Ruang
Lukis, 15 Juni 2014
“Aku punya cara sendiri
untuk merefleksikan kematian orang lain.”
Kalimat sederhana yang
nyaris tanpa ekspresi dari laki-laki lancang di hadapanku ini, mampu menarik
bola mataku jalang menatapnya.
“Merefleksikan kematian?
Lukisan bukan refleksi dari kematian! Tapi, justru kehidupan! Douglas, kau telah
salah mengartikan seni lukis!”
“Oke, anggap saja aku
menyuruhmu membuat lukisan kehidupan buat kekasihku itu, tapi, toh, setelah dia
siuman pasti bakalan mati juga.”
Aku mampu bertaruh,
jika saja sekarang sedang tak berada di ruang lukisku, akan kubungkam mulut
pemuda tanggung ini dengan bogem mentah. Lihat gaya parlentenya itu! Cuih, baru
mahasiswa berumur pendek saja sudah lagak politisi yang suka berseliweran di
TV. Rasanya, aku tak secongak dia ketika masih berstatus mahasiswa.
“Jika kau tak bisa berlaku
sopan, silahkan hengkang dari ruang kerjaku! Ah, dari rumahku sekalian!”
Satu tatapan tajam
kubidik tepat di matanya yang sipit. Cukup berhasil juga mengusir nyali tak
sopan si laki-laki parlente itu. Hah, dia berbalik punggung membelakangiku,
berjalan pelan menuju pintu keluar. Ya, keluar sana kau!
“Tunggu!” Dia
berbalik. “Aku bisa memberikan sesuatu
yang selama ini selalu kau ingin-inginkan.” Satu sudut bibirnya terangkat. Rupa-rupanya
dia sedang mau tawar-menawar padaku.
“Jangan pasang muka
licik! Aku tidak mau menerima tawaran apa pun darimu!” Kali ini aku bangkit
dari kursi nyaman. Mencoba melupakan kanvas yang setengah jadi bergambar wajah
kerbau bertanduk. Mirip sekali siluman.
“Yakin tidak mau
menerima tawaranku?” Ia mendekat. Menyelipkan kepala di dekat batang leherku. Lalu,
berbisik.
Mataku membulat
sempurna mendengarkan tawaran dari pemuda ini. Tenggorokan terasa gatal. Panas
hingga tersedak!
“Kau... tahu dia? Atau
jangan-jangan—
“Lupakan! Aku pergi
saja kalau kau tidak mau menerima tawaranku.” Ia menderapkan langkah. Membuat
sepatu semi boat-nya yang bersentuhan dengan ubin menimbulkan suara yang terasa
nyaring sampai-sampai jantungku ikut berdegup kencang. Yah, aku... gugup!
“Aku terima,” ucapku
singkat.
Seulas senyum
menyebalkan tercetak di bibirnya. Ah, bukan senyum, tapi seringai!
***
Kamar
tidur, 15 Juni 2014
Hal yang paling menarik
bagiku adalah kegelapan. Benar-benar hitam tak bersekat. Tanpa celah. Tak ada
warna lain yang mengisinya. Aku sudah pernah bilang sama kamu kan kalau gelap
itu bagiku segalanya. Tititk di mana aku merasa terlahir. Ada satu hal lagi yang
sebenarnya mampu menyita pikiranku, juga waktuku. Aku menyukai sudut kamar.
Baunya. Suasananya. Juga kedamaiannya. Orang sepertimu pasti tidak akan
mengerti arti kata kedamaian. Yang terlihat di matamu hanya gadis berambut
sebahu mirip orang gila. Gadis dengan sudut kamarnya yang berbau mistis. Gadis
dengan tumpukan buku di mana-mana.
Boneka
ke-sepuluh. Perempuan berambut panjang di rumah sakit.
Malam bagiku sudah tak
normal. Seperti ibu-ibu hamil yang ketubannya pecah. Gelap yang tak mampu
meredam cahaya kerlap-kerlip lampu. Malam tak lagi senyap. Sebab, cahaya
terlalu serakah mengisi pagi dan malam hari. Kamu juga serakah! Selalu menyita
jariku berulang kali hingga berdarah. Aku menamainya Ten. Boneka dari karung goni yang terlihat menyebalkan. Malam ini,
akan kuselesaikan menjahit seluruh tubuhnya hingga berbentuk sempurna.
