Created by :
Ricky Douglas
Pulau
Kemaro, tahun 2015
Sudah beberapa tahun ini aku
melihatnya diam. Seperti tak bernyawa. Ia menghadap dan memburaikan tatapan ke
arah riak Sungai Musi. Biasanya, aku mengintip
perempuan itu dari teras rumah, tak terkecuali hari ini. Kala senja hampir punah,
sang perempuan renta mulai menempatkan tubuh ringkih pada sebilah kayu untuk dijadikan tempat
duduk, namun bagiku justru terlihat seperti kuburan yang siap membenamkannya.
Jujur, aku bosan melihat dirinya terus nestapa akan kekalahan terhadap takdir.
Dia
seperti tak memiliki ruh. Mungkin saja sudah terbang terbawa angin sepoi Musi. Bergeming dalam sunyi malam
tanpa ingat atap langit telah
menggelap. Pun, hujan tanpa belas kasihan tak jua berhenti menampar sisi
wajahnya yang semakin hari kian tirus. Mengurus. Ya, perempuan itu adalah istriku.
Aku berjalan
mendekatinya dengan payung usang di genggaman. Tak mungkin tega melihat airmatanya
selalu tersamar di balik guyuran hujan. Jalan setapak tergenangi air hingga
membuat kaki keriputku basah. Ia kini tepat di sampingku. Kuteduhkan diri dan
jiwanya, lalu menyisir lembut rambut putih panjangnya yang basah menggunakan
sela-sela jari. Kemudian, aku mulai menyenandungkan sebuah lagu.
Dikalaku merindukan keluhuran dulu kala. Kutembangkan nyanyi
dari lagu Gending Sriwijaya. Dalam seni kunikmati lagi jaman bahagia. Kuciptakan
kembali dari kandungan Maha Kala. Sriwijaya dengan Asrama Agung Sang Maha Guru
Aku berhenti
bersenandung karena hati ini mengembun
ketika tatapannya langsung menumbuk kornea mataku, terasa panas. Nanar.
Bagaimana tidak, jika hanya dengan sebait lagu itu saja, dia seperti kembali pada
masa lalunya yang tak sesempurna cerita Cinderella. Mungkin, ia menganggapku
bodoh karena tidak bisa membedakan antara mitos dan kata asmara yang terlalu
tipis sekatnya.
Gending
Sriwijaya. Ya, sebuah syair yang entah bagaimana telah mengikat kami berdua dalam takdir. Sebuah produk
reinkarnasi jiwa untuk berpasang-pasangan, namun dalam garis ambigu. Aliran
cerita itu terlampau deras untuk diterjang. Layaknya arus Musi yang sedang kami ratapi
ini. Begitu menghanyutkan. Ah, aku tertawa kecut dan tanpa sadar air mataku sangat
lancang terjun di suasana syahdu seperti ini.
Kerajaan
Palembang, tahun 1710 Masehi
Arus Sungai Musi selalu mampu menenggelamkan tatapan siapa pun
yang melihatnya. Bola mataku bergerak cepat, berpindah dari pola abstrak arus sungai lalu menuju tumpukan
padat rumah-rumah penduduk di atasnya. Biasanya, mereka tengah sibuk berdagang
rempah dari rumah sampan masing-masing, atau sekadar bercengkrama satu sama
lain. Namun, kali ini mereka lebih memilih berteduh dari guyuran hujan. Membuat
suasana Sungai Musi terlihat sepi. Mencekam.
Seperti jiwaku.
“Maaf, Putri Raja. Hari sudah gelap, dari tadi
pun hujan turun tanpa ada tanda-tanda akan berhenti. Apa sebaiknya... kita
pulang ke kerajaan saja?” saran salah
satu Dayang padaku.
Ia
tertunduk, kedua tangan mengepal dan saling meremas di depan perut rata
miliknya, hingga membuat kerutan kecil di kain putih dengan pernik emas di beberapa
bagian yang membalut sekujur tubuh. Lalu, mataku beralih, memandang rimbun
pohon di sekeliling Sungai
Musi. Aku melenguh,
mengeluarkan napas kasar. Ada semacam sembilu mengiris tipis-tipis hati, ketika
jarum-jarum halus turun dari langit menusuk sadis dan melarung bersama Musi.
“Berhentilah memanggil dengan sebutan
seperti itu, Dayang. Panggil saja Siti Fatimah.” Tanganku merangkul bahu dan
merapatkan tubuh muda perempuan itu untuk ikut berteduh di bawah payung lebar, berwarna
ke-emasan dengan beberapa pernak-pernik warna sepadan yang bergantungan di
setiap sisi bundarnya.
