Saturday, April 25, 2015

Ada Beberapa Hal di Dunia Ini yang Menarik Perhatianku

BY Ricky Douglas IN 2 comments



          
            “Aku mengamatimu. Mulai belajar tentangmu, bahkan mencoba menjadimu. Memupuk benih rasa dengan pupuk berkualitas tinggi. Memperindah diri hingga merasa pantas bersanding denganmu. Tapi, aku melupakan satu hal yang seharusnya kulakukan dari dulu, berkenalan denganmu”


            “Malam ini kita tidur di satu ranjang. Tidak telanjang, tapi cukup membuat menggelinjang. Kau tersenyum, aku pun tersenyum. Aku menyentuhmu dari atas hingga bawah. Saling menggesekkan badan. Malam ini. Izinkan aku kembali menjadikanmu imajenasi penghantar syahdu. Terimakasih bantal”


            “Jika mereka saja pantas mengejar cinta, kenapa tidak denganku?! Jika mereka saja lantang sekali bersuara tentang cinta, kenapa aku hanya diam?! Jika mereka saja mampu mendengar rayuan-rayuan tentang cinta, kenapa sekitarku selalu hening?! Oh, aku tahu. Mungkin karena aku tidak punya kaki, mulut dan telinga. Terimakasih dunia. Kau ibarat dokter bedah yang mengamputasi satu per satu bagian tubuhku”


            “Sekali bertemu. Kau tertawa padaku. Bicara sepatah. Kau anggap aku pendusta. Diam tak bergerak. Kau anggap aku sampah. Bertingkah sedikit. Kau anggap aku cari muka. Kenapa kau tidak pergi ke Jepang saja lalu membelikanku remote control paling canggih untuk mengontrol bungkusan daging ini?”



-Semarang, 25 April 2015    pukul 4 pagi-                                                   

 Ricky Douglas


Friday, April 10, 2015

Di Batas Entah

BY Ricky Douglas IN 1 comment



Aku tidak tahu pasti, aku yang bergerak maju atau pohon-pohon di seberang jendela kereta ini yang perlahan berlari meninggalkanku. Awan menggantung terasa menguntit langkah. Batu kerikil yang meredam bising laju kereta, toh, justru menjadi pemicu bising di benak.  Sekali lagi, aku yang melangkah pergi atau justru ditinggal pergi?

Belum genap sepuluh jam berada dalam gerbong-gerbong yang menurutku aneh ini, tapi, hampir separuh kenangan tentangmu telah ku-ulas balik. Seperti napak tilas, mungkin? Masih membekas dengan keakuratan yang nyaris sempurna, ketika menyadari kalau aku hanyalah figuran di hidupmu. 

Kita seperti bianglala yang rusak.  Sama-sama berhenti tanpa bergerak. Bedanya, kau di posisi teratas bianglala itu, sementara aku tepat di bawahmu. Kau menceritakan keindahan lampu kerlap-kerlip di depan matamu. Aku menceritakan tentang uap panas dan lumuran oli yang menjadi penggerak permainan ini. 

Kita sama-sama bercerita, meski aku lebih banyak mendengar. Kita sama-sama tersenyum, meski aku harus selalu mendangakkan muka untuk sekadar melihatmu. 

Kau seperti kereta, sayang. Sementara aku hanya stasiunnya--ah, tidak. Mungkin hanya batu kerikil saja. Peredam suara bisingmu.  

Lihat, kan? Ini alasan utamaku untuk tidak pernah memilih kereta api sebagai alat transportasi, perjalanannya selalu memupuk rasa nanar yang sudah kupendam. Membangkitkan memori terdahulu.
 
Kau tahu? Akan lebih nyaman bagiku untuk cerita panjang lebar kepada orang yang tidak pernah kukenal sebelumnya. Sama seperti sekarang, sudah hampir satu jam gadis berkemeja kotak-kotak ini pasrah menjadi tempatku membuang sembilu karenamu. Aku tidak tahu siapa gadis di sebelahku, kami hanya sebatas mengenal karena memang duduk bersebelahan di gerbong kereta ini. Toh, rahasia besarku yang  akan kuceritakan padanya tidak akan mempengaruhi hidupku, atau hidupnya sekali pun. Karena kami tidak karib.

Kuceritakan segala keluh kesah tentangmu pada gadis ini, juga pengharapanmu yang tak sekerdil seperti dulu. Rapuhku tanpa arah. Aku bingung sebenarnya merapuh untuk apa. Bersedih untuk apa. 

Jika kita putus. Berapa lama waktu yang kau butuhkan untuk mendapat penggantiku?

Pertanyaanku padamu waktu itu masih membekas. Dalam. Ternyata, ini bukan perihal waktu yang dulu kuagung-agungkan. Namun, cerita ini berawal dari kerelaanku menggerogoti dinding-dindingmu yang dipenuhi koreng menjijikkan. Untuk bernapas pun kau butuh keberanian luar biasa, karena rasa sakit yang mendera. 

Aku membasuh. Membersihkan. Menyirami lukamu yang sudah menjalar kemana-mana hingga kau katakan semua laki-laki sama saja. Walau terkadang tangan gamangku justru menyentuh luka itu terlalu dalam, membuatmu kembali merintih kesakitan. 

