Part
II.
Kenapa aku begitu tertarik dengan
kenangan dan selalu ingin mengulasnya? Hm... menurutku manusia adalah kumpulan
dari kenangan. Sebuah wadah yang jika didedah hanya berisi ingatan tentang
apapun. Ingatan penting. Ingatan tak berguna. Ingatan hambar. Ingatan buruk.
Baik. Manis. Segalanya! Yap. Manusia adalah kenangan.
Jika membedah ingatanku satu
setengah bulan lalu, maka hal yang paling dominan akan kalian temui adalah
memori tentang Merpatih Putih. Saat aku berjalan pelan di parkiran Dinas
Perhutani. Saat perjumpaanku dengan laki-laki bernama Danu. Kemudian berlanjut
ke anggota perguruan yang lain. Semuanya begitu manis. Dan, aku sadar telah
jatuh cinta dengan lingkungan ini. Untuk merayakan rasa cintaku, aku pun harus
membuat mereka tak mudah melupakanku.
Segala cara kulakukan. Senyum kuda. Ketawa kuntilanak. Bertingakah
aneh. Kekanak-kanakan. Membuat diri terlihat seperti badut. Menyebutkan dan
memperkenalkan diri tanpa henti. Berbicara betapa besar obsesiku ingin menjadi
seperti Naruto. Ah, andai mereka tahu, semua itu hanya akal kusaja untuk tak
ingin dilupakan. Karena aku sadar, setelah pindah dari kolat ini, jangankan
membicarakan tentangku, membayangkan sepintas pun belum tentu. Cukup! Aku
terlalu jauh mendedah kenangan. Lebih baik kembali pada masa lima hari yang
lalu. 7 dan 8 November. Saat tradisi yang kujadikan ajang membuat kenangan
baru.
***
07 November 2015
PUKUL 15:00 WIB
Seragam yang sama masih menemaniku
berbaris di lapangan luas ini. Bedanya, bau kecut mulai timbul dari kerah di
sekitaran leher. Lipatan ketiak. Dan sekitaran pantat. Tapi, bau inilah yang
membuatku semakin semangat buahahahaha.
Kali ini, semua genk bikers
sudah sampai. Kabar buruk datang bersama mereka. Sebab kenapa keterlambatan
datang tentunya. Salah satu genk bikers bernama Evan mengalami kecelakaan yang
mau tidak mau harus mengurungkan niat ikut tradisi. Sementara itu, para bikers
lainnya tentu dengan rasa tanggung jawab karena telah melakukan dosa
ternikmat menemani Evan di rumah sakit sebelum orang tuanya datang menjenguk.
Evan, lekas sembuh ya, Nak.
Suasana lapangan selalu gaduh sebelum ada komando dari panitia.
Semuanya sibuk berfoto. Para bule menjadi artis dadakan di sana. Ah, kenapa
tidak ada yang mau minta foto dan tanda tanganku ya? Apa bedanya aku dengan
bule-bule itu? Kami sama-sama memiliki bulu hidung, kan? Oke, ini absurd! Yang
anehnya lagi, dan tentu berhasil membuat mulutku terbuka lebar serta berliur
deras, ternyata pendekar zaman sekarang eksis-nya laur biasa. Bukan membawa
tongkat, golok, pisau, tapi malah ada salah satu cowok menenteng tongsis ke
mana pun. Astaga. Ini menggelikan buahaha. Untunglah di Kolat-ku cowoknya masih
terbilang macho. Terbukti, Mas Rizal selalu memamerkan pisau kecil yang bahkan
cara memegangnya pun membuat pusing kepala wkwkw. Kami pun mengabadikan
moment-moment ini lewat jepretan kamera Ammah.
Ini salah satu fotoku bersama mereka. Ayooo tebak aku yang mana?