“I-i-ya, Putri Raja. Eh, Putri Fatimah”
jawabnya kaku, sambil membetulkan perlahan posisi payung buatku. Walaupun, peneduh yang terbuat dari olahan getah pohon itu tak
sepenuhnya berhasil menghindarkanku dari basah. Terbukti, songket[1] yang menutupi
tubuhku bagian pinggang ke bawah tetap saja tersirami hujan.
“Wahai para pengawal. Tubuh bagian atas kalian
tidak tertutupi helaian apa pun, apakah tidak dingin saat hujan menerpa? Pulanglah ke kerajaan. Biarkan aku dan
Dayang Rindu menikmati hujan dari pinggir sungai ini,” titahku pada ke-empat pengawal, mereka berdiri di belakang sedari tadi.
“Maaf, Baginda sudah memerintahkan kami untuk
mengawal Putri,” kata Angsoko sambil menunduk. Aku tersenyum menanggapinya. Ia salah satu pengawal dengan
perawakan gagah yang entah kenapa membuatku sedikit risau saat berdekatan dengannya.
Lengan
kiriku menengadah, merasakan titik air saat menyentuh kulit, “kenapa akhir-akhir ini hujan
turun tidak pada musimnya?”
aku menggerutu lebih pada diri sendiri.
“Bukankah seperti itulah fungsi hujan, Putri Raja?” papar sebuah suara
memecahkan kebekuan antara aku dan hujan.
“Apa maksudmu, Angsoko?” aku menoleh padanya,
ia kini sudah ada di sebelahku.
Senyum tak pernah lepas dari wajahku yang kata pemuda-pemuda kerajaan bak berbentuk
bulat telur.
“Terkadang
hujan datang di waktu yang tepat untuk membawa kebahagian. Selebihnya, hujan hadir
hanya untuk membekaskan kesedihan. Membuat nostalgia pahit bermuram durja di
pikiran.” Pemuda berbahu lebar itu menatapku tajam.
“Mungkin
kau benar kalau hujan memiliki dua sisi. Tapi, selama ini ia selalu mampu menawarkan
ketenangan padaku,” ucapanku terhenti ketika mendapati tatapan penuh kebencian
darinya yang menusuk mataku.
“Hujan
membawa kesadaran pahit padaku karena telah lancang mencintai Putri Raja sepertimu. Setiap hari ada saja
laki-laki meminangmu. Tanpa kau sadari, kecantikan dirimulah penyebab sengsaranya
pemuda-pemuda di kerajaan ini! Termasuk aku!” Angsoko berdiri sangat dekat denganku.
Mukanya memerah hebat. Aku dapat melihat kalau bolamatanya mengembun. Menyisahkan
basah di pelupuk.
Tanpa
menunggu perintah, Dayang Rindu beserta tiga pengawal lain menjauhkan Angsoko. Ia
memberontak hebat. Tangan dan kakinya menerjang-nerjang. Sampai akhirnya, hujan
yang sedari tadi ia perbincangkan menggunakan kalimat benci tersamar pun
menghakiminya. Angsoko jatuh terpeleset ke dalam Sungai Musi. Betapa terkejutnya aku, sesaat sebelum ia jatuh, pemuda itu
menarik selendang songket yang
terkalung di bahuku hingga aku ikut tercebur ke derasnya aliran sungai.
***
“Baginda,
biarkanlah saja lenganku
kau potong, daging kau cabik, bahkan kepala ini kau penggal. Aku tidak takut! Biarlah tubuhku punah, binasa, atau
tergerus zaman sekalipun, tapi cintaku akan berkelana dan memilih raga baru untuk
terus mencintainya. Aku bersumpah akan menjadikan Siti Fatimah pendamping hidupku!”
Ia terbatuk-batuk, sulit bernapas karena
temali mengikat lehernya.
“Pengawal,
penggal dia!” titah Baginda Raja kepada laki-laki dengan otot dada menyembul
serta sebilah kapak besar
di tangan. Sejurus kemudian, darah bercucuran di halaman gersang yang biasanya dijadikan
tempat hukuman mati itu.
“Dayang Rindu, kau sudah memberikan kesaksian sangat
jelas mengenai peristiwa kemarin. Sekarang kau boleh pergi!” suara Baginda Raja
membuyarkan rasa ngeriku akan eksekusi yang barusan terjadi.
Kamar
Putri Kerajaan Palembang.
