Wednesday, November 11, 2015

Cerita Tentang Tradisi Tingkat Dunia. Bagian pertama; TRADISI MERPATI PUTIH

BY Ricky Douglas IN No comments


           
 TRADISI MERPATI PUTIH


#PART I

            Apa yang paling kubenci dari sebuah kenangan adalah rasa ingin kembali. Ingin mengulang masa yang begitu menjadi candu. Hari ini, tanggal 9 November 2015, aku terbangun dengan mata masih menerawang tiga hari lalu. Ada yang berbeda pagi ini. Rasa sesak hadir perlahan-lahan. Ya, aku rindu. Aku rindu pertemuan sebab kini kita telah mengalami perpisahan. Aku rindu senyuman sebab kini kita hanya bisa saling membayangkan.

Untuk mengenang kita dan kejadian kita beberapa waktu lalu, aku mencoba mengeja kenangan dalam sebuah tulisan. 


***
Bisa dibilang, aku anggota paling baru di Pencak Silat Merpati Putih KOLAT (Kelompok Latihan) Perhutani, Semarang. Umurku baru menginjak dua bulan. Dengan rasa percaya diri yang berlebihan, aku mendaftarkan diri sebagai peserta tradisi Pencak silat Merpati Putih tingkat dunia di Jogjakarta. 

Malam tanggal 6 November, dengan langkah tertatih aku mengitari kawasan Cinde mencari alamat. Baru kali ini pula aku mengerti betapa nelangsanya Ayu Ting Ting saat mendapatkan alamat palsu. Sialnya, teman satu perguruan denganku memberikan petunjuk jalan yang super duper sulit dicerna otak.

Berbekal keberanian dan wajah tampan layaknya Vino G Bastian, bapak-bapak di pengkolan jalan menjadi sasaranku bertanya jalan. Si Bapak berbicara bahasa Jawa yang sedikit sulit kupahami. Alhasil, dengan menerka-nerka, aku pun sampai di rumah Pak Wito dan hal pertama yang dilakukan adalah selfie! Lihat saja gaya kekinian pelatih pencak silat Semarang di bawah ini! Haha sepertinya beliau berkata di dalam hati “Dua anak cukup, yang penting Istri banyak wkwkw!” Sorry for bad quality photo, guys. Background fotonya merpatih putih yang merupakan lambang dari pencak silat kami.


Satu persatu anggota lain mulai berdatangan. Kami siap menuju Jogja menggunakan mobil, sebelum akhirnya ditunda karena harus masih menunggu satu makhluk halus bernama Zikri. Malam semakin pekat, udara semakin dingin, nyamuk makin bertebrangan mengerumuni tubuh seksiku, tapi yang ditunggu tak kunjung datang. Untuk menghilangkan rasa kesal, akhirnya aku menikmati setiap congkelan jari di lubang hidung. Sedang nikmat-nikmatnya mengupil, suara motor menggema di lorong rumah Pak Wito, dan... tanpa rasa berdoa, Zikri datang bersama muka mesumnya. 

Perjalanan menuju Jogja pun dimulai...

Di mobil yang kutampangi ada Mas Rizal, Mas yang biasa kusebut Choji, Pak Wito, Pak Suroto beserta anaknya, dan Zikri si manusia tukang telat. Sepanjang jalan kami bergurau tanpa henti. Membicarakan banyak hal, berbagi pengalaman kesengsaraan dan kebahagian hidup. Meributkan kenapa aku akhirnya ikut genk mobil. Oke biar aku jelaskan, selain kami, ada anak-anak lain dari KOLAT Perhutani yang menuju Jogja, tapi mereka naik motor. Kata Bayu, kami menobatkan diri sebagai genk Bikers VS Driver -_-


Sampai di kawasan Parangkusumo Jogjakarta jarum jam sudah mendekati angka duabelas malam. Kami, atau lebih tepatnya tetua dan para pelatih, mencari penginapan. Sementara aku, Mas Rizal, dan Zikri sibuk berfoto ria di dalam ruangan yang dipenuhi pigura dan wayang. Dari sudut satu ke sudut lainnya, dari objek satu ke objek lainnya. Yap. Kami justru lebih mirip cacing yang ditaburi garam. Heboh sendiri.  






Kegiatan yang paling digandrung manusia masa kini pun akhirnya harus terhenti karena Pak Wito dan Pak Suroto mengajak kami masuk penginapan. 


