#PART
I.
19.11.2015
Beda seperti kenangan yang merupakan
hal paling kubenci, pertemuan adalah sesuatu yang paling mengerikan bagiku.
Kita seperti dipaksa untuk berpisah saat bertemu. Memberi titik saat koma
seharusnya masih bisa ditorehkan.
Semalam, aku dan beberapa teman
dekat menghabiskan sepanjang malam hingga dini hari untuk saling mengucapkan
kalimat perpisahan. Dari mulai karoke, hunting foto di Tugu Muda Semarang, dan nongkrong
di caffe. Pukul dua pagi kami memutuskan pulang. Sesampai di kasur
kesayanganku, mata tak kunjung mengatup. Rasa sedih tiba-tiba menyelimuti. Ah,
sebentar lagi aku akan pergi meninggalkan saudara-saudaraku. Tapi, sejujurnya,
yang membuat sedih bukan karena pergi meninggalkan mereka, namun pertemuan kembali
itu sendiri yang masih belum bisa kupastikan kapan. Beda halnya dengan kampung
halaman yang selalu kukunjungi satu tahun sekali saat idul fitri.
Sekarang pukul 7:45 pagi di hari kamis, sementara keretaku berangkat jam 8. Aku yang panik, memasukkan semeraut
barang-barang kecil yang belum sempat di-packing.
Dari kabel-kabel gadget, laptop, bed cover, dua pigura kecil, dll. Semuanya
kutumpuk jadi satu di dalam koper yang sudah berjejal pakaian. Sebelum ini pun
aku sudah mengirimkan 13 kardus, 1 Biola, 1 gitar, dan 1 pigura besar
menggunakan kereta barang menuju Jakarta.
Setelahnya, aku diantar teman satu
kontrakan denganku. Namanya Ak Tony. Laki-laki bermuka preman tapi berhati
selembut Hello kitty. Dia teman paling sholeh yang pernah kumiliki. Kata-kata
yang paling sering diucapkannya adalah Subhanallah. Di tengah perjalanan, kami
salah tujuan. Setelah mengamati gedung-gedung sekitar, oke, aku bisa tahu kalau
kami beda persepsi. Ak Tonny mengira stasiun kebrangkatanku adalah Poncol, tapi
salah. Aku tentu lebih memilih Tawang dengan arsitektur berbau zaman lampau.
Kami memutar arah menuju Tawang. Saat itu hatiku sudah pasrah jika ketinggalan
kereta. Tapi mulut terus merapal doa agar diberi kemudahan.
Sampai di Tawang, hal mengerikan
selanjutnya menantiku. Ternyata tiket kereta belum dicetak. Tuhan, padahal
sekarang jarum jam sudah menunjukkan angka delapan lebih sepuluh, sementara
aku masih harus bersibuk ria dengan mesin cetak yang membuat radang otak.
“Ak lu tunggu ya. Gua mau cetak tiket dulu. Pliss jangan
tinggalin gua. Gua udah gak punya siapa-siapa nih di sini,” ucapkku memulai
drama belas kasihan yang justru membuat temanku ingin muntah.
“Iya iya tak tungguin.”
Saat mencetak tiket kereta, bulu kudukku
tiba-tiba berdiri tegang. Mata nanar melihat layar komputer. Napas tersengal.
Keringat membanjiri kening. Kontan saja mukaku berubah kecut, pasrah, sedih,
dan... entahlah. Tertera kalimat “Kereta sudah pergi. Apakah masih ingin
mencetak tiket?” Omaaaiigooddd!!! Rasanya ingin meraung di lantai ruang tunggu
ini. Dengan langkah tak bersemangat, aku kembali menemui Ak Tony. Tatapannya
jelas sekali penuh tanda tanya, dan hanya kujawab dengan gelengan kecil.
*Inilah tiket kampretos yang tidak berhasil membawaku ke Jakarta dengan sekali percobaan.
“Yaudah Rik, kamu pesen tiket lagi
aja. Aku tungguin lagi deh.”
“Oke, Ak. Lu emang temen gua yang paling
item. Eh, paling baik maksudnya buahahaha.”
