Bagian Ke-8
Tempat Tinggal Baru
25 November 2015.
Gigiku bergemetak. Jantung berdegub manja-manja enak. Ah-ih-uh-ah-ih-uh,
pandanganku menatap sang Ibu tua di depan. Dengan bibirnya—yang kini baru
kusadari kalau bibir itu sungguh seperti malaikat pembawa kabar baik—ia pun
memberitahu ada kontrakan kosong di samping mushola. Huaaaa...!!! Kusalami sang Ibu tua dengan
gerakan pangeran yang seperti ingin melamar sang Putri Raja. Kemudian, kuseret
langkah ke samping mushola. Berlari dengan gaya yang entah kenapa saat itu
suasana mendadak slow motion.
“Halo,” sapaku pada orang di seberang telepon.
“Iya,” jawabnya.
“Nama saya Ricky Douglas. Anak dari pasangan Rusman A Thalib dan
Syurlina. Saya ingin meyewa kontrakan Ibu, bisa?” ucapku panjang lebar. Was-was
sekali menunggu jawaban si Ibu.
“Oiiyaaa kebetulan masih ada yang kosong. Mas di mana?”
“Ini saya di depan rumah kontrakan Ibu. Dapat no hape Ibu dari papan
pengumuman yang ada di depan rumah kontrakan. Ibu sekarang di mana ya, Bu?”
tanyaku tak sabar.
“Saya di sini mas,” seka si Ibu. Kepalanya tiba-tiba saja nongol dari
balik pagar.
“Lho, Ibu tinggal di sini juga?”
Yaaaah tau gitu tadi gak usah telepon.
Kan sayang pulsanya haha.
Bu Neneng, itulah nama wanita paruh baya berkulit cokelat ini. Senyumnya
hangat sekali. Kalau kalian menonton D Academy Asia, nah Bu Neneng sangat mirip
dengan Kak Rose! Beliau mengajak-ku bertamasya ke kontrakan yang persis ada di
samping rumah. Bergabung dengan rumah utama tapi juga terlihat terpisah. Aggrrh,
sangat sulit mendeskripsikan kontrakan ini. Tempat yang lebih mirip kosan.
Inilah penampakannya;
GAMBAR MENYUSUL
“Bu Neneng,” ucapku mantab. Mataku menatap syahdu matanya. “Apapun yang
terjadi, halangin orang lain untuk menyewa tempat ini. Saya pergi bentar ketemu
orang tua saya di masjid depan ya Bu,”
lanjutku.
Bu Neneng hanya mengangguk dengan pandangan bingung melihat sikapku.
Di persimpangan mushola, kupanggil Yuk Rika yang mencari kontrakan di
pedalaman gang. Setelah memberitahunya kalau ada kontrakan kosong, kami pun menjemput
orang tua dan selanjutnya bersamaan kembali mengunjungi Bu Neneng.
Sekarang keluargaku tengah berbincang hangat dengan keluarga Bu Neneng.
Ia menawarkan kopi Aceh. Kopi yang sangat pahit. Ah, aku tidak menyukai kopi
kecuali dicampur susu. Keputusan telah diambil, kami meresmikan kontrakan Bu
Neneng sebagai tempat tinggal baru. Yaey! Akhirnya! Aku merasa tempat ini sudah
menunggu kedatangan kami. Selanjutnya, proses pemindahan barang!
***
Semua barang di kos lama yuk Rika sudah masuk mobil. Sebelumnya kos ini
terlihat seperti kapal pecah. Semua teman Yuk Rika di kosan ikut serta membantu
proses pengangkatan barang. Hanya ada tiga orang, yaa karena memang cuma ada
tiga kamar di lantai dasar ini. Mereka semua terlihat perkasa. Angkut sana,
angkut sini. Otot menjembul di lengan-lengan mereka. Aku hanya bengong
menyaksikan kejadian langkah ini.
