Firasat aneh dari
insial yang hilang
By : Ricky
Douglas
#1
Beberapa di antaranya datang dari
alam, lalu menelusuk relung hati tanpa pernah terjabar menjadi hal pasti yang
mampu disebut logika. Mengaum dalam diam, membuat sekelebat perasaan aneh menjalar
dan mengusik kedamaian. Tembok merah. Seringai seram. Wanita di atas ranjang. Kakek
beruban. Sebuah pantai. Laki-laki setengah telanjang. Dering telepon. Tetes air
mata. Malam hari. Titik bintang. Dan, kami berlima. Perasaan aneh itulah yang
kali ini kuterka sebagai... firasat.
***
Unsur alam pertama yang menyambutku
di loteng ini adalah angin. Berputar-putar aneh di sekitar tengkuk. Suasana
senyap, maklum, sudah lewat tengah malam. Berbekal laptop dalam pelukan, juga
nyali yang tersusun abstrak dalam bungkusan tipis, aku berdiri di tengah
kekosongan malam ini. Suasana tenang tapi menegangkan. Aneh.
“Bukankah tempat seperti inilah yang
selalu dielu-elukan para penulis, Mas? Malam hari. Semilir angin. Bulan setengah
jadi. Atap loteng. Ah, gua yakin pasti lu sering menghasilkan karya di sini?”
Setelah merebahkan badan di loteng kontrakan, kami terlibat obrolan santai yang
menyenangkan.
“Aku suka nongkrong di sini sih.
Biasanya juga selonjoran sambil nulis cerpen hehe.”
Namanya Wawan Esideika. Laki-laki
yang jauh dari kata parlente ini ternyata menyimpan segudang cerita hidup yang
cukup menarik. Mulai dari angkatan hujan yang selalu dijabarkannya dengan mata
menerawang jauh. Pun, beberapa potongan kisah hidupnya yang tak kumengerti
sepenuhnya. Dia, malam ini..., aneh! Suara tawa laki-laki Jawa tulen itu terasa
lebih menggelegar dari biasanya. Mata yang sebelumnya bulat terasa lebih meruncing,
menusuk titik kengerianku.
“Eh, lu siapa sih? Mas Wawan bukan?
Kok muka lu ngeri gitu, sumpah! Aura lu beda banget. Kayak dirasuki setan!” Aku
memukul pelan pundak laki-laki itu. Kalimat serapah muncul dari bibirku karena
leluconnya dengan mimik muka yang dibuat seram itu mampu mengusik kedamaian.
“Apa sih Glass? Masa mukaku serem? Haha.
Eh, hape kamu layarnya nyala tuh! Ada notif mungkin.”
***
Aku percaya bahwa peran manusia itu
seperti lingkaran rantai. Satu sama lain sebenarnya terhubung dengan ikatan kuat.
Hanya saja, ikatan itu sering samar, bahkan ada yang belum sempurna membentuk sebuah
lingkaran. Namaku Rara Aywara. Gadis berperawakan kecil dengan sejuta
imajinasinya. Lama-lamat, duniaku menjadi satu dengan khayalan yang tak kunjung
kumengerti artinya.
Barisan tembok bercat merah mengisi
semua pandanganku malam ini. Jalan setapak di depannya tak lebih dari tiga
meter. Angin melarung terlalu sadis membuat kuduk berdiri. Anehnya, ada
transisi momen yang langsung menghantarkanku ke sebuah ruang waktu berbeda.
Hamparan
gurun tak ada tiik ujung dipandangan mata. Matahari terik membuat kerongkongan
haus belaian air. Saat itu aku berjalan di tengah gurun pasir dengan dua
temanku, Glass dan Lugina WG. Mataku mulai meremang. Aku tersungkur dengan
kepala menghadap samping kanan. Beberapa pasir panas terdampar di pipiku.
Kulihat, Glass dan Lugina pun bernasip sama. Tubuh mereka terlentang di hamparan
gurun dengan dada kembang kempis.
Sekelebat
bayangan hitam menarik tanganku dari kesadaran yang hampir punah. Ia
mencengkran leherku, kuat sekali. Dilemparkannya tubuh mungil ini ke sana-kemari.