Panik. Sedih. Kecewa. Aku pun
memesan tiket keberangkatan paling cepat ke Jakarta. Jam 11:30.
“Oke, Mas. Tiketnya berapa ya?”
“365 ribu, Mas.”
“What? Serius? Astaga dragon. Em,
yaudah deh gapapa Mas.”
Dan, tiket pun dibeli. Kali ini
uangku benar-benar terkuras hanya untuk pindahan ke Jakarta. Kirim barang saja
menembus nominal Rp385.000,- belum tiket hangus dan tiket yang sekarang kubeli.
“Gua udah beli tiket, Ak. Ntar
perginya jam 11:30.”
“Lu mau balik kontrakan dulu atau
nunggu di sini?”
“Gua nunggu di sini ajalah daripada
telat.”
“Yaudah Rik aku balik dulu ya. Sorry
kalau selama kita berteman ada salah kata, ngerepotin kamu, dll deh pokoknya.”
“Gua juga lhoo Ak minta maaf banget.
Gua banyak dosa banget sama lu. Gara-gara gua temenan sama lu, lu-nya jadi
keliatan jelek banget di samping gua.”
“Sialan,”
“Buahhahahahaha.”
Perpisahan selesai. Tidak penuh
dengan kata haru-biru, tapi sudah cukup menggetarkan memori lawas tentangnya di
ingatanku. Aku, Ak Tonny, Titus, dan Rhomi. Teman-teman yang belakangan tinggal
satu atap denganku.
Jam-jam berikutnya pun kuhabiskan
menunggu kereta datang. Memilih tempat duduk pojokan di ruang tunggu. Tak
banyak yang kulakukan. Duduk diam. Bernapas. Kadang mengedip. Kadang tersenyum.
Banyak tertawa. Garuk-garuk kuping. Dan sesekali kentut buahahaha.
Tunggu. Wait. Aggrrrrhhhh tidak. No!
No! Ada yang kurang. Ada yang hilang. Sepi. Senyap. Telingaku tak mendengar
apapun. Apa aku tuli? Hmmm... ahhhh iyaaaa, headset yang sering kugunakan
tertinggal di salah satu teman. Baiklah, dengan sedikit terpaksa dan banyak
iklash-nya, aku beranjak mengangkat pantat untuk mencari headset di counter
hape terdekat. Sebelum pergi memulai pencarian, kutitipkan satu koper dan
ransel di satpam.
“Terimakasih, Pak,” ucapku.
Walaupun Semarang selalu panas,
menurutku. Tapi kali ini aku rela benar berjalan-jalan lama mengelilingi
kawasan kota lama. Hah, sesak sekali rasanya. Terlampau banyak kenagan di kota
ini. Setelah mengelilingi danau Tawang, akhirnya satu biji konter kutemukan
teronggok tak berdaya di pinggir jalan.
“Halo, Pak. Selamat pagi. Saya
Douglas, em... mau cari headset dong, Pak,” ucapku ramah dan menggemaskan.
“Ohh iya, tunggu bentar ya, Mas.”
Si bapak yang kutaksir umurnya sudah
menembus angka tiga puluhan ini pun masuk ke dalam rumah. Selang beberapa menit,
beliau membawa buntelan kresek dan menaruhnya di etalase. Ia pun sibuk
meraba-raba isi kantung.
“Nih, Mas. Dipilih aja,” ucapnya.
Dia mengeluarkan tiga kotak kecil.
“Berapaan nih, Pak?” tanyaku sambil
melihat, mengelus, serta mengendus kotak yang kini di tanganku.
“Oh itu macem-macem, Mas.”
“Yang satu macem ada?”
“Hehehe.” Duh, si bapak malah
ketawa. Padahal aku nanya serius.
“Ada yang 25rb, 27rb, sama 35rb
Mas.”
Penasaran dengan isinya, aku pun
membuka kotak pertama.
“Lho, Pak. Kok? Ini kan carger bukan
headset.”
“Ha? Apa? Oh, gitu. Buka lagi aja
yang lainnya, Mas.”
“Baiklah,”
Dan, isinya pun masih sama. Carger
hape. Aku yang kesal kerena kesalahpahaman ini pun mulai mengambil langkah.
