Saturday, November 28, 2015

OSPEK KOTA JAKARTA. BAGIAN KE-3

BY Ricky Douglas IN No comments



#PART 3
            Aah, panik bukan main saat menyadari kalau aku naik kereta yang salah. Tidak!!! Tenang, Glas. Jangan panik dulu. Tarik napas lalu embuskan. Tarik lagi, embuskan! Ayo, Glas tarik napas pelan-pelan. Pahanya juga dilebarin dong. Posisi ngangkang sempurna! Habis itu embuskan, tarik, embuskan lagi, dan... ngeden sekencang-kencangnya!

            Walaupun masih panik, tapi setidaknya posisi tarik napas dan ngangkang seperti ibu-ibu melaharikan ini mampu mengurangi sedikit kepanikan. Tidak percaya? Silahkan dicoba! Buahahaha. 

            Beberapa teman kutanyai mengenai masalah yang datang silih berganti ini. Dari grup-grup WhatsApp.

            “Guys, duh aduh ah ah ah enak gimana yaa gua salah tujuan kereta nih? Niatnya turun di Stasiun PSE (Pasar Senen) tapi di tiket malah akhir tujuannya tuh di Stasiun Gambir?” tanyaku. 

            Lho, Glas... emang sebelumnya enggak check tiket-nya?

            “Em, kagak. Gua kan panik tuh yaa tadi pagi udah ketinggalan kereta. Makanya gua bilang aja sama bapak penjual tiket minta cariin keberangkatan ke Jakarta yang paling cepet.”

            “Wah, setahu-ku sih Dek Ky yaa, emm bisa kok tujuan akhir Gambir tapi nanti turunnya di PSE,” ucap Mba Wa. Salah satu temanku di grup kepenulisan. 

            “Tapi, kayaknya beda jalur deh,” ucap Bang Heruka. 

            “Iya, beda. Jadi kalau yang PSE itu khusus ekonomi. Kalau yang tujuan akhir Gambir khusus kelas Eksekutif dan bisnis,” tutur Mba Elisyok. 

            What? Ha?? Iya, Kah? Omaaaaiii.... Makin paniklah aku. Tapi, tenang. Jangan panik dulu, Glas! Coba tarik napas lalu ngangkang selebar-lebarnya. Di kursi, aku mulai membuka kaki lebar-lebar, lalu tarik napas. Dan sialnya, bapak di samping malah senyam-senyum melihat aksi menggelikanku ini. Aggrrrrh!!!

            “Em, anu Pak. Kira-kira kalau turun di PSE bisa gak ya?” tanyaku mengalihkan fokusnya pada tingkah anehku beberapa waktu lalu. 

            “Olaaaahh yaa gak bisa toh, Mas. Beda jalur soalnya. Ini tujuan akhirnya ya stasiun Gambir.”

            Matimak!!! Mampus gua. 

            Berbekal otak cerdas walaupun tidak cumlaude, aku pun bertanya pada teman-teman dan Mba-ku yang di Jakarta. Ada yang menyarankan naik kopaja, bajaj, atau commuter line saja ke PSE. Kenapa aku ngotot ke stasiun pasar senen? Karena di sanalah Mbak kandungku bernama Ricca Lestari akan menjemputku untuk selanjutnya menginap di kosan dia. 

            Dan, sebuah kesimpulan pun membabi buta di otakku. Yap, akhirnya kuikuti saran dari Mba Ricca yaitu naik GOJEK! Yahoooo, baru kali ini pula aku mengerti betapa sangat membantu sekali ojek online ini. Lewat smart phone, ku-download aplikasinya. 






    
            Bisa kalian lihat kan, jadi tujuanku sedikit berubah. Dari titik awal pertemuan di stasiun Pasar Senen kini menjadi gondangdia. Alasannya karena stasiun itu lebih dekat dari lenteng Agung yang merupakan tempat tinggal Mba Ricca. 

            Setelah memesan GOJEK, tak berselang berapa lama panggilan masuk ke hape-ku.