Buahaha. Di dalam foto ini, aku bersama salah satu dari dua wanita cantik yang
ikut tradisi. Namanya Ammah, duh bahasanya ngapak habis. Lucu sih. Geli juga
dengar logatnya. Tapi dia baik kok. Selanjutnya, foto bersama wanita cantik
kedua. Bisa kalian tebak kan siapa yang berpose paling feminim dengan kaki
disilangkan? Dia sering dipanggil Mas Cantik. Nah, satunya lagi bernama Bayu.
Cowok yang sebelumnya kubilang memiliki postur tinggi. Hah, laki-laki satu ini
memiliki ekspresi yang aneh. Matanya suka melotot tak jelas haha.
Ada
juga foto romantis Zikri dan Ammah yang awalnya saling benci, kini setelah
tradisi akhirnya mengalami gejolak menggairahkan di hati mereka buahaha.
Nah,
kalo yang ini namanya Alex dan Reineldi. Tapi, entahlah apa hubungan mereka
seperti Zikri dan Amah, atau justru sebaliknya. Yang jelas, mereka menyimpan
sesuatu buahahaha.
“Semuanya silahkan membentuk
barisan sesuai tingkatan masing-masing.”
Ibarat tersambar petir dan tersengat listrik Pikachu, kami pun
menghentikan aksi foto-foto dan langsung mengikuti instruksi. Ini yang paling
menyedihkan, aku satu-satunya dari mereka yang terpisah barisannya. Ahhh, harus
cari teman baru lagi nih biar tidak kesepian. Degan langkah gontai tak
bersemangat sekali aku memasuki barisan para pendekar bersabuk putih. Bukan
apa-apa, baru saja bertemu genk bikers, tapi sudah terpisahkan ruang dan waktu
lagi hiks.
“Woii Dog.... sini!!!”
Hm, nampaknya telingaku mendengar bisikan-bisikan ghaib? Haaaa???
Jangan bilang kalau setan yang menjadi pembisik dan menyuruhku membegal anggota
di sini??? Tidak-tidak! Jangan lebay Glas. Lagian mana ada setan yang mau
bisik-bisik sama lu! Wkwk..
“Oiiiii Glas, sini gua di depan.”
Oke, baiklah, kali ini aku benar-benar yakin kalau ada yang
memanggilku. Soalnya dari seribu orang di lapangan ini sepertinya hanya aku
yang memiliki panggilan aneh. Dog! Bahkan sering kali dipanggil anjing -_- kan
rese banget.
Kuangkat leher putih mulus menggairahkan milikku, dan... benar saja.
Ada pemuda yang posturnya hampir sama denganku melambai-lambaikan tangan.
Giginya ia paparkan dengan senyuman 1000 watt.
“Bayu? Bayu!!!” tanya dan teriakku tak percaya. Tapi jangan harap ada
adegan peluk memeluk ya di sini, karena yang ada justru kami saling mengepalkan
tangan membentuk tinju.
“Weeeeiittsss ketemu lagi kita,” ucap Bayu.
“Iya nih gokil. Apa kabar lu? Gila ya lama banget kita gak ketemu, udah
hampir tiga tahun man. Tambah item aja lu!” ucapku yang mulai ngomong ngelantur
wkwkw.
“Iyaa deh iyaaa gua iteman dari lu, tapi gak jomblo kayak lu juga
buahaha.”
Sialan, kan? Apa sih masalah kalian sama orang jomblo? *Baper wkwkw.
Kala pertemuan kedua dengan Bayu, tak banyak yang kami perbincangkan
karena panitia selalu memberi komando berbaris. Nampaknya, panita berjenis
kelamin yang kalau tidak salah analisis adalah perempuan ini, harus belajar
tata cara berbaris dulu! Soalnya aba-aba dari dia selalu muter dan tak jelas,
hah!
Barisan kini sedikit berwarna. Tak hanya para manusia berseragam putih
dengan sabuk merah dan putihnya, namun ada juga para tetua, sepuh, memakai
pakaian yang sepertinya khas jawa. Ada yang warna ungu, hijau, dan merah. Pun
dihiasi sepatu serta kupluk tradisional. Kami menyebut seragam ini dengan nama
Sorjan. Mereka terlihat seperti para petinggi kerajaan Jogja.
