#PART 3
Aah, panik bukan main saat menyadari
kalau aku naik kereta yang salah. Tidak!!! Tenang, Glas. Jangan panik dulu.
Tarik napas lalu embuskan. Tarik lagi, embuskan! Ayo, Glas tarik napas
pelan-pelan. Pahanya juga dilebarin dong. Posisi ngangkang sempurna! Habis itu
embuskan, tarik, embuskan lagi, dan... ngeden sekencang-kencangnya!
Walaupun masih panik, tapi
setidaknya posisi tarik napas dan ngangkang seperti ibu-ibu melaharikan ini
mampu mengurangi sedikit kepanikan. Tidak percaya? Silahkan dicoba! Buahahaha.
Beberapa teman kutanyai mengenai
masalah yang datang silih berganti ini. Dari grup-grup WhatsApp.
“Guys, duh aduh ah ah ah enak
gimana yaa gua salah tujuan kereta nih? Niatnya turun di Stasiun PSE (Pasar
Senen) tapi di tiket malah akhir tujuannya tuh di Stasiun Gambir?” tanyaku.
Lho,
Glas... emang sebelumnya enggak check tiket-nya?
“Em, kagak. Gua kan panik tuh yaa
tadi pagi udah ketinggalan kereta. Makanya gua bilang aja sama bapak penjual
tiket minta cariin keberangkatan ke Jakarta yang paling cepet.”
“Wah,
setahu-ku sih Dek Ky yaa, emm bisa kok tujuan akhir Gambir tapi nanti turunnya
di PSE,” ucap Mba Wa. Salah satu temanku di grup kepenulisan.
“Tapi, kayaknya beda jalur deh,” ucap Bang
Heruka.
“Iya,
beda. Jadi kalau yang PSE itu khusus ekonomi. Kalau yang tujuan akhir Gambir khusus kelas Eksekutif dan bisnis,”
tutur Mba Elisyok.
What?
Ha?? Iya, Kah? Omaaaaiii.... Makin paniklah aku. Tapi, tenang. Jangan panik
dulu, Glas! Coba tarik napas lalu ngangkang selebar-lebarnya. Di kursi, aku
mulai membuka kaki lebar-lebar, lalu tarik napas. Dan sialnya, bapak di samping
malah senyam-senyum melihat aksi menggelikanku ini. Aggrrrrh!!!
“Em, anu Pak. Kira-kira kalau turun
di PSE bisa gak ya?” tanyaku mengalihkan fokusnya pada tingkah anehku beberapa
waktu lalu.
“Olaaaahh yaa gak bisa toh, Mas.
Beda jalur soalnya. Ini tujuan akhirnya ya stasiun Gambir.”
Matimak!!!
Mampus gua.
Berbekal otak cerdas walaupun tidak
cumlaude, aku pun bertanya pada teman-teman dan Mba-ku yang di Jakarta. Ada
yang menyarankan naik kopaja, bajaj, atau commuter line saja ke PSE. Kenapa aku
ngotot ke stasiun pasar senen? Karena
di sanalah Mbak kandungku bernama Ricca Lestari akan menjemputku untuk
selanjutnya menginap di kosan dia.
Dan, sebuah kesimpulan pun membabi
buta di otakku. Yap, akhirnya kuikuti saran dari Mba Ricca yaitu naik GOJEK!
Yahoooo, baru kali ini pula aku mengerti betapa sangat membantu sekali ojek
online ini. Lewat smart phone, ku-download aplikasinya.
Bisa kalian lihat kan, jadi tujuanku
sedikit berubah. Dari titik awal pertemuan di stasiun Pasar Senen kini menjadi
gondangdia. Alasannya karena stasiun itu lebih dekat dari lenteng Agung yang
merupakan tempat tinggal Mba Ricca.
Setelah memesan GOJEK, tak berselang
berapa lama panggilan masuk ke hape-ku.
“Halo, selamat siang. Benar ini
dengan Pak Ricky?”
“Oh, iya dengan siapa ya?”
“Saya dari Gojek yang bapak pesan.
Ini bapak nunggu di mana ya? Saya sudah dekat dengan stasiun Gambir?”
“Ha??? Udah dekat dengan Stasiun
Gambir??? Lhoo, Mas... saya ini masih di dalam kereta, sampe di Gambir mungkin
sekiat jam lima sore. Gimana? Nanti ke sana aja jam lima ya?”
“Oh, masih di dalam kereta. Wah,
gini aja Pak tolong di cancel pesanan bapak. Soalnya kita gak bisa booking gitu
Pak. Kalau pesan gojek harus sudah stand by.”
“Oh, jadi gojek itu gak bisa
melayani pesanan ya? Misalnya saya pesan sekarang tapi untuk jam lima itu gak
bisa ya?”
“Gak bisa, Pak. Bapak pesan
gojek-nya nanti aja kalau udah sampe di Gambir. Soalnya kita fast respon kok,
Pak. Paling lima menit dari pemesan udah sampai di lokasi.”
“Oh, gitu.”
“Yaudah, tolong di-cancel aja ya,
Pak. Kalau gak di cancel saya gak bisa narik lagi nih Pak. Tlong banget ya,
Pak. Biar sama-sama enak. Saya kan cari uang juga,” ucap abang gojek memelas
padaku. Aduh, kasian sekali nada bicaranya.
“Oke, Mas. Tapi, em... cara
cancel-nya bagaimana ya?” tanyaku polos, nyaris bodoh.
“Ke bagian historis aja, Pak. Nanti
di sana klik cancel. Tolong ya , Pak. Saya di sini juga cari nafkah. Soalnya
kalau gak di cancel, saya gak bisa nerima pesanan yang lainnya.”
Ohh
jadi gitu sistemnya tah, batinku.
“Oke, baiklah. Ditunggu aja, Mas.”
Obrolan dramatis dengan Mas Gojek
pun berakhir. Aku membuka pesan bbm dari Mba-ku yang baru saja masuk.
Ohh
iya, Dek. Pesan GOJEK-nya nanti aja yaa nunggu kamu sampe di gambir.
Agggggggggggrrrhhh,
telat banget baca nih bbm.
Kereta masih melaju. Tanpa pernah
punya keinginan unuk berhenti sekarang. Yap. Begitulah mengerikannya pilihan
manusia saat menaiki sebuah kereta. Harus mempunyai tekad yang mantap karena
sekali menjajakkan kaki, kalian harus rela terus melaju meski hati ingin
kembali.
Panorama kiri dan kanan bertaburan
hutan, kemudian luatan luas, dan juga persawahan. Berkali-kali aku berusaha
untuk meng-cancel sang gojek tapi tetap saja tidak bisa. Nihil akan sinyal.
Dering telepon kembali terdengar. Kali
ini si gojek menelpon lagi. Untuk keduanya kalinya, ia memohon segera
dibatalkan pesanan. Ahh, andai sinyal di kereta ini tidak sedang jahat hati
padaku, mungkin akan segera kupenuhi permintaan sederhana ini. Berbekal
kesabaran Zainudin yang menunggu Hayati, akhirnya aku pun berhasil membatalkan
pesanan si Mas Gojek.
Niatnya ingin mengetik di dalam
kereta pun kandas karena atmosfir yang tercipta benar-benar tak mengenakan
diri. Pergi dari Semarang seperti kehilangan kekasih yang sangat dikasihi.
Lantas, tidur pun menjadi satu-satunya pilihan untuk menghilangkan gundah yang
semakin mengganas.
***
Tepat
pukul lima lebih lima menit sore di hari kamis, kereta pun sampai di stasiun Gambir.
Satu ransel dan satu koper menemaniku berjalan di gerbong kereta, turun ke
peron, dan akhirnya duduk di salah satu minimarket yang masih dalam kawasan
stasiun.
Ini dia saat yang tepat pesan GOJEK
buahahahaha, batinku sambil cengar-cengir. Di emperan mini maerket, aku membuka
aplikasinya. Mengisi prosedur, menginput data, lalu enter pesenan. Dahiku
berkerut, mata menyipit, duh kenapa dengan aplikasi ini? Dari tadi loading
terus. Hmm, apa Mas Gojek-nya lagi sibuk ya? Atau desas-desus kalo usaha ini
bangkrut ternyata benar? Atau mungkin... habis pulsa?!!! Dengan tertatih
jemariku mengetik di layar touch screen.
Cobaan apa lagi ini? Ohhh, no!
Sedang panik-paniknya benerin bulu mata,
eh Mba Ricca bbm. Dia memberitahu kalau sudah sampai di Stasiun Gondangdia.
Makin paniklah aku. Untung saja mini market ini mampu menyelamtkan. Setelah
mengisi pulsa, aplikasi gojek pun berjalan lancar. Saatnya menunggu sang driver
di Dinas kelautan (kalau tidak salah) depan Stasiun Gambir.
Jalanan di satasiun ini ramai sekali.
Semua orang kebanyakan membawa koper bersama mereka. Ada yang muka datar, muka
cemberut, bahagia menyambut saudara, teman, atau keluarga yang datang, ada juga
yang bermuka masam, sepertinya ketinggalan kereta sama sepertiku tadi pagi
buahahahaha.
Ada satu panggilan masuk. Dari Mas
Gojek!
“Halo, Pak,” ucap suara di seberang
telepon.
“Iya, Mas udah sampai mana?” tanyaku
pada Mas Gojek.
“Ini udah di depan keluatan, bapak di mana?”
Tunggu dulu? Ha? Dia di depan
kelautan? Oh shit! Aku salah ngasih arahan, dan dia pun salah tanggap. Entah
siapa yang salah karena memang tak penting mengetahuinya, yang jelas kini kami
terpisah dua baris jalanan ibu kota yang padat kendaraan. Kami saling tatap
dari seberang jalan. Matanya menatap sedih mataku, sedangkan mata indahku ini
menyiratkan tanda maaf padanya.
“Wah, nunggunya di halte gambir ya? Kok tadi bilang di depan kelautan?”
tanya dia sopan.
Anu, ini, ah, uh, ih, ahh, yang aku
maksud di depan itu yaa di seberang jalan Mas. Bukan di depan gedung
keluatan-nya persis, batinku tak kuat bicara menahan cobaan ini bauahaha,
lebay banget yak.
“Maaf saya salah kasih petunjuknya Mas,” ucapku akhirnya.
“Yaudah tunggu di sana ya, ini muter jalan dulu.”
“Thanks.”
Tiba-tiba laju kendaraan seakan
menjadi pelan,bergerak slowmotion.
Entah darimana, terdengarlah suara merdu Afgan dengan lirik yang terdengar
aneh.
Terima
kasih Gojek untuk segalanya, kau berikan lagi kesempatan itu. Tak kan terulang
lagi semuaaaaa aaahhhh kesalahanku yang pernah menyakitimu ohhh uwoohhh uwoohh
uwohhhh hooooo
Lima menit kemudian dia beserta helm
berwana hijau menyalak miliknya pun datang tepat di hadapanku. Dari jarak
sedekat ini barulah kuketahui bahwa si Mas Gojek ini masih muda. Paling usiaya
dua puluh tiga tahun. Dua tahun lebih tua dariku, sepertinya.
“Di depan aja kopernya,” tawarnya.
Lalu memindahkan koper ke bagian depan
motor matic.
Mas Gojek masih berusaha mencari
posisi enak buat menaruh koper. Tapi beruntunglah dia mendapatkan pelanggan
sebaik diriku, karena kasihan melihatnya kewalahan, aku pun menawarkan diri
membawa kembali kopernya.
“Thanks,” ujarnya. “Lu mau pake
masker, Bang?” lanjutnya.
