TRADISI MERPATI PUTIH
#PART I
Apa yang paling kubenci dari sebuah
kenangan adalah rasa ingin kembali. Ingin mengulang masa yang begitu menjadi
candu. Hari ini, tanggal 9 November 2015, aku terbangun dengan mata masih
menerawang tiga hari lalu. Ada yang berbeda pagi ini. Rasa sesak hadir
perlahan-lahan. Ya, aku rindu. Aku rindu pertemuan sebab kini kita telah
mengalami perpisahan. Aku rindu senyuman sebab kini kita hanya bisa saling
membayangkan.
Untuk mengenang kita dan kejadian kita beberapa waktu lalu, aku mencoba
mengeja kenangan dalam sebuah tulisan.
***
Bisa dibilang, aku anggota paling baru di Pencak Silat Merpati Putih
KOLAT (Kelompok Latihan) Perhutani, Semarang. Umurku baru menginjak dua bulan.
Dengan rasa percaya diri yang berlebihan, aku mendaftarkan diri sebagai peserta
tradisi Pencak silat Merpati Putih tingkat dunia di Jogjakarta.
Malam tanggal 6 November, dengan langkah tertatih aku mengitari kawasan
Cinde mencari alamat. Baru kali ini pula aku mengerti betapa nelangsanya Ayu
Ting Ting saat mendapatkan alamat palsu. Sialnya, teman satu perguruan denganku
memberikan petunjuk jalan yang super duper sulit dicerna otak.
Berbekal keberanian dan wajah tampan layaknya Vino G Bastian, bapak-bapak
di pengkolan jalan menjadi sasaranku bertanya jalan. Si Bapak berbicara bahasa
Jawa yang sedikit sulit kupahami. Alhasil, dengan menerka-nerka, aku pun sampai
di rumah Pak Wito dan hal pertama yang dilakukan adalah selfie! Lihat saja gaya
kekinian pelatih pencak silat Semarang di bawah ini! Haha sepertinya beliau
berkata di dalam hati “Dua anak cukup, yang penting Istri banyak wkwkw!” Sorry for bad quality photo, guys.
Background fotonya merpatih putih yang merupakan lambang dari pencak silat
kami.
Satu persatu anggota lain mulai berdatangan. Kami siap menuju Jogja
menggunakan mobil, sebelum akhirnya ditunda karena harus masih menunggu satu
makhluk halus bernama Zikri. Malam semakin pekat, udara semakin dingin, nyamuk
makin bertebrangan mengerumuni tubuh seksiku, tapi yang ditunggu tak kunjung
datang. Untuk menghilangkan rasa kesal, akhirnya aku menikmati setiap congkelan
jari di lubang hidung. Sedang nikmat-nikmatnya mengupil, suara motor menggema
di lorong rumah Pak Wito, dan... tanpa rasa berdoa, Zikri datang bersama muka
mesumnya.
Perjalanan menuju Jogja pun dimulai...
Di mobil yang kutampangi ada Mas Rizal, Mas yang biasa kusebut Choji, Pak
Wito, Pak Suroto beserta anaknya, dan Zikri si manusia tukang telat. Sepanjang
jalan kami bergurau tanpa henti. Membicarakan banyak hal, berbagi pengalaman
kesengsaraan dan kebahagian hidup. Meributkan kenapa aku akhirnya ikut genk
mobil. Oke biar aku jelaskan, selain kami, ada anak-anak lain dari KOLAT
Perhutani yang menuju Jogja, tapi mereka naik motor. Kata Bayu, kami menobatkan
diri sebagai genk Bikers VS Driver -_-
Sampai di kawasan Parangkusumo Jogjakarta jarum jam sudah mendekati angka
duabelas malam. Kami, atau lebih tepatnya tetua dan para pelatih, mencari
penginapan. Sementara aku, Mas Rizal, dan Zikri sibuk berfoto ria di dalam
ruangan yang dipenuhi pigura dan wayang. Dari sudut satu ke sudut lainnya, dari
objek satu ke objek lainnya. Yap. Kami justru lebih mirip cacing yang ditaburi
garam. Heboh sendiri.
Kegiatan yang paling digandrung manusia masa kini pun akhirnya harus
terhenti karena Pak Wito dan Pak Suroto mengajak kami masuk penginapan.