Aneh,
aku mampu merasakan kalau sekarang ada yang menekan-nekan dahiku, berpindah ke
bahu, lalu meraba sekujur tubuh. Ada juga bau tajam, menyengat. Tapi, semuanya
tetap saja gelap. Kelopak mata terlalu berat untuk dibuka. Namun, kini pandangan
yang semula buram akhirnya mulai terang akibat bau menyengat.
“Anakku,
kau sudah sadar?” sosok tinggi besar ber-kepudang[2] lapis emas di
kepalanya itu menyentuh pipiku. Mata cokelatnya penuh sinar kekhawatiran. “Istirahatlah dahulu. Sudah dua hari kau
tidak sadarkan diri,” sambung Baginda, ia membantuku merebahkan punggung pada
sandaran ranjang.
Melihatku
yang sudah baikkan, Baginda perlahan
pergi menuju singgah sana tempat duduk kebesarannya. Kini, hanya ada aku dan Dayang Rindu di
ruangan ini.
“Dayang Rindu, tolong kau siapkan saja pakaianku.
Setelah ini, aku ingin bertegur
sapa dengan para penduduk, lalu... mungkin akan mengunjungi Angsoko,” ucapku
pahit.
Tiba-tiba
saja raut Dayang Rindu bak tersengat lebah. Bola matanya bergerak lincah kesana-kemari.
“Maaf Putri Fatimah,” ia memberi jeda. Lengan kecilnya mengusap rambut konde, “Angsoko...
sudah dihukum pancung,” paparnya sendu, lalu melenggang menuju lemari kayu di
sudut ruangan untuk mempersiapkan pakaianku. Pernyataan Dayang Rindu nyaris
membuatku pingsan. Tubuh ini melemas.
Apa ia pantas dihukum mati hanya kerena
mencintaiku? Apa benar dirikulah
penyebab pemuda-pemuda di kerjaan ini menderita? Pikirku kecut.
“Janganlah bersedih hati, Putri Fatimah” Dayang Rindu menghapus airmataku.
Kemudian,
ia mengenakan baju dasar berwarna kuning emas padaku, satu kain songket sebagai sarung, serta satu lagi digunakan
untuk selendang. Ia pun membantu menggulung rambut, dan terakhir memasangkan
anting-anting panjang hingga menyentuh bahu. Perlahan, aku mulai memasukkan mahkota berwarna emas
menyalak ke kepala.
Aku dan
Dayang Rindu berniat menghadap Baginda Raja. Namun, belumlah sempat jemari menyentuh
gagang pintu, benda itu sudah terbuka dari luar. Seorang pengawal menghentikan
langkah kami.
“Ampun
Tuan Putri. Baginda sudah menunggu di pendopo kerajaan.” Sang pengawal berlutut
di hadapanku.
“Berdirilah pengawal. Aku akan
menghadap Baginda Raja,” seruku.
Dari
dalam kerajaan, kami melewati lorong-lorong menuju pendopo di bagian terdepan
istana. Setelah melewati
beberapa jalan, sampailah
pada sebuah ruangan besar dengan sepasang patung berbentuk manusia gagah, berfungsi
sebagai gapura ucapan selamat datang. Di pendopo ini ada puluhan prajurit, para
dayang, dan juga... pemuda asing yang tengah melihatku. Matanya seperti elang.
Tajam. Mendalam. Aku tersnyum ramah.
“Ke sinilah, Anakku.” Aku dan Dayang Rindu
menghampiri Baginda yang tengah dikelilingi dayang lain. Umurnya kini hampir kepala
lima, namun ia masih terlihat segar dengan dada bidang serta perut berpetak-petak
enam, “bentar lagi kau nak dipinang samo Tan
Bun An, dio juga lah nyanggopi
persyaratan ngebawakke sembilan guci berisi emas ontok aku. Apo kau galak nerimo
pinangan pangeran dari Kerajaan Chino itu, Siti Fatimah?”
[3] tanya Baginda
Raja.
Sorot
mataku beralih memperhatikan perawakan pemuda yang tampak berbeda dengan
laki-laki lain. Ia putih, tinggi, tegap. Kepalanya hampir botak, hanya memiliki
satu rambut panjang sepinggang di bagian tengah dikepang seperti buntut kuda.
“Kalo
Ayahanda sudah ngenjokke syarat dan dio lah nyanggopinyo. Aku pun galak ontok nerimo pinangan,”[4] jawabku tertunduk
malu. Baru kali pertama aku merasakan getaran yang selama ini kuidamkan.
