Monday, April 28, 2014

Partitur Pengganggu Tidur

BY Ricky Douglas IN 2 comments



Aku mengenalnya tak cukup lama. Banyak yang tertoreh atau sengaja ditorehkan di sana. Kusam dan bau berdebu melekat erat pada setiap kain yang sengaja dirajut dengan apik.  Warnanya tak akan pernah pulih seperti dulu. Namun, masih bisa kurasakan aroma penghantar memori terdahulu di setiap hunusan tajam baunya. Seragam kerja. Selalu menyibak masa lampau yang sukar terobati.
***
            “Bagaimana kabar anak dan istrimu, Jon?” ia berbicara cukup lantang, walaupun beberapa suap nasi terus dilahapnya.
            “Baik,” jawabku singkat.
            “Kau tidak merindukan mereka? Sudah dua tahun kau tak pernah pulang.” Ia menatapku lekat.
            “Mereka butuh uang! Maka dari itu aku harus kerja mati-matian, Fik!” pitamku sedikit berpacu. Ia tak pernah bosan membahas masalah ini.
***
            “Klintung … klintung….”
            Pekatnya malam selalu mengundang bola mata untuk segera terbenam. Purnama mendelik adalah tanda bahwa aku harus segera bersembunyi di balik selimut hangat. Senyap.
            “Klintung … klintung ….”
            Kusingkap selimut hangat yang semula hampir menutupi semua bagian tubuh. Suara itu! Sudah hampir satu minggu ini, selalu menjadi partitur pengganggu di setiap malam. Suaranya membuat bulu kudukku berdiri menantang. Suara aneh yang sepertinya tercipta dari guncangan kaleng rombeng.
            Perlahan, kubuka pintu kamar kos yang langsung berhadapan dengan gang kumuh. Alisku saling beradu, menatap aneh pada kakek tua dengan gerobak lusuhnya. Benar dugaanku! Suara aneh itu akibat guncangan dari kaleng rombeng, yang terikat pada gerobak reotnya.
***
            “Mas, adek sakit,” suara di ujung telepon itu membuatku menelan ludah.
            “Biarkan saja, nanti sembuh sendiri.”
            “Anakmu sakit, Mas. Batuknya makin parah. Beberapa kali ia menyebut namamu dalam tidurnya,” wanita itu terisak.
            “Aku akan kirim uang. Nanti kau ajak dia berobat!” kumatikan handphone dengan cepat.
***
            Berkat pendingin ruangan ini, aku tak perlu merasakan teriknya mentari. Pekerjaan yang sungguh menyenangkan, cukup berdiam diri di depan komputer. Hari ini aku pulang lebih awal, karena tak enak badan.
            Langkahku yang semula lunglai, kini justru terhenti. Aku melihat sosok kakek yang selama ini selalu membuat partitur pengganggu tidur. Ia sedang mengais kumpulan bekas makanan di bak sampah. Miris.
***                      
            “Klintung … klintung …” suara itu kembali terdengar. Tepat saat rembulan tanpa malu menampakkan diri,
            Malam ini aku sengaja menunggu kakek itu. Cukup penasaran dengan penampilannya yang lusuh, serta bunyi mengerikan dari kaleng itu. Ia berjalan pelan sambil menarik gerobak reotnya. Tanah yang berbatu, justru membuat kaleng itu makin beritme.
            Ia berhenti pada  penghujung gang. Gubuk kecil itu menjadi pemberhentian terakhirnya. Sesosok wanita tua dengan rambut putihnya, terlihat berhambur masuk ke dalam pelukan sang kakek. Kemudian, kakek tua itu mengeluarkan nasi hasil pungutannya.
            “Kek,” tegurku yang akhirnya tak bisa menahan diri.
            “Ya, kenapa?” senyuman tulus menghiasi sudut bibirnya.
            “Maaf, Kek. Kalalu boleh tahu, nasi itu buat siapa? Bukannya itu nasi bekas?” tanyaku perlahan.
            Raut wajah sang kakek seketika berubah sendu.
            “Cucu kakek sakit, Nak. Dari kemarin, ia sangat ingin makan makanan enak. Kakek tak sampai hati setiap hari harus memberinya nasi aking dan garam saja,” air matanya berkumpul pada pelupuk yang nampak lelah.
            Hening. Pikiranku menembus dan menerawang ingatan terdahulu. Yah, putriku pun sedang sakit. Dia hanya ingin bertemu denganku.  Lalu, apa yang kulakukan? Suaraku tercekat.
            Perjalanan ini membuatku buta dan tuli akan suara-suara yang sebenarnya. Terlalu terlena dengan setiap kegiatan yang merajai tubuhku. Harusnya aku sadar dari dulu! Bukanlah uang dan tahta yang akan mengukir senyuman di bibir. Senyuman itu akan terukir dari hal kecil yang sering terlupakan. Yaitu, perhatian.


                                                            

                                                                      BIODATA NARASI

Ricky Douglas, seorang penulis muda kelahiran 14 Juli 1994 ini tinggal di Kabupaten Ogan Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, dan sekarang sedang menempuh pendidikan di Universitas Diponegoro Semarang. Profil lebih lengkap dari seorang penggila dunia sastra ini dapat kalian lihat di Facebook: Ricky DouglasTwitter: @RickyDouglasz, atau email : ricky_douglas@rocketmail.com Terimakasih.
 Catatan kaki :
           Cerita ini merupakan karya yang dibuat saat mengikuti #KampusFiksiSpesialJogja. Waktu pembuatan selama dua jam, dengan tema yang sudah ditentukan. "Perjalanan yang mengubah hati, pikiran, serta pribadi sesorang"



2 comments:

  1. hiks so sweeet -__- jadi inget dlu ketemu kakek2 nggotong gerobak ngangkut rumput pagi2 sekali, demi nyari nafkah

    ReplyDelete
  2. Terimakasih sudah mampir :)

    Iya, kalau melihat hal seperti itu jadi sedih, tapi kita harus semangat! Yang tua saja semangat hehe :D

    ReplyDelete

Silahkan, semuanya dapat berkomentar. Namun, jadilah komentator yang cerdik dan beretika ya :)