Para peserta upacara membentuk barisan U. Upacara pun dimulai dengan
diawali bunyi-bunyian khas Jawa. Dari sudut lapangan, ada pasukan yang
berarakan datang ke tengah lapangan. Barisan paling depan diisi pria tua yang
tugasnya menari. Melenggak-lenggokan badan sangat gemulai. Jujur, aku menahan
tawa serta merinding. Tawa karena baru kali pertama ini aku melihat kakek-kakek
begitu gemulai dengan selendang di pinggulnya. Juga sekaligus merinding dengan
dendang yang ia nyanyikan. Ada yang berbeda. Seakan unsur-unsur ghaib ikut di
dalamnya. Ah, mungkin ini hanya perasaanku saja. Maklum, laki-laki yang sudah
lama tak tersirami hatinya dengan cinta ini, memiliki hati yang suci dan bersih
seperti popok bayi.
Pasukan bersenandung ini tidak hanya memiliki sang kakek sebagai
pioner, tapi juga ada antek-anteknya yang menemani di sisi kiri dan kanan,
berjumlah lebih dari lima orang. Dua orang bertugas memayungi sang kakek, dan
lainnya bertugas mengiringi nyanyian. Mereka menetap di tengah lapangan,
melakukan senandung makin kencang. Berpuisi dan beraksara Jawa yang sedikit pun
tak kupahami. Selesai dengan itu, mereka kembali ke luar lapangan.
“Eh, Bay. Kakeknya lucu ya. Cantik,” gurauku ke Bayu.
“Iya, cewek gua aja kalah cantik.”
“Yakin lu Bay? Yaudah mau gua bantu buat dapetin tuh Kakek-kakek gak?”
tanyaku menahan tawa.
“Lu atur dah. Ntar kalo udah dapet, kita bagi dua aja Kakeknya
hahahaha.”
“Najis lu Bay! Buahahaha”
Puas bergurau dengan Bayu, walaupun ada saja yang sirik menatap kami
dengan tatapan seakan menyuruh diam bahkan mengusir. Panita kembali mengambil
komando, kami dipersilahkan maju berbaris menuju tengah lapangan yang sudah
disiapkan tiga gentong berisi air dan taburan macam-macam bunga. Antrian sangat
panjang. Dari seribu orang, hanya ada tiga jalur yang dibuka buat membasuh muka
dengan air sakral itu. Awak pers semakin heboh menjeprat-jepret ritual, membuat
cahaya berkelip di sekitar para peserta. Ada wartawan yang berlarian, fokus di
satu titik, dan tersebar mencari spot indah. Bahkan, tak tanggung-tanggung
pesawat kecil yang sudah terpasang kamera pun menyorot kami dari atas. Kegiatan
ini akan tersebar ke seluruh pelosok Jogja, Indonesia, Bahkan Dunia. Bukan
berlebihan, jelas adanya akan tersebar karena pesertanya saja berskala dunia.
Tibalah giliranku. Gentong pertama yang berukur kecil menyambut, aku
membasuh tangan menggunakannya. Lalu beralih ke gentong ke dua dengan ukuran
sedang. Di gentong ini, kubasuh muka dan tak membiarkan sejengkal pun
terlewatkan. Gentong ketiga pun sama guna. Dengan ukuran yang paling besar, aku
membasuh dahi lalu ke pucuk kepala hingga berakhir di tengkuk. Begitupun juga
dengan peserta lain. Semuanya sama. Sudah ada yang mengatur. Ya, prosesi
lainnya tidak terlalu menyita pikiranku. Hanya formalitas dari sebuah upacara
pembukaan. Selesai sudah semua rangkaian, kami pun dipersilahkan kembali ke
penginapan masing-masing untuk shalat maghrib yang kini sudah mengumandang.
“Sampai ketemu ntar malam, Bro,” ucap Bayu.