Suara mesin jahit
mengisi ruang kamarku yang keseluruhannya hanya berisi rak-rak dengan tumpukan
buku tebal. Lampu kamar mati. Hanya ada cahaya kecil dari lilin yang sengaja
kuhidupkan di samping mesin jahit. Jarum naik-turun. Menutupi lapisan dasar
karung goni yang membentuk boneka kecil dengan kepala tanpa wajah.
Selesai!
Tunggu saja, Kak Lilo. Aku, Arintha Aghia Warashi, akan memberikan boneka ini
buat objek baru lukisanmu.
***
Rumah
sakit, 17 Juni 2014
Mukanya pucat. Kulit
bibir mengelupas. Alis lentik sekali menghiasi kelopaknya yang terlihat sudah
tak bernyawa bagiku. Rambutnya hitam dan lurus, tergerai. Emm... sepertinya dia
sering merawat diri. Tapi, coba lihat perempuan muda ini sekarang? Ah, apa yang
harus kugambar dengan wajahnya yang terasa memilukan seperti itu?! Nampaknya kematian
benar-benar sedang menunggunya di ranjang pembaringan rumah sakit. Cukup! Aku
telah merekam wajahnya, sekarang hanya tinggal mengikuti kemauan si Douglas,
laki-laki yang kemarin malam memintaku melukis kekasihnya ini.
Kau
akan selamat, Nona. Lukisanku akan memberikan kehidupan bagimu. Percayalah!
Puas memandangi gadis
di hadapanku ini, mataku berbelot menelusuri kanvas putih yang bertengger di easel[1]
terbuat dari kayu pinus. Ah, suara-suara di ruangan VIP ini tiba-tiba saja
semakin mengeras. Berkeliling di dalam otak. Detik jarum jam. Monitor tanda
vital di nakas. Suara desahan napas yang tertupi nassal penghubung tabung gas
oksigen ke hidungnya. Semua berputar-putar, membuat punggungku menegang. Aku
memicingkan mata. Menyelimuti bola mata dengan kelopaknya. Membiarkan
desiran-desiran aneh berseliweran merajam kesadaran. Kuas masih menggantung di
udara, lalu dengan gerakan kecil, aku menyentuhkan pucuk bulu kuas pada warna
di atas pelet rata. Kemudian, jemariku menari-nari di atas kanvas yang kini tak
lagi bersih.
Aku
ingin segera menyelesaikan lukisanmu!
***
Rumah
sakit, 20 Juni 2014
Sudah tiga hari aku
selalu mengunjungi rumah sakit. Tak lain, alasannya hanya satu. Berkunjung ke
kamar VIP menemui gadis sebagai objek lukisanku. Dengarkan! Aku hanya akan
menguapkannya sekali saja. Ada rasa lain yang hadir saat secara terus menerus
mataku selalu melihat wajahnya. Bibir tipis tak berwarnanya—yang aku yakin
sebelum ia terbujur seperti sekarang pasti terlihat merah dan ranum. Wah,
bayangkan saja jika bibir lembutnya mampu kujadikan santapan setiap hari. Pasti
menyenangkan! Atau... aku bisa melakukannya tak usah menunggu bibir itu merah
kembali?!
Baru
melukis wajahmu saja membuatku menggelinjang, Nona. Belum lagi melukis bagian
yang lebih bawah. Persetan dengan janjiku pada pacarmu! Dia tidak pantas
buatmu!
Aku berdiri. Menatap
syahdu gadis di depanku. Sejenak melupakan kanvas, pelet, easel, kuas, dan
alat-alat lukis lainnya.
Ayolah,
Lilo! Gadis ini jauh lebih menarik daripada kau gunakan sekadar objek lukismu.
Lihat! Kau bisa melakukan apapun padanya. Tak ada satu orang pun di sini selain
kalian berdua. Lepaskan Lilo, lepaskan!