Kawasan tradisi ini merupakan perkampungan masyarakat. Banyak jajanan yang ditawarkan. Penginapan pun tak kalah ramai. Hanya saja, kesan sepi dan mistisnya masih terasa. Maklum, desa kecil ini dikelilingi perbukitan yang membuatnya tampak eksklusif. 


Awalnya, kukira penginapan ini diisi semua peserta tradisi yang tentu laki-laki dan perempuan terpisah. Tapi, pradugaku salah. Hanya ada rombongan kami yang mengisinya.  Setelah sibuk mengatur kamar dan barang bawaan, kami melangkahkan kaki ke area tradisi. Dari mulai lapangan upacara, tempat perwayangan, alun-alun yang di kelilingi kuburan dan pohon-pohon besar. Katanya, kuburan di sana dijadikan tempat pensucian diri atau meminta hal yang aneh-aneh. Intinya, aura tercipta sedikit mencekam. Bau kemenyan di mana- mana, para penduduk melakukan ritual dengan bacaan dan asap yang mengepul di depan mereka, dan juga ada satu lagi penghias alun-alun di sini, yaitu PSK bertaburan mencari mangsa. Untung saja alun-alun ini bukan tempat tradisi berlangsung, bisa-bisa konsentrasi peserta pecah karena godaan wanita penjajah kenikmatan. Setelah menikmati pemandangan PSK, eh... maksudnya menikmati pemandangan lokasi tradisi, kami menuju Pantai Parangkusumo.


Meditasi di bibir pantai adalah hal selanjutnya yang kami lakukan hingga pukul satu dini hari. Duduk bersila. Menempelkan kedua telapak tangan di paha. Mengatur napas sebaik mungkin. Dan juga berkonsentrasi. Gerakannya mirip Yoga. Inti dari mediatasi ini lebih pada intropeksi diri. Membiarkan deburan ombok, embusan angin, dan juga pekatnya malam menghantarkan pikiran ke titik paling damai hingga mampu mengenali diri sendiri, berbicara pada diri sendiri, dan juga memaafkan diri sendiri. Puas dengan suasana pantai, kami kembali ke penginapan. Sekarang sudah pukul 3 dini hari di hari sabtu 7 November, tapi rombongan bikers tak kunjung tiba. Tak ada kabar dari mereka. Di sms, telepon, miscall, semuanya percuma. Hingga akhirnya aku memutuskan tidur setelah membantu mas Rizal merapikan data peserta tradisi dari Cabang Semarang. 


Sabtu, 07 November 2015
Pukul 06:00 pagi
Parangkusumo, Jogjakarta

Suara ribut dari TOA di lapangan upacara sudah terdengar pagi-pagi sekali. Walaupun mata belum bisa diajak kompromi, tapi niatku tak langsung kandas karenanya. Yap. Sudah kuputskan kalau aku akan melampaui Taijutsu si Rock Lee bahkan Ninjutsu sekaliber Naruto sekalipun. Aku adalah penerus dan penggerak bela diri bangsa, tak ada waktu buat bermalas-malasan! Dan yang membuatku masih heran serta meringis, genk bikers belum juga tiba. Ahhh, kemana mereka? Apa terjadi hal-hal yang diinginkan? Maklum, mereka membawa satu perempuan ikut serta di dalamnya. Yap, si Ammah manusia yang tak bisa naik mobil karena suka mabuk wkwk. Oke, Amah, Bayu, Alex, Reinaldi, dan Evan, semoga genk kalian lekas sampai.


Mandi. Pakai baju. Dandan. Bedakan. Tak lupa memakai Lipstick, aku pun telah siap menjadi pendekar sejati. Kami—aku, Zikri, Mas Rizal, Pak Suroto dan anaknya yang bernama Putro—meninggalkan kandang menuju lapangan tradisi. Setibanya di sana suasana gegap gempita jelas terasa. Suara cekikikan, hentakan kaki, obrolan, bahkan dengkuran pun terdengar. Ramai sekali! Jumlah peserta mencapai seribu orang yang terdiri dari seluruh dunia. Namun untuk tradisi kali ini perguruan dari luar negri hanya ada dari Spanyol, Australia, Malaysia, singapure, itu pun kalau tidak salah mengingat wkwk. 


