteng tongsis ke mana pun. Astaga. Ini menggelikan buahaha. Untunglah di Kolat-ku cowoknya masih terbilang macho. Terbukti, Mas Rizal selalu memamerkan pisau kecil yang bahkan cara memegangnya pun membuat pusing kepala wkwkw. Kami pun mengabadikan moment-moment ini lewat jepretan kamera Ammah. 
 
Ini salah satu fotoku bersama mereka. Ayooo tebak aku yang mana? Buahaha. Di dalam foto ini, aku bersama salah satu dari dua wanita cantik yang ikut tradisi. Namanya Ammah, duh bahasanya ngapak habis. Lucu sih. Geli juga dengar logatnya. Tapi dia baik kok. Selanjutnya, foto bersama wanita cantik kedua. Bisa kalian tebak kan siapa yang berpose paling feminim dengan kaki disilangkan? Dia sering dipanggil Mas Cantik. Nah, satunya lagi bernama Bayu. Cowok yang sebelumnya kubilang memiliki postur tinggi. Hah, laki-laki satu ini memiliki ekspresi yang aneh. Matanya suka melotot tak jelas haha. 



            Ada juga foto romantis Zikri dan Ammah yang awalnya saling benci, kini setelah tradisi akhirnya mengalami gejolak menggairahkan di hati mereka buahaha. 


            Nah, kalo yang ini namanya Alex dan Reineldi. Tapi, entahlah apa hubungan mereka seperti Zikri dan Amah, atau justru sebaliknya. Yang jelas, mereka menyimpan sesuatu buahahaha. 

 “Semuanya silahkan membentuk barisan sesuai tingkatan masing-masing.”

Ibarat tersambar petir dan tersengat listrik Pikachu, kami pun menghentikan aksi foto-foto dan langsung mengikuti instruksi. Ini yang paling menyedihkan, aku satu-satunya dari mereka yang terpisah barisannya. Ahhh, harus cari teman baru lagi nih biar tidak kesepian. Degan langkah gontai tak bersemangat sekali aku memasuki barisan para pendekar bersabuk putih. Bukan apa-apa, baru saja bertemu genk bikers, tapi sudah terpisahkan ruang dan waktu lagi hiks. 

“Woii Dog.... sini!!!”

Hm, nampaknya telingaku mendengar bisikan-bisikan ghaib? Haaaa??? Jangan bilang kalau setan yang menjadi pembisik dan menyuruhku membegal anggota di sini??? Tidak-tidak! Jangan lebay Glas. Lagian mana ada setan yang mau bisik-bisik sama lu! Wkwk..

“Oiiiii Glas, sini gua di depan.”

Oke, baiklah, kali ini aku benar-benar yakin kalau ada yang memanggilku. Soalnya dari seribu orang di lapangan ini sepertinya hanya aku yang memiliki panggilan aneh. Dog! Bahkan sering kali dipanggil anjing -_- kan rese banget. 

Kuangkat leher putih mulus menggairahkan milikku, dan... benar saja. Ada pemuda yang posturnya hampir sama denganku melambai-lambaikan tangan. Giginya ia paparkan dengan senyuman 1000 watt. 

“Bayu? Bayu!!!” tanya dan teriakku tak percaya. Tapi jangan harap ada adegan peluk memeluk ya di sini, karena yang ada justru kami saling mengepalkan tangan membentuk tinju.

“Weeeeiittsss ketemu lagi kita,” ucap Bayu.

“Iya nih gokil. Apa kabar lu? Gila ya lama banget kita gak ketemu, udah hampir tiga tahun man. Tambah item aja lu!” ucapku yang mulai ngomong ngelantur wkwkw. 

“Iyaa deh iyaaa gua iteman dari lu, tapi gak jomblo kayak lu juga buahaha.”

Sialan, kan? Apa sih masalah kalian sama orang jomblo? *Baper wkwkw.

