Di dunia ini, ada dua hal yang
kubenci. Pertama, janji. Kedua, ikatan. Setahu dan sepemahamanku tentang
perkataan, janji itu adalah ajang kebohongan, sarang bagi mulut-mulut yang tak
mengerti betapa sakralnya sebuah ucapan. Begitupun juga ikatan, kesuciannya telah
banyak direnggut egoisme manusia akan kepuasan jenaka hidupnya. Sebuah
pemerkosaan otak oleh muslihat ucapan hingga orgasme menghasilkan ikatan setan.
Hanya dijadikan alasan untuk meliuk di ranjang. Tuhan, aku benci manusia.
Menurutku, manusia adalah produk gagal yang telah kau ciptakan dari tangan
iseng-Mu itu. Maka itu aku ada. Unsur di antara setan dan malaikat.
***
Semua mata melihat padaku. Mereka
menguliti dari atas sampai titik terbawah tubuhku. Pergi sana, gadis aneh! Seperti itulah yang bisa kuterka dari
pandangan kejam mata-mata itu. Biarlah, mereka hanya menormalkan sesuatu yang
dianggap kebanyakan orang sebagai hal lumrah. Apa salahnya kalau gadis
berjilbab dengan rok panjang dan lebar ini memasuki studio tatto? Siapa yang
menormalitaskan suatu hal?
Tak peduli dengan mata sadis mereka,
kini aku telah duduk kemayu di sofa ruang tatto, menunggu kehadiran sang
seniman pelukis sejarah di kulit itu. Ruangan ini sepi. Hanya ada aku dan
jarum-jarum tatto. Suara gaduh tertangkap gendang telingaku dari arah dalam
ruangan kecil di sudut ruang besar ini. Kemudian, sosok laki-laki bertindik tergagap berjalan
ke arahku. Ia tersenyum dipaksakan. Senyum palsu, memuakkan!
“Maaf lama nunggu ya, Mba.” Ia
menyapa dengan senyum yang jauh lebih dipaksakan.
Mataku
beralih pada bercak kemerahan yang menempel di siku kirinya. Itu darah! Aku
paham benar aroma khas yang ditimbulkannya! Kemudian, ada sosok lain yang mengekor
laki-laki itu di belakangnya, keluar dari ruangan yang sama. Laki-laki satunya
terlihat jauh lebih gagah.
“Jangan
lupa datang ke pernikahanku!” Ia memegang pundak laki-laki pemilik studio
tatto, lalu merajut jalan dengan busungan dada sombongnya.
“Jonathan,
kau mau ke mana?!”
Ada yang aneh dari
mereka!
“Kamu
bisa mulai mentato-ku sekarang,” sekatku membuyarkan tatapan sendunya melihat
laki-laki itu pergi.
“Mau
tatto di bagian mana, Mba?” Ia sibuk mempersiapkaan segal hal.
Mataku
memicing mendengar pertanyaannya. Di
bagian mana? Hm.... Aku berdiri—yang lagi-lagi bergaya kemayu—kancing demi
kancing berhasil kubuka. Jilbab yang biasanya jadi topeng ini kutanggalkan
tanpa pamrih. Hai, lihatlah dua gundukan ini! Menggiurkan, bukan?! Kini giliran
jeans sialan ini yang kulepas,
menampilkan sesuatu rimbun di inti tubuhku.
Lalu, bola mata cokelatku beralih menusuk retina laki-laki itu. Namun,
ekspresi yang kuharapkan tak dapat kunikmati. Ia menatap datar ke tubuhku tanpa
riak apa pun, sial! Aku mengamit tangannya, lalu mengalungkan lengan kiri ke
lehernya. Lengan dengan siku berdarah itu terasa menggelitik lidahku. Kujilati
sikunya yang kemerahan dan masih bertitik daraah segar. Ah, ada sesuatu yang
basah di bawah sana. Hasrat liarku membuncah. Laki-laki gagah itu!
“Buatkan
aku tatto di dekat organ intimku. Em, tolong tuliskan sebuah nama di
sana.”
“Banyak
sekai nama laki-laki di sekujur tubuhmu. Kali ini, kau mau menuliskan nama
siapa?” matanya menerawang mataku.
Aku
tersnyum, “Jonathan.” Kali ini aku bisa menangkap ekspresi terkejut dari raut
wajahnya.
***
Cincin
bagiku merupakan sebuah pertanda pengekangan. Cinta yang berbalut penyiksaan. Sebuah
kamuflase pembodohan laki-laki terhadap wanita. Bagiku, cincin itu bukan
berkata “aku mencintaimu” tapi, “jadilah budakku”. Bagaimana mungkin derajat
wanita digeneralisasikan berada di bawah laki-laki? Dengan iming-iming alkitab
sialan yang bagiku telah lapuk dimakan zaman. Itu lelucon paling bodoh yang
pernah kudengar. Para wanita, jangan mau berdiri dan menyesap di bawah ketiak
laki-laki! Terbuai dengan lidah-lidah biadab mereka.
Puluhan
bingkaai foto dengan coretan tinta merah berhasil menyita malam hari ini. Aku
memandang tubuh telanjangku. Menelusuri setiap tatto nama di sekujur tubuh,
kemudian melihat foto-foto yang tertempel di dinding. Yah, dengan cara inilah
aku mengenang kebaikanku. Gadis aneh bernama Arinta Aghea Warashi yang membantu
para wanita bodoh keluar dari belenggu ikatan. Aku ada. Sebagai penyelamat
kalian, para wanita!
***
“Kamu
serius? Bukannya enggak mau sih, tapi aneh aja etelah empat tahun kita pacaran,
dan selama itu pula aku nyuruh kamu nikahin aku, tapi, kenapa sekarang kamu
berubah pikiran?”
“Sayang,
mungkin ini sudah waktunya kita saling mengikat satu sama lain. Kamu mau kan
jadi istri aku?”
“Pertanyaan
macam apa itu! Pasti aku mau dong jadi istri kamu!”
Aku
mencium mesra bibir ranum wanita ini. Lidahnya melilit dan mengguyur mulutku
dengan ludah lengketnya. Aneh, seluruh saraf di tubuhku rasanya ingin menyatu
dengan tubuh wanita mungil ini. Sebelah tangganku yang semula memegang stir
mobil, kini beralih ke kaitan bra di punggungnya. Setelah itu, pernikahan yang
kami idamkan menjadi gelap. Bulan pun tak akan mampu meneranginya walau hanya
setitik cahaya pendar. Karena setelah ciuman mesra itu, semuanya menjadi hilang
tak bersisa saat sebuah truk menghantam mobil kami.
***
Rumah
megah ini benar-benar sepi. Hanya ada satu rintihan kecil yang samar merambat
indera pendengaranku. Itu mereka! Suara menijikan! Malam ini aku mengenakan jamper tebal berwarna hitam. Mudah
sekali menyusup ke rumah ini, tak ada pengamanan sama sekali. Tanganku
menenteng rantai perak yang telah kupersiapkan dari rumah.
Napas
sengaja dihela pelan-pelan, di dalam kamar, aku melihat pergumulan dua manusia
yang setengah telanjang. Jonathan dan Rahajeng. Aku mengintip mereka dari celah pintu yang terbuka. Tenang wanita, aku
akan membebaskan dirimu dari kepura-puraan cinta. Lihat saja.
Pergumulan
mereka terhenti. Laki-laki bertubuh tegap itu mengambil jeda dari penautan
bibir yang cukup lama dengan pengantin wanitanya, Rahajeng! Ia mengusap kening
yang sepertinya berkeringat. Kemudian, laki-laki itu berjalan menuju kamar
mandi di dalam ruaang tidurnya. Ini kesempatanku!
***
Ruang kamar gelap. Benar-benar tak
ada celah yang mampu menghantarkan cahaya sekecil apa pun masuk. Laki-laki itu berdiri
tepat di depanku. Dari ricau suaranya, aku mampu menangkap keanehan dari
dirinya yang menyadari kalau ruangan telah gulita. Ah, biarlah. Saatnya aku
bergerilya.
Ke dua kakiku mengalung di pinggang
Jonathan. Aku mendekap, melilit tubuhnya agar merapat ke unsur kenikmatanku.
Kuciumi setiap lekuk wajah laki-laki ini. Tak ada desahan dari bibir merahku. Hanya
ada hujaman demi hujaman dari daging tak bertulang yang entah kenapa sekarang
justru terasa lebih keras dari biasanya. Oh, aku menikmati permainan laki-laki
ini, sungguh! Malam pertama yang indah.
Mulutnya kusekap dengan mulutku.
Tubuhnya kutindih dengan bobotku yang tak seberapa. Pinggulku naik turun pelan
sekali. Ini segera dimulai, Jonathan! Aku meliuk lebih ganas dari sebelumnya.
Naik turun lebih sadis layaknya memacu kuda liar. Kuputar tubuh membelakanginya
dengan organ intim yang masih menempel satu sama lain! Aku menyeringai. Laki-laki
biadab! Tak ada yang namanya cinta dan ikatan suci jika kaum kalian masih ada.
Biarkan hanya ada wanita di dunia ini. Pinggulku menghentak dengan keras ke
samping kiri-kanan-depan-belakang. Jonathan meringis kesakitan. Ia meronta.
Kulit di tengah selangkangannya terjepit di lubang sempitku. Dengan hentakan
berkali-kali, aku merasakan ada carian yang keluar dari dalam sana, bukan darah
perawan karena aku tak perawan! Tapi, penis Jonathan patah. Terkulai. Berdarah.
Aku tertawa. Terpingkal. Bahagia luar biasa.
“Rahajeng! Lebih baik kau mati!”
Terikan kencang menggema dan
seketika memenuhi ruangan ini, diikuti sebuah benda melesat ke arahku yang
kuterka itu adalah pisau, lalu lesatannya mampu memotong sisi kanan rambut panajngku.