            “Halo, selamat siang. Benar ini dengan Pak Ricky?”

            “Oh, iya dengan siapa ya?”

            “Saya dari Gojek yang bapak pesan. Ini bapak nunggu di mana ya? Saya sudah dekat dengan stasiun Gambir?”

            “Ha??? Udah dekat dengan Stasiun Gambir??? Lhoo, Mas... saya ini masih di dalam kereta, sampe di Gambir mungkin sekiat jam lima sore. Gimana? Nanti ke sana aja jam lima ya?”

            “Oh, masih di dalam kereta. Wah, gini aja Pak tolong di cancel pesanan bapak. Soalnya kita gak bisa booking gitu Pak. Kalau pesan gojek harus sudah stand by.”

            “Oh, jadi gojek itu gak bisa melayani pesanan ya? Misalnya saya pesan sekarang tapi untuk jam lima itu gak bisa ya?”

            “Gak bisa, Pak. Bapak pesan gojek-nya nanti aja kalau udah sampe di Gambir. Soalnya kita fast respon kok, Pak. Paling lima menit dari pemesan udah sampai di lokasi.”

            “Oh, gitu.”

            “Yaudah, tolong di-cancel aja ya, Pak. Kalau gak di cancel saya gak bisa narik lagi nih Pak. Tlong banget ya, Pak. Biar sama-sama enak. Saya kan cari uang juga,” ucap abang gojek memelas padaku. Aduh, kasian sekali nada bicaranya. 

            “Oke, Mas. Tapi, em... cara cancel-nya bagaimana ya?” tanyaku polos, nyaris bodoh. 

            “Ke bagian historis aja, Pak. Nanti di sana klik cancel. Tolong ya , Pak. Saya di sini juga cari nafkah. Soalnya kalau gak di cancel, saya gak bisa nerima pesanan yang lainnya.”

            Ohh jadi gitu sistemnya tah, batinku.

            “Oke, baiklah. Ditunggu aja, Mas.”

            Obrolan dramatis dengan Mas Gojek pun berakhir. Aku membuka pesan bbm dari Mba-ku yang baru saja masuk. 

            Ohh iya, Dek. Pesan GOJEK-nya nanti aja yaa nunggu kamu sampe di gambir.
Agggggggggggrrrhhh, telat banget baca nih bbm.

            Kereta masih melaju. Tanpa pernah punya keinginan unuk berhenti sekarang. Yap. Begitulah mengerikannya pilihan manusia saat menaiki sebuah kereta. Harus mempunyai tekad yang mantap karena sekali menjajakkan kaki, kalian harus rela terus melaju meski hati ingin kembali. 

            Panorama kiri dan kanan bertaburan hutan, kemudian luatan luas, dan juga persawahan. Berkali-kali aku berusaha untuk meng-cancel sang gojek tapi tetap saja tidak bisa. Nihil akan sinyal.

            Dering telepon kembali terdengar. Kali ini si gojek menelpon lagi. Untuk keduanya kalinya, ia memohon segera dibatalkan pesanan. Ahh, andai sinyal di kereta ini tidak sedang jahat hati padaku, mungkin akan segera kupenuhi permintaan sederhana ini. Berbekal kesabaran Zainudin yang menunggu Hayati, akhirnya aku pun berhasil membatalkan pesanan si Mas Gojek. 

            Niatnya ingin mengetik di dalam kereta pun kandas karena atmosfir yang tercipta benar-benar tak mengenakan diri. Pergi dari Semarang seperti kehilangan kekasih yang sangat dikasihi. Lantas, tidur pun menjadi satu-satunya pilihan untuk menghilangkan gundah yang semakin mengganas. 

***
            Tepat pukul lima lebih lima menit sore di hari kamis, kereta pun sampai di stasiun Gambir. Satu ransel dan satu koper menemaniku berjalan di gerbong kereta, turun ke peron, dan akhirnya duduk di salah satu minimarket yang masih dalam kawasan stasiun. 