“Sipp Bay.”
Ngantuk. Cuma kata itu yang terus terngiang dalam benakku. Hari ini
harus cukup puas dengan hanya tidur tiga jam dan berkegiatan full sampai nanti
pagi, saat menyambut matahri terbit. Memasuki ruang tamu penginapan, suara tawa
dan gunjang-gunjing menyambutku. Ah, teman-teman seperguruanku sedang asyik
menonton sesuatu di hape Bayu. Tak perlu dengan kecerdasaan yang luar biasa,
aku sudah bisa menebak apa yang mereka lihat. Yap. Bayu perguruanku dengan
isengnya merekam proses perjalanan tanpa alas tadi siang. Di dalam video tersebut,
aku berlaga serperti orang gila, orang kehilanngan arah. Orang seksi yang
terjebak di Parangkusumo. Orang tampan yang beralaskan botol karena menahan
panas aspal. Entah dari segi mana mereka tertawa, yang jelas aku suka keadaanya
jadi ramai.
Jam 7 malam kami berkumpul lagi di lapangan utama, kali ini panitia
langsung mengajak peserta ke lapangan yang lebih kecil, tepat di samping
lapangan utama. Kesan pertama di benakku jelas terkesima melihat proses
penyambutan peserta. Dengan gerbang dari jerami yang ditumpuk, lapangan ini
terkesan tradisional dan unik. Pun juga berjajar para pengawal di kiri dan kanan pintu gerbang.
*Ini kondisi lapangan pagi harinya.
Kami disuguhkan penampilan tari sepasang wanita dan pria dengan wajah
dipenuhi bedak. Mirip badut. Setelahnya, wayang golek dengan alur cerita
latihan pencak silat pun dipertontonkan. Walaupun menggunakan bahasa Jawa, aku
cukup mengerti. Ohh iya, aku dan Bayu kebetulan kali ini tidak bertemu. Jadi
mau tak mau kembali harus mencari teman ngobrol. Bertemulah sama perempuan dewasa
bernama Nia.
Ibu-ibu bersuami ini memiliki wajah khas orang Jawa. Hitam manis.
Banyak yang kami
lakukan di sini, di lapangan perwayangan ini. Selain menonton wayang yang
tentunya sangat membuat terpingkal, kami pun melakukan obrolan seru, haru, dan
gembira bersama para pewaris Merpatih Putih dan juga guru besar perguruan.
Mereka menceritakan awal mula Merpatih Putih. Menceritakan sosok Alm. Mas
Poeng, dan
semuanya. Termasuk juga video singkat tentang Mas Poeng dan Merpatih Putih.
Video ini benar-benar membuatku terharu, sedih, dan bertambah semangat berkali
lipat. Serasa mengenal sosok Mas Poeng sebagai pendiri perguruan. Bagaimana dia
yang hidup di hutan tanpa cahaya setitik pun, hingga ia pun berlatih
gerakan-gerakan yang terilahami dari alam untuk bertahan hidup di hutan. Baik
dari serangan makhluk ghaib maupun binatang buas.
Jika pertemuan adalah hal
yang paling mengerikan bagiku, sedangkan kenangan merupakan sesuatu yang
kubenci, maka bisa disimpulkan aku ngeri dan membenci manusia. Sebab, pertemuan dan kenangan adalah hal utama
yang mengisi kehidupan manusia. Yah tentu selain air, makanan, sexs, dan tidur.
Manusia suka sekali membuat onar, contohnya seperti sekarang, saat masih dalam
keadaan damai mendengarkan cerita para tetuah, tiba-tiba satu peserta berteriak
kencang. Tidak setuju dengan acara yang digelar panitia, ia pun menyerang
pembawa acara. Entah apa yang dirubutkan, mereka terlihat akan beradu hantam. Namun
keduanya berhasil dilerai.
“Parah yah Mba tuh peserta kok bias-bisanya
cari masalah gitu?”
