Tuesday, November 25, 2014

UNTITLED

BY Ricky Douglas No comments



UNTITLED

          Pernah punya sebuah ikatan? Gimana rasanya? Nyaman atau justru kembali pada kodrat sebuah ikatan. Yaitu, mengikat?! Hm, gua juga punya ikatan kayak gitu. Entahlah, terkadang nyaman... tapi rasa itu memudar dan semakin mengikat. Sedikit sesak memang. Yah, rasa sesak itulah yang gua sebut sebagai persahabatan.

          Ini klise. Sungguh, sangat klise. Ah, lagi-lagi tentang persahabatan dan cinta kan? Maafin gua jika memulai cerita ini dengan hal yang sangat klise kayak gini. 

          Kami ber-enam. Salah satunya memiliki anugerah yang mereka sebut sebagai indra ke-enam. Mungkin karena itulah kami ber-enam. Dan, gara-gara angka enam itulah kami memutuskan untuk memiliki pulpen dan kertas masing-masing buat mengukir kisah sendiri. 

          BERPISAH. Kata itu sedikit membosankan tapi benar banget keberadaanya. Soo, apa yang ngebuat gua masih mengenang mereka? Karena satu hal. Setiap gua mau tidur, hanya gambar senyum mereka yang selalu teringat. 

Cerita ini sengaja gua bikin buat mereka. Selama ini mereka terus berjalan dengan kepala tegap, beberapa ada juga yang menunduk.      Harapan gua, semoga saja dengan cerita ini setidaknya mereka kembali menoleh ke belakang. Sekedar menoleh untuk melihat kalo gua masih tertinggal di sana.

If you think my world it's very confused, you right! But, not at all. Cause i have something special in my life.  Like a Untitled.





Bab 1.
Waiting For Something

Apa yang lo pikiran tentang takdir? Menurut gua sih, takdir itu kayak buah durian. Kalo kalian melihatnya mentah-mentah, itu suatu hal yang menakutkan. Apalagi banyak durinya! Tapi, kalo kalian bisa gunain hidung buat nyium harum buahnya, kalian bakal rela susah payah buat ngedapetin manis isinya. 

Gua itu mahluk paling kece satu jurusan! Ini statement udah menjadi hak paten buat gua. Mau bukti? Nih, gua kasih tahu. BUKTI PERTAMA. Kalo gua ke kantin, pasti ibu kantinnya senyum mulu sama gua dan langsung nawarain “Mau makan apa mas?”. Gua senyum-senyum cool aja ngeliat Ibunya, emang dasar sinar kegantengan gua sulit buat disembunyiin. BUKTI KE-DUA. Bapak-bapak parkiran kampus suka negur gua gitu kalo motor gua udah mulai memasuki lahan dia, sukanya bilang “Kok telat mulu mas? Tuh dosennya udah dateng”.  Reaksi gua? Gua dengan gagah perkasanya menghiraukan ucapan bapak parkiran, pas udah lumayan jauh, gua curi-curi pandang lewat spion. BUKTI KE-TIGA. Huh, satu hal lagi yang buat gua yakin kalo gua adalah mahluk paling kinclong di sini. Setiap dosen ngajar di kelas, gua kan paling aktif tuh nanya mulu, pas gua angkat tangan, seluruh mahluk ajaib dalam kelas langsung noleh ke arah gua. Abis itu mereka bisik-bisik (Ihh, tuh cowo siapa sih? Kok caper banget!) Capek kan jadi gua?!

Pernah teman gua nanya gini kala ujan mulai menghiasi sudut kampus yang disertai dengan kicauan burung (Entah burung siapa yang berkicau).

“Kok lu alay sih?” dia nanya. Malah lebih mirip preman pasar johar kalo lagi marah. 