Kami diambil alih panitia untuk segera membentuk barisan sesuai tingkatan masing-masing. Di perguruan Merpatih Putih ada beberapa tingkatan; dasar satu, dasar dua, baligh satu, baligh dua, kombinasi satu, kombinasi dua, khusu satu, khusus dua, khusus tiga, kesegaran, inti satu, dan inti dua. Dan untuk mencapai semua tingkatannya diperkirakan menempuh masa sepuluh tahun. Karena aku adalah anggota paling baru dan unyu serta menggemaskan *read: alay, harus siap berada di barisan pendekar-pendekar bersabuk putih. Pendekar dasar satu. Sementara Zikri dan Mas Rizal yang bersabuk merah berada di barisan terpisah denganku. 


Dari dulu hingga sekarang. Dari sebelum dan sesudah negara api menyerang. Dari gelap  hingga terbitlah terang. Dari bayi sampai dewasa. Dari tampan menuju tampan abadi. Aku selalu mempunyai satu kalimat yang selalu menjadi pegangan di manapun dan kapanpun.  


Cara paling cerdik untuk menyelamatkanmu dari rasa kesepian adalah bersikap sebaik dan seramah mungkin di tengah lingkungan asing.” 


Berbekal kalimat pendorong, di barisan yang masih asing ini pun akhirnya kuputuskan mencari teman secepat mungkin agar tidak terserang rasa sepi. Percobaan pertama, aku tersenyum sumringah kepada laki-laki di samping, dan dia membalas senyumku!


“Halo, kenalin gua Douglas.”

“Bayu.” Dia ngulurin tangan. 

Selesai dengan orang di samping kiriku, aku menoleh ke kanan dan kembali berkenalan. 

“Douglas.” 

“Gede,” jawab singkat pemuda dari Jakarta ini. 

Jarum-jarum jam makin  bergerak, dan usut punya usut, si laki-laki dari Jakarta ini memiliki perangai sombong. Aku selalu menjadi pihak yang bertanya tanpa ditanya balik. 

“Eh, gimana latihan kolat di sana?”

“Enak.”

“Wah, pasti rame yaaa?"

“Yoi.”

“Ehem,”

“....”

“Apa kabar?” tanyaku.

Dia noleh dengan wajah curiga padaku. “Baik,” jawabnya. 

Entahlah anugerah atau bencana bertemu orang apatis seperti ini, selalu mendapat obrolan satu arah. Komando dari panitia kembali terdengar, kali ini kami ditugaskan menghadap kanan untuk memulai acara pertama yaitu napak tilas. Sedang riuh-riuhnya barisan, si Gede menghilang dari pandangan. Ah, ternyata dia kembali ke teman-temannya yang juga bersabuk merah semua. Aku yang bingung karena tak ada lagi teman pun akhirnya kembali mendekati pemuda pertama yang kuajak berkenalan tadi. 

“Bay!” panggilku girang wkwkwk. 

“Weii, Glas.”

“Ayo Bay bareng aja jalannya.”
 
“Yook, Glas.”

Dan selama perjalanan panjang tanpa alas kaki ini pun akhirnya aku mendapatkan teman yang pas. Orang gokil. Anarkis. Alay. Lucu. Entahlah, bertemu dengan pemuda satu ini rasanya seperti bertemu teman yang lama tak berjumpa. Kami berbagi kisah. Dari mantan-mantan terindah, kehidupan kampus, keluarga, type istri ideal, dll hahaha. Oiya, Bayu yang satu ini bukan Bayu si bikers yang satu perguruan denganku, kebetulan saja nama mereka sama. 


Perjalanan panjang melewati aspal berbatu kasar dan panas hampir tak terasa berkat obrolan hangat. Dan tibalah kami di lokasi perhentian. Sebuah sungai beraliran cukup deras. Di sana, kami semua duduk rapi dan satu persatu menaburkan bunga untuk mendoakan pendahulu-pendahulu kami yang nyawanya terenggut di sana saat ujian kenaikan tingkat. 







Setelah berdoa dan menabur bunga di aliran sungai, kami para pendekar-pendekar muda pun melanjutkan perjalanan mencari kitab suci.  Tujuan selanjutnya ternyata cukup ekstrim. Setelah keluar hutan area sungai, sebuah gunung tinggi bernama gunung botak sudah terpampang jelas minta dijamah. Baru saja mau beranjak di kaki gunung, segerombolan perempuan yang ternyata teman Bayu merengak meminta minum padaku. Hahaha kasian sekali mereka, karena tidak membawa uang alhasil tenggorokan harus menderita sampai akhir. Aku berjanji akan membelikan minum saat nanti di atas gunung bertemu warung kelontong, atau minimarket, atau malah supermarket. Tapi, kenyataannya nihil wkwk. 