Kawasan tradisi ini merupakan perkampungan masyarakat. Banyak jajanan
yang ditawarkan. Penginapan pun tak kalah ramai. Hanya saja, kesan sepi dan
mistisnya masih terasa. Maklum, desa kecil ini dikelilingi perbukitan yang
membuatnya tampak eksklusif.
Awalnya, kukira penginapan ini diisi semua peserta tradisi yang tentu
laki-laki dan perempuan terpisah. Tapi, pradugaku salah. Hanya ada rombongan
kami yang mengisinya. Setelah sibuk
mengatur kamar dan barang bawaan, kami melangkahkan kaki ke area tradisi. Dari
mulai lapangan upacara, tempat perwayangan, alun-alun yang di kelilingi kuburan
dan pohon-pohon besar. Katanya, kuburan di sana dijadikan tempat pensucian diri
atau meminta hal yang aneh-aneh. Intinya, aura tercipta sedikit mencekam. Bau
kemenyan di mana- mana, para penduduk melakukan ritual dengan bacaan dan asap
yang mengepul di depan mereka, dan juga ada satu lagi penghias alun-alun di
sini, yaitu PSK bertaburan mencari mangsa. Untung saja alun-alun ini bukan
tempat tradisi berlangsung, bisa-bisa konsentrasi peserta pecah karena godaan
wanita penjajah kenikmatan. Setelah menikmati pemandangan PSK, eh... maksudnya
menikmati pemandangan lokasi tradisi, kami menuju Pantai Parangkusumo.
Meditasi di bibir pantai adalah hal selanjutnya yang kami lakukan hingga
pukul satu dini hari. Duduk bersila. Menempelkan kedua telapak tangan di paha.
Mengatur napas sebaik mungkin. Dan juga berkonsentrasi. Gerakannya mirip Yoga.
Inti dari mediatasi ini lebih pada intropeksi diri. Membiarkan deburan ombok, embusan
angin, dan juga pekatnya malam menghantarkan pikiran ke titik paling damai
hingga mampu mengenali diri sendiri, berbicara pada diri sendiri, dan juga
memaafkan diri sendiri. Puas dengan suasana pantai, kami kembali ke penginapan.
Sekarang sudah pukul 3 dini hari di hari sabtu 7 November, tapi rombongan
bikers tak kunjung tiba. Tak ada kabar dari mereka. Di sms, telepon, miscall,
semuanya percuma. Hingga akhirnya aku memutuskan tidur setelah membantu mas
Rizal merapikan data peserta tradisi dari Cabang Semarang.
Sabtu, 07 November 2015
Pukul 06:00 pagi
Parangkusumo, Jogjakarta
Suara ribut dari TOA di lapangan upacara sudah terdengar pagi-pagi
sekali. Walaupun mata belum bisa diajak kompromi, tapi niatku tak langsung
kandas karenanya. Yap. Sudah kuputskan kalau aku akan melampaui Taijutsu si
Rock Lee bahkan Ninjutsu sekaliber Naruto sekalipun. Aku adalah penerus dan
penggerak bela diri bangsa, tak ada waktu buat bermalas-malasan! Dan yang
membuatku masih heran serta meringis, genk bikers belum juga tiba. Ahhh, kemana
mereka? Apa terjadi hal-hal yang diinginkan? Maklum, mereka membawa satu
perempuan ikut serta di dalamnya. Yap, si Ammah manusia yang tak bisa naik
mobil karena suka mabuk wkwk. Oke, Amah, Bayu, Alex, Reinaldi, dan Evan, semoga
genk kalian lekas sampai.
Mandi. Pakai baju. Dandan. Bedakan. Tak lupa memakai Lipstick, aku
pun telah siap menjadi pendekar sejati. Kami—aku, Zikri, Mas Rizal, Pak Suroto
dan anaknya yang bernama Putro—meninggalkan kandang menuju lapangan tradisi.
Setibanya di sana suasana gegap gempita jelas terasa. Suara cekikikan, hentakan
kaki, obrolan, bahkan dengkuran pun terdengar. Ramai sekali! Jumlah peserta
mencapai seribu orang yang terdiri dari seluruh dunia. Namun untuk tradisi kali
ini perguruan dari luar negri hanya ada dari Spanyol, Australia, Malaysia,
singapure, itu pun kalau tidak salah mengingat wkwk.
Kami diambil alih panitia untuk segera membentuk barisan sesuai tingkatan
masing-masing. Di perguruan Merpatih Putih ada beberapa tingkatan; dasar satu,
dasar dua, baligh satu, baligh dua, kombinasi satu, kombinasi dua, khusu satu,
khusus dua, khusus tiga, kesegaran, inti satu, dan inti dua. Dan untuk mencapai
semua tingkatannya diperkirakan menempuh masa sepuluh tahun. Karena aku adalah
anggota paling baru dan unyu serta menggemaskan *read: alay, harus siap berada
di barisan pendekar-pendekar bersabuk putih. Pendekar dasar satu. Sementara
Zikri dan Mas Rizal yang bersabuk merah berada di barisan terpisah denganku.
Dari dulu hingga sekarang. Dari sebelum dan sesudah negara api menyerang.
Dari gelap hingga terbitlah terang. Dari
bayi sampai dewasa. Dari tampan menuju tampan abadi. Aku selalu mempunyai satu
kalimat yang selalu menjadi pegangan di manapun dan kapanpun.
“Cara paling cerdik untuk menyelamatkanmu dari rasa kesepian
adalah bersikap sebaik dan seramah mungkin di tengah lingkungan asing.”
Berbekal kalimat pendorong, di barisan yang masih asing ini
pun akhirnya kuputuskan mencari teman secepat mungkin agar tidak terserang rasa
sepi. Percobaan pertama, aku tersenyum sumringah kepada laki-laki di samping, dan
dia membalas senyumku!
“Halo, kenalin gua Douglas.”
“Bayu.” Dia ngulurin tangan.
Selesai dengan orang di samping kiriku, aku menoleh ke kanan
dan kembali berkenalan.
“Douglas.”
“Gede,” jawab singkat pemuda dari Jakarta ini.
Jarum-jarum jam makin
bergerak, dan usut punya usut, si laki-laki dari Jakarta ini memiliki
perangai sombong. Aku selalu menjadi pihak yang bertanya tanpa ditanya balik.
“Eh, gimana latihan kolat di sana?”
“Enak.”
“Wah, pasti rame yaaa?"
“Yoi.”
“Ehem,”
“....”
“Apa kabar?” tanyaku.
Dia noleh dengan wajah curiga padaku. “Baik,” jawabnya.
Entahlah anugerah atau bencana bertemu orang apatis seperti
ini, selalu mendapat obrolan satu arah. Komando dari panitia kembali terdengar,
kali ini kami ditugaskan menghadap kanan untuk memulai acara pertama yaitu
napak tilas. Sedang riuh-riuhnya barisan, si Gede menghilang dari pandangan.
Ah, ternyata dia kembali ke teman-temannya yang juga bersabuk merah semua. Aku
yang bingung karena tak ada lagi teman pun akhirnya kembali mendekati pemuda
pertama yang kuajak berkenalan tadi.
“Bay!” panggilku girang wkwkwk.
“Weii, Glas.”
“Ayo Bay bareng aja jalannya.”
“Yook, Glas.”
Dan selama perjalanan panjang tanpa alas kaki ini pun
akhirnya aku mendapatkan teman yang pas. Orang gokil. Anarkis. Alay. Lucu. Entahlah,
bertemu dengan pemuda satu ini rasanya seperti bertemu teman yang lama tak
berjumpa. Kami berbagi kisah. Dari mantan-mantan terindah, kehidupan kampus,
keluarga, type istri ideal, dll hahaha. Oiya, Bayu yang satu ini bukan Bayu si
bikers yang satu perguruan denganku, kebetulan saja nama mereka sama.
Perjalanan panjang melewati aspal berbatu kasar dan panas
hampir tak terasa berkat obrolan hangat. Dan tibalah kami di lokasi perhentian.
Sebuah sungai beraliran cukup deras. Di sana, kami semua duduk rapi dan satu
persatu menaburkan bunga untuk mendoakan pendahulu-pendahulu kami yang nyawanya
terenggut di sana saat ujian kenaikan tingkat.
Setelah berdoa dan menabur bunga di aliran sungai, kami para
pendekar-pendekar muda pun melanjutkan perjalanan mencari kitab suci. Tujuan selanjutnya ternyata cukup ekstrim.
Setelah keluar hutan area sungai, sebuah gunung tinggi bernama gunung botak
sudah terpampang jelas minta dijamah. Baru saja mau beranjak di kaki gunung,
segerombolan perempuan yang ternyata teman Bayu merengak meminta minum padaku.
Hahaha kasian sekali mereka, karena tidak membawa uang alhasil tenggorokan
harus menderita sampai akhir. Aku berjanji akan membelikan minum saat nanti di
atas gunung bertemu warung kelontong, atau minimarket, atau malah supermarket.
