Aku
mulai berjalan, walaupun mungkin lebih tepat disebut sebagai menjinjit. Bukan
karena tertatih, tapi kau terlalu ringkih menarik tanganku yang terkikis.
Mataku sudah sembab, bukan karena menangis, tapi kau terlalu gigih menyiraminya
dengan rindu. Oh, benar, aku siap jatuh berapa kali pun jika kau yang berbuat
jahanam itu padaku. Sekali lagi kukatakan, kau permataku yang terlalu jauh
terdampar di genggaman orang lain.
Entahlah.
Aku lupa tepatnya hari apa itu, seingatku, malam itu bulan tidak bersinar seperti
biasanya. Ia memancarkan rona merah sedikit kehitaman di sisi-sisinya—bulan
berdarah. Hatiku mengembun, menguap bersama udara-udara malam untuk
berpetualang mencari kebenaran dari matamu. Kau tersenyum, aku terperanjat. Kau
berlenggang, aku terpaku. Aku sadar kembali terjatuh di saat aku benar-benar
ingin berdiri.
Sampai
detik ini, jujur, aku bingung akan menorehkan apa pada lembar-lembar yang
meleburkan semua rasa janggal ini. Bibirku mengulum senyum saat aroma tubhmu
mampu terbawa angin dan masuk menusuk hidung. Tajam. Dalam.
Kau
boleh melihat sedalam-dalamnya hatiku, asal, jangan pergi dengan bibir penuh
ludah saat mendapati buruk rupanya. Aku pun begitu, hatimu adalah rahasia
langka yang aku yakin tak banyak—atau bahkah tidak ada—laki-laki yang kau
persilahkan masuk ruang nyamanmu.
Kembali
merajut langkah dari persimpangan jalan yang mencekam. Berlaga dengan dada
membusung, bahu tergerak kekar, mata tajam menerawang. Mencoba mencari letak
hatimu yang saat ini aku yakin tengah terkubur dalam kubangan lumpur.
Sekali
lagi kukatakan, kau adalah permataku yang tidak benar-benar hilang.
-Semarang,
08 April 2015-
Ricky
Douglas
0 comments:
Post a Comment
Silahkan, semuanya dapat berkomentar. Namun, jadilah komentator yang cerdik dan beretika ya :)