            Ini dia saat yang tepat pesan GOJEK buahahahaha, batinku sambil cengar-cengir. Di emperan mini maerket, aku membuka aplikasinya. Mengisi prosedur, menginput data, lalu enter pesenan. Dahiku berkerut, mata menyipit, duh kenapa dengan aplikasi ini? Dari tadi loading terus. Hmm, apa Mas Gojek-nya lagi sibuk ya? Atau desas-desus kalo usaha ini bangkrut ternyata benar? Atau mungkin... habis pulsa?!!! Dengan tertatih jemariku mengetik di layar touch screen. 

            Cobaan apa lagi ini? Ohhh, no! Sedang panik-paniknya benerin bulu mata, eh Mba Ricca bbm. Dia memberitahu kalau sudah sampai di Stasiun Gondangdia. Makin paniklah aku. Untung saja mini market ini mampu menyelamtkan. Setelah mengisi pulsa, aplikasi gojek pun berjalan lancar. Saatnya menunggu sang driver di Dinas kelautan (kalau tidak salah) depan Stasiun Gambir.
            Jalanan di satasiun ini ramai sekali. Semua orang kebanyakan membawa koper bersama mereka. Ada yang muka datar, muka cemberut, bahagia menyambut saudara, teman, atau keluarga yang datang, ada juga yang bermuka masam, sepertinya ketinggalan kereta sama sepertiku tadi pagi buahahahaha.
            Ada satu panggilan masuk. Dari Mas Gojek!

            “Halo, Pak,” ucap suara di seberang telepon. 

            “Iya, Mas udah sampai mana?” tanyaku pada Mas Gojek.

“Ini udah di depan keluatan, bapak di mana?”

            Tunggu dulu? Ha? Dia di depan kelautan? Oh shit! Aku salah ngasih arahan, dan dia pun salah tanggap. Entah siapa yang salah karena memang tak penting mengetahuinya, yang jelas kini kami terpisah dua baris jalanan ibu kota yang padat kendaraan. Kami saling tatap dari seberang jalan. Matanya menatap sedih mataku, sedangkan mata indahku ini menyiratkan tanda maaf padanya.

“Wah, nunggunya di halte gambir ya? Kok tadi bilang di depan kelautan?” tanya dia sopan. 

Anu, ini, ah, uh, ih, ahh, yang aku maksud di depan itu yaa di seberang jalan Mas. Bukan di depan gedung keluatan-nya persis, batinku tak kuat bicara menahan cobaan ini bauahaha, lebay banget yak. 

“Maaf saya salah kasih petunjuknya Mas,” ucapku akhirnya.

“Yaudah tunggu di sana ya, ini muter jalan dulu.”

“Thanks.” 

 Tiba-tiba laju kendaraan seakan menjadi pelan,bergerak slowmotion. Entah darimana, terdengarlah suara merdu Afgan dengan lirik yang terdengar aneh. 

            Terima kasih Gojek untuk segalanya, kau berikan lagi kesempatan itu. Tak kan terulang lagi semuaaaaa aaahhhh kesalahanku yang pernah menyakitimu ohhh uwoohhh uwoohh uwohhhh hooooo

            Lima menit kemudian dia beserta helm berwana hijau menyalak miliknya pun datang tepat di hadapanku. Dari jarak sedekat ini barulah kuketahui bahwa si Mas Gojek ini masih muda. Paling usiaya dua puluh tiga tahun. Dua tahun lebih tua dariku, sepertinya. 

            “Di depan aja kopernya,” tawarnya. Lalu memindahkan koper ke  bagian depan motor matic.
            Mas Gojek masih berusaha mencari posisi enak buat menaruh koper. Tapi beruntunglah dia mendapatkan pelanggan sebaik diriku, karena kasihan melihatnya kewalahan, aku pun menawarkan diri membawa kembali kopernya. 

            “Thanks,” ujarnya. “Lu mau pake masker, Bang?” lanjutnya.

