Tuesday, May 12, 2015

RSWGF; Firasat aneh dari insial yang hilang

BY Ricky Douglas IN 3 comments




Firasat aneh dari insial yang hilang
By : Ricky Douglas

#1

            Beberapa di antaranya datang dari alam, lalu menelusuk relung hati tanpa pernah terjabar menjadi hal pasti yang mampu disebut logika. Mengaum dalam diam, membuat sekelebat perasaan aneh menjalar dan mengusik kedamaian. Tembok merah. Seringai seram. Wanita di atas ranjang. Kakek beruban. Sebuah pantai. Laki-laki setengah telanjang. Dering telepon. Tetes air mata. Malam hari. Titik bintang. Dan, kami berlima. Perasaan aneh itulah yang kali ini kuterka sebagai... firasat.

***
            Unsur alam pertama yang menyambutku di loteng ini adalah angin. Berputar-putar aneh di sekitar tengkuk. Suasana senyap, maklum, sudah lewat tengah malam. Berbekal laptop dalam pelukan, juga nyali yang tersusun abstrak dalam bungkusan tipis, aku berdiri di tengah kekosongan malam ini. Suasana tenang tapi menegangkan. Aneh.

            “Bukankah tempat seperti inilah yang selalu dielu-elukan para penulis, Mas? Malam hari. Semilir angin. Bulan setengah jadi. Atap loteng. Ah, gua yakin pasti lu sering menghasilkan karya di sini?” Setelah merebahkan badan di loteng kontrakan, kami terlibat obrolan santai yang menyenangkan.

            “Aku suka nongkrong di sini sih. Biasanya juga selonjoran sambil nulis cerpen hehe.”

            Namanya Wawan Esideika. Laki-laki yang jauh dari kata parlente ini ternyata menyimpan segudang cerita hidup yang cukup menarik. Mulai dari angkatan hujan yang selalu dijabarkannya dengan mata menerawang jauh. Pun, beberapa potongan kisah hidupnya yang tak kumengerti sepenuhnya. Dia, malam ini..., aneh! Suara tawa laki-laki Jawa tulen itu terasa lebih menggelegar dari biasanya. Mata yang sebelumnya bulat terasa lebih meruncing, menusuk titik kengerianku.

            “Eh, lu siapa sih? Mas Wawan bukan? Kok muka lu ngeri gitu, sumpah! Aura lu beda banget. Kayak dirasuki setan!” Aku memukul pelan pundak laki-laki itu. Kalimat serapah muncul dari bibirku karena leluconnya dengan mimik muka yang dibuat seram itu mampu mengusik kedamaian.

            “Apa sih Glass? Masa mukaku serem? Haha. Eh, hape kamu layarnya nyala tuh! Ada notif mungkin.”

***
            Aku percaya bahwa peran manusia itu seperti lingkaran rantai. Satu sama lain sebenarnya terhubung dengan ikatan kuat. Hanya saja, ikatan itu sering samar, bahkan ada yang belum sempurna membentuk sebuah lingkaran. Namaku Rara Aywara. Gadis berperawakan kecil dengan sejuta imajinasinya. Lama-lamat, duniaku menjadi satu dengan khayalan yang tak kunjung kumengerti artinya.

            Barisan tembok bercat merah mengisi semua pandanganku malam ini. Jalan setapak di depannya tak lebih dari tiga meter. Angin melarung terlalu sadis membuat kuduk berdiri. Anehnya, ada transisi momen yang langsung menghantarkanku ke sebuah ruang waktu berbeda. 

Hamparan gurun tak ada tiik ujung dipandangan mata. Matahari terik membuat kerongkongan haus belaian air. Saat itu aku berjalan di tengah gurun pasir dengan dua temanku, Glass dan Lugina WG. Mataku mulai meremang. Aku tersungkur dengan kepala menghadap samping kanan. Beberapa pasir panas terdampar di pipiku. Kulihat, Glass dan Lugina pun bernasip sama. Tubuh mereka terlentang di hamparan gurun dengan dada kembang kempis.