“Eh, Nyung. Dunia itu sepi banget kalo gak ada orang alay! Bayangin nih, emang lu mau setiap orang ngomong dengan gaya sok diplomatis? Ato anak-anak kutu buku yang kerjaannya cuma pacaran sama buku? Mending alay. Udah lucu, imut, bikin ngakak, terus idaman para ibu-ibu lagi Buahahaha.”

“Yaudah lu pacaran aja sama ibu-ibu sono!” 

“Emang gua Raffi Ahmad?” 

          Akhirnya obrolan tentang mahluk alay bermuara dengan menggosip hubungan Raffi Ahmad dan Yuni Shara. Duh, ini awkward moment banget emang. 

          Balik lagi ke sosok seorang Ramzi Anggara. Ramzi Anggara itu nama panjang gua. Biasanya sih dipanggil Rangga atau serangga! Gua gak suka dipanggil Rangga, soalnya temen-temen gua bilang ntar mirip kayak boyband yang rambutnya maksa banget biar bisa mirip orang barat! Apalagi mukanya cuy. God! Bedak berkilo-kilo bisa betah bersarang di sana. Semantara gua? Gua itu mahluk paling kece yang sederhana dan merakyat. Ke kampus sukanya pake kemeja rapi kaya orang kantoran yang habis di PHK. Rambut gua klimis banget mirip Brandon Routh saat memerankan film Superman Return. Nah, kalo masalah badan, gua itu mirip banget kayak Taylor Lauthner (dalam ekspektasi) dan (realita-nya) gua itu mirip kayak Steve Roger (Chris Evan) saat dia belum dijadikan tikus percobaan oleh Dokter Josef Reinstein hingga menjadi seorang Captain America.

KEBIASAN gua yang lainnya. Seorang Ramzi itu idealis tapi melankolis. All about detective. Paling suka main detective-detective’an. Paling suka Sherlock Holmes. Saking sukanya sama dunia para pemecah misteri ini, sampe-same ngegalau karena gak punya pacar aja pakai gaya detective.

“Oke. Gua harus bisa memecahkan kasus lu. Ini kasus paling berat yang pernah gua temuin. Lu udah jomblo hampir seumur idup kan?” (Ngomong sama cermin)

“Iya. Gua jomblo mulu nih. Terus apa dong penyebab gua jomblo?” (Ngomong sama cermin lagi)

Mikir. Liat cermin. Jentikin jari di jidat. Senyum lebar.

“Gua tahu! Mungkin lu jomblo karena jodoh lu udah meninggal pas dia baru lahir. OMG! Sabar ya!”

Dan, begitulah obrolaan singkat dari seorang jomblo ngenes seperti gua. Malam ini berakhir LAGI dengan peluk guling dan ngisep jempol. 


-Continued-





*Gara-gara ngobrol bareng Yudha jadinya kepikiran lagi buat cerita ini, setelah kehilangan 300 hlm karena virus. Ini versi cerita UNTITLED yang berbeda dari dulu. Nyoba bikin cerita yang 'sok ngelucu' buahaha


 









Monday, May 19, 2014

Bayangan

BY Ricky Douglas No comments


            Aku menyibakkan rambut yang kian panjang. Kubersihkan beberapa bagian seragam yang nampak sedikit  lusuh. Aneh sekali, padahal ini seragam baru! Kuperhatikan wajahku di cermin. “Cantik,” selorohku dengan senyum terkembang. Ah, sepertinya, aku terlalu banyak memakai bedak! Putih wajahku sudah sedikit berlebihan.
***
            Langkahku terasa ringan. Entahlah, mungkin karena aku terlalu bersemangat menimba ilmu. Maklum saja, hari ini adalah hari pertama masuk sekolah! Tentu semangatku masih menggebu-gebu. Dengan lahkah cepat, aku mulai masuk ke dalam kelas, walaupun langit nampak mendung.

            Duduk, lalu diam! Tak seoarang anak pun yang bertata krama padaku. Tak seorang anak pun yang menyapa atau membalas sapaanku! Menyebalkan! Guru di depan kelas pun nampak sibuk menjelaskan materi yang sulit buat kupahami.