***
Rumah
sakit, 20 Juni 2014
Bosan. Sedari tadi,
hanya bibirku yang sibuk berucap membaca buku. Namun, justru otak terbang tak
keruan memikirkan Kak Lilo. Kamu tahu, sedikit menjadi beban punya seorang
Kakak kandung pecandu seni. Ia selalu punya dunia sendiri. Tak mau sekalipun
mengajakku ke dunianya. Hey, padahal, jika keahliaku merajut boneka disatukan
dengan seni lukisnya, mungkin akan menjadi sesuatu yang... unik?
Langkahku mematung di
pertigaan lorong penghubung kamar pasien dan ruang utama rumah sakit. Di tangan kiri, Ten dalam
genggaman. Sementara itu, buku berjudul psikologi analistis menetap di tangan
kananku. Lampu yang kadang nyala kadang redup di lorong ini menemaniku membaca
buku. Sudah hampir limabelas menit aku berdiri kaku dengan pungung bersandar
pada kayu penyanggap atap.
Sudah
tiga hari Kak Lilo berkunjung ke sini. Sekarang giliranku yang mengambil alih.
Ten, aku, dan buku
psikologi ini mulai beranjak menyusuri lorong-lorong rumah sakit. Kamu pernah
nonton film horor? Coba kamu di sini sekarang, aku yakin, di saat seperti inilah
biasanya mahkluk-makhluk astral bermunculan. Lampu yang tak nyala. Aning sepoi
menepuk tengkuk leher.
Aku berhenti melangkah ketika
ruangan yang kutuju sudah ada di depan mata. Pintunya tidak tertutup rapat,
membuat cahaya pendar dari dalam ruangan menyerobot ke luar hingga membentuk
garis lurus menyentuh kulit kakiku. Rasa nyeri mendadak terselip dari kegelapan
menghujam jantung. Napas memburu membuat dada naik-turun lebih cepat. Ten
berguncang, selaras dengan tanganku yang bergertar.
Ka-a-k
Lilo....
Di dalam ruangan, aku
mendapati tubuh kekar Kak Lilo menindih gadis di ranjang. Ia meliuk-liukkan
pinggang. Menggesek inti tubuhnya pada gadis itu. Mencium kasar bibir, leher,
dan dada mangsanya. Tubuh yang ia gerilya tak melawan sama sekali, terkulai tak
berdaya. Bahkan, mata gadis berambut pangjang itu pun masih terpejam. Air mata
sudah membanjiri pipiku.
“Kak Lilo!” teriakku
kencang, lalu masuk ke dalam ruangan.
Kudorong tubuhnya
hingga pemuda itu tersungkur membentur alat-alat lukis. Ia bergeming. Matanya
masih menyalak seperti anjing meminta tulangg pada majikkan. Tak ada raut
penyesalan darinya. Bahkan, ia tak merapalkan kata maaf padaku. Tanpa pikir
panjang, aku mengambil vas bunga terbuat dari kaca yang ada di atas nakas.
“Sialan!!!”
Sekali gerakan, vas
bunga itu sudah membentur kepala Kakakku yang masihsaja terbaring di lantai. Ia
tak mengaduh. Sepertinya, rasa sakit itu tak berarti apa-apa bagi dia, walaupun
darah sudah memenuhi kening.
“Kenapa, Arinta? Aku
sedang melukiskan kematian buat Nona itu. Jangan jadi pengganggu!”
“Pengganggu? Tidak! Aku
justru penghubung di antara kalian!” ucapku dengan seringaiku.
“Maksudmu ap—
Belum sempat kakak
kandungku itu menyelesaikan kalimat terakhirnya, satu tancapan dari vas bung yang
sudah pecah kuhadiahkan di kepalanya. Pecahan kaca menempel di kepala Kak Lilo.
Matanya melotot hebat. Suara bengek
terdengar dari mulutnya.
“Sekarang giliran kau,
Nona!”
Tubuhku membalik,
menghadap gadis tanpa busana yang kini lemas tak berdaya tanpa kesadaran.
Lihat! Dia seperti mayat saja. Atau mungki... dia memang sudah mati? Ah,
entahlah!
Serpihan kaca masih
dalam genggamanku, lalu, tanpa rasa iba, aku menusuk dada gadis itu beberapa
kali hingga bukan air susu yang keluar dari payudaranya, namun merah darah.
Tawaku pecah. Kemudian, aku beralih pada kanvas Kak Lilo, dan mulai melukis
walau tanpa keahlian.