Sekelebat bayangan hitam menarik tanganku dari kesadaran yang hampir punah. Ia mencengkran leherku, kuat sekali. Dilemparkannya tubuh mungil ini ke sana-kemari. Aku sekarat. Ke dua temanku pun bernasib sama. Pandangan mata mereka kosong. Selanjutnya, transisi moment itu kembali menghantarkan adegan di tempat yang berbeda. 

Dinding masih bercat merah. Suasana temaram. Di sudut ruangan, ada sosok nenek memakai baju bernuansa serba putih, dengan rambut gimbal yang mengembang panjang hingga menyentuh kaki. Nenek berwajah pucat itu tersenyum penuh makna pada dua laki-laki yang terlelap di atas kasur. Ia tertawa ngeri menggelegar.

***
“Lho, apa maksud dari pesan Mba Rara, ya?” tanyaku penasaran setelah membaca isi pesan whatsapp dari temanku itu.

“Iya tuh. Dia mimpi, kan? Serem banget mimpinya Mba Ara.” 

Laki-laki di sampingku ini mulai mengepulkan asap rokoknya ke udara, membentuk bulatan kecil yang bertebrangan. Angin sepoi kembali mengerubungi tengkuk-ku. Bulu-bulu halus di lengan pun bahkan ikut berdiri.

“Mas Wawan... pasti di sini banyak setan, ya?” tanyaku tiba-tiba dengan tubuh menggigil.

“Hahaha, enggak ada apa-apa kok,” pungkasnya.

Dering ponsel kembali berbuyi secara runtut, menandakan ada beberapa pesan masuk. Mataku bersitatap dengan Mas Wawan. Baru saja aku mempertanyakan hal mistis, tiba-tiba ponselku berdering. Ah, seperti di film-film saja!

***
Tubuh setengah telajangku berjalan gagah menuju kolam berisi manusia-manusia yang berpenampilan sama denganku, setengah telanjang! Dari atas kolam, aku menyaksikan pergumulan mereka yang begitu kentara ada nafsu menggebu di sana. Riak-riak air tercipta akibat hentakan tubuh mereka. Puluhan pakaian dalam wanita mengapung memenuhi kolam. Perutku mual menyaksikan adegan-adegan itu.

“Sayfullan, ayo sini ikutan nyebur ke kolam!” teriak slah satu wanita padaku.

Ah, lupakan tentang kolam maksiat itu! Aku yakin tak akan ada kedamaian yang bisa kuraup darinya. Bukan kedamaian sesaat dari maksiat yang kuinginkan. Aku ingin memiliki ketenangan abadi. Kurajut langkah menjauh dari kolam.

Sekarang aku mirip orang gila. Malam hari dengan bulan sabitnya menemani laki-laki yang hanya mengenakan boxer ini. Aku berjalan tak tentu arah. Menembus gulita-gulita bak  pencari jejak ulung. Kepala tertunduk. Aku kesal!

“Kamu kenapa?”

Suara berat tapi terasa getir membuatku hampir melonjak saking terkejutnya. Aku mendangak. Ada sosok kakek-kakek berambut keriting pajang dengan kombinasi uban yang berdiri di hadapanku sekarang.

“Ehem. Em, enggak kok, Kek.  Saya cuma lagi kesal aja.”

“Kalau Kakek boleh tahu, kamu kesal kenapa, Nak?” tanya dia seperti penasaran dengan kisahku. 

Aku melirik bajunya yang usang, berdebu. “Tadi mau renang, tapi enggak jadi gara-gara kolam renangnya terlalu ramai, Pak,” rutukku.

“Berenanglah di Pantai saja.” Ia berjalan pelan, anehnya aku pun mengikuti langkah laki-laki renta itu.