            Aku duduk di barisan paling belakang, dengan dua anak mengapitku. Sedari tadi, mereka tak pernah mendengarkan materi yang disampaikan, karena selalu berbicara, dan sesekali melempar tawa. Aku tersenyum mendengar pembicaraan mereka, dan beberapa kali ikut andil dalam pembicaraan itu. Walapun mereka mengabaikanku, bahkan tak melirik sejengkal pun kearahku.
***
Tak jarang kugerakkan pantat ini! Rasanya tak nyaman duduk berlama-lama di dalam kelas. Bukan karena tak betah, namun rasa sakit yang mendera leher ini, membuatku sedikit meringis. Kuangkat tanganku ke atas, berharap guru yang sedang mengajar megnizinkanku pergi ke toilet. Namun, sekali lagi! Aku diabaikan! Suaraku seperti tertelan bising dari celoteh sang guru.

Kuseret kaki yang terasa berat, kemudian menghampiri guru di depan kelas.
“Pak, saya ingin izin ke toilet,” suaraku sedikit tertahan, karena menahan rasa sakit.
Seperti ada yang mencekik leherku. Guru itu angkat bicara. Tapi! Bukannya menanggapi omonganku, justru dia menghampiri salah satu siswa yang terlihat sedang berteriak hiteris.

Tak dapat lagi rasanya kutampung rasa sakit ini. Aku duduk meringkuk di depan kelas. Leherku kian terasa perih, seperti di jerat oleh temali tak kasat mata. Mataku kian meremang, dan tubuhku pun ikut menggigil. Beberapa kali kuhembuskan nafas berat. Teriakan minta tolongku tak terdengar atau mungkin memang tak diperdulikan mereka! Kuhapus air mata ini.
“Darah?” gumamku heran. Kenapa air mataku berwarna merah? Terlihat seperti darah!
“Kamu kenapa?” teriak panik Pak guru, kepada salah satu siswa.
Kutolehkan kepala kearah mereka. Hebat! Guru yang pilih kasih! Aku pun menderita! Tak lihatkah kalian sekujur tubuhku yang kian meringkuk? Lihat! Mataku pun mengeluarkan cairan mirip darah! Hey! Jangan sungkan untuk menolongku!
“Pak … i … itu … ku … kunti,” pekik suara anak itu, sambil melihat dan menunjuk kearahku.
“Oh, syukurlah. Bapak kira kamu sakit. Jangan khawatir, ia cuma ingin ikut belajar. Itu salah satu siswi yang meninggal dua puluh tahun lalu, akibat bunuh diri,” jelas Pak guru.
 “Ayo, kita bacakan doa untuknya,” sambungnya kemudian.

Mataku membesar, degup jantungku berirama secepat kilat. Aku? kenapa mereka menyebutku … kunti? Rasa sakit di tubuhku perlahan menghilang, darah yang menghiasi pipiku pun lenyap tak bersisa. Seperti bayangan yang tertelan gulita, perlahan tubuhku pun menghilang. Senyap!






BIODATA NARASI
Ricky Douglas, seorang penulis muda kelahiran 14 Juli 1994 ini tinggal di Kabupaten Ogan Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, dan sekarang sedang menempuh pendidikan di Universitas Diponegoro Semarang. Facebook: Ricky DouglasTwitter: @RickyDouglasz, atau email : ricky_douglas@rocketmail.com Terimakasih.


