Friday, June 19, 2015

Ten dan Lukisan Kematian

BY Ricky Douglas IN 3 comments



Ruang Lukis, 15 Juni 2014

                “Aku punya cara sendiri untuk merefleksikan kematian orang lain.”

               Kalimat sederhana yang nyaris tanpa ekspresi dari laki-laki lancang di hadapanku ini, mampu menarik bola mataku jalang menatapnya.

               “Merefleksikan kematian? Lukisan bukan refleksi dari kematian! Tapi, justru kehidupan! Douglas, kau telah salah mengartikan seni lukis!”

               “Oke, anggap saja aku menyuruhmu membuat lukisan kehidupan buat kekasihku itu, tapi, toh, setelah dia siuman pasti bakalan mati juga.”

             Aku mampu bertaruh, jika saja sekarang sedang tak berada di ruang lukisku, akan kubungkam mulut pemuda tanggung ini dengan bogem mentah. Lihat gaya parlentenya itu! Cuih, baru mahasiswa berumur pendek saja sudah lagak politisi yang suka berseliweran di TV. Rasanya, aku tak secongak dia ketika masih berstatus mahasiswa. 

               “Jika kau tak bisa berlaku sopan, silahkan hengkang dari ruang kerjaku! Ah, dari rumahku sekalian!”

               Satu tatapan tajam kubidik tepat di matanya yang sipit. Cukup berhasil juga mengusir nyali tak sopan si laki-laki parlente itu. Hah, dia berbalik punggung membelakangiku, berjalan pelan menuju pintu keluar. Ya, keluar sana kau!

               “Tunggu!” Dia berbalik.  “Aku bisa memberikan sesuatu yang selama ini selalu kau ingin-inginkan.” Satu sudut bibirnya terangkat. Rupa-rupanya dia sedang mau tawar-menawar padaku.

               “Jangan pasang muka licik! Aku tidak mau menerima tawaran apa pun darimu!” Kali ini aku bangkit dari kursi nyaman. Mencoba melupakan kanvas yang setengah jadi bergambar wajah kerbau bertanduk. Mirip sekali siluman. 

                “Yakin tidak mau menerima tawaranku?” Ia mendekat. Menyelipkan kepala di dekat batang leherku. Lalu, berbisik.

              Mataku membulat sempurna mendengarkan tawaran dari pemuda ini. Tenggorokan terasa gatal. Panas hingga tersedak! 

              “Kau... tahu dia? Atau jangan-jangan—

           “Lupakan! Aku pergi saja kalau kau tidak mau menerima tawaranku.” Ia menderapkan langkah. Membuat sepatu semi boat-nya yang bersentuhan dengan ubin menimbulkan suara yang terasa nyaring sampai-sampai jantungku ikut berdegup kencang. Yah, aku... gugup!

               “Aku terima,” ucapku singkat.

               Seulas senyum menyebalkan tercetak di bibirnya. Ah, bukan senyum, tapi seringai!

***
Kamar tidur, 15 Juni 2014
               Hal yang paling menarik bagiku adalah kegelapan. Benar-benar hitam tak bersekat. Tanpa celah. Tak ada warna lain yang mengisinya. Aku sudah pernah bilang sama kamu kan kalau gelap itu bagiku segalanya. Tititk di mana aku merasa terlahir. Ada satu hal lagi yang sebenarnya mampu menyita pikiranku, juga waktuku. Aku menyukai sudut kamar. Baunya. Suasananya. Juga kedamaiannya. Orang sepertimu pasti tidak akan mengerti arti kata kedamaian. Yang terlihat di matamu hanya gadis berambut sebahu mirip orang gila. Gadis dengan sudut kamarnya yang berbau mistis. Gadis dengan tumpukan buku di mana-mana. 

               Boneka ke-sepuluh. Perempuan berambut panjang di rumah sakit.  

               Malam bagiku sudah tak normal. Seperti ibu-ibu hamil yang ketubannya pecah. Gelap yang tak mampu meredam cahaya kerlap-kerlip lampu. Malam tak lagi senyap. Sebab, cahaya terlalu serakah mengisi pagi dan malam hari. Kamu juga serakah! Selalu menyita jariku berulang kali hingga berdarah. Aku menamainya Ten. Boneka dari karung goni yang terlihat menyebalkan. Malam ini, akan kuselesaikan menjahit seluruh tubuhnya hingga berbentuk sempurna. 