Tapi, kenyataannya nihil wkwk.
Inilah perjalanan paling menantang. Matahari semakin tepat
di atas kepala. Dengan kaki telanjang dan aspal berbatu yang panas, kaki serasa
dipanggang. Kulitnya melepuh. Hitam. Merah. Berkerut. Bentuknya sudah tak
keruan.
Banyak para peserta yang akhirnya menyerah, pingsan, memanggil ambulan
yang sengaja disiapkan panitia, bahkan ada yang mengeluh sepanjang perjalanan lebih
baik ingin mati saja haha. Aku dan Bayu, termasuk peserta yang lebih memilih
tak mau ambil pusing. Anggap ini sebuah perjalanan yang menyenangkan. Bahkan
kami sengaja membuat permainan untuk memacu motivasi mencapai garis akhir
perjalanan. Kami lomba lari dari satu bayangan ke bayangan yang lain. Jadi,
jalur ini terdapat beberapa bayangan dari pohon di kiri dan kanan jalan tapi jaraknya cukup jauh. Sekitar dua puluh
langka. Berlari kencang dan apabila sudah tak tahan dengan panasnya aspal, kami
berteduh di bayangan daun pohon yang hanya secuil. Begitulah seterusnya. Saling
menyemangati.
Tunggu. Sepeertinya aku melihat sosok mesum yang kukenal. Dia tengah
duduk di gundukan tanah pinggir jurang dengan kepala menengadah ke atas.
Semakin dekat, akhirnya aku sangat yakin kalau makhluk itu adalah Zikri.
“Hahaha, ngapain lu Zik? Tepar?”
“Panas ohh dak nian sumpah. Dak
lagi-lagi aku. Dak sudi. Lemak mati bae nah.”
“Alaaah cemen lu Zik wkwkw.”
Zikri ini berasal dari pulau seberang, sama denganku. Aku dari Palembang,
dia dari Jambi. Jadi wajar kalau bahasa kami nyambung dan obrolan kami pun
terkesan kekeluargaan. Ya kan, Zik? Haha.
“Payo Zik jalan lagi.”
“Ahhh duluan bae kau,” jawabnya.
“Yok Bay lanjutin!”
Akhirnya gua dan Bayu kembali melanjutkan perjalanan. Stamina semakin
terkuras habis. Tak ada cairan masuk sementara cairan keluar terus bertambah.
Lariku dan Bayu kian pelan. Kini kami betul-betul mengharapkan adanya warung di
atas gunung berpohon dan hutan-hutan kering ini. Cukup jauh menanti sebuah
jawaban dan harapan palsu, yang ditunggu pun datang.
“Woy Bay ada warung!!” Gua melompat bahagia sambil berlari ke sana.
“Tunggu, Nyet!”
Seperti yang diduga dan ditebak... warung penuh dengan para peserta!!! Karena
tak kunjung dilayani, akhirnya dengan terpaksa kami pun membuka sendiri kulkas kemudian
mengambil sebotol air mineral berukuran besar. Teras depan sudah dipenuhi
peserta lain, dan gara-gara otakku yang cerdas, aku pun mengajak Bayu ke
halaman belakang warung. Satu botol air sudah habis.
"Eh, Glas coba sini!” panggil Bayu.
“Ada apa Bay?”
“Rendam kaki di sini enak bro!” suruh Bayu.
Aku hanya geleng-geleng melihat muka bodohnya yang merendam kaki di kolam
kecil, sangat kecil, mirip kolam ikan.
“Eh, Bay...” sedikit terpaksa, aku pun memasukan kaki ke sana. Nyesss,
airnya dingin. Maklum, walaupun gunung ini panas yaaa setidaknya ini masih
daerah pegunung dengan air dinginnya.
“Apa?” tanya Bayu.
“Lu yakin nih kolam gak jadi tempat kencing?” tanyaku.
“Halah gapapa, kencing doang kan bukan berak? Hahahah”
“Tai lu Bay!”
Rasa syukur kuhaturkan bertubi-tubi buat Bayu, karenanya perjalanan
selanjutnya semakin terasa... berat!!! Ternyata merendam kaki merupakan sebuah
kesalahan karena justru makin panas.