Aku sekarat. Ke dua temanku pun bernasib sama. Pandangan mata mereka kosong.
Selanjutnya, transisi moment itu kembali menghantarkan adegan di tempat yang
berbeda.
Dinding
masih bercat merah. Suasana temaram. Di sudut ruangan, ada sosok nenek memakai
baju bernuansa serba putih, dengan rambut gimbal yang mengembang panjang hingga
menyentuh kaki. Nenek berwajah pucat itu tersenyum penuh makna pada dua
laki-laki yang terlelap di atas kasur. Ia tertawa ngeri menggelegar.
***
“Lho,
apa maksud dari pesan Mba Rara, ya?” tanyaku penasaran setelah membaca isi
pesan whatsapp dari temanku itu.
“Iya
tuh. Dia mimpi, kan? Serem banget mimpinya Mba Ara.”
Laki-laki
di sampingku ini mulai mengepulkan asap rokoknya ke udara, membentuk bulatan
kecil yang bertebrangan. Angin sepoi kembali mengerubungi tengkuk-ku. Bulu-bulu
halus di lengan pun bahkan ikut berdiri.
“Mas
Wawan... pasti di sini banyak setan, ya?” tanyaku tiba-tiba dengan tubuh
menggigil.
“Hahaha,
enggak ada apa-apa kok,” pungkasnya.
Dering
ponsel kembali berbuyi secara runtut, menandakan ada beberapa pesan masuk.
Mataku bersitatap dengan Mas Wawan. Baru saja aku mempertanyakan hal mistis,
tiba-tiba ponselku berdering. Ah, seperti di film-film saja!
***
Tubuh
setengah telajangku berjalan gagah menuju kolam berisi manusia-manusia yang
berpenampilan sama denganku, setengah telanjang! Dari atas kolam, aku
menyaksikan pergumulan mereka yang begitu kentara ada nafsu menggebu di sana.
Riak-riak air tercipta akibat hentakan tubuh mereka. Puluhan pakaian dalam
wanita mengapung memenuhi kolam. Perutku mual menyaksikan adegan-adegan itu.
“Sayfullan,
ayo sini ikutan nyebur ke kolam!” teriak slah satu wanita padaku.
Ah,
lupakan tentang kolam maksiat itu! Aku yakin tak akan ada kedamaian yang bisa
kuraup darinya. Bukan kedamaian sesaat dari maksiat yang kuinginkan. Aku ingin
memiliki ketenangan abadi. Kurajut langkah menjauh dari kolam.
Sekarang
aku mirip orang gila. Malam hari dengan bulan sabitnya menemani laki-laki yang
hanya mengenakan boxer ini. Aku
berjalan tak tentu arah. Menembus gulita-gulita bak pencari jejak ulung. Kepala tertunduk. Aku
kesal!
“Kamu
kenapa?”
Suara
berat tapi terasa getir membuatku hampir melonjak saking terkejutnya. Aku mendangak.
Ada sosok kakek-kakek berambut keriting pajang dengan kombinasi uban yang
berdiri di hadapanku sekarang.
“Ehem.
Em, enggak kok, Kek. Saya cuma lagi kesal
aja.”
“Kalau
Kakek boleh tahu, kamu kesal kenapa, Nak?” tanya dia seperti penasaran dengan
kisahku.
Aku
melirik bajunya yang usang, berdebu. “Tadi mau renang, tapi enggak jadi
gara-gara kolam renangnya terlalu ramai, Pak,” rutukku.
“Berenanglah
di Pantai saja.” Ia berjalan pelan, anehnya aku pun mengikuti langkah laki-laki
renta itu.
----------
Suasana
pantai didominasi ketenangan yang tulus dari alam. Tanpa ikut campur tangan
manusia memalsukan kesejukkan malam ini. Aku berdiri mematung menghadap
hamparan air. Tangan merentang lebar-lebar. Sepertinya, kakiku mempunyai
pikiran sendiri untuk berjalan masuk ke dalam air dangkal di bibir pantai itu,
hingga airnya makin tinggi dan hampir membuatku tenggelam. Aku merasa ada
bongkahan kekosongan di dalam jiwaku. Ada sesuatu yang tercuri dari tubuhku.