Inilah perjalanan paling menantang. Matahari semakin tepat di atas kepala. Dengan kaki telanjang dan aspal berbatu yang panas, kaki serasa dipanggang. Kulitnya melepuh. Hitam. Merah. Berkerut. Bentuknya sudah tak keruan. 



Banyak para peserta yang akhirnya menyerah, pingsan, memanggil ambulan yang sengaja disiapkan panitia, bahkan ada yang mengeluh sepanjang perjalanan lebih baik ingin mati saja haha. Aku dan Bayu, termasuk peserta yang lebih memilih tak mau ambil pusing. Anggap ini sebuah perjalanan yang menyenangkan. Bahkan kami sengaja membuat permainan untuk memacu motivasi mencapai garis akhir perjalanan. Kami lomba lari dari satu bayangan ke bayangan yang lain. Jadi, jalur ini terdapat beberapa bayangan dari pohon di kiri dan kanan jalan  tapi jaraknya cukup jauh. Sekitar dua puluh langka. Berlari kencang dan apabila sudah tak tahan dengan panasnya aspal, kami berteduh di bayangan daun pohon yang hanya secuil. Begitulah seterusnya. Saling menyemangati.


Tunggu. Sepeertinya aku melihat sosok mesum yang kukenal. Dia tengah duduk di gundukan tanah pinggir jurang dengan kepala menengadah ke atas. Semakin dekat, akhirnya aku sangat yakin kalau makhluk itu adalah Zikri. 


“Hahaha, ngapain lu Zik? Tepar?”

“Panas ohh dak  nian sumpah. Dak lagi-lagi aku. Dak sudi. Lemak mati bae nah.”

“Alaaah cemen lu Zik wkwkw.”

Zikri ini berasal dari pulau seberang, sama denganku. Aku dari Palembang, dia dari Jambi. Jadi wajar kalau bahasa kami nyambung dan obrolan kami pun terkesan kekeluargaan. Ya kan, Zik? Haha. 

“Payo Zik jalan lagi.”
 
“Ahhh duluan bae kau,” jawabnya.

“Yok Bay lanjutin!”

Akhirnya gua dan Bayu kembali melanjutkan perjalanan. Stamina semakin terkuras habis. Tak ada cairan masuk sementara cairan keluar terus bertambah. Lariku dan Bayu kian pelan. Kini kami betul-betul mengharapkan adanya warung di atas gunung berpohon dan hutan-hutan kering ini. Cukup jauh menanti sebuah jawaban dan harapan palsu, yang ditunggu pun datang. 

“Woy Bay ada warung!!” Gua melompat bahagia sambil berlari ke sana. 

“Tunggu, Nyet!” 

Seperti yang diduga dan ditebak... warung penuh dengan para peserta!!! Karena tak kunjung dilayani, akhirnya dengan terpaksa kami pun membuka sendiri kulkas kemudian mengambil sebotol air mineral berukuran besar. Teras depan sudah dipenuhi peserta lain, dan gara-gara otakku yang cerdas, aku pun mengajak Bayu ke halaman belakang warung. Satu botol air sudah habis. 

"Eh, Glas coba sini!” panggil Bayu.

“Ada apa Bay?”

“Rendam kaki di sini enak bro!” suruh Bayu. 

Aku hanya geleng-geleng melihat muka bodohnya yang merendam kaki di kolam kecil, sangat kecil, mirip kolam ikan. 

“Eh, Bay...” sedikit terpaksa, aku pun memasukan kaki ke sana. Nyesss, airnya dingin. Maklum, walaupun gunung ini panas yaaa setidaknya ini masih daerah pegunung dengan air dinginnya. 

“Apa?” tanya Bayu.

“Lu yakin nih kolam gak jadi tempat kencing?” tanyaku. 

“Halah gapapa, kencing doang kan bukan berak? Hahahah”

“Tai lu Bay!”

Rasa syukur kuhaturkan bertubi-tubi buat Bayu, karenanya perjalanan selanjutnya semakin terasa... berat!!! Ternyata merendam kaki merupakan sebuah kesalahan karena justru makin panas. 