            Hm, nada bicara si Mas Gojek berubah dari sebelumnya. Kini terlihat lebih santai, yah mungkin karena dia paham kami hampir seumuran. 

            “Boleh,” jawabku mantab. Dan, kami pun memulai perjalanan. 

            Belum ada satu menit melaju dari tempat awal, motor melaju pelan hingga menepi di pinggir jalan. Mas Gojek turun, ia menemuoi temannya yang tengah nangkring di sekitar Stasiun Gambir. Berkat telingaku berdaun lebar dan bersih dari kotoran-kotoran yang menempel, aku pun mampu menguping pembicaraan mereka. Intinya, tuh si Mas Gojek mau menukar motornya yang ban depannya kempes. Setelah dapat persetujuan dari temannya, kami pun kembali melaju menggunakan motor yang masih matic

            Serius, untuk pertama kalinya aku percaya dengan adegan-adegan di FTV salah satu stasiun swasta di Indonesia. Saat orang kampung melihat takjub gedung-gedung Jakarta. Dengan muka cengo, mulut terbuka, mata berbinar, ludah naik-turun, dan segala kepolosannya. Hal itu pun terjadi padaku. Bedanya, aku tidak membawa ayam dalam pelukan yang merupakan ciri khas FTV ketika orang kampung pindah ke kota. Duh aduh, di Semarang memang tak sebanyak ini gedung pencakar langitnya, aku terlihat kecil sekali di sini. Maskot kota Jakarta pun terpampang jelas dari jalanan yang kulalui. Meski lalu-lalang kendaran cukup padat tapi alhamdulilah tak sampai macet.

            “Lhoooooo, Mas??? Ini kan halte Gambir tadi, kok kita balik sini lagi???” tanyaku panik. 

            Jangan-jangan dia mau menculik-ku. Membawa ke tempat sepi, sunyi, gelap, pengap. Lalu dengan sadisnya dia memutilasi tubuh berhargaku ini. Agggggrrrrhhh tidak!!! Aku harus turun dari sini!

            “Oh, ini emang jalannya muter Bang,” jawabnya sekenanya. 

            Eh? Iya, kah? Ah macaaa cihh??? Bukannya udah hampir lima belas menit ya? Jadi perjalanan tadi cuma untuk putar balik arah? OMEGIII astaga dragon sekalii yaaa jalanan Jakarta. Hah, untunglah, setidaknya pradugaku tentang penculikan barusan pun kandas. 

            “Enak Mas jadi Gojek?” tanyaku tiba-tiba. 

            “Enak-enak aja Bang. Namanya cari duit, harus dinikmati kalo kagak mau stress.”

            Wuih, bijaknya nih orang. 

            “Udah lama bisa naik motor?” Pertanyaan tidak pentingku mulai bermunculan. 

            “Waah udah lama. Bang. Tenang aja, kita gak bakal kecelakaan kok hahaa.”

            Waduh, padahal bukan itu yang kutakutkan. 
 
“Emmmm... engg... Gojek ada yang pake mobil gak sih, Bang?”

“Hahahaha kagak adalah, bang. Ini khusus motor. Kalo mau mobil yaa namanya taxi dong wkwk.”

Oh iya juga yaaa. Kok dia pinter sih? 

“Orang baru ya bang di Jakarta?” tanya Mas Gojek meneruskan obrolan. 

“Wuiiihh kok bisa tahu, Mas?” tanyaku takjub dengan mata berbinar seperti choper, Luffy, dan Usop saat melihat nipple lighting-nya milik Franky buahaha. 

“Keliatan dari mukanya. Masih polos wkwkwkw.”

“Apa? Muka ganteng?”

“Muka polos, Bang -_-“

Puas mengobrol, aku pun kembali menikmati panorama Kota Jakarta. Laju kendaraan padat. Merayap. Tapi seru. Melihat kawasan yang beraneka ragam. Dari gedung-gedung menjulang tinggi. Taman kota. Hingga pasar yang merupakan akhir daru tujuanku. 