Kabar
tentang pernikahanku telah
menyebar ke pelosok Negeri. Semua penduduk membantu persiapan upacara adat yang
satu minggu lagi akan digelar. Mereka memasang puluhan lampion berwarna merah
garang, digantung dari hilir Sungai
Musi lalu tersambung ke
hulu. Tan Bun An pun sudah menyuruh awak kapalnya kembali ke China untuk
mengambil kiriman dari ayahnya berupa sembilan guci. Siang ini, kami berjalan-jalan
dan tersenyum bahagia saat melihat halaman kerajaan sudah tergelar karpet kuning
emas. Beberapa lemari besar dan dua kursi yang tak kalah besar pun menjadi latar di sana.
“Siti Fatimah. Aku bahagia karena kau mau
menerima pinanganku,” suaranya beda, ia menggunakan logat khas orang China.
Jemari Tan Bun An menyentuh pipiku hingga bersemu merah. Laki-laki beralis
tebal itu tahu kalu aku tersipu karena perlakuannya, ia maju satu langkah ke
arah pelataran sungai, lalu
melanjutkan kalimatnya, “aku sudah tidak sabar menunggu kedatangan sembilan
guci emas.” Kedua tangannya merentang lebar.
“Tan
Bun An, selagi engkau menunggu, aku akan merajut songket untuk kita berdua kenakan nanti pada waktu pernikahan,”
ujarku malu-malu.
***
Sudah
lima hari ini aku menenun kain songket
di halaman belakang kerajaan. Pertemuanku dengan Tan Bun An semakin singkat, ia
sibuk berdagang dan menunggu kehadiran awak kapal di dermaga. Aku duduk pada lantai
kayu, di hadapanku ada sebilah
papan lebar sebagai alat tenun. Dayang Rindu tak pernah beranjak sedetik pun
dari sisiku, ia ikut memberi saran untuk corak songket-nya.
Sebuah
suara menghentikanku menenun songket. “Maaf, Putri Raja. Awak kapal Tuan Tan
Bun An sudah tiba, ia menunggu di dermaga,” tutur salah satu pengawal.
Kemudian,
kami pun menuju dermaga. Setelah
beberapa saat menyisiri sungai,
aku sudah dapat melihat awak kapal tengah sibuk merapikan guci di geladak[5] utama. Tan Bun An
melambaikan tangan, memberi isyarat padaku untuk segera naik ke kapal.
Ada
tujuh awak kapal serta Dayang Rindu yang menyaksikan betapa bahagianya aku dan Tan
Bun An. Lelaki berdarah China itu kelihatan tak sabar, hingga akhirnya ia
membuka guci pertama. Namun, setelah
tutup guci terbuka, rona kebahagian justru lenyap dari wajah putih Bun An.
Umpatan singkat mampu kutangkap dari bibirnya. Aku mengintip isi guci. Hati ini
mencelos saat melihat guci hanya berisikan sayuran kubis yang sudah hampir
busuk.
“Ah,
mungkin Ayahku tak sengaja memasukkan guci berisi sayuran busuk ini. Aku yakin
guci lainnya pasti berisi emas,” ia menenangkanku, senyumnya terlihat dipaksakan.
Dengan
semangat yang masih atau sedikit memudar dari sebelumnya, Tan Bun An kembali
membuka guci kedua, lalu ketiga. Namun, kekecewaan kembali harus kami telan
karena lagi-lagi guci itu hanya berisi sayuran busuk. Kali ini, umpatan dari
mulut calon suamiku sangat jelas terdengar. Lelaki berpakain serba merah
seperti daster itu memaki orang tuanya, ia membuang guci-guci yang belum sempat
dibuka ke dalam sungai.
“Aw,”
pekik Tan Bun An. Kakinya tersandung saat ingin melempar guci terakhir yang masih
tersisa di kapal, hingga guci pun pecah. Berserakan.
Aku
yakin bukan hanya bola mataku saja yang saat ini mendelik, semua orang di kapal
ini pun bersikap sama saat melihat pecahan guci memantulkan sinar menyilaukan.
Kepingan emas berserakan di geladak kapal.
Sekarang barulah jelas
kalau orang tua Tan Bun An sengaja memasukkan sayur untuk menghindari penjahat di
lautan. Lelaki itu terduduk lemas. Ia menggenggam kepingan emas dengan pandangan
mata menyedihkan.
“Bun
An,” tegurku tak kalah sedih,
lantas ikut duduk di sampingnya.
Ia
sontak berdiri. Matanya menyalak hebat. Selanjutnya, kejadian yang tak pernah kuduga
pun terjadi. Tan Bun An berlari kencang ke arah bibir kapal.