“He, bengong aja! Bantuin dong!” rutuk Yuk Rika.
“Sabar kali. Ini juga gua lagi bantuin kok,” bantahku.
“Bantuin dari Korea ha?!” Ia nyolot.
“Idih, biasanya tuh dari Hongkong bukan Korea!”
“Terserah gue dong,” balas Yuk Rika. “Jangan bengong keleus, sono
bantuin!”
“Eh gua kan bilang ini lagi bantuin kali. Gua bantuin mikir gimana
caranya semua barang ini bisa muat di mobil.”
“Idih alesan! Nih pantat!” ucap Yuk Rika sambil menirukan gayaku.
Aku, Yuk Rika, Ibu, dan Mang Bidit sudah duduk siap di dalam mobil. Semua
muka kami hanya tersesnyum kecut. Senyum paksa. Senyum menderita. Bagaimana
tidak, jika duduk di dalam mobil sangat tak nyaman karena semua barang memenuhi
sudut. Di sisi kananku ada gitar. Di atas pahaku ada TV. Kipas diletakkan di
atas TV. Dan, wajan bergelantungan di kepalaku. Benar-benar miris, kan? Tak ada
lagi celah kosong di dalam mobil ini. Semuanya terisi penuh. Bahkan, unttuk
mengabadikan momen ini pun tak bisa karena saat itu aku tidak dapat bergerak
sedikit pun. Yuk Rika dan Ibu yang ada di kursi belakang pun tak kalah miris. Dari
depan sini, wajah mereka tan nampak karena tertutup pigura besar yang menjadi
benteng antara kami.
Dari Lenteng Agung, mobil yang bermuatan dipaksakan ini pun melaju ke
Kalibata. Jalanan macet. Membuat pantat, leher, dan ketiakku tegang. Kesemutan.
Leher tertekan sisi wajan. Ketiak mengangkang untuk memeluk tv, kipas angin,
gitar, dan biola. Sedangkan pantat... entahlah, saat itu pokoknya terasa
kesemutan sekujur tubuh.
“Susah ya pindahan,” celetuk-ku.
“Iyaa ih,” balas Yuk Rika yang suaranya terdengar samar karena terhalang
kardus-kardus juga pigura.
“Duh!!! Awwww!!!” teriak-ku tiba-tiba.
“Ado apo, Dek?” ucap Ibu antara kaget dan khawatir. Suaranya kental
sekali dengan logat Palembang.
“Aduuuhh Buk. Awwwww Tidaak!!! Arrrrrrggghhhh!!! Tolong!!!” teriak-ku
makin kencang.
“Ada apa sih dek Iki? Alay banget teriaknya,” ucap Yuk Rika tak berwelas
asih.
“Ketek aku gatal nih. Serius!!! Ini serius banget lhoo. Aku benar-benar
serius,” ucapku mantab.
“Yaa terus?” ujar Yuk Rika malas.
“Iyaaa lu mikir dong. Tangan dan jari gua sekarang gak bisa bergerak.
Ketimpa TV, kipas angin, gitar, biola, kardus, dan semua kawan-kawannya.
Tolongin dong!!!’ ucapku merengek-rengek seperti bocah mau nyusu. “Ibu garukin
dong, please. Ini aku gak bisa gerak
lhoo. Duhh gatel banget!!! Awwww!!! Ini kayaknya ada semut deh di keteknya aku.”
“Ih!!! Masa minta garukin Ibuk!!! Ibu juga gak bisa gerak kalee,” balas
Yuk Rika cepat. Padahal bukan jawaban dari dia yang kuharapkan. “Udah, coba lu
gesek-gesekin aja. Mana tau tuh ketek bisa berganti kulit habis digesekin,”
ucap Yuk Rika si makhluk stress.
Aku pun mengikuti saran Yuk Rika. Mencoba mggesek-gesekkan ketek di jok
mobil. Tapi gak bisa, kan posisi ketek aku sekarang lagi menganga, bukan
terhimpit.