            “Ini udah sampai di Stasiun Gondangdia, Bang.”

            “Hee?? Ini kan pasar??”

            “Iya emang deket pasar kok.”

            “Oke, Mas. Turunin Hayati di rawa-rawa gua di gerbang utama stasiun-nya ya,” pintaku. 

            “Mana ya pintu utamanya?” gumam Mas Gojek yang lebih seperti bertanya pada dirinya sendiri. 

            Setelah menanyai orang yang lewat, dia pun menurunkanku di gerbang samping stasiun. Jadi di gondangdia ini ada tiga pintu masuk; depan, kiri, dan kanan, tapi kesemuanya tak jelas mana yang pintu masuk utama. Terlihat sama. 

            “Nih, Mas uangnya.” Aku menyerahkan uang lima belas ribu ke Mas Gojek. 

            “Thanks, Bang,” ucapnya lalu berlalu. 

            Naik gojek ini dikenakan biaya 15rb rupiah dari jarak 0-15km. Dan apabali lebih dari jarak maksimal, akan dikenakan biaya tambahan. 

            Koper super duper besar milikku kembali berjalan. Rodanya berbunyi pelan akibat batu kerikil di sepanjang jalan. Duh, di mana ya Yuk Rica? Hm, bukannya udah sampai? 

            Satu bbm masuk. 

“Adek di mano? Ini ayuk ado di gerbang samping nih.”

“Lho ini aku jugo di gerbang samping. Kok dak katek?” 

Aku celingak-celinguk melihat jalan. Tapi tak ada. Memang, aku belum masuk dalam area stasiun, tapi dari pagar luar pun seharusnya sudah terlihat jika Yuk Rica udah sampai. Betul kan? 

“Ayuk di gerbang samping yang depan pasar, Dek.”

“Oalaaaaaah, sek sek... tunggu yooo,” ucapku. 

Dan benar saja, setelah menenteng koper ke gerbang depan pasar, Yuk Ricca sudah tergeletak di sana. Tangannya ia rebahkan di atas pagar stasiun. 

“Halooo Yuk. Apa kabar?” tanyaku. Lama sekali tak bertemu makhluk ini. 

“Baik dong. Oh iya, kita pulangnya nanti aja ya. Kalo jam cak ini ramai banget di kereta Dek. Soalnya jam pulang kerja.”
 
“Yaudin kita cari makan dulu yok!” 

Tak berjalan seberapa jauh, sebuah food court kami pilih sebagai tempat mengisi perut dan memanjakan cacing di dalamnya. 



Foto yang berhasil kuambil dengan niat secara diam - diam, tapi orang ini terlalu peka terhadap sorotan kamera. Di sini aku memesan satu mangkuk makanan berkuah, mirip soto sih. Sementara Yuk Ricca mengaku sudah kenyang, jadi ia hanya memesan minuman. 

Mataku melihat sosok yang sungguh menggiurkan. Sebuah lambang stasiun TV, yaitu MNC yang tertempel di baju seragam laki-laki di depanku. 

Agggrrrhhhh, jangan bilang dia crew stasiun tv-nya?? Tapi kalo dilihat dari seragamnya sih kayaknya betul!!! 

Dengan cekatan, aku melihat sekeliling. Dan benar saja, dari sini aku mampu melihat sebuah gedung menjulang tinggi dengan tulisan MNC NEWS di atasnya. Widiiihhhhh boleh juga nih mampir ke sana. Niat mampir pun kandas karena ada ide lain yang melintas. Setelah menyapu debu dari muka menggunakan tisue, aku pun  berjalan pelan ke toilet melewati crew MNC. Sengaja kubuat mimik yang terlihat keren. Elegant. Limited Edition. Namun naas, kaki sudah sampai di ambang pintu toilet tapi tak ada satu pun yang menoleh. Hikss.

