Tuesday, May 12, 2015

Malam Pertama

BY Ricky Douglas IN No comments




            Di dunia ini, ada dua hal yang kubenci. Pertama, janji. Kedua, ikatan. Setahu dan sepemahamanku tentang perkataan, janji itu adalah ajang kebohongan, sarang bagi mulut-mulut yang tak mengerti betapa sakralnya sebuah ucapan. Begitupun juga ikatan, kesuciannya telah banyak direnggut egoisme manusia akan kepuasan jenaka hidupnya. Sebuah pemerkosaan otak oleh muslihat ucapan hingga orgasme menghasilkan ikatan setan. Hanya dijadikan alasan untuk meliuk di ranjang. Tuhan, aku benci manusia. Menurutku, manusia adalah produk gagal yang telah kau ciptakan dari tangan iseng-Mu itu. Maka itu aku ada. Unsur di antara setan dan malaikat. 

***
            Semua mata melihat padaku. Mereka menguliti dari atas sampai titik terbawah tubuhku. Pergi sana, gadis aneh! Seperti itulah yang bisa kuterka dari pandangan kejam mata-mata itu. Biarlah, mereka hanya menormalkan sesuatu yang dianggap kebanyakan orang sebagai hal lumrah. Apa salahnya kalau gadis berjilbab dengan rok panjang dan lebar ini memasuki studio tatto? Siapa yang menormalitaskan suatu hal? 

            Tak peduli dengan mata sadis mereka, kini aku telah duduk kemayu di sofa ruang tatto, menunggu kehadiran sang seniman pelukis sejarah di kulit itu. Ruangan ini sepi. Hanya ada aku dan jarum-jarum tatto. Suara gaduh tertangkap gendang telingaku dari arah dalam ruangan kecil di sudut ruang besar ini. Kemudian,  sosok laki-laki bertindik tergagap berjalan ke arahku. Ia tersenyum dipaksakan. Senyum palsu, memuakkan! 

            “Maaf lama nunggu ya, Mba.” Ia menyapa dengan senyum yang jauh lebih dipaksakan.
Mataku beralih pada bercak kemerahan yang menempel di siku kirinya. Itu darah! Aku paham benar aroma khas yang ditimbulkannya! Kemudian, ada sosok lain yang mengekor laki-laki itu di belakangnya, keluar dari ruangan yang sama. Laki-laki satunya terlihat jauh lebih gagah.

“Jangan lupa datang ke pernikahanku!” Ia memegang pundak laki-laki pemilik studio tatto, lalu merajut jalan dengan busungan dada sombongnya. 

“Jonathan, kau mau ke mana?!”

Ada yang aneh dari mereka! 

“Kamu bisa mulai mentato-ku sekarang,” sekatku membuyarkan tatapan sendunya melihat laki-laki itu pergi.

“Mau tatto di bagian mana, Mba?” Ia sibuk mempersiapkaan segal hal. 

Mataku memicing mendengar pertanyaannya. Di bagian mana? Hm.... Aku berdiri—yang lagi-lagi bergaya kemayu—kancing demi kancing berhasil kubuka. Jilbab yang biasanya jadi topeng ini kutanggalkan tanpa pamrih. Hai, lihatlah dua gundukan ini! Menggiurkan, bukan?! Kini giliran jeans sialan ini yang kulepas, menampilkan sesuatu rimbun di inti tubuhku.  Lalu, bola mata cokelatku beralih menusuk retina laki-laki itu. Namun, ekspresi yang kuharapkan tak dapat kunikmati. Ia menatap datar ke tubuhku tanpa riak apa pun, sial! Aku mengamit tangannya, lalu mengalungkan lengan kiri ke lehernya. Lengan dengan siku berdarah itu terasa menggelitik lidahku. Kujilati sikunya yang kemerahan dan masih bertitik daraah segar. Ah, ada sesuatu yang basah di bawah sana. Hasrat liarku membuncah. Laki-laki gagah itu! 

“Buatkan aku tatto di dekat organ intimku. Em, tolong tuliskan sebuah nama di sana.”  

“Banyak sekai nama laki-laki di sekujur tubuhmu. Kali ini, kau mau menuliskan nama siapa?” matanya menerawang mataku.

Aku tersnyum, “Jonathan.” Kali ini aku bisa menangkap ekspresi terkejut dari raut wajahnya. 

***

Cincin bagiku merupakan sebuah pertanda pengekangan. Cinta yang berbalut penyiksaan. Sebuah kamuflase pembodohan laki-laki terhadap wanita. Bagiku, cincin itu bukan berkata “aku mencintaimu” tapi, “jadilah budakku”. Bagaimana mungkin derajat wanita digeneralisasikan berada di bawah laki-laki? Dengan iming-iming alkitab sialan yang bagiku telah lapuk dimakan zaman. Itu lelucon paling bodoh yang pernah kudengar. Para wanita, jangan mau berdiri dan menyesap di bawah ketiak laki-laki! Terbuai dengan lidah-lidah biadab mereka.

