Friday, November 20, 2015

OSPEK KOTA JAKARTA

BY Ricky Douglas IN 1 comment





#PART I.


19.11.2015

            Beda seperti kenangan yang merupakan hal paling kubenci, pertemuan adalah sesuatu yang paling mengerikan bagiku. Kita seperti dipaksa untuk berpisah saat bertemu. Memberi titik saat koma seharusnya masih bisa ditorehkan.  

            Semalam, aku dan beberapa teman dekat menghabiskan sepanjang malam hingga dini hari untuk saling mengucapkan kalimat perpisahan. Dari mulai karoke, hunting foto di Tugu Muda Semarang, dan nongkrong di caffe. Pukul dua pagi kami memutuskan pulang. Sesampai di kasur kesayanganku, mata tak kunjung mengatup. Rasa sedih tiba-tiba menyelimuti. Ah, sebentar lagi aku akan pergi meninggalkan saudara-saudaraku. Tapi, sejujurnya, yang membuat sedih bukan karena pergi meninggalkan mereka, namun pertemuan kembali itu sendiri yang masih belum bisa kupastikan kapan. Beda halnya dengan kampung halaman yang selalu kukunjungi satu tahun sekali saat idul fitri. 

            Sekarang pukul 7:45 pagi di hari kamis, sementara keretaku berangkat jam 8. Aku yang panik, memasukkan semeraut barang-barang kecil yang belum sempat di-packing. Dari kabel-kabel gadget, laptop, bed cover, dua pigura kecil, dll. Semuanya kutumpuk jadi satu di dalam koper yang sudah berjejal pakaian. Sebelum ini pun aku sudah mengirimkan 13 kardus, 1 Biola, 1 gitar, dan 1 pigura besar menggunakan kereta barang menuju Jakarta.

            Setelahnya, aku diantar teman satu kontrakan denganku. Namanya Ak Tony. Laki-laki bermuka preman tapi berhati selembut Hello kitty. Dia teman paling sholeh yang pernah kumiliki. Kata-kata yang paling sering diucapkannya adalah Subhanallah. Di tengah perjalanan, kami salah tujuan. Setelah mengamati gedung-gedung sekitar, oke, aku bisa tahu kalau kami beda persepsi. Ak Tonny mengira stasiun kebrangkatanku adalah Poncol, tapi salah. Aku tentu lebih memilih Tawang dengan arsitektur berbau zaman lampau. Kami memutar arah menuju Tawang. Saat itu hatiku sudah pasrah jika ketinggalan kereta. Tapi mulut terus merapal doa agar diberi kemudahan. 

            Sampai di Tawang, hal mengerikan selanjutnya menantiku. Ternyata tiket kereta belum dicetak. Tuhan, padahal sekarang jarum jam sudah menunjukkan angka delapan lebih sepuluh, sementara aku masih harus bersibuk ria dengan mesin cetak yang membuat radang otak. 

            “Ak lu tunggu  ya. Gua mau cetak tiket dulu. Pliss jangan tinggalin gua. Gua udah gak punya siapa-siapa nih di sini,” ucapkku memulai drama belas kasihan yang justru membuat temanku ingin muntah. 

            “Iya iya tak tungguin.”

            Saat mencetak tiket kereta, bulu kudukku tiba-tiba berdiri tegang. Mata nanar melihat layar komputer. Napas tersengal. Keringat membanjiri kening. Kontan saja mukaku berubah kecut, pasrah, sedih, dan... entahlah. Tertera kalimat “Kereta sudah pergi. Apakah masih ingin mencetak tiket?” Omaaaiigooddd!!! Rasanya ingin meraung di lantai ruang tunggu ini. Dengan langkah tak bersemangat, aku kembali menemui Ak Tony. Tatapannya jelas sekali penuh tanda tanya, dan hanya kujawab dengan gelengan kecil. 
 *Inilah tiket kampretos yang tidak berhasil membawaku ke Jakarta dengan sekali percobaan.

            “Yaudah Rik, kamu pesen tiket lagi aja. Aku tungguin lagi deh.”

            “Oke, Ak. Lu emang temen gua yang paling item. Eh, paling baik maksudnya buahahaha.”