Kala pertemuan kedua dengan Bayu, tak banyak yang kami perbincangkan karena panitia selalu memberi komando berbaris. Nampaknya, panita berjenis kelamin yang kalau tidak salah analisis adalah perempuan ini, harus belajar tata cara berbaris dulu! Soalnya aba-aba dari dia selalu muter dan tak jelas, hah!

Barisan kini sedikit berwarna. Tak hanya para manusia berseragam putih dengan sabuk merah dan putihnya, namun ada juga para tetua, sepuh, memakai pakaian yang sepertinya khas jawa. Ada yang warna ungu, hijau, dan merah. Pun dihiasi sepatu serta kupluk tradisional. Kami menyebut seragam ini dengan nama Sorjan. Mereka terlihat seperti para petinggi kerajaan Jogja. 

Para peserta upacara membentuk barisan U. Upacara pun dimulai dengan diawali bunyi-bunyian khas Jawa. Dari sudut lapangan, ada pasukan yang berarakan datang ke tengah lapangan. Barisan paling depan diisi pria tua yang tugasnya menari. Melenggak-lenggokan badan sangat gemulai. Jujur, aku menahan tawa serta merinding. Tawa karena baru kali pertama ini aku melihat kakek-kakek begitu gemulai dengan selendang di pinggulnya. Juga sekaligus merinding dengan dendang yang ia nyanyikan. Ada yang berbeda. Seakan unsur-unsur ghaib ikut di dalamnya. Ah, mungkin ini hanya perasaanku saja. Maklum, laki-laki yang sudah lama tak tersirami hatinya dengan cinta ini, memiliki hati yang suci dan bersih seperti popok bayi.

Pasukan bersenandung ini tidak hanya memiliki sang kakek sebagai pioner, tapi juga ada antek-anteknya yang menemani di sisi kiri dan kanan, berjumlah lebih dari lima orang. Dua orang bertugas memayungi sang kakek, dan lainnya bertugas mengiringi nyanyian. Mereka menetap di tengah lapangan, melakukan senandung makin kencang. Berpuisi dan beraksara Jawa yang sedikit pun tak kupahami. Selesai dengan itu, mereka kembali ke luar lapangan. 

“Eh, Bay. Kakeknya lucu ya. Cantik,” gurauku ke Bayu. 

“Iya, cewek gua aja kalah cantik.”

“Yakin lu Bay? Yaudah mau gua bantu buat dapetin tuh Kakek-kakek gak?” tanyaku menahan tawa. 

“Lu atur dah. Ntar kalo udah dapet, kita bagi dua aja Kakeknya hahahaha.”

“Najis lu Bay! Buahahaha”

Puas bergurau dengan Bayu, walaupun ada saja yang sirik menatap kami dengan tatapan seakan menyuruh diam bahkan mengusir. Panita kembali mengambil komando, kami dipersilahkan maju berbaris menuju tengah lapangan yang sudah disiapkan tiga gentong berisi air dan taburan macam-macam bunga. Antrian sangat panjang. Dari seribu orang, hanya ada tiga jalur yang dibuka buat membasuh muka dengan air sakral itu. Awak pers semakin heboh menjeprat-jepret ritual, membuat cahaya berkelip di sekitar para peserta. Ada wartawan yang berlarian, fokus di satu titik, dan tersebar mencari spot indah. Bahkan, tak tanggung-tanggung pesawat kecil yang sudah terpasang kamera pun menyorot kami dari atas. Kegiatan ini akan tersebar ke seluruh pelosok Jogja, Indonesia, Bahkan Dunia. Bukan berlebihan, jelas adanya akan tersebar karena pesertanya saja berskala dunia. 

Tibalah giliranku. Gentong pertama yang berukur kecil menyambut, aku membasuh tangan menggunakannya. Lalu beralih ke gentong ke dua dengan ukuran sedang. Di gentong ini, kubasuh muka dan tak membiarkan sejengkal pun terlewatkan. Gentong ketiga pun sama guna. Dengan ukuran yang paling besar, aku membasuh dahi lalu ke pucuk kepala hingga berakhir di tengkuk. Begitupun juga dengan peserta lain. Semuanya sama. Sudah ada yang mengatur. Ya, prosesi lainnya tidak terlalu menyita pikiranku. Hanya formalitas dari sebuah upacara pembukaan. Selesai sudah semua rangkaian, kami pun dipersilahkan kembali ke penginapan masing-masing untuk shalat maghrib yang kini sudah mengumandang. 