Malam makin meninggi. Tapi, pekatnya tak mampu menghitamkan langit Kota Jakarta. Di sini terlalu banyak kerlip lampu menembus hiruk-pikuk manusia. Begitu pula aku dan Yuk Ricaa yang saling berbagi cerita di food court sederhana dekat stasiun Gindangdia ini. Pengalaman selama di Semarang, pun juga pengalaman Yuk Ricca dua tahun di Jakarta. Semua terasa begitu kental. Padat. Tak ada jeda waktu untuk berhenti mengobrol, yaaah kecuali untuk update sosmed wkwkw. 

“Udah jam delapan malam nih, Dek. Yuk cabut!” ajak Yuk Ricca.

“Okay, yuk.”

Kami berjalan setelah membayar uang makan. Namun, baru saja keluar dari sini koperku sudah bermasalah. Ahhh, pegangannya rusak jad tak bisa lagi ditarik. Alhasil kugendong saja koper berkilo-kilo gram ini. Keringat bercucuran. Orang di dalam stasiun lirik-lirik padaku. Susah ya jadi orang ganteng? Wkwkwk. 

“Kenapa sih kopernya digendong-gendong gitu? Yaudah gapapa satu gagangnya patah, kan masih ada yang satunya lagi,” ucap Yuk Ricca. 

Iya juga ya? batinku berucap pedih.

            Berkat ide cemerlang Yuk Rika, akhirnya aku tak lagi menggendong koper bak seorang kuli panggul yang tersesat di stasiun. 

            Kami, atau lebih tepatnya hanya aku saja, membeli tiket comuuter line dari stasiun gindang dia dengan tujuan akhir di stasiun Lenteng Agung. Tiket ini berbentuk card yang mirirp kartu ATM, e-ktp, dll. Bermodalkan uang dua belas ribu, aku sudah bisa mendapatkan satu tiket. 

            Perjalanan pun di mulai. Di dalam kereta kentara sekali atmosir langsung berubah. Dingin AC menyambut kami. Ramai orang di kiri kanan pun menjadi penghias di sana. Memang sudah tak seramai saat jam pulang kerja, tapi kami harus bersabar berdiri karena tidak mendapatkan tempat duduk. 

            Kuperhatikann sekeliling. Kebanyakan orang di sini memasaang sikap anti terhadap orang lain. Apatis. Mulut ditutupi masker. Headset menutup telinga. Ransel atau tas lainnya di pindahkan dari punggung ke depan perut mereka. Tangan bersidekap. Ini benar-benar perawakan orang yang masa bodoh dengan lingkungan. Lebih gilanya lagi, sudah jelas ada aturan kursi di dalam kereta itu diperuntukkan/diprioritaskan kepada Ibu hamil, Ibu yang membawa anak balita, atau pun lansia, tapi ada saja yang melanggarnya!

            “Jangan terlalu percaya sama orang. Ini Jakarta. Banyak kejahatannya. Tuh tasnya taruh di depan aja, Dek,” suruh Yuk Rica. 

            Sebagai adik yang patuh dan menggemaskan, aku akhirnya mengikuti saran sang maestro angkutan umum KRL. Untuk menghilangkan kebosanan di jalan, kami akhirnya memutuskan hal ter-mainstream seperti yang kuhabas di atas. Yap. Memakai headset.
 


            Kereta beberapa kali berhenti di stasiun lainnya untuk menurunkan dan mengakut penumpang lain. Kali ini, dari arah pintu otomatis comuuter line, muncul-lah 7 manusia harimau laki-laki yang berdiri tepat di bealakang Yuk Rica. Tapi bukan hal itu yang menarik perhatianku, melainkan tatapan para penumpang yang tertumbuk satu arah. Ke arah atas. Wuih apa yang mereka lihat di kereta ini? Dan yuhuuuuu, ini dia yang mereka lihat.

            *Bersambung


Baca PART 4 (DI SINI)

0 comments:

Post a Comment

Silahkan, semuanya dapat berkomentar. Namun, jadilah komentator yang cerdik dan beretika ya :)