Puluhan bingkaai foto dengan coretan tinta merah berhasil menyita malam hari ini. Aku memandang tubuh telanjangku. Menelusuri setiap tatto nama di sekujur tubuh, kemudian melihat foto-foto yang tertempel di dinding. Yah, dengan cara inilah aku mengenang kebaikanku. Gadis aneh bernama Arinta Aghea Warashi yang membantu para wanita bodoh keluar dari belenggu ikatan. Aku ada. Sebagai penyelamat kalian, para wanita!
***
“Kamu serius? Bukannya enggak mau sih, tapi aneh aja etelah empat tahun kita pacaran, dan selama itu pula aku nyuruh kamu nikahin aku, tapi, kenapa sekarang kamu berubah pikiran?” 

“Sayang, mungkin ini sudah waktunya kita saling mengikat satu sama lain. Kamu mau kan jadi istri aku?”

“Pertanyaan macam apa itu! Pasti aku mau dong jadi istri kamu!” 

Aku mencium mesra bibir ranum wanita ini. Lidahnya melilit dan mengguyur mulutku dengan ludah lengketnya. Aneh, seluruh saraf di tubuhku rasanya ingin menyatu dengan tubuh wanita mungil ini. Sebelah tangganku yang semula memegang stir mobil, kini beralih ke kaitan bra di punggungnya. Setelah itu, pernikahan yang kami idamkan menjadi gelap. Bulan pun tak akan mampu meneranginya walau hanya setitik cahaya pendar. Karena setelah ciuman mesra itu, semuanya menjadi hilang tak bersisa saat sebuah truk menghantam mobil kami.

***

Rumah megah ini benar-benar sepi. Hanya ada satu rintihan kecil yang samar merambat indera pendengaranku. Itu mereka! Suara menijikan! Malam ini aku mengenakan jamper tebal berwarna hitam. Mudah sekali menyusup ke rumah ini, tak ada pengamanan sama sekali. Tanganku menenteng rantai perak yang telah kupersiapkan dari rumah.  

Napas sengaja dihela pelan-pelan, di dalam kamar, aku melihat pergumulan dua manusia yang setengah telanjang. Jonathan dan Rahajeng. Aku mengintip mereka dari  celah pintu yang terbuka. Tenang wanita, aku akan membebaskan dirimu dari kepura-puraan cinta. Lihat saja. 

Pergumulan mereka terhenti. Laki-laki bertubuh tegap itu mengambil jeda dari penautan bibir yang cukup lama dengan pengantin wanitanya, Rahajeng! Ia mengusap kening yang sepertinya berkeringat. Kemudian, laki-laki itu berjalan menuju kamar mandi di dalam ruaang tidurnya. Ini kesempatanku!

***

            Ruang kamar gelap. Benar-benar tak ada celah yang mampu menghantarkan cahaya sekecil apa pun masuk. Laki-laki itu berdiri tepat di depanku. Dari ricau suaranya, aku mampu menangkap keanehan dari dirinya yang menyadari kalau ruangan telah gulita. Ah, biarlah. Saatnya aku bergerilya. 

            Ke dua kakiku mengalung di pinggang Jonathan. Aku mendekap, melilit tubuhnya agar merapat ke unsur kenikmatanku. Kuciumi setiap lekuk wajah laki-laki ini. Tak ada desahan dari bibir merahku. Hanya ada hujaman demi hujaman dari daging tak bertulang yang entah kenapa sekarang justru terasa lebih keras dari biasanya. Oh, aku menikmati permainan laki-laki ini, sungguh! Malam pertama yang indah.

            Mulutnya kusekap dengan mulutku. Tubuhnya kutindih dengan bobotku yang tak seberapa. Pinggulku naik turun pelan sekali. Ini segera dimulai, Jonathan! Aku meliuk lebih ganas dari sebelumnya. Naik turun lebih sadis layaknya memacu kuda liar. Kuputar tubuh membelakanginya dengan organ intim yang masih menempel satu sama lain! Aku menyeringai. Laki-laki biadab! Tak ada yang namanya cinta dan ikatan suci jika kaum kalian masih ada. Biarkan hanya ada wanita di dunia ini. Pinggulku menghentak dengan keras ke samping kiri-kanan-depan-belakang. Jonathan meringis kesakitan. Ia meronta. Kulit di tengah selangkangannya terjepit di lubang sempitku. Dengan hentakan berkali-kali, aku merasakan ada carian yang keluar dari dalam sana, bukan darah perawan karena aku tak perawan! Tapi, penis Jonathan patah. Terkulai. Berdarah. Aku tertawa. Terpingkal. Bahagia luar biasa. 

            “Rahajeng! Lebih baik kau mati!”

            Terikan kencang menggema dan seketika memenuhi ruangan ini, diikuti sebuah benda melesat ke arahku yang kuterka itu adalah pisau, lalu lesatannya mampu memotong sisi kanan rambut panajngku. Tubuh menegang. Kontan saja serangan itu membuatku merinding. Ada yang mencoba membunuh wanita ini, Rahajeng!