“Sampai ketemu ntar malam, Bro,” ucap Bayu.

“Sipp Bay.”

Ngantuk. Cuma kata itu yang terus terngiang dalam benakku. Hari ini harus cukup puas dengan hanya tidur tiga jam dan berkegiatan full sampai nanti pagi, saat menyambut matahri terbit. Memasuki ruang tamu penginapan, suara tawa dan gunjang-gunjing menyambutku. Ah, teman-teman seperguruanku sedang asyik menonton sesuatu di hape Bayu. Tak perlu dengan kecerdasaan yang luar biasa, aku sudah bisa menebak apa yang mereka lihat. Yap. Bayu perguruanku dengan isengnya merekam proses perjalanan tanpa alas tadi siang. Di dalam video tersebut, aku berlaga serperti orang gila, orang kehilanngan arah. Orang seksi yang terjebak di Parangkusumo. Orang tampan yang beralaskan botol karena menahan panas aspal. Entah dari segi mana mereka tertawa, yang jelas aku suka keadaanya jadi ramai. 

Jam 7 malam kami berkumpul lagi di lapangan utama, kali ini panitia langsung mengajak peserta ke lapangan yang lebih kecil, tepat di samping lapangan utama. Kesan pertama di benakku jelas terkesima melihat proses penyambutan peserta. Dengan gerbang dari jerami yang ditumpuk, lapangan ini terkesan tradisional dan unik. Pun juga berjajar para pengawal di kiri dan kanan pintu gerbang.


*Ini kondisi lapangan pagi harinya.

Kami disuguhkan penampilan tari sepasang wanita dan pria dengan wajah dipenuhi bedak. Mirip badut. Setelahnya, wayang golek dengan alur cerita latihan pencak silat pun dipertontonkan. Walaupun menggunakan bahasa Jawa, aku cukup mengerti. Ohh iya, aku dan Bayu kebetulan kali ini tidak bertemu. Jadi mau tak mau kembali harus mencari teman ngobrol. Bertemulah sama perempuan dewasa bernama Nia. Ibu-ibu bersuami ini memiliki wajah khas orang Jawa. Hitam manis. 

 Banyak yang kami lakukan di sini, di lapangan perwayangan ini. Selain menonton wayang yang tentunya sangat membuat terpingkal, kami pun melakukan obrolan seru, haru, dan gembira bersama para pewaris Merpatih Putih dan juga guru besar perguruan. Mereka menceritakan awal mula Merpatih Putih. Menceritakan sosok Alm. Mas Poeng, dan semuanya. Termasuk juga video singkat tentang Mas Poeng dan Merpatih Putih. Video ini benar-benar membuatku terharu, sedih, dan bertambah semangat berkali lipat. Serasa mengenal sosok Mas Poeng sebagai pendiri perguruan. Bagaimana dia yang hidup di hutan tanpa cahaya setitik pun, hingga ia pun berlatih gerakan-gerakan yang terilahami dari alam untuk bertahan hidup di hutan. Baik dari serangan makhluk ghaib maupun binatang buas. 

Jika pertemuan adalah hal yang paling mengerikan bagiku, sedangkan kenangan merupakan sesuatu yang kubenci, maka bisa disimpulkan aku ngeri dan membenci manusia. Sebab, pertemuan dan kenangan adalah hal utama yang mengisi kehidupan manusia. Yah tentu selain air, makanan, sexs, dan tidur. Manusia suka sekali membuat onar, contohnya seperti sekarang, saat masih dalam keadaan damai mendengarkan cerita para tetuah, tiba-tiba satu peserta berteriak kencang. Tidak setuju dengan acara yang digelar panitia, ia pun menyerang pembawa acara. Entah apa yang dirubutkan, mereka terlihat akan beradu hantam. Namun keduanya berhasil dilerai. 