“Pak,” ucapkku tegas ke si Bapak.
“Hah? Oh, iya?”
“S.a.y.a c.a.r.i
h.e.a.d.s.e.t,” ucapku huruf per huruf seperti guru TK mengajarkan
muridnya. Dengan tangan menyentuh telinga dan kepala mangguk-mangguk.
“Ohhhhh headset? Bilang dari tadi
toh, Mas.”
What?
Bilang dari tadi? Lha mbok pikir suaraku koyok letupan ngedene manuk opo? Kok
iso-iso ne rak krungu. Batinku sedikit kesal, tapi wajah masih berhiaskan
senyuman.
Setelah proses perdebatan dan
penyamaan pendengaran, aku pun membeli headset berwarna putih mulus. Sebelum
kembali ke dalam stasiun, aku mengisi perut dengan nasi rames telor. Dan yang
membuatku sedih, nasi telor aja harganya tujuh belas ribu buahahaha. Tidak
masalah. Hitung-hitung beramal. Sedih juga sih. Tapi, ah sudahlah. Tapi, kan...
masa tujuh belas ribu? Adooohh, iklash kok. Tapi—
Kembali di dalam stasiun, aku
mengambil ransel di satpam. Tapi tidak dengan koper yang masih sengaja
kutitipkan. Membuka laptop dan menulis beberapa paragraf tentang semarang pun
menjadi agenda selanjutnya. Ada yang penasaran sama isinya? Baiklah, akan kukasih
tahu. Begini bunyinya;
Alkisah,
datanglah pemuda tampan dengan wajah bercahaya kilat nan elok tak lekang oleh
waktu. Dia datang dari Palembang menuju Semarang. Menempuh pendidikan di salah
satu Universitas. Dengan keringat seksi yang bergelantungan di lehernya,
membuat semua pasang mata menatap napsu padanya. Dia pun tersenyum, berharap
ada tante-tante dengan mobil mewah yang berhenti tepat di depannya dan membawa
ia ke hotel bintang lima.
Ricky : Stop it! Itu ngaco!
Ngarang! Bullshit. Bukan itu yang kutulis! Serius dong Douglas!
Douglas: Heeeii, helooowwww jangan ikut caampur! Tapi, oke deh gapapa.
Baiklah, akan kuungkap semua apa yang ditulis Ricky Douglas tentang Semarang di
artikel selanjutnya ya.
Ricky: Oke ganteng, jangan lama-lama ya bikinnya.
Douglas: Gua janji gak bakal lama kok, Handsome.
-Selesai- Obrolan absurd.
Kereta yang
dicinta pun datang. Aku kembali mengangkat pantat hingga bergoyang seperti
jelly. Sedikit heboh, aku berlari kesana-kemari. Bunyi bising kereta semakin
dekat. Dan, ini dia!!! Angkutan berbadan panjang pun tiba. Dengan gaya bak
seorang Raul yang menatap Anjali di ambang pintu kereta, aku pun berjalan gagah
ke sana. Memegang pinggiran pintu dan mendangakkan kepala. Berharap ada yang
menghentikan langkahku ke Jakarta. Ada yang menangis bombay melihatku di ambang
pintu ini. Tapi sayang, aku tidak punya selendang seperti Anjali yang tertiup
angin hingga mendarat di hidung Raaul. Hiksss, tak ada yang menghentikan
kepergianku buahahaha.
Tapi, tunggu! Rasanya kok badanku enteng
seketika yak? Tadi kan tanganku pegel-pegel kayak bawa sesuatu gitu?? Emmm, apa
ya??
Tut... tuut... bunyi kereta yang
sebentar lagi mau berangkat.
APA YAAA?? Seperti ada yang tertinggal.
Emmm,,, ahhhhh iyaaa!!! Omegiiiii koper gua kan masih ada di pos satpam!!!
ASTAGA!!!
Tut... tut... bunyi kereta lagi.
Rahul, please ambilkan koper
Anjali yang tertinggal di pos satpam, ucap batinku
penuh kesedihan.
*Bersambung
Baca PART 2 (DI SINI)
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete