Saturday, March 28, 2015

ONOMATOPE PULAU KEMARO

BY Ricky Douglas No comments






Created by : Ricky Douglas

Pulau Kemaro, tahun 2015
            Sudah beberapa tahun ini aku melihatnya diam. Seperti tak bernyawa. Ia menghadap dan memburaikan tatapan ke arah riak Sungai Musi. Biasanya, aku mengintip perempuan itu dari teras rumah, tak terkecuali hari ini. Kala senja hampir punah, sang perempuan renta mulai menempatkan tubuh ringkih pada sebilah kayu untuk dijadikan tempat duduk, namun bagiku justru terlihat seperti kuburan yang siap membenamkannya. Jujur, aku bosan melihat dirinya terus nestapa akan kekalahan terhadap takdir.

Dia seperti tak memiliki ruh. Mungkin saja sudah terbang terbawa angin sepoi Musi. Bergeming dalam sunyi malam tanpa ingat atap langit telah menggelap. Pun, hujan tanpa belas kasihan tak jua berhenti menampar sisi wajahnya yang semakin hari kian tirus. Mengurus. Ya, perempuan itu adalah istriku.

Aku berjalan mendekatinya dengan payung usang di genggaman. Tak mungkin tega melihat airmatanya selalu tersamar di balik guyuran hujan. Jalan setapak tergenangi air hingga membuat kaki keriputku basah. Ia kini tepat di sampingku. Kuteduhkan diri dan jiwanya, lalu menyisir lembut rambut putih panjangnya yang basah menggunakan sela-sela jari. Kemudian, aku mulai menyenandungkan sebuah lagu. 

Dikalaku merindukan keluhuran dulu kala. Kutembangkan nyanyi dari lagu Gending Sriwijaya. Dalam seni kunikmati lagi jaman bahagia. Kuciptakan kembali dari kandungan Maha Kala. Sriwijaya dengan Asrama Agung Sang Maha Guru

Aku berhenti bersenandung karena hati ini  mengembun ketika tatapannya langsung menumbuk kornea mataku, terasa panas. Nanar. Bagaimana tidak, jika hanya dengan sebait lagu itu saja, dia seperti kembali pada masa lalunya yang tak sesempurna cerita Cinderella. Mungkin, ia menganggapku bodoh karena tidak bisa membedakan antara mitos dan kata asmara yang terlalu tipis sekatnya.
 
Gending Sriwijaya. Ya, sebuah syair yang entah bagaimana telah mengikat kami berdua dalam takdir. Sebuah produk reinkarnasi jiwa untuk berpasang-pasangan, namun dalam garis ambigu. Aliran cerita itu terlampau deras untuk diterjang. Layaknya arus Musi yang sedang kami ratapi ini. Begitu menghanyutkan. Ah, aku tertawa kecut dan tanpa sadar air mataku sangat lancang terjun di suasana syahdu seperti ini.

Kerajaan Palembang, tahun 1710 Masehi
Arus Sungai Musi selalu mampu menenggelamkan tatapan siapa pun yang melihatnya. Bola mataku bergerak cepat, berpindah dari pola abstrak arus sungai lalu menuju tumpukan padat rumah-rumah penduduk di atasnya. Biasanya, mereka tengah sibuk berdagang rempah dari rumah sampan masing-masing, atau sekadar bercengkrama satu sama lain. Namun, kali ini mereka lebih memilih berteduh dari guyuran hujan. Membuat suasana Sungai Musi terlihat sepi. Mencekam. Seperti jiwaku.  

 “Maaf, Putri Raja. Hari sudah gelap, dari tadi pun hujan turun tanpa ada tanda-tanda akan berhenti. Apa sebaiknya... kita pulang ke kerajaan saja?” saran salah satu Dayang padaku.

Ia tertunduk, kedua tangan mengepal dan saling meremas di depan perut rata miliknya, hingga membuat kerutan kecil di kain putih dengan pernik emas di beberapa bagian yang membalut sekujur tubuh. Lalu, mataku beralih, memandang rimbun pohon di sekeliling Sungai Musi. Aku melenguh, mengeluarkan napas kasar. Ada semacam sembilu mengiris tipis-tipis hati, ketika jarum-jarum halus turun dari langit menusuk sadis dan melarung bersama Musi. 

“Berhentilah memanggil dengan sebutan seperti itu, Dayang. Panggil saja Siti Fatimah.” Tanganku merangkul bahu dan merapatkan tubuh muda perempuan itu untuk ikut berteduh di bawah payung lebar, berwarna ke-emasan dengan beberapa pernak-pernik warna sepadan yang bergantungan di setiap sisi bundarnya. 