“Aku
harus mengambil guci-guci yang telah
kubuang ke Sungai Musi ini,” ujarnya. Kemudian
langsung melompat ke arus deras dan diikuti beberapa awak kapal.
Tangis
sudah pecah dari pupil mataku. Langit ikut mengejek dengan guyuran air. Hadir
hujan kali ini sama sekali tak membuat hati tenang, ia justru menghadirkan
durja kesedihan. Rimba Tan Bun tak kunjung hadir. Dayang Rindu dan beberapa
awak kapal yang tersisa mencoba menenangkanku dari sesenggukan.
“Dayang
Rindu, aku akan mencari Tan Bun An. Jika ada seonggok tanah muncul di tengah-tengah
permukaan Sungai Musi ini, maka berarti itu adalah makamku,” tuturku, kemudian
melompat ke dalam sungai.
Aku hanya
menyadari tubuhku kian pucat dan terus tenggelam ke dasar Sungai Musi. Setelah beberapa saat, mataku mendelik
sempurna ketika mendapati tubuh Dayang Rindu tepat berada di atasku. Ia
berusaha meraih tanganku, mulutnya dipenuhi gelembung. Tetapi, perlahan
semuanya menjadi gelap. Senyap. Lenyap.
Pulau
Kemaro, tahun 2015.
“Apa kau tidak bosan setiap sore hingga malam
selalu duduk di pinggir sungai?”
Rongga dadaku menghirup aroma pulau yang berada di tengah-tengah Sungai Musi ini.
Tanpa
sepatah kata, perempuan itu pergi meninggalkanku dengan payung kumuh masih di
genggaman. Aku berdiri kaku di pulau yang menurut legenda adalah sebuah kuburan bagi
perempuan bodoh karena menceburkan diri demi lelaki pujaannya.
“Apakah
besok kau masih akan kembali merenung di tempat ini, Putri Fatimah?” Pandanganku
lurus; menghadap aliran sungai
dan juga jembatan Ampera. Langkahnya terhenti, aku tahu karena tak ada lagi
bunyi genangan air saat diinjak.
“Aku
akan terus berada di pinggir sungai
ini, Angsoko,” ujarnya memakai nada khas. Lembut. Renyah di telinga.
“Kenapa?”
aku berbalik, menghadap istriku
.
“Jika
aku dan kau saja bisa bertemu setelah
beratus-ratus tahun kemudian, mungkin... Tan Bun An pun bisa! Aku yakin
cintanya akan berkelana untuk menemukan raga baru hingga meneruskan rasa padaku.”
Siti Fatimah kembali melangkah pergi.
Pahit
sekali, hujan ini selalu menghantarkan kepedihan padaku selama beratus-ratus
tahun lamanya.Ternyata, cintaku tak akan berkembang seperti Sungai Musi yang memiliki anak sungai lainnya. Percuma memaksakan sesuatu yang
aku sendiri pun sudah tahu kalau akhirnya akan menjadi luka menjijikkan. Terkurung
akan angan dan cinta yang jaraknya hanya sebatas benang tipis namun sangat
runyam. Ia ibarat suara ilusi yang selalu kutanam dalam hati. Mencoba meyakinkan
diri kalau cerita itu hanyalah
mimpi!
[1]
Songket merupakan sebuah kain tenun yang
dibuat dengan menggunakan benang pakan. Untuk hiasannya sendiri dibuat dengan menyisipkan seperti
benang perak, emas atau benang warna diatas benang lungsi. Merupakan kain tradisonal Palembang dan
Minangkabau di Indonesia.
[2] Kepudang
merupakan semacam penutup kepala khas kerajaan Palembang yang berbentuk
segitiga di bagian depan.
Biasanya bercorak keemasan.
[3] “sebentar
lagi kau akan dipinang oleh Tan Bun An, ia pun sudah menyanggupi persyaratan
untuk membawakan sembilan guci berisi emas padaku. Apakah kau setuju menerima
pinangan pangeran dari Kerajaan China itu, Siti Fatimah?”
[4]
“Kalau Ayahanda sudah
memberikan syarat dan ia telah menyanggupinya. Aku pun setuju untuk menerima
pinangan,”
BIODATA
Ricky
Douglas, seorang penulis muda kelahiran
14 Juli 1994 ini tinggal di Kabupaten Ogan Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, dan
sekarang sedang menempuh pendidikan di Universitas Diponegoro Semarang. Profil
lebih lengkap dari seorang penggila dunia sastra ini dapat kalian lihat di
Facebook: Ricky Douglas, Twitter:
@RickyDouglasz, atau email : ricky_douglas@rocketmail.com
Terimakasih.