Jalanan aspal akhirnya usai. Kini kami melewati setapak berbatuan yang justru makin menyakitkan. Tak ada lagi tanjakan. Rintangan selanjutnya adalah jalan turun yang curam. Dan jalanan inilah sebagai tanda akhir perjumpaan aku dan Bayu. Entah karena apa, kami terpisah. 

Aku berjalan dengan sekuat tenaga. Bokong rasanya mau lepas. Keringat membajiri setiap lekuk tubuh. Rambut sudah tak terurus. Jalanan masih jauh, peserta lain sibuk membuat kaki mereka biar aman. Ada yang menjadikan pelepah kelapa, daun, pelepah pisang, dan sabuk sebagai alas kaki. Semua cara ditempuh para peserta untuk dapat bertahan melewati rintangan. Aku pun akhirnya memutuskan memakai botol di perjalanan pulang yang kini kembali beralaskan aspal panas. 


Semua suku ras agama rasanya hampir aku temui di perjalan, ada yang dari Jakarta, Kalimantan, palembang, Lampung, Spayol, dll. Dari sebanyak teman seperjalan yang kujumpai, namun aku masih saja tetap sendirian (jomblo). Perjalanan pulang tak ada teman mengobrol, hanya sorot geli dari warga yang mendengar suara kresek-kresek sepatu botolku hahaha. 

“Woooiiii Mas Douglas!!!” teriak satu suara dari arah depanku. 

“Weeei Mas Rizal!!!”

Pucuk dicinta ulam pun tiba, aku yang merindukan teman mengobrol selama perjalanan pun akhirnya mendaptkan yang diinginkan. Dua motor berhenti tepat di depanku. Mas Rizal, Bayu, dan Reinaldi cengar cengir melihat kondisiku yang nampak seperti orang gila. 

Ahh, mereka pasti mau jemput aku kan? Baik sekali teman-temanku ini, batinku. 

“Nih minum buat lu, Glas. Kita mau jemput Zikri dulu nih. Dia katanya mau mati hahha. Tadi barusan nelpon,” ucap Mas Rizal. 

“Ohh, kirain mau jemput gua. Tapi gapapa sih, gua masih kuat kok. Iya tuh tadi gua ketemu Zikri, dia masih jauh di atas gunung  sono. Kayaknya tuh anak mau mati deh,” ucapku ngasal. 

“Wah masih jauh ya dia?” tanya Bayu.

“Yoooi Bay.”

“Yaudah kami jemput Zikir dulu ya,” ucap Rei Rei Rei naldi.

“Yaudin sono!” 

Mereka pun pergi meninggalkanku dalam rasa hampa tanpa kekasih teman. Belum lama aku berjalan, suara motor mereka kembali terdengar. Dengan mimik bahagia aku menengok ke belakang. Tiba-tiba suana menajdi slow motion, ujung-ujung rambutku bergerak pelan seiring bulu mata dan hidung lentikku. 

“Wooii Dog, gue temenin ya. Sekalian latihan juga.”

“Oh, elu Bay.” Mimik gua datar. Kirain bakalan ada bidadari cantik yang hadir menemani buahahaha. 

Oke, Bayu yang satu ini bukan Bayu yang sebelumnya. Walaupun keduanya sama-sama hitam, tapi Bayu dari KOLAT-ku ini jauh lebih tinggi. Iri juga sih ngeliat badannya yang tinggi. Jadi kalau ngomong sama dia harus mendangakkan kepala. Harap maklum kalau saat ngomong sama si Bayu ini yang ditatap bukan matanya, tapi lobang idungnya. 

Alhasil, perjalanan kali ini ditemani Bayu. Aspal perjalan pulang terasa jauh lebih panas dari sebelumya, yaaa walaupun tidak semenyakitkan saat di gunung yang berbatu. Bahkan panasnya mampu menembus alas botol yang kukenakan. Namun sayang, tak berapa lama, akhirnya aku pun terpisah lagi dari Bayu. Hiks, sepertinya kehidupanku di masa lalu ada masalah dengan manusia bernama Bayu hahaha.  

Tepat pukul 13:30 siang, akhirnya perjalanan ini pun selesai. Aku kembali tiba di kawasan Parangkusumo dan langsung menuju penginapan untuk selanjutnya kembali berkumpul jam tiga sore.

#BERSAMBUNG KE PART II

0 comments:

Post a Comment

Silahkan, semuanya dapat berkomentar. Namun, jadilah komentator yang cerdik dan beretika ya :)