 “I-i-ya, Putri Raja. Eh, Putri Fatimah” jawabnya kaku, sambil membetulkan perlahan posisi payung buatku. Walaupun, peneduh yang terbuat dari olahan getah pohon itu tak sepenuhnya berhasil menghindarkanku dari basah. Terbukti, songket[1] yang menutupi tubuhku bagian pinggang ke bawah tetap saja tersirami hujan. 

 “Wahai para pengawal. Tubuh bagian atas kalian tidak tertutupi helaian apa pun, apakah tidak dingin saat hujan menerpa? Pulanglah ke kerajaan. Biarkan aku dan Dayang Rindu menikmati hujan dari pinggir sungai ini,” titahku pada ke-empat pengawal, mereka berdiri di belakang sedari tadi.

 “Maaf, Baginda sudah memerintahkan kami untuk mengawal Putri,” kata Angsoko sambil menunduk. Aku tersenyum menanggapinya. Ia salah satu pengawal dengan perawakan gagah yang entah kenapa membuatku sedikit risau saat berdekatan dengannya. 

Lengan kiriku menengadah, merasakan titik air saat menyentuh kulit, “kenapa akhir-akhir ini hujan turun tidak pada musimnya?” aku menggerutu lebih pada diri sendiri. 

 “Bukankah seperti itulah fungsi hujan, Putri Raja?” papar sebuah suara memecahkan kebekuan antara aku dan hujan.  

 “Apa maksudmu, Angsoko?” aku menoleh padanya, ia kini sudah ada di sebelahku. Senyum tak pernah lepas dari wajahku yang kata pemuda-pemuda kerajaan bak berbentuk bulat telur.

“Terkadang hujan datang di waktu yang tepat untuk membawa kebahagian. Selebihnya, hujan hadir hanya untuk membekaskan kesedihan. Membuat nostalgia pahit bermuram durja di pikiran.” Pemuda berbahu lebar itu menatapku tajam. 

“Mungkin kau benar kalau hujan memiliki dua sisi. Tapi, selama ini ia selalu mampu menawarkan ketenangan padaku,” ucapanku terhenti ketika mendapati tatapan penuh kebencian darinya yang menusuk mataku. 

“Hujan membawa kesadaran pahit padaku karena telah lancang mencintai Putri Raja sepertimu. Setiap hari ada saja laki-laki meminangmu. Tanpa kau sadari, kecantikan dirimulah penyebab sengsaranya pemuda-pemuda di kerajaan ini! Termasuk aku!” Angsoko berdiri sangat dekat denganku. Mukanya memerah hebat. Aku dapat melihat kalau bolamatanya mengembun. Menyisahkan basah di pelupuk.

Tanpa menunggu perintah, Dayang Rindu beserta tiga pengawal lain menjauhkan Angsoko. Ia memberontak hebat. Tangan dan kakinya menerjang-nerjang. Sampai akhirnya, hujan yang sedari tadi ia perbincangkan menggunakan kalimat benci tersamar pun menghakiminya. Angsoko jatuh terpeleset ke dalam Sungai Musi. Betapa terkejutnya aku, sesaat sebelum ia jatuh, pemuda itu menarik selendang songket yang terkalung di bahuku hingga aku ikut tercebur ke derasnya aliran sungai.
***
“Baginda, biarkanlah saja lenganku kau potong, daging kau cabik, bahkan kepala ini kau penggal. Aku tidak takut! Biarlah tubuhku punah, binasa, atau tergerus zaman sekalipun, tapi cintaku akan berkelana dan memilih raga baru untuk terus mencintainya. Aku bersumpah akan menjadikan Siti Fatimah pendamping hidupku!” Ia terbatuk-batuk,  sulit bernapas karena temali mengikat lehernya.

“Pengawal, penggal dia!” titah Baginda Raja kepada laki-laki dengan otot dada menyembul serta sebilah kapak besar di tangan. Sejurus kemudian, darah bercucuran  di halaman gersang yang biasanya dijadikan tempat hukuman mati itu. 


 “Dayang Rindu, kau sudah memberikan kesaksian sangat jelas mengenai peristiwa kemarin. Sekarang kau boleh pergi!” suara Baginda Raja membuyarkan rasa ngeriku akan eksekusi yang barusan terjadi. 

Kamar Putri Kerajaan Palembang.
Aneh, aku mampu merasakan kalau sekarang ada yang menekan-nekan dahiku, berpindah ke bahu, lalu meraba sekujur tubuh. Ada juga bau tajam, menyengat. Tapi, semuanya tetap saja gelap. Kelopak mata terlalu berat untuk dibuka. Namun, kini pandangan yang semula buram akhirnya mulai terang akibat bau menyengat.

“Anakku, kau sudah sadar?” sosok tinggi besar ber-kepudang[2] lapis emas di kepalanya itu menyentuh pipiku. Mata cokelatnya penuh sinar kekhawatiran. “Istirahatlah dahulu. Sudah dua hari kau tidak sadarkan diri,” sambung Baginda, ia membantuku merebahkan punggung pada sandaran ranjang.

Melihatku yang sudah baikkan, Baginda perlahan pergi menuju singgah sana tempat duduk kebesarannya.  Kini, hanya ada aku dan Dayang Rindu di ruangan ini. 

 “Dayang Rindu, tolong kau siapkan saja pakaianku. Setelah ini, aku ingin bertegur sapa dengan para penduduk, lalu... mungkin akan mengunjungi Angsoko,” ucapku pahit. 

Tiba-tiba saja raut Dayang Rindu bak tersengat lebah. Bola matanya bergerak lincah kesana-kemari. “Maaf Putri Fatimah,” ia memberi jeda. Lengan kecilnya mengusap rambut konde, “Angsoko... sudah dihukum pancung,” paparnya sendu, lalu melenggang menuju lemari kayu di sudut ruangan untuk mempersiapkan pakaianku. Pernyataan Dayang Rindu nyaris membuatku pingsan. Tubuh ini melemas. 

Apa ia pantas dihukum mati hanya kerena mencintaiku? Apa benar dirikulah penyebab pemuda-pemuda di kerjaan ini menderita? Pikirku kecut. 

 “Janganlah bersedih hati, Putri Fatimah” Dayang Rindu menghapus airmataku. 

Kemudian, ia mengenakan baju dasar berwarna kuning emas padaku, satu kain songket sebagai sarung, serta satu lagi digunakan untuk selendang. Ia pun membantu menggulung rambut, dan terakhir memasangkan anting-anting panjang hingga menyentuh bahu. Perlahan, aku mulai memasukkan mahkota berwarna emas menyalak ke kepala. 

Aku dan Dayang Rindu berniat menghadap Baginda Raja. Namun, belumlah sempat jemari menyentuh gagang pintu, benda itu sudah terbuka dari luar. Seorang pengawal menghentikan langkah kami.

“Ampun Tuan Putri. Baginda sudah menunggu di pendopo kerajaan.” Sang pengawal berlutut di hadapanku. 

“Berdirilah pengawal. Aku akan menghadap Baginda Raja,” seruku. 

Dari dalam kerajaan, kami melewati lorong-lorong menuju pendopo di bagian terdepan istana. Setelah melewati beberapa jalan, sampailah pada sebuah ruangan besar dengan sepasang patung berbentuk manusia gagah, berfungsi sebagai gapura ucapan selamat datang. Di pendopo ini ada puluhan prajurit, para dayang, dan juga... pemuda asing yang tengah melihatku. Matanya seperti elang. Tajam. Mendalam. Aku tersnyum ramah.

 “Ke sinilah, Anakku.” Aku dan Dayang Rindu menghampiri Baginda yang tengah dikelilingi dayang lain. Umurnya kini hampir kepala lima, namun ia masih terlihat segar dengan dada bidang serta perut berpetak-petak enam, “bentar lagi kau nak dipinang samo Tan Bun An, dio juga lah nyanggopi persyaratan ngebawakke sembilan guci berisi emas ontok aku. Apo kau galak nerimo pinangan pangeran dari Kerajaan Chino itu, Siti Fatimah?” [3] tanya Baginda Raja.

Sorot mataku beralih memperhatikan perawakan pemuda yang tampak berbeda dengan laki-laki lain. Ia putih, tinggi, tegap. Kepalanya hampir botak, hanya memiliki satu rambut panjang sepinggang di bagian tengah dikepang seperti buntut kuda. 

 “Kalo Ayahanda sudah ngenjokke syarat dan dio lah nyanggopinyo. Aku pun galak ontok nerimo pinangan,”[4] jawabku tertunduk malu. Baru kali pertama aku merasakan getaran yang selama ini kuidamkan.

Kabar tentang pernikahanku telah menyebar ke pelosok Negeri. Semua penduduk membantu persiapan upacara adat yang satu minggu lagi akan digelar. Mereka memasang puluhan lampion berwarna merah garang, digantung dari hilir Sungai Musi lalu tersambung ke hulu. Tan Bun An pun sudah menyuruh awak kapalnya kembali ke China untuk mengambil kiriman dari ayahnya berupa sembilan guci. Siang ini, kami berjalan-jalan dan tersenyum bahagia saat melihat halaman kerajaan sudah tergelar karpet kuning emas. Beberapa lemari besar dan dua kursi yang tak kalah besar pun menjadi latar di sana.

 “Siti Fatimah. Aku bahagia karena kau mau menerima pinanganku,” suaranya beda, ia menggunakan logat khas orang China. Jemari Tan Bun An menyentuh pipiku hingga bersemu merah. Laki-laki beralis tebal itu tahu kalu aku tersipu karena perlakuannya, ia maju satu langkah ke arah pelataran sungai, lalu melanjutkan kalimatnya, “aku sudah tidak sabar menunggu kedatangan sembilan guci emas.” Kedua tangannya merentang lebar.

“Tan Bun An, selagi engkau menunggu, aku akan merajut songket untuk kita berdua kenakan nanti pada waktu pernikahan,” ujarku malu-malu. 

***
Sudah lima hari ini aku menenun kain songket di halaman belakang kerajaan. Pertemuanku dengan Tan Bun An semakin singkat, ia sibuk berdagang dan menunggu kehadiran awak kapal di dermaga. Aku duduk pada lantai kayu, di hadapanku ada sebilah papan lebar sebagai alat tenun. Dayang Rindu tak pernah beranjak sedetik pun dari sisiku, ia ikut memberi saran untuk corak songket-nya. 

Sebuah suara menghentikanku menenun songket. “Maaf, Putri Raja. Awak kapal Tuan Tan Bun An sudah tiba, ia menunggu di dermaga,” tutur salah satu pengawal. 

Kemudian, kami pun menuju dermaga. Setelah beberapa saat menyisiri sungai, aku sudah dapat melihat awak kapal tengah sibuk merapikan guci di geladak[5] utama. Tan Bun An melambaikan tangan, memberi isyarat padaku untuk segera naik ke kapal. 

Ada tujuh awak kapal serta Dayang Rindu yang menyaksikan betapa bahagianya aku dan Tan Bun An. Lelaki berdarah China itu kelihatan tak sabar, hingga akhirnya ia membuka guci pertama. Namun, setelah tutup guci terbuka, rona kebahagian justru lenyap dari wajah putih Bun An. Umpatan singkat mampu kutangkap dari bibirnya. Aku mengintip isi guci. Hati ini mencelos saat melihat guci hanya berisikan sayuran kubis yang sudah hampir busuk. 

“Ah, mungkin Ayahku tak sengaja memasukkan guci berisi sayuran busuk ini. Aku yakin guci lainnya pasti berisi emas,” ia menenangkanku, senyumnya terlihat dipaksakan. 

Dengan semangat yang masih atau sedikit memudar dari sebelumnya, Tan Bun An kembali membuka guci kedua, lalu ketiga. Namun, kekecewaan kembali harus kami telan karena lagi-lagi guci itu hanya berisi sayuran busuk. Kali ini, umpatan dari mulut calon suamiku sangat jelas terdengar. Lelaki berpakain serba merah seperti daster itu memaki orang tuanya, ia membuang guci-guci yang belum sempat dibuka ke dalam sungai.

“Aw,” pekik Tan Bun An. Kakinya tersandung saat ingin melempar guci terakhir yang masih tersisa di kapal, hingga guci pun pecah. Berserakan. 

Aku yakin bukan hanya bola mataku saja yang saat ini mendelik, semua orang di kapal ini pun bersikap sama saat melihat pecahan guci memantulkan sinar menyilaukan. Kepingan emas berserakan di geladak kapal. Sekarang barulah jelas kalau orang tua Tan Bun An sengaja memasukkan sayur untuk menghindari penjahat di lautan. Lelaki itu terduduk lemas. Ia menggenggam kepingan emas dengan pandangan mata menyedihkan. 

“Bun An,” tegurku tak kalah sedih, lantas ikut duduk di sampingnya.

Ia sontak berdiri. Matanya menyalak hebat. Selanjutnya, kejadian yang tak pernah kuduga pun terjadi. Tan Bun An berlari kencang ke arah bibir kapal. 