“Iya ih, ngeri banget lagi matanya melotot
gitu,”
“Atau mungkin dia kurang waras yaa Mba?”
“Hust, ngawur kamu. Lhaa masa iya orang gila bisa
jadi peserta tradisi ini hahaa,” ucap Bu Nia.
“Iya Juga sih, Tapi—
Belum sempat aku melanjutkan ucapan, tiba-tiba
orang onar itu kembali berulah. Iya berteriak kencang.
“Jangan macam-macam, ya!” (dalam bahasa Jawa)
Kini ia tidak sendirian, melainkan membawa anak
kecil yang sepertinya masih duduk di bangku sekolah menengah pertama.
Astagaaaa??? Kenapa dia bawa-bawa anak kecil coba?? Apa salah tuh anak? Orang
yang ditantang pun akhirnya mengikuti tawaran perang dari si bapak pembuat
onar. Kini terjadi adu hantam pertarungan antara kubu si bapak onar yang
diwakilkan anak kecil, dan kubu si bapak pembawa acara yang pun diwakilkan anak
kecil. Duh, adek, kasihan sekali kalian.
Para peserta yang mengelilingi panggung wayang
sedikit menjauh dari area perkelahian. Kedua anak kecil ini saling adu silat.
Saling tendang. Tinju. Hantam. Banting. Jerat leher. Pegang ketiak. Mengunci
lawan. Keduanya terlihat sama hebat. Tapi, salah satu dari mereka pun
kalah akibat tidak fokus karena melihat senyumku (Oke, yang ini bohong)
Usut punya usut, adegan ini ternyata sudah
rekasaya panitia. Bertujuan untuk memberitahu gerakan silat pada kami. Haaaaaa,
aku makin menciut. Ngeri juga yaa berantem sama anak kecil itu buahahaa.
Kecil-kecil pegangannya udah golok. Pisau.
Nah, habis dari drama menegangkan barusan, kami
para peserta digiring kembali ke lapangan utama. Dibariskan rapi sekali untuk
selanjutnya melakukan napak tilas ke Makam salah satu pendiri perguruan, kalau
tidak salah namanya adalah Syekh… emmm, syekh apa yaa? Maaf ingatanku terbatas
buahahaha. Yang jelas bukan Syekh Puji lhoo. Selama perjalan, aku kembali
bertemu dengan Bayu. Kami menapaki ratusan anak tangga yang membentang dari kaki
bukit hingga ke pucuknya. Tiba di makam, kami berdoa khidmat. Mengambil napas
sedalam-dalamnya. Sekarang sudah tengah malam, dan yang anehnya peziarah
kuburan ini masih sangat ramai. Bahkan mereka menggelar tikar dan mengeluarkan
beberapa cemilan. Mirip sekali seperti kumpulan orang yang sedang camping.
Ada satu cerita yang menggetarkan jiwa, raga,
sanubari, dan seluruh molekul di tubuhku. Ada empat peserta yang kesemuanya
Tunanetra (*Maaf, tidak dapat melihat), dan dengan hebatnya, mereka bisa
berjalan menaiki, menapaki ratusan tangga tanpa bantuan seorang pun. Bahkan,
mereka juga tahu di barisan mereka ada berapa orang. Mereka paham jika mereka
sedang tidak di dalam barisan. Ah, sungguh, aku benar-benar tak paham dengan
insting yang mereka miliki. Tapi, konon katanya mereka ini sudah menguasi yang
namanya ilmu kebatinan. Arti dari ilmu kebatinan pun jangan kalian salah
pahamkan dan samakan dengan ilmu ghaib atau ilmu aneh lainnya. Kebatinan di
sini lebih kepada tingkat perasaan dan kepekaan mereka terhadap lingkungan yang
jauh lebih tinggi dari manusia normal.
Acara ziarah sudah usai. Kini kami berada
kembali di lapangan utama. Duduk manis merapatkan kedua kaki.
“Capek lu Bay?” tanyaku melihat Bayu yang
tiduran di atas rumput dengan mata terkatup.