Hm, nada bicara si Mas Gojek berubah
dari sebelumnya. Kini terlihat lebih santai, yah mungkin karena dia paham kami
hampir seumuran.
“Boleh,” jawabku mantab. Dan, kami
pun memulai perjalanan.
Belum ada satu menit melaju dari
tempat awal, motor melaju pelan hingga menepi di pinggir jalan. Mas Gojek
turun, ia menemuoi temannya yang tengah nangkring di sekitar Stasiun Gambir.
Berkat telingaku berdaun lebar dan bersih dari kotoran-kotoran yang menempel,
aku pun mampu menguping pembicaraan mereka. Intinya, tuh si Mas Gojek mau
menukar motornya yang ban depannya kempes. Setelah dapat persetujuan dari
temannya, kami pun kembali melaju menggunakan motor yang masih matic.
Serius, untuk pertama kalinya aku
percaya dengan adegan-adegan di FTV salah satu stasiun swasta di Indonesia.
Saat orang kampung melihat takjub gedung-gedung Jakarta. Dengan muka cengo,
mulut terbuka, mata berbinar, ludah naik-turun, dan segala kepolosannya. Hal
itu pun terjadi padaku. Bedanya, aku tidak membawa ayam dalam pelukan yang
merupakan ciri khas FTV ketika orang kampung pindah ke kota. Duh aduh, di
Semarang memang tak sebanyak ini gedung pencakar langitnya, aku terlihat kecil
sekali di sini. Maskot kota Jakarta pun terpampang jelas dari jalanan yang
kulalui. Meski lalu-lalang kendaran cukup padat tapi alhamdulilah tak sampai
macet.
“Lhoooooo, Mas??? Ini kan halte
Gambir tadi, kok kita balik sini lagi???” tanyaku panik.
Jangan-jangan dia mau menculik-ku.
Membawa ke tempat sepi, sunyi, gelap, pengap. Lalu dengan sadisnya dia
memutilasi tubuh berhargaku ini. Agggggrrrrhhh tidak!!! Aku harus turun dari
sini!
“Oh, ini emang jalannya muter Bang,”
jawabnya sekenanya.
Eh? Iya, kah? Ah macaaa cihh???
Bukannya udah hampir lima belas menit ya? Jadi perjalanan tadi cuma untuk putar
balik arah? OMEGIII astaga dragon sekalii yaaa jalanan Jakarta. Hah, untunglah,
setidaknya pradugaku tentang penculikan barusan pun kandas.
“Enak Mas jadi Gojek?” tanyaku
tiba-tiba.
“Enak-enak aja Bang. Namanya cari
duit, harus dinikmati kalo kagak mau stress.”
Wuih,
bijaknya nih orang.
“Udah lama bisa naik motor?”
Pertanyaan tidak pentingku mulai bermunculan.
“Waah udah lama. Bang. Tenang aja,
kita gak bakal kecelakaan kok hahaa.”
Waduh,
padahal bukan itu yang kutakutkan.
“Emmmm... engg... Gojek ada yang pake mobil gak sih, Bang?”
“Hahahaha kagak adalah, bang. Ini khusus motor. Kalo mau mobil yaa
namanya taxi dong wkwk.”
Oh iya juga yaaa. Kok dia pinter
sih?
“Orang baru ya bang di Jakarta?” tanya Mas Gojek meneruskan obrolan.
“Wuiiihh kok bisa tahu, Mas?” tanyaku takjub dengan mata berbinar seperti
choper, Luffy, dan Usop saat melihat nipple lighting-nya milik Franky buahaha.
“Keliatan dari mukanya. Masih polos wkwkwkw.”
“Apa? Muka ganteng?”
“Muka polos, Bang -_-“
Puas mengobrol, aku pun kembali menikmati panorama Kota Jakarta. Laju
kendaraan padat. Merayap. Tapi seru. Melihat kawasan yang beraneka ragam. Dari
gedung-gedung menjulang tinggi. Taman kota. Hingga pasar yang merupakan akhir
daru tujuanku.