“Aku harus mengambil guci-guci yang telah kubuang ke Sungai Musi ini,” ujarnya. Kemudian langsung melompat ke arus deras dan diikuti beberapa awak kapal.

Tangis sudah pecah dari pupil mataku. Langit ikut mengejek dengan guyuran air. Hadir hujan kali ini sama sekali tak membuat hati tenang, ia justru menghadirkan durja kesedihan. Rimba Tan Bun tak kunjung hadir. Dayang Rindu dan beberapa awak kapal yang tersisa mencoba menenangkanku dari sesenggukan.

“Dayang Rindu, aku akan mencari Tan Bun An. Jika ada seonggok tanah muncul di tengah-tengah permukaan Sungai Musi ini, maka berarti itu adalah makamku,” tuturku, kemudian melompat ke dalam sungai.

Aku hanya menyadari tubuhku kian pucat dan terus tenggelam ke dasar Sungai Musi. Setelah beberapa saat, mataku mendelik sempurna ketika mendapati tubuh Dayang Rindu tepat berada di atasku. Ia berusaha meraih tanganku, mulutnya dipenuhi gelembung. Tetapi, perlahan semuanya menjadi gelap. Senyap. Lenyap.

Pulau Kemaro, tahun 2015.
 “Apa kau tidak bosan setiap sore hingga malam selalu duduk di pinggir sungai?” Rongga dadaku menghirup aroma pulau yang berada di tengah-tengah Sungai Musi ini.

Tanpa sepatah kata, perempuan itu pergi meninggalkanku dengan payung kumuh masih di genggaman. Aku berdiri kaku di pulau yang menurut legenda adalah sebuah kuburan bagi perempuan bodoh karena menceburkan diri demi lelaki pujaannya. 

“Apakah besok kau masih akan kembali merenung di tempat ini, Putri Fatimah?” Pandanganku lurus; menghadap aliran sungai dan juga jembatan Ampera. Langkahnya terhenti, aku tahu karena tak ada lagi bunyi genangan air saat diinjak. 

“Aku akan terus berada di pinggir sungai ini, Angsoko,” ujarnya memakai nada khas. Lembut. Renyah di telinga. 

“Kenapa?” aku berbalik, menghadap istriku
.
“Jika aku dan kau saja bisa bertemu setelah beratus-ratus tahun kemudian, mungkin... Tan Bun An pun bisa! Aku yakin cintanya akan berkelana untuk menemukan raga baru hingga meneruskan rasa padaku.” Siti Fatimah kembali melangkah pergi.

Pahit sekali, hujan ini selalu menghantarkan kepedihan padaku selama beratus-ratus tahun lamanya.Ternyata, cintaku tak akan berkembang seperti Sungai Musi yang memiliki anak sungai lainnya. Percuma memaksakan sesuatu yang aku sendiri pun sudah tahu kalau akhirnya akan menjadi luka menjijikkan. Terkurung akan angan dan cinta yang jaraknya hanya sebatas benang tipis namun sangat runyam. Ia ibarat suara ilusi yang selalu kutanam dalam hati. Mencoba meyakinkan diri kalau cerita itu hanyalah mimpi!




[1]  Songket merupakan sebuah kain tenun yang dibuat dengan menggunakan benang pakan. Untuk hiasannya sendiri dibuat dengan menyisipkan seperti benang perak, emas atau benang warna diatas benang lungsi. Merupakan kain tradisonal Palembang dan Minangkabau di Indonesia. 

[2] Kepudang merupakan semacam penutup kepala khas kerajaan Palembang yang berbentuk segitiga di bagian depan. Biasanya bercorak keemasan. 

[3]  sebentar lagi kau akan dipinang oleh Tan Bun An, ia pun sudah menyanggupi persyaratan untuk membawakan sembilan guci berisi emas padaku. Apakah kau setuju menerima pinangan pangeran dari Kerajaan China itu, Siti Fatimah?”

[4] “Kalau Ayahanda sudah memberikan syarat dan ia telah menyanggupinya. Aku pun setuju untuk menerima pinangan,”

[5] Geladak dalam bahasa Inggrisnya deck adalah lantai kapal.

BIODATA
Ricky Douglas, seorang penulis muda kelahiran 14 Juli 1994 ini tinggal di Kabupaten Ogan Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, dan sekarang sedang menempuh pendidikan di Universitas Diponegoro Semarang. Profil lebih lengkap dari seorang penggila dunia sastra ini dapat kalian lihat di Facebook: Ricky Douglas,  Twitter: @RickyDouglasz, atau email : ricky_douglas@rocketmail.com Terimakasih.