“Gak juga sih bray. Cuma lagi nikmati suasana
aja,” ucapnya sok puitis.
“Halah, lebay lu. Palingan lu capek kan? Cemen
lu Bay. Gitu aja capek,” dan seterusnya, aku terus saja mencerocosi, mengomeli,
meremehkan Bayu yang terlihat kelelahan. Sebelum akhirnya ucapan Bayu
menghentikan aksiku.
“Anjir lu Glas!!! Sok-sok’an ngatain gua capek
gegera gua tiduran doang, noohh lu malah ikutan tidur. Tai emang hahahhaa.”
“Husssstt…. Gua lagi nikmatin suasana Bay,”
ucapku.
Belum sempat Bayu menimpali, suara panitia
kembali menggonggong.
“Ya, semuanya kembali berdiri.”
Mereka menyuruh berdiri, kami pun laksana kera
sakti yang patuh terhadap Tom san Cong, langsung saja berdiri tegak. Mengikuti
perintah.
“Sikap sempurna, akk!”
Aba-aba selanjutnya adalah sikap sempurna.
“Yak, duduk sempurna.”
Nah, kali ini kami duduk sempurna. Yang
dimaksud adalah duduk bersila dengan kaki kanan di atas paha kaki kiri (bersila). Runtutuan
acara lainnya pun berlangsung, dari pukul enam pagi hingga sekarang yang hampir jam
satu dini hari, kami tidak diberikan jeda yang banyak untuk beristirahat. Sama
seperti sekarang. Setelah duduk sempurna, mata kami disuruh terpejam. Mulut
merapal, berdoa, bergumam tentang mimpi, harapan, cita-cita, cinta, dan apapun
itu yang kemudian di salurkan ke tiga buah guci besar di hadapan kami. Inti
dari kegiatan ini adalah mentransfer energy positif ke air di dalam guci. Dan nanti
pas fajar datang airnya kami minum bersama-sama. Kenapa perantaranya adalah air? Menurut panitia air adalah sesuatu yang paling gampang dipengaruhi.
Kami beranjak dari lapangan menuju Pantai
Parangkusumo untuk melakukan meditasi bersama-sama. Di sana, kami hanya duduk
sempurna dengan mata terpejam. Berkosentrasi membuang pikiran negative.
Mengambil energy alam untuk me-refresh diri. Setelah jam sudah bergelantung di
angka dua pagi, kami pun kembali ke penginapan. Oke, saatnya istirahat untuk
selanjutnya melaksanakan kegiatan terakhir, yaitu penyambutan sang fajar terbit
dan proses meminum air guci. Tapi sayang, prosesi terakhir ini tidak kuikuti
karena ketiduran, buahahaha. Tapi tenang, aku ada beberapa foto yang
menampilkan betapa ciamiknya kegiatan tersebut.
*Kalau yang ini adalah prosesi minum air dari gentong yang semalam penuh dengan doa dan harapan.
*Meditasi sambil menunggu datangnnya fajar.
*Entah, anak ini sedang berlatih jurus atau justru lagi ngeden buahaha.
*Mungkin mereka belum sadar kalau ketek-nya pada bau buahaha. Ini gerakan pengambilan napas.
Acara
pun selesai. Setelah berkemas, kami pulang menuju Semarang tepat pukul sebelas
siang. Di perjalanan, kusempatkan izin pulang kepada sahabat baruku selama
tradisi. Yap. Bayu sempat meminta id line-ku untuk meminta beberapa foto pas
proses jalan tanpa alas kaki. Dan selama perjalan pulang tak ingin kuceritakan,
karena hanya Mas Rizal, Zikri, Pak Suroto, dan Pak Choji yang mengerti betapa
hebatnya aku memindahkan kelima sapi untuk menyebrang sungai.
-END-
0 comments:
Post a Comment
Silahkan, semuanya dapat berkomentar. Namun, jadilah komentator yang cerdik dan beretika ya :)