              Suara mesin jahit mengisi ruang kamarku yang keseluruhannya hanya berisi rak-rak dengan tumpukan buku tebal. Lampu kamar mati. Hanya ada cahaya kecil dari lilin yang sengaja kuhidupkan di samping mesin jahit. Jarum naik-turun. Menutupi lapisan dasar karung goni yang membentuk boneka kecil dengan kepala tanpa wajah. 

              Selesai! Tunggu saja, Kak Lilo. Aku, Arintha Aghia Warashi, akan memberikan boneka ini buat objek baru lukisanmu.

***
Rumah sakit, 17 Juni 2014
              Mukanya pucat. Kulit bibir mengelupas. Alis lentik sekali menghiasi kelopaknya yang terlihat sudah tak bernyawa bagiku. Rambutnya hitam dan lurus, tergerai. Emm... sepertinya dia sering merawat diri. Tapi, coba lihat perempuan muda ini sekarang? Ah, apa yang harus kugambar dengan wajahnya yang terasa memilukan seperti itu?! Nampaknya kematian benar-benar sedang menunggunya di ranjang pembaringan rumah sakit. Cukup! Aku telah merekam wajahnya, sekarang hanya tinggal mengikuti kemauan si Douglas, laki-laki yang kemarin malam memintaku melukis kekasihnya ini.

                    Kau akan selamat, Nona. Lukisanku akan memberikan kehidupan bagimu. Percayalah! 

                   Puas memandangi gadis di hadapanku ini, mataku berbelot menelusuri kanvas putih yang bertengger di easel[1] terbuat dari kayu pinus. Ah, suara-suara di ruangan VIP ini tiba-tiba saja semakin mengeras. Berkeliling di dalam otak. Detik jarum jam. Monitor tanda vital di nakas. Suara desahan napas yang tertupi nassal penghubung tabung gas oksigen ke hidungnya. Semua berputar-putar, membuat punggungku menegang. Aku memicingkan mata. Menyelimuti bola mata dengan kelopaknya. Membiarkan desiran-desiran aneh berseliweran merajam kesadaran. Kuas masih menggantung di udara, lalu dengan gerakan kecil, aku menyentuhkan pucuk bulu kuas pada warna di atas pelet rata. Kemudian, jemariku menari-nari di atas kanvas yang kini tak lagi bersih.  

                       Aku ingin segera menyelesaikan lukisanmu!

***
Rumah sakit, 20 Juni 2014
               Sudah tiga hari aku selalu mengunjungi rumah sakit. Tak lain, alasannya hanya satu. Berkunjung ke kamar VIP menemui gadis sebagai objek lukisanku. Dengarkan! Aku hanya akan menguapkannya sekali saja. Ada rasa lain yang hadir saat secara terus menerus mataku selalu melihat wajahnya. Bibir tipis tak berwarnanya—yang aku yakin sebelum ia terbujur seperti sekarang pasti terlihat merah dan ranum. Wah, bayangkan saja jika bibir lembutnya mampu kujadikan santapan setiap hari. Pasti menyenangkan! Atau... aku bisa melakukannya tak usah menunggu bibir itu merah kembali?!

                  Baru melukis wajahmu saja membuatku menggelinjang, Nona. Belum lagi melukis bagian yang lebih bawah. Persetan dengan janjiku pada pacarmu! Dia tidak pantas buatmu!

               Aku berdiri. Menatap syahdu gadis di depanku. Sejenak melupakan kanvas, pelet, easel, kuas, dan alat-alat lukis lainnya. 

               Ayolah, Lilo! Gadis ini jauh lebih menarik daripada kau gunakan sekadar objek lukismu. Lihat! Kau bisa melakukan apapun padanya. Tak ada satu orang pun di sini selain kalian berdua. Lepaskan Lilo, lepaskan!

***
Rumah sakit, 20 Juni 2014
                 Bosan. Sedari tadi, hanya bibirku yang sibuk berucap membaca buku. Namun, justru otak terbang tak keruan memikirkan Kak Lilo. Kamu tahu, sedikit menjadi beban punya seorang Kakak kandung pecandu seni. Ia selalu punya dunia sendiri. Tak mau sekalipun mengajakku ke dunianya. Hey, padahal, jika keahliaku merajut boneka disatukan dengan seni lukisnya, mungkin akan menjadi sesuatu yang... unik?