Tak apa sayang, aku tahu kau sekarang telah tersenyum karena koreng bernanah-mu telah tuntas, sebagai gantinya, kini aku yang terlihat lusuh. Menyedihkan. Serpihan koreng itu berserakan di tanganku.  

Nampaknya tugasku memang hanya seperti ini. Tukang bersih-bersih di kereta, setelah sudah bersih, tentu kereta akan kembali pergi untuk menjemput orang-orang baru. Aku katakan, aku tidak masalah dengan itu. Sungguh.
 
"Apa kau masih mencintainya?" Untuk pertama kali, gadis berkemeja kotak-kotak ini tersenyum padaku. Yah, iya menanyakan tentang cintaku padamu. 

Tunggu, sebelum aku menjawab itu, keningku sedikit berkerut karena kereta ini sudah berhenti hampir satu jam di stasium kosambi—perjalananku dari St.Tawang menuju St.Pasar Senen.

"Keretanya kenapa berhenti, ya?" tanyaku penasaran sambil melihat sekitar. 

"Enggak tahu," jawab gadis remaja ini denga senyumannya yang... manis!

"Aku tanya dulu sama petugasnya, ya?" ucapku sekenanya, kemudian berlalu sebelum akhrinya suara getir gadis itu menghentikan langkahku.

            “Udah enggak usah di-check. Cerita aja lagi tentang mantanmu itu. Aku takut kalo kamu pergi nanti, niatku untuk mendengarkan udah kandas,” lirihnya tertahan. 

            Apa maksudnya? 

            “Bentar aja, kok, sepeluh menit deh. Nanti aku balik lagi, oke.” Aku pun meninggalkan gadis itu dengan wajah sendunya.

            Setelah di luar kereta. Kerumunan manusia menyambutku. Pun terik matahari yang tak kalah meriah siang ini. Mataku sedikit mencelot ketika melihat bagian depan gerbong sedikit ringsek—aku duduk di gerbong empat. Dengan rasa penasaran yang kian membuncah, kaki tangkasku membelah kerumunan manusia itu. Beberapa mayat terhimpit di kolong kereta, Hm, ini lah akibat ulah tak sabar manusia yang menerobos palang pemberhentian. Tunggu! Sepertinya aku kenal dengan sobekan kain yang tergeletak di dekat kolong gerbong ringsek itu. Degup jantung berkejaran dengan keringat yang menetes tanpa pamit.Langkahku semakin mendekat, betapa terkejutnya aku ketika mendapati sosok jelita yang terjepit di kolong kereta dengan darah bercucuran. Yah, gadis itu! Gadis kermeja kotaak-kotak.





Catatan penulis :
          Bosen nunggu kereta enggak jalan-jalan karena kecelakaan yang menyebabkan 4 orang meninggal di St. Kosambi—perjalnan dari Tawang ke Pasar Senen. Akhirnya, iseng buat cerpen ini, walaupun acak kadut banget hasilnya, haha.

Wednesday, April 8, 2015

Permataku yang Tidak Benar-Benar Hilang

BY Ricky Douglas No comments


Aku mulai berjalan, walaupun mungkin lebih tepat disebut sebagai menjinjit. Bukan karena tertatih, tapi kau terlalu ringkih menarik tanganku yang terkikis. Mataku sudah sembab, bukan karena menangis, tapi kau terlalu gigih menyiraminya dengan rindu. Oh, benar, aku siap jatuh berapa kali pun jika kau yang berbuat jahanam itu padaku. Sekali lagi kukatakan, kau permataku yang terlalu jauh terdampar di genggaman orang lain. 

Entahlah. Aku lupa tepatnya hari apa itu, seingatku, malam itu bulan tidak bersinar seperti biasanya. Ia memancarkan rona merah sedikit kehitaman di sisi-sisinya—bulan berdarah. Hatiku mengembun, menguap bersama udara-udara malam untuk berpetualang mencari kebenaran dari matamu. Kau tersenyum, aku terperanjat. Kau berlenggang, aku terpaku. Aku sadar kembali terjatuh di saat aku benar-benar ingin berdiri.

Sampai detik ini, jujur, aku bingung akan menorehkan apa pada lembar-lembar yang meleburkan semua rasa janggal ini. Bibirku mengulum senyum saat aroma tubhmu mampu terbawa angin dan masuk menusuk hidung. Tajam. Dalam. 

Kau boleh melihat sedalam-dalamnya hatiku, asal, jangan pergi dengan bibir penuh ludah saat mendapati buruk rupanya. Aku pun begitu, hatimu adalah rahasia langka yang aku yakin tak banyak—atau bahkah tidak ada—laki-laki yang kau persilahkan masuk ruang nyamanmu. 

Kembali merajut langkah dari persimpangan jalan yang mencekam. Berlaga dengan dada membusung, bahu tergerak kekar, mata tajam menerawang. Mencoba mencari letak hatimu yang saat ini aku yakin tengah terkubur dalam kubangan lumpur. 

Sekali lagi kukatakan, kau adalah permataku yang tidak benar-benar hilang.


                                                                      -Semarang, 08 April 2015-
                                                                   Ricky Douglas