Aku
tidak tahu pasti, aku yang bergerak maju atau pohon-pohon di seberang jendela
kereta ini yang perlahan berlari meninggalkanku. Awan menggantung terasa menguntit
langkah. Batu kerikil yang meredam bising laju kereta, toh, justru menjadi pemicu bising di
benak. Sekali lagi, aku yang melangkah
pergi atau justru ditinggal pergi?
Belum
genap sepuluh jam berada dalam gerbong-gerbong yang menurutku aneh ini, tapi, hampir separuh kenangan tentangmu
telah ku-ulas balik. Seperti napak tilas,
mungkin? Masih membekas dengan keakuratan yang nyaris sempurna,
ketika menyadari kalau aku hanyalah figuran di hidupmu.
Kita
seperti bianglala yang rusak. Sama-sama
berhenti tanpa bergerak. Bedanya, kau di posisi teratas bianglala itu,
sementara aku tepat di bawahmu. Kau menceritakan keindahan lampu kerlap-kerlip
di depan matamu. Aku menceritakan tentang uap panas dan lumuran oli yang
menjadi penggerak permainan ini.
Kita
sama-sama bercerita, meski aku lebih banyak mendengar. Kita sama-sama tersenyum, meski
aku harus selalu mendangakkan muka untuk sekadar melihatmu.
Kau
seperti kereta, sayang. Sementara aku hanya stasiunnya--ah, tidak. Mungkin
hanya batu kerikil saja. Peredam suara bisingmu.
Lihat,
kan? Ini alasan utamaku untuk tidak pernah memilih kereta api sebagai alat
transportasi, perjalanannya selalu memupuk rasa nanar yang sudah kupendam.
Membangkitkan memori terdahulu.
Kau
tahu? Akan lebih nyaman bagiku untuk cerita panjang lebar kepada orang yang
tidak pernah kukenal sebelumnya. Sama seperti sekarang, sudah hampir
satu jam gadis berkemeja kotak-kotak ini pasrah menjadi tempatku
membuang sembilu karenamu. Aku tidak tahu siapa gadis di sebelahku, kami hanya
sebatas mengenal karena memang duduk bersebelahan di gerbong kereta ini. Toh,
rahasia besarku yang akan kuceritakan
padanya tidak akan mempengaruhi hidupku, atau hidupnya sekali pun. Karena kami
tidak karib.
Kuceritakan
segala keluh kesah tentangmu pada gadis ini, juga pengharapanmu yang tak
sekerdil seperti dulu. Rapuhku tanpa arah. Aku bingung
sebenarnya merapuh untuk apa. Bersedih untuk apa.
Jika kita putus. Berapa lama waktu yang kau butuhkan untuk
mendapat penggantiku?
Pertanyaanku
padamu waktu itu masih membekas. Dalam. Ternyata, ini bukan perihal waktu yang
dulu kuagung-agungkan. Namun, cerita ini berawal dari kerelaanku menggerogoti
dinding-dindingmu yang dipenuhi koreng menjijikkan. Untuk bernapas pun kau
butuh keberanian luar biasa, karena rasa sakit yang mendera.
Aku
membasuh. Membersihkan. Menyirami lukamu yang sudah menjalar kemana-mana hingga
kau katakan semua laki-laki sama saja. Walau terkadang tangan gamangku justru
menyentuh luka itu terlalu dalam, membuatmu kembali merintih kesakitan.
Tak apa
sayang, aku tahu kau sekarang telah tersenyum karena koreng bernanah-mu telah
tuntas, sebagai gantinya, kini aku yang terlihat lusuh. Menyedihkan. Serpihan
koreng itu berserakan di tanganku.
Nampaknya
tugasku memang hanya seperti ini. Tukang bersih-bersih di kereta, setelah sudah
bersih, tentu kereta akan kembali pergi untuk menjemput orang-orang baru. Aku
katakan, aku tidak masalah dengan itu. Sungguh.
"Apa
kau masih mencintainya?" Untuk pertama kali, gadis berkemeja kotak-kotak
ini tersenyum padaku. Yah, iya menanyakan tentang cintaku padamu.
Tunggu,
sebelum aku menjawab itu, keningku sedikit berkerut karena kereta ini sudah
berhenti hampir satu jam di stasium kosambi—perjalananku dari St.Tawang menuju St.Pasar
Senen.
"Keretanya
kenapa berhenti, ya?" tanyaku penasaran sambil melihat sekitar.
"Enggak
tahu," jawab gadis remaja ini denga senyumannya yang... manis!
"Aku
tanya dulu sama petugasnya, ya?" ucapku sekenanya, kemudian berlalu
sebelum akhrinya suara getir gadis itu menghentikan langkahku.
“Udah enggak usah di-check. Cerita aja lagi tentang mantanmu
itu. Aku takut kalo kamu pergi nanti, niatku untuk mendengarkan udah kandas,”
lirihnya tertahan.
Apa
maksudnya?
“Bentar aja, kok, sepeluh menit deh.
Nanti aku balik lagi, oke.” Aku pun meninggalkan gadis itu dengan wajah
sendunya.
Setelah di luar kereta. Kerumunan
manusia menyambutku. Pun terik matahari yang tak kalah meriah siang ini. Mataku
sedikit mencelot ketika melihat bagian depan gerbong sedikit ringsek—aku duduk
di gerbong empat. Dengan rasa penasaran yang kian membuncah, kaki tangkasku
membelah kerumunan manusia itu. Beberapa mayat terhimpit di kolong kereta, Hm,
ini lah akibat ulah tak sabar manusia yang menerobos palang pemberhentian.
Tunggu! Sepertinya aku kenal dengan sobekan kain yang tergeletak di dekat
kolong gerbong ringsek itu. Degup jantung berkejaran dengan keringat yang
menetes tanpa pamit.Langkahku semakin mendekat, betapa terkejutnya aku ketika
mendapati sosok jelita yang terjepit di kolong kereta dengan darah bercucuran.
Yah, gadis itu! Gadis kermeja kotaak-kotak.
Catatan
penulis :
Bosen
nunggu kereta enggak jalan-jalan karena kecelakaan yang menyebabkan 4 orang
meninggal di St. Kosambi—perjalnan dari Tawang ke Pasar Senen. Akhirnya, iseng
buat cerpen ini, walaupun acak kadut banget hasilnya, haha.