            Panik. Sedih. Kecewa. Aku pun memesan tiket keberangkatan paling cepat ke Jakarta. Jam 11:30.

            “Oke, Mas. Tiketnya berapa ya?”

            “365 ribu, Mas.”

            “What? Serius? Astaga dragon. Em, yaudah deh gapapa Mas.”

            Dan, tiket pun dibeli. Kali ini uangku benar-benar terkuras hanya untuk pindahan ke Jakarta. Kirim barang saja menembus nominal Rp385.000,- belum tiket hangus dan tiket yang sekarang kubeli. 

            “Gua udah beli tiket, Ak. Ntar perginya jam 11:30.”
 
            “Lu mau balik kontrakan dulu atau nunggu di sini?”

            “Gua nunggu di sini ajalah daripada telat.”

            “Yaudah Rik aku balik dulu ya. Sorry kalau selama kita berteman ada salah kata, ngerepotin kamu, dll deh pokoknya.”

            “Gua juga lhoo Ak minta maaf banget. Gua banyak dosa banget sama lu. Gara-gara gua temenan sama lu, lu-nya jadi keliatan jelek banget di samping gua.”

            “Sialan,”

            “Buahhahahahaha.”

            Perpisahan selesai. Tidak penuh dengan kata haru-biru, tapi sudah cukup menggetarkan memori lawas tentangnya di ingatanku. Aku, Ak Tonny, Titus, dan Rhomi. Teman-teman yang belakangan tinggal satu atap denganku. 

            Jam-jam berikutnya pun kuhabiskan menunggu kereta datang. Memilih tempat duduk pojokan di ruang tunggu. Tak banyak yang kulakukan. Duduk diam. Bernapas. Kadang mengedip. Kadang tersenyum. Banyak tertawa. Garuk-garuk kuping. Dan sesekali kentut buahahaha. 

            Tunggu. Wait. Aggrrrrhhhh tidak. No! No! Ada yang kurang. Ada yang hilang. Sepi. Senyap. Telingaku tak mendengar apapun. Apa aku tuli? Hmmm... ahhhh iyaaaa, headset yang sering kugunakan tertinggal di salah satu teman. Baiklah, dengan sedikit terpaksa dan banyak iklash-nya, aku beranjak mengangkat pantat untuk mencari headset di counter hape terdekat. Sebelum pergi memulai pencarian, kutitipkan satu koper dan ransel di satpam.

            “Terimakasih, Pak,” ucapku. 

            Walaupun Semarang selalu panas, menurutku. Tapi kali ini aku rela benar berjalan-jalan lama mengelilingi kawasan kota lama. Hah, sesak sekali rasanya. Terlampau banyak kenagan di kota ini. Setelah mengelilingi danau Tawang, akhirnya satu biji konter kutemukan teronggok tak berdaya di pinggir jalan. 

            “Halo, Pak. Selamat pagi. Saya Douglas, em... mau cari headset dong, Pak,” ucapku ramah dan menggemaskan. 

            “Ohh iya, tunggu bentar ya, Mas.”

            Si bapak yang kutaksir umurnya sudah menembus angka tiga puluhan ini pun masuk ke dalam rumah. Selang beberapa menit, beliau membawa buntelan kresek dan menaruhnya di etalase. Ia pun sibuk meraba-raba isi kantung. 

            “Nih, Mas. Dipilih aja,” ucapnya. Dia mengeluarkan tiga kotak kecil.

            “Berapaan nih, Pak?” tanyaku sambil melihat, mengelus, serta mengendus kotak yang kini di tanganku. 

            “Oh itu macem-macem, Mas.”

            “Yang satu macem ada?”

            “Hehehe.” Duh, si bapak malah ketawa. Padahal aku nanya serius. 

            “Ada yang 25rb, 27rb, sama 35rb Mas.”

            Penasaran dengan isinya, aku pun membuka kotak pertama. 

            “Lho, Pak. Kok? Ini kan carger bukan headset.”

            “Ha? Apa? Oh, gitu. Buka lagi aja yang lainnya, Mas.”

            “Baiklah,”

            Dan, isinya pun masih sama. Carger hape. Aku yang kesal kerena kesalahpahaman ini pun mulai mengambil langkah.