“Parah yah Mba tuh peserta kok bias-bisanya cari masalah gitu?”

“Iya ih, ngeri banget lagi matanya melotot gitu,”

“Atau mungkin dia kurang waras yaa Mba?”

“Hust, ngawur kamu. Lhaa masa iya orang gila bisa jadi peserta tradisi ini hahaa,” ucap Bu Nia. 

“Iya Juga sih, Tapi—

Belum sempat aku melanjutkan ucapan, tiba-tiba orang onar itu kembali berulah. Iya berteriak kencang. 

“Jangan macam-macam, ya!” (dalam bahasa Jawa) 

Kini ia tidak sendirian, melainkan membawa anak kecil yang sepertinya masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Astagaaaa??? Kenapa dia bawa-bawa anak kecil coba?? Apa salah tuh anak? Orang yang ditantang pun akhirnya mengikuti tawaran perang dari si bapak pembuat onar. Kini terjadi adu hantam pertarungan antara kubu si bapak onar yang diwakilkan anak kecil, dan kubu si bapak pembawa acara yang pun diwakilkan anak kecil. Duh, adek, kasihan sekali kalian. 

Para peserta yang mengelilingi panggung wayang sedikit menjauh dari area perkelahian. Kedua anak kecil ini saling adu silat. Saling tendang. Tinju. Hantam. Banting. Jerat leher. Pegang ketiak. Mengunci lawan. Keduanya terlihat sama hebat. Tapi, salah satu dari mereka pun kalah akibat tidak fokus karena melihat senyumku (Oke, yang ini bohong)

Usut punya usut, adegan ini ternyata sudah rekasaya panitia. Bertujuan untuk memberitahu gerakan silat pada kami. Haaaaaa, aku makin menciut. Ngeri juga yaa berantem sama anak kecil itu buahahaa. Kecil-kecil pegangannya udah golok. Pisau. 

Nah, habis dari drama menegangkan barusan, kami para peserta digiring kembali ke lapangan utama. Dibariskan rapi sekali untuk selanjutnya melakukan napak tilas ke Makam salah satu pendiri perguruan, kalau tidak salah namanya adalah Syekh… emmm, syekh apa yaa? Maaf ingatanku terbatas buahahaha. Yang jelas bukan Syekh Puji lhoo. Selama perjalan, aku kembali bertemu dengan Bayu. Kami menapaki ratusan anak tangga yang membentang dari kaki bukit hingga ke pucuknya. Tiba di makam, kami berdoa khidmat. Mengambil napas sedalam-dalamnya. Sekarang sudah tengah malam, dan yang anehnya peziarah kuburan ini masih sangat ramai. Bahkan mereka menggelar tikar dan mengeluarkan beberapa cemilan. Mirip sekali seperti kumpulan orang yang sedang camping. 

Ada satu cerita yang menggetarkan jiwa, raga, sanubari, dan seluruh molekul di tubuhku. Ada empat peserta yang kesemuanya Tunanetra (*Maaf, tidak dapat melihat), dan dengan hebatnya, mereka bisa berjalan menaiki, menapaki ratusan tangga tanpa bantuan seorang pun. Bahkan, mereka juga tahu di barisan mereka ada berapa orang. Mereka paham jika mereka sedang tidak di dalam barisan. Ah, sungguh, aku benar-benar tak paham dengan insting yang mereka miliki. Tapi, konon katanya mereka ini sudah menguasi yang namanya ilmu kebatinan. Arti dari ilmu kebatinan pun jangan kalian salah pahamkan dan samakan dengan ilmu ghaib atau ilmu aneh lainnya. Kebatinan di sini lebih kepada tingkat perasaan dan kepekaan mereka terhadap lingkungan yang jauh lebih tinggi dari manusia normal. 

Acara ziarah sudah usai. Kini kami berada kembali di lapangan utama. Duduk manis merapatkan kedua kaki. 