Tapi, entahlah. Apa itu hanya firasat? Tubuhku makin hanyut terbawa air yang
sudah menggenangi sebatas leher. Namun, melihatku sekarat di dalam air, Kakek
itu justru tertawa menyeramkan. Ia memberikan wejangan yang sulit kumengerti.
***
“Lho, kok? Em, Bang Ipul mimpi aneh
juga ya? Kok bisa bareng gitu mimpinya sama Mba Rara?” tanyaku heran kepada Mas
Wawan yang kuterka ada sinar keterkejutan juga di matanya.
Pandangan mata Mas Wawan kembali
aneh. Tangannya gemetar. Ia menyesap panjang rokok di sela jari, lalu membuang
puntung rokoknya. “Ayo kita turun! Ada yang enggak beres nih,” ajaknya padaku.
Melihat perubahan sikapnya, kontan
saja aku panik. Kuterkam sisi kaos yang dikenakannya, berharap laki-laki itu
menungguku yang sedikit tak siap akan ajakannya. Dengan tergesa, kami menuruni
anak tangga, namun, suara geraman yang sangat kuat terdengar menghantar
kepergian kami dari atap loteng. Suara itu seperti sengaja mengusir kami.
Pungguku bersandar pada tembok
bercat merah di kamar Mas Wawan. Aku menatap jalanan yang tak lebih tiga meter
dari celah jendela. Kami hening. Mencoba menenangkan pikiran masing-masing. Serangkaian
kejadian mulai kami terka maksud yang ingin disampaikan alam. Mulai dari cerita
Mba Rara yang baru saja mengalami mimpi buurk, disusul Bang Ipul yang mengalami
hal sama. Mimpi mereka seperti mempunyai benang merah yang saling terhubung
satu sama lain. Nenek berambut panjang. Kakek berambut gimbal. Padang pasir
yang terik. Sebuah pantai yang damai. Semilir angin. Terik mentari. Belum sempat kami mengatur napas, tiba-tiba suara
ponsel kembali berdering. Namun, kali ini giliran ponsel Mas Wawan yang
berbunyi. Mata kami saling beradu.
Catatan Penulis :
Cerita di atas sepenuhnya merupakan
kisah nyata yang dialami Penulis (Ricky Douglas), Wawan Esideika, Rara Aywara,
Sayffulan, Furqonie Akbar. Firasat lewat mimpi dan serangkaian
kejadian-kejadian aneh ini dialami kemarin malam (11 Mei 2015). Cerita ini
belum usai, karena masih banyak serangkain firasat yang entah kenapa
mempersatukan kami dalam suatu lingkaran aneh yang absurd.
Tentang Penulis
Ricky
Douglas. Bisa dipanggil Douglas atau dipersingkat lagi menjadi Dog. Berkat nama
inilah membuat orang lain sering terbahak ketika melafalkannya. Lahir pada
tanggal 14 Juli 1994. Hoby berimajinasi tentang segala hal, termasuk kematian.
Kalian bisa membaca beberapa jejak hidup saya di blog :
rickydouglass.blogspot.com atau Twitter : @Ricky Douglas. Salam budaya!
Karena terkadang, firasat itu sebuah peringatan. Berhati-hatilah aku, kamu, kita...mereka memantau dari sana!
ReplyDeleteSalm hangat,
Sayfullan
Makasih Bang Ipul sudah singgah di sini.
DeleteFirasat itu memang masih ambigu konsepnya. Kadang dianggap benar, atau malah ditertawakan orang yang mendengarnya. Mungkin, serangkainya kejadian itu memang firasat dari sana!
based on your profile, aku juga suka berimajinasi, ketika bepergian dengan pesawat ingin rasanya terjadi suatu musibah dimana nantinya akulah orang yang satu-satunya atau mungkin salah dua orang yang selamat. yes maybe i'm a weirdo.
ReplyDelete