Wednesday, April 30, 2014

Aku adalah Sahabatku

BY Ricky Douglas IN No comments




Sepatu  itu kusam. Rasanya, debu sangat betah bersarang di sana. Talinya pun tak putih seperti semula, banyak bercak yang sulit buat dihilangkan. Ingatkah wajah serampangan kita waktu itu? Ketika tanpa malu ingus bermunculan di sudut hidung. Lepas dan tanpa beban. Tidak ada koreng yang menjijikkan di bongkahan dada. Bersih, tak berparas.
***
            “Hey, kau kan sudah ada sepeda. Ini  sepedaku, Cakka!” tiba-tiba sepeda itu terlalu menjadi idola pada hari ini.
            “Tapi, sepedaku jelek. Rantainya putus terus.” Pipinya terlihat menggelembung, serta tangan yang dilipat kan ke dada.
            Setiap embun mulai menyeruak menjadi tak berasa lagi, kami pun mengayuh sepeda kecil ini menuju jalanan perkampungan. Selalu berbagi dan melempar canda seolah hari ini tak akan pernah berakhir. Beberapa kali Cakka menghentikan sepedanya karena rantai itu terlepas. Ia merutuki setiap jengkal bagian sepedanya, menyesali kenapa orang tuanya tak pernah mampu membelikan sepeda baru.
            “Ini pakai sepedaku,” tawarku padanya.
            “Wah, benarkah, Ian?” jawabnya sambil memamerkan rentetan gigi kuda yang putih.
            “Tentu!”
***
            Belum sempat aku menghentikan langkah kaki yang memburu. Namun, sudah bisa kurasakan tangisan yang menggema di pelataran danau ini. Ah, selalu seperti ini!

            “Cakka.” Panggilku lirih.
            Ia tak menoleh kepadaku. Berusaha menyembunyikan tangis yang terdengar memekakkan telinga.
            “Kan sudah aku bilang, jangan nangis lagi. Masih ada aku!” tubuh kecilnya kurangkul, permen kapas selalu berhasil menenangkannya.
            “Ayah dan Ibu selalu bertengkar, Ian. Ayah bilang aku bukan anak kandungnya. Ibu berselingkuh,” matanya sembab.
Kriukk … kriuk ….
            “Hahaha, itu bunyi perutmu, Cakka?”
            Ia mengangguk malu.
            “Kau belum makan?” tanyaku ragu.
            “Seharian ini aku tidak diberi makan Ibu, Ian. Ibu bilang karena akulah Ayah jadi sering marah,” kepalanya kembali tertunduk.
***
            Seperti biasa, saat sang fajar mulai menyapa, kami beradu berpacu dengan sepeda yang justru sering kami sebut sebagai kuda. Kali ini kubiarkan Cakka memakai sepedaku, selain karena sepedanya sering rusak, sepedaku adalah yang tercepat di kampung ini. 
            Sedari tadi lekungan bahagia tak pernah pudar dari bibirnya, hingga aku sadar ia telah mengayuh sepeda cukup jauh dariku. Sosoknya telah hialng di pertigaan jalan. Sepedaku makin capat melesat, mengejar ketertinggalanku.
            Diam. Sepedaku terjatuh bersama dengan tubuhku. Air mataku mengucur deras seperti hujan yang tak pernah di undang saat musim kemarau. Aku menemukan sosok Cakka tergeletak bersimbah darah, dan sebuah mobil melaju kencang meninggalkan tubuh itu. Tak ada lagi irama detak jantung pada tubuh Cakka.
***
             Belum sempat aku menghentikan langkah kaki yang memburu. Namun, sudah bisa kurasakan tangisan yang menggema di pelataran danau ini. Ah, selalu seperti ini! Kuambil permen kapas dan memberikan padanya. Cakka.
            “Terimakasih, sudah seharian ini aku belum makan,” jawabnya sedih.
            “Ayah dan Ibu selalu kejam padaku! Mereka bilang aku ini bukan anaknya!” lanjutnya pilu.
            “Ayo, kita pulang, Cakka.” Ajakku.
            “Danu,” suara lembut menghentikan langkahku dan Cakka. Ia merupakan Ibu Cakka.
            “Cakka, kau pulang duluan, biar aku bicara sama ibumu.” Cakka pun pergi.
            “Danu, keadaan Ian masih belum sembuh?” tanyanya perlahan, sambil menoleh sosok rapuh yang kian menjauh.itu.
            “Belum. Semenjak kematian Cakka, Ian bertingkah seakan dirinya adalah Cakka. Namun, terkadang ia pun kembali menjadi Ian seperti biasa. Mungkin, ia sangat merindukan Cakka.”