“Capek lu Bay?” tanyaku melihat Bayu yang tiduran di atas rumput dengan mata terkatup.

“Gak juga sih bray. Cuma lagi nikmati suasana aja,” ucapnya sok puitis.

“Halah, lebay lu. Palingan lu capek kan? Cemen lu Bay. Gitu aja capek,” dan seterusnya, aku terus saja mencerocosi, mengomeli, meremehkan Bayu yang terlihat kelelahan. Sebelum akhirnya ucapan Bayu menghentikan aksiku. 

“Anjir lu Glas!!! Sok-sok’an ngatain gua capek gegera gua tiduran doang, noohh lu malah ikutan tidur. Tai emang hahahhaa.”

“Husssstt…. Gua lagi nikmatin suasana Bay,” ucapku. 

Belum sempat Bayu menimpali, suara panitia kembali menggonggong.

“Ya, semuanya kembali berdiri.”

Mereka menyuruh berdiri, kami pun laksana kera sakti yang patuh terhadap Tom san Cong, langsung saja berdiri tegak. Mengikuti perintah. 

“Sikap sempurna, akk!”

Aba-aba selanjutnya adalah sikap sempurna. 

“Yak, duduk sempurna.”

Nah, kali ini kami duduk sempurna. Yang dimaksud adalah duduk bersila dengan kaki kanan di atas paha kaki kiri (bersila). Runtutuan acara lainnya pun berlangsung, dari pukul enam pagi hingga sekarang yang hampir jam satu dini hari, kami tidak diberikan jeda yang banyak untuk beristirahat. Sama seperti sekarang. Setelah duduk sempurna, mata kami disuruh terpejam. Mulut merapal, berdoa, bergumam tentang mimpi, harapan, cita-cita, cinta, dan apapun itu yang kemudian di salurkan ke tiga buah guci besar di hadapan kami. Inti dari kegiatan ini adalah mentransfer energy positif ke air di dalam guci. Dan nanti pas fajar datang airnya kami minum bersama-sama. Kenapa perantaranya adalah air? Menurut panitia air adalah sesuatu yang paling gampang dipengaruhi.

Kami beranjak dari lapangan menuju Pantai Parangkusumo untuk melakukan meditasi bersama-sama. Di sana, kami hanya duduk sempurna dengan mata terpejam. Berkosentrasi membuang pikiran negative. Mengambil energy alam untuk me-refresh diri. Setelah jam sudah bergelantung di angka dua pagi, kami pun kembali ke penginapan. Oke, saatnya istirahat untuk selanjutnya melaksanakan kegiatan terakhir, yaitu penyambutan sang fajar terbit dan proses meminum air guci. Tapi sayang, prosesi terakhir ini tidak kuikuti karena ketiduran, buahahaha. Tapi tenang, aku ada beberapa foto yang menampilkan betapa ciamiknya kegiatan tersebut.
 *Meditasi sambil menunggu datangnnya fajar.

 *Entah, anak ini sedang berlatih jurus atau justru lagi ngeden buahaha.


 *Mungkin mereka belum sadar kalau ketek-nya pada bau buahaha. Ini gerakan pengambilan napas.


 *Kalau yang ini adalah prosesi minum air dari gentong yang semalam penuh dengan doa dan harapan. 

 Acara pun selesai. Setelah berkemas, kami pulang menuju Semarang tepat pukul sebelas siang. Di perjalanan, kusempatkan izin pulang kepada sahabat baruku selama tradisi. Yap. Bayu sempat meminta id line-ku untuk meminta beberapa foto pas proses jalan tanpa alas kaki. Dan selama perjalan pulang tak ingin kuceritakan, karena hanya Mas Rizal, Zikri, Pak Suroto, dan Pak Choji yang mengerti betapa hebatnya aku memindahkan kelima sapi untuk menyebrang sungai.

-END-



0 comments:

Post a Comment

Silahkan, semuanya dapat berkomentar. Namun, jadilah komentator yang cerdik dan beretika ya :)