----------
Suasana pantai didominasi ketenangan yang tulus dari alam. Tanpa ikut campur tangan manusia memalsukan kesejukkan malam ini. Aku berdiri mematung menghadap hamparan air. Tangan merentang lebar-lebar. Sepertinya, kakiku mempunyai pikiran sendiri untuk berjalan masuk ke dalam air dangkal di bibir pantai itu, hingga airnya makin tinggi dan hampir membuatku tenggelam. Aku merasa ada bongkahan kekosongan di dalam jiwaku. Ada sesuatu yang tercuri dari tubuhku. Tapi, entahlah. Apa itu hanya firasat? Tubuhku makin hanyut terbawa air yang sudah menggenangi sebatas leher. Namun, melihatku sekarat di dalam air, Kakek itu justru tertawa menyeramkan. Ia memberikan wejangan yang sulit kumengerti. 

***
            “Lho, kok? Em, Bang Ipul mimpi aneh juga ya? Kok bisa bareng gitu mimpinya sama Mba Rara?” tanyaku heran kepada Mas Wawan yang kuterka ada sinar keterkejutan juga di matanya.

            Pandangan mata Mas Wawan kembali aneh. Tangannya gemetar. Ia menyesap panjang rokok di sela jari, lalu membuang puntung rokoknya. “Ayo kita turun! Ada yang enggak beres nih,” ajaknya padaku.

            Melihat perubahan sikapnya, kontan saja aku panik. Kuterkam sisi kaos yang dikenakannya, berharap laki-laki itu menungguku yang sedikit tak siap akan ajakannya. Dengan tergesa, kami menuruni anak tangga, namun, suara geraman yang sangat kuat terdengar menghantar kepergian kami dari atap loteng. Suara itu seperti sengaja mengusir kami.

            Pungguku bersandar pada tembok bercat merah di kamar Mas Wawan. Aku menatap jalanan yang tak lebih tiga meter dari celah jendela. Kami hening. Mencoba menenangkan pikiran masing-masing. Serangkaian kejadian mulai kami terka maksud yang ingin disampaikan alam. Mulai dari cerita Mba Rara yang baru saja mengalami mimpi buurk, disusul Bang Ipul yang mengalami hal sama. Mimpi mereka seperti mempunyai benang merah yang saling terhubung satu sama lain. Nenek berambut panjang. Kakek berambut gimbal. Padang pasir yang terik. Sebuah pantai yang damai. Semilir angin. Terik mentari.  Belum sempat kami mengatur napas, tiba-tiba suara ponsel kembali berdering. Namun, kali ini giliran ponsel Mas Wawan yang berbunyi. Mata kami saling beradu.



Catatan Penulis :
            Cerita di atas sepenuhnya merupakan kisah nyata yang dialami Penulis (Ricky Douglas), Wawan Esideika, Rara Aywara, Sayffulan, Furqonie Akbar. Firasat lewat mimpi dan serangkaian kejadian-kejadian aneh ini dialami kemarin malam (11 Mei 2015). Cerita ini belum usai, karena masih banyak serangkain firasat yang entah kenapa mempersatukan kami dalam suatu lingkaran aneh yang absurd.




Tentang Penulis

            Ricky Douglas. Bisa dipanggil Douglas atau dipersingkat lagi menjadi Dog. Berkat nama inilah membuat orang lain sering terbahak ketika melafalkannya. Lahir pada tanggal 14 Juli 1994. Hoby berimajinasi tentang segala hal, termasuk kematian. Kalian bisa membaca beberapa jejak hidup saya di blog : rickydouglass.blogspot.com atau Twitter : @Ricky Douglas.  Salam budaya!


3 comments:

  1. Karena terkadang, firasat itu sebuah peringatan. Berhati-hatilah aku, kamu, kita...mereka memantau dari sana!

    Salm hangat,
    Sayfullan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih Bang Ipul sudah singgah di sini.

      Firasat itu memang masih ambigu konsepnya. Kadang dianggap benar, atau malah ditertawakan orang yang mendengarnya. Mungkin, serangkainya kejadian itu memang firasat dari sana!

      Delete
  2. based on your profile, aku juga suka berimajinasi, ketika bepergian dengan pesawat ingin rasanya terjadi suatu musibah dimana nantinya akulah orang yang satu-satunya atau mungkin salah dua orang yang selamat. yes maybe i'm a weirdo.

    ReplyDelete

Silahkan, semuanya dapat berkomentar. Namun, jadilah komentator yang cerdik dan beretika ya :)