               Langkahku mematung di pertigaan lorong penghubung kamar pasien dan ruang utama  rumah sakit. Di tangan kiri, Ten dalam genggaman. Sementara itu, buku berjudul psikologi analistis menetap di tangan kananku. Lampu yang kadang nyala kadang redup di lorong ini menemaniku membaca buku. Sudah hampir limabelas menit aku berdiri kaku dengan pungung bersandar pada kayu penyanggap atap.

                   Sudah tiga hari Kak Lilo berkunjung ke sini. Sekarang giliranku yang mengambil alih. 

                Ten, aku, dan buku psikologi ini mulai beranjak menyusuri lorong-lorong rumah sakit. Kamu pernah nonton film horor? Coba kamu di sini sekarang, aku yakin, di saat seperti inilah biasanya mahkluk-makhluk astral bermunculan. Lampu yang tak nyala. Aning sepoi menepuk tengkuk leher. 

                  Aku berhenti melangkah ketika ruangan yang kutuju sudah ada di depan mata. Pintunya tidak tertutup rapat, membuat cahaya pendar dari dalam ruangan menyerobot ke luar hingga membentuk garis lurus menyentuh kulit kakiku. Rasa nyeri mendadak terselip dari kegelapan menghujam jantung. Napas memburu membuat dada naik-turun lebih cepat. Ten berguncang, selaras dengan tanganku yang bergertar. 

                    Ka-a-k Lilo....

                Di dalam ruangan, aku mendapati tubuh kekar Kak Lilo menindih gadis di ranjang. Ia meliuk-liukkan pinggang. Menggesek inti tubuhnya pada gadis itu. Mencium kasar bibir, leher, dan dada mangsanya. Tubuh yang ia gerilya tak melawan sama sekali, terkulai tak berdaya. Bahkan, mata gadis berambut pangjang itu pun masih terpejam. Air mata sudah membanjiri pipiku. 

                 “Kak Lilo!” teriakku kencang, lalu masuk ke dalam ruangan.

                Kudorong tubuhnya hingga pemuda itu tersungkur membentur alat-alat lukis. Ia bergeming. Matanya masih menyalak seperti anjing meminta tulangg pada majikkan. Tak ada raut penyesalan darinya. Bahkan, ia tak merapalkan kata maaf padaku. Tanpa pikir panjang, aku mengambil vas bunga terbuat dari kaca yang ada di atas nakas.

               “Sialan!!!”
                Sekali gerakan, vas bunga itu sudah membentur kepala Kakakku yang masihsaja terbaring di lantai. Ia tak mengaduh. Sepertinya, rasa sakit itu tak berarti apa-apa bagi dia, walaupun darah sudah memenuhi kening.

             “Kenapa, Arinta? Aku sedang melukiskan kematian buat Nona itu. Jangan jadi pengganggu!”
 
             “Pengganggu? Tidak! Aku justru penghubung di antara kalian!” ucapku dengan seringaiku.

              “Maksudmu ap—

                Belum sempat kakak kandungku itu menyelesaikan kalimat terakhirnya, satu tancapan dari vas bung yang sudah pecah kuhadiahkan di kepalanya. Pecahan kaca menempel di kepala Kak Lilo. Matanya melotot hebat. Suara bengek terdengar dari mulutnya.

                “Sekarang giliran kau, Nona!”

            Tubuhku membalik, menghadap gadis tanpa busana yang kini lemas tak berdaya tanpa kesadaran. Lihat! Dia seperti mayat saja. Atau mungki... dia memang sudah mati? Ah, entahlah! 

               Serpihan kaca masih dalam genggamanku, lalu, tanpa rasa iba, aku menusuk dada gadis itu beberapa kali hingga bukan air susu yang keluar dari payudaranya, namun merah darah. Tawaku pecah. Kemudian, aku beralih pada kanvas Kak Lilo, dan mulai melukis walau tanpa keahlian. 

                “Bagus.”

             Bibirku tersungging melihat hasil gambaranku. Berlatar warna hitam, gadis dan pria telanjang dengan posisi berdampingan memegang Ten di antara mereka. Sungguh mesra. 