“Aggrrrrrrh!!! Gak bisa!!!” teriak-ku makin panik. “Ini gatel banget woii
Yuk, sumpah! Gak pernah ngerasaain ketek digigit semut apa, haa??”
“Gatel nian yo, Dek? Ibu gak
bisa bantuin nih. Gak bisa gerak juga,” ujar Ibu dengan nada sedih. Pasrah.
“Minta tolong Mang Bidit sana!” ucap Yuk Rika.
Ah! Betul! Minta tolong Mang Bidit
aja! Dia kan di sampingku, lagi nyetir mobil sih. Tapi gpp ah.
Dengan tatapan harap dan mengiba,
aku memasung pandangan ke bola mata Mang Bidit. Mimik muka dibuat selucu kucing
yang memelas.
“Riki mau minta tolong Mang Bidit buat garukin ketek Riki?” tanya Mang
Bidit dengan wajah kaget. Aku mengangguk bahagia.
“Gatal banget Mang. Yaaa Allah!!! Astaga dragon!!! Sekarang dua-dua ketek aku gatal semua!!! Aggrrrhh!!!" Aku
meliuk-liuk kan badan. Mencoba menghilangkan rasa gatal.
“Tunggu,” ucap Mang Bidit.
Alhamdulilah ada yang mau garukin
ketek-ku buahahaa, ucap batinku legah.
Mendadak mobil menepi. Berhenti.
“Lho, lho... kok berhenti?” protesku.
Mang Bidit pun keluar mobil. Ia membuka pintu sampingku lalu mengambil
barang-barang di sekitarku.
Great idea! Tv, kardus, gitar,
biola, panci, dan kawan-kawannya sudah diturunkan Mang Bidit. Dan sudah bisa
kalian tebak kan hal apa yang terjadi selanjutnya. Dengan kekuatan Iblis, aku
menggaruk-garuk sangat kencang di kedua ketek-ku. Rasa legahnya luar biasa tak
terbayang dan tak terbayarkan oleh apapun. Hah, terimakasih Ya Allah Engkau
berikan kenikmatan duniawi seperti ini.
“Ayok jalan lagi!” ucapku bahagia.
Setelah kembali memasukkan barang-barang ke mobil, kami pun meneruskan
perjalannan. Sampai di daerah kontrakan, mobil kami parkirkan di samping
mushola. Bapak dan Dek Okta sudah menunggu di depan Mushola. Kami pun
mengangkut barang ke dalam kontrakan sederhana.
Usai menata barang, ya walaupun banyak yang tidak dikeluarkan dari kardus
karena ruangan di sini sempit, tapi aku masih bisa menikmatinya. Lingkungan di
sini bersajah, nikmat. Tidak bising, tapi tidak sepi. Tetangganya tidak
menggangu privasi orang, tapi juga
tidak acuh. Semuanya terasa pas pada tempatnya. Sekarang, kami bisa menikmati
tidur pulas malam ini. Aku, Yuk Rika, Ibu, dan Dek Okta tidur di kamar atas,
sementara Bapak dan Mang Bidit tidur di kamar bawah.
Terimakasih Ya Allah telah memberikan satu tempat bagiku di Jakarta.
Apapun yang terjadi, dekatkanlah padaku orang yang hanya membawa kebaikan.
Menuju hal positif. Aku hanya bisa senyum bahagia saat melihat keluargaku sudah
tidur pulas malam ini. Setelah puas memandangi wajah mereka, aku pun hendak
tidur sebelum akhirnya satu suara mengurungkan niatku. Suara dari gudang di
samping kontrakan. Aku yang penasaran pun turun ke lantai bawah, lalu membuka
pintu.
Deg! Melihat pemandangan di
dekat gudang, perutku tiba-tiba mual. Keringat bercucuran.
“Ini kan?” ucapku tertahan.
*Bersambung