“Ini udah sampai di Stasiun Gondangdia,
Bang.”
“Hee?? Ini kan pasar??”
“Iya emang deket pasar kok.”
“Oke, Mas. Turunin Hayati di
rawa-rawa gua di gerbang utama stasiun-nya ya,” pintaku.
“Mana ya pintu utamanya?” gumam Mas
Gojek yang lebih seperti bertanya pada dirinya sendiri.
Setelah menanyai orang yang lewat,
dia pun menurunkanku di gerbang samping stasiun. Jadi di gondangdia ini ada
tiga pintu masuk; depan, kiri, dan kanan, tapi kesemuanya tak jelas mana yang
pintu masuk utama. Terlihat sama.
“Nih, Mas uangnya.” Aku menyerahkan
uang lima belas ribu ke Mas Gojek.
“Thanks, Bang,” ucapnya lalu
berlalu.
Naik gojek ini dikenakan biaya 15rb
rupiah dari jarak 0-15km. Dan apabali lebih dari jarak maksimal, akan dikenakan
biaya tambahan.
Koper super duper besar milikku
kembali berjalan. Rodanya berbunyi pelan akibat batu kerikil di sepanjang
jalan. Duh, di mana ya Yuk Rica? Hm, bukannya udah sampai?
Satu bbm masuk.
“Adek di mano? Ini ayuk ado di gerbang samping nih.”
“Lho ini aku jugo di gerbang samping. Kok dak katek?”
Aku celingak-celinguk melihat jalan. Tapi tak ada. Memang, aku belum
masuk dalam area stasiun, tapi dari pagar luar pun seharusnya sudah terlihat
jika Yuk Rica udah sampai. Betul kan?
“Ayuk di gerbang samping yang depan pasar, Dek.”
“Oalaaaaaah, sek sek... tunggu yooo,” ucapku.
Dan benar saja, setelah menenteng koper ke gerbang depan pasar, Yuk Ricca
sudah tergeletak di sana. Tangannya ia rebahkan di atas pagar stasiun.
“Halooo Yuk. Apa kabar?” tanyaku. Lama sekali tak bertemu makhluk ini.
“Baik dong. Oh iya, kita pulangnya nanti aja ya. Kalo jam cak ini ramai
banget di kereta Dek. Soalnya jam pulang kerja.”
“Yaudin kita cari makan dulu yok!”
Tak berjalan seberapa jauh, sebuah food court kami pilih sebagai tempat
mengisi perut dan memanjakan cacing di dalamnya.
Foto yang berhasil kuambil dengan niat secara diam - diam, tapi orang ini
terlalu peka terhadap sorotan kamera. Di sini aku memesan satu mangkuk makanan
berkuah, mirip soto sih. Sementara Yuk Ricca mengaku sudah kenyang, jadi ia
hanya memesan minuman.
Mataku melihat sosok yang sungguh menggiurkan. Sebuah lambang stasiun TV,
yaitu MNC yang tertempel di baju seragam laki-laki di depanku.
Agggrrrhhhh, jangan bilang dia crew
stasiun tv-nya?? Tapi kalo dilihat dari seragamnya sih kayaknya betul!!!
Dengan cekatan, aku melihat sekeliling. Dan benar saja, dari sini aku
mampu melihat sebuah gedung menjulang tinggi dengan tulisan MNC NEWS di
atasnya. Widiiihhhhh boleh juga nih mampir ke sana. Niat mampir pun kandas
karena ada ide lain yang melintas. Setelah menyapu debu dari muka menggunakan
tisue, aku pun berjalan pelan ke toilet
melewati crew MNC. Sengaja kubuat mimik yang terlihat keren. Elegant. Limited
Edition. Namun naas, kaki sudah sampai di ambang pintu toilet tapi tak ada satu
pun yang menoleh. Hikss.