BIODATA NARASI

Ricky Douglas, seorang penulis muda kelahiran 14 Juli 1994 ini tinggal di Kabupaten Ogan Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, dan sekarang sedang menempuh pendidikan di Universitas Diponegoro Semarang. Profil lebih lengkap dari seorang penggila dunia sastra ini dapat kalian lihat di Facebook: Ricky DouglasTwitter: @RickyDouglasz, atau email : ricky_douglas@rocketmail.com Terimakasih.

 Catatan Kaki :
Awalnya cerita ini dibuat untuk mengikuti tantangan bikin cerita selama 30 menit, dari salah satu group kepenulisan. Setelah berhasil membuatnya selama 30 menit dengan tema "Sahabat kecilku", tapi sayang kuota internet ane habis buahahaa. Akhirnya harus ngisi pulsa dulu, dan gak jadi ikut lomba karena waktunya udah habis wkwk.



Monday, April 28, 2014

Partitur Pengganggu Tidur

BY Ricky Douglas IN 2 comments



Aku mengenalnya tak cukup lama. Banyak yang tertoreh atau sengaja ditorehkan di sana. Kusam dan bau berdebu melekat erat pada setiap kain yang sengaja dirajut dengan apik.  Warnanya tak akan pernah pulih seperti dulu. Namun, masih bisa kurasakan aroma penghantar memori terdahulu di setiap hunusan tajam baunya. Seragam kerja. Selalu menyibak masa lampau yang sukar terobati.
***
            “Bagaimana kabar anak dan istrimu, Jon?” ia berbicara cukup lantang, walaupun beberapa suap nasi terus dilahapnya.
            “Baik,” jawabku singkat.
            “Kau tidak merindukan mereka? Sudah dua tahun kau tak pernah pulang.” Ia menatapku lekat.
            “Mereka butuh uang! Maka dari itu aku harus kerja mati-matian, Fik!” pitamku sedikit berpacu. Ia tak pernah bosan membahas masalah ini.
***
            “Klintung … klintung….”
            Pekatnya malam selalu mengundang bola mata untuk segera terbenam. Purnama mendelik adalah tanda bahwa aku harus segera bersembunyi di balik selimut hangat. Senyap.
            “Klintung … klintung ….”
            Kusingkap selimut hangat yang semula hampir menutupi semua bagian tubuh. Suara itu! Sudah hampir satu minggu ini, selalu menjadi partitur pengganggu di setiap malam. Suaranya membuat bulu kudukku berdiri menantang. Suara aneh yang sepertinya tercipta dari guncangan kaleng rombeng.
            Perlahan, kubuka pintu kamar kos yang langsung berhadapan dengan gang kumuh. Alisku saling beradu, menatap aneh pada kakek tua dengan gerobak lusuhnya. Benar dugaanku! Suara aneh itu akibat guncangan dari kaleng rombeng, yang terikat pada gerobak reotnya.