“Bagus.”
Bibirku tersungging
melihat hasil gambaranku. Berlatar warna hitam, gadis dan pria telanjang dengan
posisi berdampingan memegang Ten di antara mereka. Sungguh mesra.
***
Ruang
les lukis, 19 Juni 2015
“Wah, Arinta, kamu berbakat
sekali.”
Seru suara lembut yang menarikku
kembali dari dunia khayal. Aku tersenyum pada perempuan paruh baya yang kini
melihat lukisanku dengan tatapan bangga.
“Terimakasih, Buk,”
ucapku malu-malu.
Namanya, Laras.
Perpempuan peruh baya yang merupakan guru les lukisku dan teman-teman lainnya.
Setelah melihat hasil karyaku, ia pun memeriksa lukisan teman-temanku yang
lain. Dalam ruangan ini, kami saling berbagi dunia khayal yang hanya kami
sendirilah mampu memahaminya. Bu Laras kembali ke depan
kelas. Ia menghadap kesepuluh anak didiknya termasuk aku.
“Ibu sudah memerika
hasil lukisan kalian. Kesemuanya bagus. Namun, Ibu sangat suka lukisan Arinta
yang sangat imajinatif. Gambar gadis dan pemuda telanjang yang memgang Ten,”
ucap Bu Laras. Ia meraih boneka bernama Ten yang didudukkan di atas meja. “Beberapa
jam lalu, sengaja Ibu bawa Ten ke kelas lukis ini. Kemudian, menyuruh kalian membayangkan
apa yang bisa digali dari sebuah boneka hingga menjadi lukisan,” lanjutnya
mantab.
Ten
dan lukisan kematian, ya? gumamku membayangkan judul apa
yang cocok buat lukisanku ini.
Pidato tak jelas Bu Laras telah usai. Kelas
pun sudah berakhir. Aku menyerat langkah menuju luar ruangan. Di luar, pemuda berkemeja
putih sudah menungguku dengan senyum tak pernah lepas.
“Hai, Arinta. Kelasnya
udah selesai, kan? Yuk, pulan?” ajaknya. Ia melingkarkan tangan di tengkuk
leherku.
“Hai, Douglas. Iya
kelasnya udah selesai, kok.”
“Kamu tadi ngelukis
apa, Rin?” tanya Douglas yang terlihat penasaran.
“Tadi cuma nostalgia
satu tahun yang lalu, Glas. Aku ngelukis Kak Lilo dan Nona.”
Pandangan mata Douglas
menancap ke bola mataku. Ada risau yang mampu kubaca dari geraknya. Yah, Ten
dan lukisan kematian itu membawa kami kembali pada satu titik buram. Kejelasan
yang memudar.
“Udahlah, yuk kita
pergi. Aku juga lupa si Lilo dan Nona itu hanya imajinasi atau kenyataan,” sahut
Douglas.
Pak penulis, nanya boleh?
ReplyDeleteSi Nona itu ceweknya Douglas? Dan si Arintha itu selingkuhan Douglas? Mereka bekerja sama membunuh Nona dan Lilo?
Oh atau Arintha dan Douglass adalah orang yang sama dengan 2 kepribadian?
Cukup bikin bingung saya dan perlu baca ulang untuk mencoba mengerti plot keseluruhan. Masih banyak typo, metafora yang tidak tepat, bagusnya tidak membosankan karena penasaran. Atau saya memang suka cerita pembunuhan? #eh
Satu lagi, itu Nona kasihan banget, sudah sakit opnam di RS, masih diperkosa juga.
Oke, itu saja. Tolong dijawab saja dugaan saya atas misteri ini, kalo salah minta jawabannya pak.
Aku suka openingnya. Suka banget!
ReplyDeleteTp dari pertengahan sampe akhir kok bingungin ya ceritanya. Fellnya luntur ditengah jalan.
Itu aja. :)
Dog, aku bingung sma cerpenmu ini. Entah kenapa masuk paragraf 3 aku mlai bosan. Nyoba nerusin, tambah bosan.
ReplyDeleteTp aku ska narasi2ny. Cuma ya gtu. Akika binging nek indang sesungguhnya gmna ceritanya.
Udh, gt aja. Mangat dog!