Jalanan aspal akhirnya usai. Kini kami melewati setapak berbatuan yang
justru makin menyakitkan. Tak ada lagi tanjakan. Rintangan selanjutnya adalah
jalan turun yang curam. Dan jalanan inilah sebagai tanda akhir perjumpaan aku
dan Bayu. Entah karena apa, kami terpisah.
Aku berjalan dengan sekuat tenaga. Bokong rasanya mau lepas. Keringat
membajiri setiap lekuk tubuh. Rambut sudah tak terurus. Jalanan masih jauh,
peserta lain sibuk membuat kaki mereka biar aman. Ada yang menjadikan pelepah
kelapa, daun, pelepah pisang, dan sabuk sebagai alas kaki. Semua cara ditempuh
para peserta untuk dapat bertahan melewati rintangan. Aku pun akhirnya
memutuskan memakai botol di perjalanan pulang yang kini kembali beralaskan
aspal panas.
Semua suku ras agama rasanya hampir aku temui di perjalan, ada yang dari
Jakarta, Kalimantan, palembang, Lampung, Spayol, dll. Dari sebanyak teman
seperjalan yang kujumpai, namun aku masih saja tetap sendirian (jomblo).
Perjalanan pulang tak ada teman mengobrol, hanya sorot geli dari warga yang
mendengar suara kresek-kresek sepatu botolku hahaha.
“Woooiiii Mas Douglas!!!” teriak satu suara dari arah depanku.
“Weeei Mas Rizal!!!”
Pucuk dicinta ulam pun tiba, aku yang merindukan teman mengobrol selama
perjalanan pun akhirnya mendaptkan yang diinginkan. Dua motor berhenti tepat di
depanku. Mas Rizal, Bayu, dan Reinaldi cengar cengir melihat kondisiku yang
nampak seperti orang gila.
Ahh, mereka pasti mau jemput aku kan? Baik sekali teman-temanku ini,
batinku.
“Nih minum buat lu, Glas. Kita mau jemput Zikri dulu nih. Dia katanya mau
mati hahha. Tadi barusan nelpon,” ucap Mas Rizal.
“Ohh, kirain mau jemput gua. Tapi gapapa sih, gua masih kuat kok. Iya tuh tadi gua ketemu Zikri, dia masih jauh di atas gunung sono. Kayaknya tuh anak mau
mati deh,” ucapku ngasal.
“Wah masih jauh ya dia?” tanya Bayu.
“Yoooi Bay.”
“Yaudah kami jemput Zikir dulu ya,” ucap Rei Rei Rei naldi.
“Yaudin sono!”
Mereka pun pergi meninggalkanku dalam rasa hampa tanpa kekasih
teman. Belum lama aku berjalan, suara motor mereka kembali terdengar. Dengan
mimik bahagia aku menengok ke belakang. Tiba-tiba suana menajdi slow motion, ujung-ujung
rambutku bergerak pelan seiring bulu mata dan hidung lentikku.
“Wooii Dog, gue temenin ya. Sekalian latihan juga.”
“Oh, elu Bay.” Mimik gua datar. Kirain bakalan ada bidadari cantik yang hadir menemani buahahaha.
Oke, Bayu yang satu ini bukan Bayu yang sebelumnya. Walaupun keduanya
sama-sama hitam, tapi Bayu dari KOLAT-ku ini jauh lebih tinggi. Iri juga sih
ngeliat badannya yang tinggi. Jadi kalau ngomong sama dia harus mendangakkan
kepala. Harap maklum kalau saat ngomong sama si Bayu ini yang ditatap bukan
matanya, tapi lobang idungnya.
Alhasil, perjalanan kali ini ditemani Bayu. Aspal perjalan pulang terasa
jauh lebih panas dari sebelumya, yaaa walaupun tidak semenyakitkan saat di
gunung yang berbatu. Bahkan panasnya mampu menembus alas botol yang kukenakan.
Namun sayang, tak berapa lama, akhirnya aku pun terpisah lagi dari Bayu. Hiks,
sepertinya kehidupanku di masa lalu ada masalah dengan manusia bernama Bayu
hahaha.
Tepat pukul 13:30 siang, akhirnya perjalanan ini pun selesai. Aku kembali
tiba di kawasan Parangkusumo dan langsung menuju penginapan untuk selanjutnya
kembali berkumpul jam tiga sore.
#BERSAMBUNG KE PART II
#BERSAMBUNG KE PART II
0 comments:
Post a Comment
Silahkan, semuanya dapat berkomentar. Namun, jadilah komentator yang cerdik dan beretika ya :)