***
            “Mas, adek sakit,” suara di ujung telepon itu membuatku menelan ludah.
            “Biarkan saja, nanti sembuh sendiri.”
            “Anakmu sakit, Mas. Batuknya makin parah. Beberapa kali ia menyebut namamu dalam tidurnya,” wanita itu terisak.
            “Aku akan kirim uang. Nanti kau ajak dia berobat!” kumatikan handphone dengan cepat.
***
            Berkat pendingin ruangan ini, aku tak perlu merasakan teriknya mentari. Pekerjaan yang sungguh menyenangkan, cukup berdiam diri di depan komputer. Hari ini aku pulang lebih awal, karena tak enak badan.
            Langkahku yang semula lunglai, kini justru terhenti. Aku melihat sosok kakek yang selama ini selalu membuat partitur pengganggu tidur. Ia sedang mengais kumpulan bekas makanan di bak sampah. Miris.
***                      
            “Klintung … klintung …” suara itu kembali terdengar. Tepat saat rembulan tanpa malu menampakkan diri,
            Malam ini aku sengaja menunggu kakek itu. Cukup penasaran dengan penampilannya yang lusuh, serta bunyi mengerikan dari kaleng itu. Ia berjalan pelan sambil menarik gerobak reotnya. Tanah yang berbatu, justru membuat kaleng itu makin beritme.
            Ia berhenti pada  penghujung gang. Gubuk kecil itu menjadi pemberhentian terakhirnya. Sesosok wanita tua dengan rambut putihnya, terlihat berhambur masuk ke dalam pelukan sang kakek. Kemudian, kakek tua itu mengeluarkan nasi hasil pungutannya.
            “Kek,” tegurku yang akhirnya tak bisa menahan diri.
            “Ya, kenapa?” senyuman tulus menghiasi sudut bibirnya.
            “Maaf, Kek. Kalalu boleh tahu, nasi itu buat siapa? Bukannya itu nasi bekas?” tanyaku perlahan.
            Raut wajah sang kakek seketika berubah sendu.
            “Cucu kakek sakit, Nak. Dari kemarin, ia sangat ingin makan makanan enak. Kakek tak sampai hati setiap hari harus memberinya nasi aking dan garam saja,” air matanya berkumpul pada pelupuk yang nampak lelah.
            Hening. Pikiranku menembus dan menerawang ingatan terdahulu. Yah, putriku pun sedang sakit. Dia hanya ingin bertemu denganku.  Lalu, apa yang kulakukan? Suaraku tercekat.
            Perjalanan ini membuatku buta dan tuli akan suara-suara yang sebenarnya. Terlalu terlena dengan setiap kegiatan yang merajai tubuhku. Harusnya aku sadar dari dulu! Bukanlah uang dan tahta yang akan mengukir senyuman di bibir. Senyuman itu akan terukir dari hal kecil yang sering terlupakan. Yaitu, perhatian.