***
Ruang les lukis, 19 Juni 2015

                 “Wah, Arinta, kamu berbakat sekali.”

            Seru suara lembut yang menarikku kembali dari dunia khayal. Aku tersenyum pada perempuan paruh baya yang kini melihat lukisanku dengan tatapan bangga.

                “Terimakasih, Buk,” ucapku malu-malu.

             Namanya, Laras. Perpempuan peruh baya yang merupakan guru les lukisku dan teman-teman lainnya. Setelah melihat hasil karyaku, ia pun memeriksa lukisan teman-temanku yang lain. Dalam ruangan ini, kami saling berbagi dunia khayal yang hanya kami sendirilah mampu memahaminya. Bu Laras kembali ke depan kelas. Ia menghadap kesepuluh anak didiknya termasuk aku. 


            “Ibu sudah memerika hasil lukisan kalian. Kesemuanya bagus. Namun, Ibu sangat suka lukisan Arinta yang sangat imajinatif. Gambar gadis dan pemuda telanjang yang memgang Ten,” ucap Bu Laras. Ia meraih boneka bernama Ten yang didudukkan di atas meja. “Beberapa jam lalu, sengaja Ibu bawa Ten ke kelas lukis ini. Kemudian, menyuruh kalian membayangkan apa yang bisa digali dari sebuah boneka hingga menjadi lukisan,” lanjutnya mantab.

              Ten dan lukisan kematian, ya? gumamku membayangkan judul apa yang cocok buat lukisanku ini.

                Pidato tak jelas Bu Laras telah usai. Kelas pun sudah berakhir. Aku menyerat langkah menuju luar ruangan. Di luar, pemuda berkemeja putih sudah menungguku dengan senyum tak pernah lepas. 

                  “Hai, Arinta. Kelasnya udah selesai, kan? Yuk, pulan?” ajaknya. Ia melingkarkan tangan di tengkuk leherku.

                  “Hai, Douglas. Iya kelasnya udah selesai, kok.”

                  “Kamu  tadi ngelukis apa, Rin?” tanya Douglas yang terlihat penasaran.

                  “Tadi cuma nostalgia satu tahun yang lalu, Glas. Aku ngelukis Kak Lilo dan Nona.”

                 Pandangan mata Douglas menancap ke bola mataku. Ada risau yang mampu kubaca dari geraknya. Yah, Ten dan lukisan kematian itu membawa kami kembali pada satu titik buram. Kejelasan yang memudar.

               “Udahlah, yuk kita pergi. Aku juga lupa si Lilo dan Nona itu hanya imajinasi atau kenyataan,” sahut Douglas.




[1] sebagai tempat sandaran berdirinya kanvas selama proses melukis.

3 comments:

  1. Pak penulis, nanya boleh?

    Si Nona itu ceweknya Douglas? Dan si Arintha itu selingkuhan Douglas? Mereka bekerja sama membunuh Nona dan Lilo?
    Oh atau Arintha dan Douglass adalah orang yang sama dengan 2 kepribadian?

    Cukup bikin bingung saya dan perlu baca ulang untuk mencoba mengerti plot keseluruhan. Masih banyak typo, metafora yang tidak tepat, bagusnya tidak membosankan karena penasaran. Atau saya memang suka cerita pembunuhan? #eh
    Satu lagi, itu Nona kasihan banget, sudah sakit opnam di RS, masih diperkosa juga.

    Oke, itu saja. Tolong dijawab saja dugaan saya atas misteri ini, kalo salah minta jawabannya pak.

    ReplyDelete
  2. Aku suka openingnya. Suka banget!
    Tp dari pertengahan sampe akhir kok bingungin ya ceritanya. Fellnya luntur ditengah jalan.

    Itu aja. :)

    ReplyDelete
  3. Dog, aku bingung sma cerpenmu ini. Entah kenapa masuk paragraf 3 aku mlai bosan. Nyoba nerusin, tambah bosan.

    Tp aku ska narasi2ny. Cuma ya gtu. Akika binging nek indang sesungguhnya gmna ceritanya.

    Udh, gt aja. Mangat dog!

    ReplyDelete

Silahkan, semuanya dapat berkomentar. Namun, jadilah komentator yang cerdik dan beretika ya :)