Tubuh menegang. Kontan saja serangan itu membuatku merinding. Ada yang mencoba
membunuh wanita ini, Rahajeng!
Dalam pendar lampu. Siluet bayangan
sosok itu seketika bergerak cepat menujuku. Tak bisa dihindari, ia berhasil
mencengkram leherku. Kuku panjangnya menancap di sisi-sisi batang leher.
Jarinya menekan kerongkongan. Napasku mengendur, pening berkelanjutan mengisi
otak. Aku terkulai, sebelum akhirnya mampu meraih vas bunga di atas meja lalu menghantam kepala laki-laki misterius
itu. Bau darah semakin semerbak. Pecahan kaca menempel di sisi kepalanya. Ia
terjatuh.
Dengan cepat, aku mengenakan pakaian
seadanya lalu mencoba kabur. Namun, lengan laki-laki itu menahanku. Ia
menerjang tepat di perut. Dan, yang tak kuduga, tikaman tepat di payudaraku ia
hadiahkan sebagai salam perkenalan. Aku kalah. Tubuhku lemas terjatuh dalam
pelukan laki-laki misterius itu. Bermula dari kepala yang bersandar di bahunya,
lalu perlahan berangsur jatuh tak berdaya melewati dada, pinggang, dan akhirnya
bersimpuh, berlutut di hadapan si bangsat ini! Mataku melotot. Seringai bengis
kutawarkan sebagai pembalasan. Aku menusuk bongkahan di selangkangan laki-laki
itu menggunakan pisau yang tertancap di dadaku. Ia teriak histeris. Seperti
lolongaan anjing kelaparan. Ckh, dasar laki-laki lemah!
Kami berdua terkapar bersimbuh darah
dengan muka saling berhadapan, dalam temaram, entah kenapa kesedihan mengisi
seluruh paru-paruku saat ini. Cahaya perlahan mulai terlihat, kukira pintu
neraka mulai terbuka untukku, ternyata kilatan terang itu berasal dari lampu
kamar yang sudah menyalak. Rahajang yang sebelumnya kusekap di bawah ranjang,
berhasil meloloskan diri. Ia memandang getir suami seharinya yang terkapar
bersimbah darah di ranjang malam pertama mereka! Mataku kembali beralih kepada
sosok di depanku. Ah, rupanya keterkejutan menghantarkan kematianku malam ini.
Laki-laki itu adalah pemilik studio tatto tempo lalu. Kini, napasnya
megap-megap, buliran air mata keluar dari mata pekatnya. Rasa sesak kembali
kentara di ulu dadaku. Kilatan-kilatan samar yang makin jelas kebenarannya
tiba-tiba meralung di benakku.
***
“Nanti kalau kamu melamar aku,
jangan pakai cincin sebagai pertanda rasa ya, Odin hehe.”
“Lho kenapa, Rin?”
“Enggak tahu juga sih, kurang suka
aja kalau kesucian cinta dan ikatan dilambangkan dengan cincin.”
“Sayang,
mungkin ini sudah waktunya kita saling mengikat satu sama lain. Arinta, kamu
mau kan jadi istri aku?”
“Pertanyaan
macam apa itu, Din! Pasti aku mau dong jadi istri kamu!”
Tubuhku dan Odin tergeletak serampangan
di jurang, akibat ulah sembrono kami bermesraan di dalam mobil, berakhirlah
tubuh dan tulang ini dalam kehancuran menyedihkan. Darah mengucur dari setiap
bagian tubuh. Ia menatap sendu mataku. Serpihan kaca menancap di sisi
kepalanya. Buliran air mata merembes keluar dari mata pekatnya. Calon suamiku.
***
Cinta
begitu kejam menguji manusia dengan takdir aneh yang ditawarkannya, bagiamana
mungkin Tuhan begitu tega membiarkan kami menonton kematian orang yang dicintai
sekaligus menikmati kematian masing-masing. Laki-laki di hadapanku ini. Aku
mengingatnya, ia adalah suamiku yang belum sempat mengikatku dengan cincin
sakralnya. Dengan gerakan perlahan, Odin—laki-laki pemilik studio
tatto—menggenggam jemariku lalu memasangkan cincin yang dengan susah payah ia
ambil dari saku celananya. Nampaknya ingatan calon suamiku itu juga pulih
akibat tragedi ini. Benar kataku. Hal yang paling kubenci adalah ucapan dan
ikatan. Karena keduanya adalah zat yang paling cepat menguap dan tak berbekas.
Tentang Penulis
Ricky
Douglas. Bisa dipanggil Douglas atau dipersingkat lagi menjadi Dog. Berkat nama
inilah membuat orang lain sering terbahak ketika melafalkannya. Lahir pada
tanggal 14 Juli 1994. Hoby berimajinasi tentang segala hal, termasuk kematian.
Kalian bisa membaca beberapa jejak hidup saya di blog :
rickydouglass.blogspot.com atau Twitter : @Ricky Douglas. Salam budaya!
0 comments:
Post a Comment
Silahkan, semuanya dapat berkomentar. Namun, jadilah komentator yang cerdik dan beretika ya :)