                                                            

                                                                      BIODATA NARASI

Ricky Douglas, seorang penulis muda kelahiran 14 Juli 1994 ini tinggal di Kabupaten Ogan Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, dan sekarang sedang menempuh pendidikan di Universitas Diponegoro Semarang. Profil lebih lengkap dari seorang penggila dunia sastra ini dapat kalian lihat di Facebook: Ricky DouglasTwitter: @RickyDouglasz, atau email : ricky_douglas@rocketmail.com Terimakasih.
 Catatan kaki :
           Cerita ini merupakan karya yang dibuat saat mengikuti #KampusFiksiSpesialJogja. Waktu pembuatan selama dua jam, dengan tema yang sudah ditentukan. "Perjalanan yang mengubah hati, pikiran, serta pribadi sesorang"



Wednesday, April 23, 2014

Pohon yang Tak Akan Mungkin Tumbuh

BY Ricky Douglas IN No comments



            “Jangan gila!”
            “Hahaha.” tawaku menggema.
            “Apa salahku?” rintihnya perlahan.
            “Salahmu? Coba kuingat. Hem, mungkin….”

***
Hanya sekali, tak lebih dari lima detik. Namun aku tak menyangka, hal sekecil itu betah bertahan hampir dua tahun lamanya di dalam memori otakku. Hal yang disebut cinta, tak kusangka akan menjadi lentera padam yang sukar menyala.
Pelataran lahan beralaskan rimbun rumput ini, menjadi awal dari kakiku menapak. Sosoknya berdiri dengan rapi di tengah mahluk lain yang serupa. Tak ada yang istimewa. Wajahnya pun dengan cepat terlupakan dari kenanganku. Hanya kata-kata dari bibirnyalah yang masih menggema,
“Panas!” ujarnya kesal.
 Aneh. Aku tak tahu bagian mana dari kata itu yang menarik, sehingga mampu merajai setiap memoriku. Beberapa kali kuremas rambut yang mulai kusut. Bayangan itu tak kunjung surut. Sebenarnya, aku pun tak ingin menghilangkannya dari setiap tawa riuh yang tercipta.
***
Namaku, Tera. Hidupku bukanlah sebuah roman picisan atau dongeng yang menaburkan kisah indah. Aku tak dapat memilih. Pada saat rasa itu datang, aku hanya dapat menerimanya dengan senyuman kecut. Yah, aku sadar bahwa rasa ini kembali hadir. Bahkan ketika logikaku mati sekali pun, rasa ini benar-benar akan selalu hidup dan tumbuh. Tersimpan rapat dengan bola mata yang terpaksa bersinar.
Aku mengenal sosoknya dengan baik. Bagaimana ia berbicara, tersenyum, dan tertawa. Aku mengenalnya dengan baik. Bagaimana saat tangan jentiknya mulai memainkan kamera yang selalu setia terkalung di lehernya. Walaupun, pertemuanku dengannya hanya berlangsung satu minggu sekali, dan itu pun tak lebih dari lima detik. Tanpa senyuman dan sapaan.
***
Tak dapat kusangkal, tubuhku membatu. Kicauan para mahasiswa di dalam kelas ini pun tak berhasil membuyarkan lamunanku. Semua lampu terlihat temaram dan akhirnya padam. Hanya menyisakan satu titik lampu yang menyilaukan, tepat di atas sosoknya. Semester dua, kami dipertemukan oleh jadwal kuliah yang sama. Mungkin, ini sebuah anugerah. 
Dia harus mengenal sosokku, entah sebagai teman atau lawan, teriakku dalam hati. Terdengar cukup menyedihkan. Aku yang masih tak sanggup hanya sekedar untuk menyapa dan duduk di sebelahnya. Aku yang masih tak sanggup hanya sekedar memberi senyuman padanya. Ternyata, aku hanya mampu menghadirkan sosoknya dalam imajiku di setiap sepi melanda.
Sosok pengecut seperti apa yang mampu mendapatkan hadiah berupa perasaan dari hati sang pujaan? Tidak. Tidak ada!
***
            “Tera, kenapa kau belakangan ini terlihat murung?” disentuhnya ujung jariku. Naila. Sahabat terdekatku.
Hanya seberkas senyuman yang mampu kuberikan padanya. Tak sampai hati membebani sahabatku itu dengan semua permasalahan yang sebenarnya aku sendirilah penciptanya. Walaupun, mungkin ia sudah merasa terbebani melihat raut wajahku yang kian tirus dan lusuh. Lekungan hitam di sudut mataku pun menambah kesan bahwa akulah mayat hidup itu.
Aku menyimpan sebuah bangkai. Sangat busuk. Bangkai itu bernama perasaan. Perasaan yang terlalu lama terpendam dalam ruang kosong, pengap, dan tanpa pendingin ruangan. Perasaan itu telah busuk. Menjadi koreng menjijikkan yang setiap saat selalu sigap melukai dinding-dinding ruangan yang keropos.
Hari ini akan kupasak keberanian di dalam diri. Mungkin, dengan menyatakan cinta padanya akan jauh lebih berguna. Walaupun, lagi-lagi pernyataan itu tak bertuan dan tanpa identitas. 
Beberapa kali kucium sekeping kaset ini. Lekuk bundarnya akan selalu terbayang dalam perjalanan panjang yang melelahkan. Sedikit tersengal. Ah, hiraukan. Aku harus cepat menyampirkan hadiah ini kepadanya. Semua hati dan perasaanku selama hampir dua tahun ini, kutitipkan pada sekeping kaset yang akan menyibak semuanya.
Tunggulah. Sebentar lagi.