            Dalam pendar lampu. Siluet bayangan sosok itu seketika bergerak cepat menujuku. Tak bisa dihindari, ia berhasil mencengkram leherku. Kuku panjangnya menancap di sisi-sisi batang leher. Jarinya menekan kerongkongan. Napasku mengendur, pening berkelanjutan mengisi otak. Aku terkulai, sebelum akhirnya mampu meraih vas bunga di atas meja lalu menghantam kepala laki-laki misterius itu. Bau darah semakin semerbak. Pecahan kaca menempel di sisi kepalanya. Ia terjatuh.

            Dengan cepat, aku mengenakan pakaian seadanya lalu mencoba kabur. Namun, lengan laki-laki itu menahanku. Ia menerjang tepat di perut. Dan, yang tak kuduga, tikaman tepat di payudaraku ia hadiahkan sebagai salam perkenalan. Aku kalah. Tubuhku lemas terjatuh dalam pelukan laki-laki misterius itu. Bermula dari kepala yang bersandar di bahunya, lalu perlahan berangsur jatuh tak berdaya melewati dada, pinggang, dan akhirnya bersimpuh, berlutut di hadapan si bangsat ini! Mataku melotot. Seringai bengis kutawarkan sebagai pembalasan. Aku menusuk bongkahan di selangkangan laki-laki itu menggunakan pisau yang tertancap di dadaku. Ia teriak histeris. Seperti lolongaan anjing kelaparan. Ckh, dasar laki-laki lemah! 

            Kami berdua terkapar bersimbuh darah dengan muka saling berhadapan, dalam temaram, entah kenapa kesedihan mengisi seluruh paru-paruku saat ini. Cahaya perlahan mulai terlihat, kukira pintu neraka mulai terbuka untukku, ternyata kilatan terang itu berasal dari lampu kamar yang sudah menyalak. Rahajang yang sebelumnya kusekap di bawah ranjang, berhasil meloloskan diri. Ia memandang getir suami seharinya yang terkapar bersimbah darah di ranjang malam pertama mereka! Mataku kembali beralih kepada sosok di depanku. Ah, rupanya keterkejutan menghantarkan kematianku malam ini. Laki-laki itu adalah pemilik studio tatto tempo lalu. Kini, napasnya megap-megap, buliran air mata keluar dari mata pekatnya. Rasa sesak kembali kentara di ulu dadaku. Kilatan-kilatan samar yang makin jelas kebenarannya tiba-tiba meralung di benakku.

***

            “Nanti kalau kamu melamar aku, jangan pakai cincin sebagai pertanda rasa ya, Odin hehe.”

            “Lho kenapa, Rin?”

            “Enggak tahu juga sih, kurang suka aja kalau kesucian cinta dan ikatan dilambangkan dengan cincin.”

“Sayang, mungkin ini sudah waktunya kita saling mengikat satu sama lain. Arinta, kamu mau kan jadi istri aku?”

“Pertanyaan macam apa itu, Din! Pasti aku mau dong jadi istri kamu!” 

            Tubuhku dan Odin tergeletak serampangan di jurang, akibat ulah sembrono kami bermesraan di dalam mobil, berakhirlah tubuh dan tulang ini dalam kehancuran menyedihkan. Darah mengucur dari setiap bagian tubuh. Ia menatap sendu mataku. Serpihan kaca menancap di sisi kepalanya. Buliran air mata merembes keluar dari mata pekatnya. Calon suamiku. 

***

Cinta begitu kejam menguji manusia dengan takdir aneh yang ditawarkannya, bagiamana mungkin Tuhan begitu tega membiarkan kami menonton kematian orang yang dicintai sekaligus menikmati kematian masing-masing. Laki-laki di hadapanku ini. Aku mengingatnya, ia adalah suamiku yang belum sempat mengikatku dengan cincin sakralnya. Dengan gerakan perlahan, Odin—laki-laki pemilik studio tatto—menggenggam jemariku lalu memasangkan cincin yang dengan susah payah ia ambil dari saku celananya. Nampaknya ingatan calon suamiku itu juga pulih akibat tragedi ini. Benar kataku. Hal yang paling kubenci adalah ucapan dan ikatan. Karena keduanya adalah zat yang paling cepat menguap dan tak berbekas. 









Tentang Penulis




         Ricky Douglas. Bisa dipanggil Douglas atau dipersingkat lagi menjadi Dog. Berkat nama inilah membuat orang lain sering terbahak ketika melafalkannya. Lahir pada tanggal 14 Juli 1994. Hoby berimajinasi tentang segala hal, termasuk kematian. Kalian bisa membaca beberapa jejak hidup saya di blog : rickydouglass.blogspot.com atau Twitter : @Ricky Douglas.  Salam budaya!























































0 comments:

Post a Comment

Silahkan, semuanya dapat berkomentar. Namun, jadilah komentator yang cerdik dan beretika ya :)