Malam makin meninggi. Tapi, pekatnya tak mampu menghitamkan langit Kota
Jakarta. Di sini terlalu banyak kerlip lampu menembus hiruk-pikuk manusia.
Begitu pula aku dan Yuk Ricaa yang saling berbagi cerita di food court
sederhana dekat stasiun Gindangdia ini. Pengalaman selama di Semarang, pun juga
pengalaman Yuk Ricca dua tahun di Jakarta. Semua terasa begitu kental. Padat.
Tak ada jeda waktu untuk berhenti mengobrol, yaaah kecuali untuk update sosmed
wkwkw.
“Udah jam delapan malam nih, Dek. Yuk cabut!” ajak Yuk Ricca.
“Okay, yuk.”
Kami berjalan setelah membayar uang makan. Namun, baru saja keluar dari
sini koperku sudah bermasalah. Ahhh, pegangannya rusak jad tak bisa lagi
ditarik. Alhasil kugendong saja koper berkilo-kilo gram ini. Keringat bercucuran.
Orang di dalam stasiun lirik-lirik padaku. Susah ya jadi orang ganteng? Wkwkwk.
“Kenapa sih kopernya digendong-gendong gitu? Yaudah gapapa satu gagangnya
patah, kan masih ada yang satunya lagi,” ucap Yuk Ricca.
Iya juga ya? batinku berucap
pedih.
Berkat ide cemerlang Yuk Rika,
akhirnya aku tak lagi menggendong koper bak seorang kuli panggul yang tersesat
di stasiun.
Kami, atau lebih tepatnya hanya aku
saja, membeli tiket comuuter line dari stasiun gindang dia dengan tujuan akhir
di stasiun Lenteng Agung. Tiket ini berbentuk card yang mirirp kartu ATM,
e-ktp, dll. Bermodalkan uang dua belas ribu, aku sudah bisa mendapatkan satu
tiket.
Perjalanan pun di mulai. Di dalam
kereta kentara sekali atmosir langsung berubah. Dingin AC menyambut kami. Ramai
orang di kiri kanan pun menjadi penghias di sana. Memang sudah tak seramai saat
jam pulang kerja, tapi kami harus bersabar berdiri karena tidak mendapatkan
tempat duduk.
Kuperhatikann sekeliling. Kebanyakan
orang di sini memasaang sikap anti
terhadap orang lain. Apatis. Mulut ditutupi masker. Headset menutup
telinga. Ransel atau tas lainnya di pindahkan dari punggung ke depan perut
mereka. Tangan bersidekap. Ini benar-benar perawakan orang yang masa bodoh dengan lingkungan. Lebih gilanya lagi, sudah
jelas ada aturan kursi di dalam kereta itu diperuntukkan/diprioritaskan kepada
Ibu hamil, Ibu yang membawa anak balita, atau pun lansia, tapi ada saja yang
melanggarnya!
“Jangan terlalu percaya sama orang.
Ini Jakarta. Banyak kejahatannya. Tuh tasnya taruh di depan aja, Dek,” suruh
Yuk Rica.
Sebagai adik yang patuh dan
menggemaskan, aku akhirnya mengikuti saran sang maestro angkutan umum KRL.
Untuk menghilangkan kebosanan di jalan, kami akhirnya memutuskan hal
ter-mainstream seperti yang kuhabas di atas. Yap. Memakai headset.
Kereta beberapa kali berhenti di
stasiun lainnya untuk menurunkan dan mengakut penumpang lain. Kali ini, dari
arah pintu otomatis comuuter line, muncul-lah 7 manusia harimau
laki-laki yang berdiri tepat di bealakang Yuk Rica. Tapi bukan hal itu yang
menarik perhatianku, melainkan tatapan para penumpang yang tertumbuk satu arah.
Ke arah atas. Wuih apa yang mereka lihat di kereta ini? Dan yuhuuuuu, ini dia
yang mereka lihat.
0 comments:
Post a Comment
Silahkan, semuanya dapat berkomentar. Namun, jadilah komentator yang cerdik dan beretika ya :)