***
            “Apa kau sudah ingat, cantik?” kutatap tajam matanya.
            “I…itu, darimu?” bola matanya membesar.
            “Salahmu ya? Hem….Akan kucoba mengingatnya lagi.”
            “Aku tak tahu itu semua darimu Tera. Maaf” isaknya menggema.
            “Tai. Kau sudah tahu kan semua kado-kado sampah itu dariku! Kau membakarnya tak bersisa! Kau pun juga tahu kalau Dika, pacarmu itu adalah pacar adikku!” kuberikan sebuah kado di pipi mulusnya. Sebuah tamparan.
            Pesona anggunnya tak berbekas di mataku. Ia menjadi sosok penghancur di setiap harapan yang mulai tumbuh. Ruangan gelap dan pengap ini menjadi saksi bahwa cintaku telah tertelan. Seonggok mayat laki-laki itu menjadi teman bagi Ailee beradu mulut dengan setiap tetesan air yang jatuh dari matanya. Yah, aku telah membunuh Dika tanpa rasa sesal sedikit pun. Aku tak akan membiarkan siapapun memiliki wanitaku. Hanya aku seorang yang berhak memiliki hati dan tubuhnya, bahkan Ailee pun tak berhak atas dirinya sendiri hahaha.
            “Tera…,” suara paraunya mengembalikanku dari lamunan.
            “Apa sayang?” kudekap tubuhnya yang terikat temali.
Wangi. Leher jenjangnya begitu indah. Kuendus setiap inci kulitnya. Kulumat bibir merahnya. Basah.
            “Jangan menangis!! Nikmati saja bibirku ini bangsat!” kucium kasar bibirnya.
Nikmat. Sungguh nikmat. Suara tangisan itu justru menjadi alat pemicu bagiku untuk menjajah tubuhnya.
            Bibirnya makin terisak. Matanya penuh butiran hangat yang mengalir. Ah, cantik sekali dia saat menangis seperti ini! Akan kubuat tubuhnya membatu. Setelah itu, akan kunikmati birahi bersamanya. Satu hujaman pisau di dadanya mungkin cukup.
            “Te…Tera. Apa yang akan kau lakukan! Aku ... aku,” tak sempat ia berucap, pisau ini sudah bercengkrama dengan perutnya.
            Hahaha sekarang dia milikku seutuhnya. Kurobek bajunya, dan mulai bergerilya disana.
            “Tee … ra...,” ternyata wanita ini masih memiliki nafas. Jemarinya nampak bergerak-gerak di ubin yang berdebu. Sialan! Dia harus mati! Kuhujamkan beberapa tusukan lagi ke perutnya. Hening. Darah dari perutnya terus mengalir pelan sampai ke jemari. Oh, indah sekali jari itu, dan juga … tulisan itu?
            Mataku membulat. Keringat dingin mengucur tanpa ampun. Sebuah kalimat yang kunantikan sedari dulu terlihat dengan jelas di ubin berdebu itu, dekat dengan jari telunjuknya. 
             “I love u Tera”.
Tubuhku mengigil, kupeluk erat tubuh Ailee. Matanya nampak terpejam. Namun, dengan gamang, lengan Ailee yang berlumur darah itu pun memberikan kamera yang terkalung di lehernya padaku. Kamera? Kuhidupkan kamera itu. Seketika air mataku menerobos tanpa izin. Teriakanku makin menggema di setiap sudut ruangan. Semua isi kamera itu adalah foto-fotoku mulai dari awal ospek hingga sampai sebelum kejadian ini.

-END-



BIODATA NARASI

Ricky Douglas, seorang penulis muda kelahiran 14 Juli 1994 ini tinggal di Kabupaten Ogan Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, dan sekarang sedang menempuh pendidikan di Universitas Diponegoro Semarang. Profil lebih lengkap dari seorang penggila dunia sastra ini dapat kalian lihat di Facebook: Ricky DouglasTwitter: @RickyDouglasz, atau email : ricky_douglas@rocketmail.com Terimakasih.