            “Pak,” ucapkku tegas ke si Bapak. 

            “Hah? Oh, iya?”

            “S.a.y.a  c.a.r.i  h.e.a.d.s.e.t,” ucapku huruf per huruf seperti guru TK mengajarkan muridnya. Dengan tangan menyentuh telinga dan kepala mangguk-mangguk.

            “Ohhhhh headset? Bilang dari tadi toh, Mas.”

            What? Bilang dari tadi? Lha mbok pikir suaraku koyok letupan ngedene manuk opo? Kok iso-iso ne rak krungu. Batinku sedikit kesal, tapi wajah masih berhiaskan senyuman. 

            Setelah proses perdebatan dan penyamaan pendengaran, aku pun membeli headset berwarna putih mulus. Sebelum kembali ke dalam stasiun, aku mengisi perut dengan nasi rames telor. Dan yang membuatku sedih, nasi telor aja harganya tujuh belas ribu buahahaha. Tidak masalah. Hitung-hitung beramal. Sedih juga sih. Tapi, ah sudahlah. Tapi, kan... masa tujuh belas ribu? Adooohh, iklash kok. Tapi—

            Kembali di dalam stasiun, aku mengambil ransel di satpam. Tapi tidak dengan koper yang masih sengaja kutitipkan. Membuka laptop dan menulis beberapa paragraf tentang semarang pun menjadi agenda selanjutnya. Ada yang penasaran sama isinya? Baiklah, akan kukasih tahu. Begini bunyinya;

            Alkisah, datanglah pemuda tampan dengan wajah bercahaya kilat nan elok tak lekang oleh waktu. Dia datang dari Palembang menuju Semarang. Menempuh pendidikan di salah satu Universitas. Dengan keringat seksi yang bergelantungan di lehernya, membuat semua pasang mata menatap napsu padanya. Dia pun tersenyum, berharap ada tante-tante dengan mobil mewah yang berhenti tepat di depannya dan membawa ia ke hotel bintang lima. 

Ricky : Stop it! Itu ngaco! Ngarang! Bullshit. Bukan itu yang kutulis! Serius dong Douglas!  

Douglas: Heeeii, helooowwww jangan ikut caampur! Tapi, oke deh gapapa. Baiklah, akan kuungkap semua apa yang ditulis Ricky Douglas tentang Semarang di artikel selanjutnya ya. 

Ricky: Oke ganteng, jangan lama-lama ya bikinnya. 

Douglas: Gua janji gak bakal lama kok, Handsome. 

-Selesai- Obrolan absurd. 



Kereta yang dicinta pun datang. Aku kembali mengangkat pantat hingga bergoyang seperti jelly. Sedikit heboh, aku berlari kesana-kemari. Bunyi bising kereta semakin dekat. Dan, ini dia!!! Angkutan berbadan panjang pun tiba. Dengan gaya bak seorang Raul yang menatap Anjali di ambang pintu kereta, aku pun berjalan gagah ke sana. Memegang pinggiran pintu dan mendangakkan kepala. Berharap ada yang menghentikan langkahku ke Jakarta. Ada yang menangis bombay melihatku di ambang pintu ini. Tapi sayang, aku tidak punya selendang seperti Anjali yang tertiup angin hingga mendarat di hidung Raaul. Hiksss, tak ada yang menghentikan kepergianku buahahaha. 
 

Tapi, tunggu! Rasanya kok badanku enteng seketika yak? Tadi kan tanganku pegel-pegel kayak bawa sesuatu gitu?? Emmm, apa ya??

            Tut... tuut... bunyi kereta yang sebentar lagi mau berangkat. 

APA YAAA?? Seperti ada yang tertinggal. Emmm,,, ahhhhh iyaaa!!! Omegiiiii koper gua kan masih ada di pos satpam!!! ASTAGA!!!


           Tut... tut... bunyi kereta lagi. 

Rahul, please ambilkan koper Anjali yang tertinggal di pos satpam, ucap batinku penuh kesedihan.

           
*Bersambung

Baca PART 2 (DI SINI) 

1 comment:

Silahkan, semuanya dapat berkomentar. Namun, jadilah komentator yang cerdik dan beretika ya :)