Aku
mengenalnya tak cukup lama. Banyak yang tertoreh atau sengaja ditorehkan di
sana. Kusam dan bau berdebu melekat erat pada setiap kain yang sengaja dirajut
dengan apik. Warnanya tak akan pernah
pulih seperti dulu. Namun, masih bisa kurasakan aroma penghantar memori
terdahulu di setiap hunusan tajam baunya. Seragam kerja. Selalu menyibak masa
lampau yang sukar terobati.
***
“Bagaimana kabar anak dan istrimu,
Jon?” ia berbicara cukup lantang, walaupun beberapa suap nasi terus dilahapnya.
“Baik,” jawabku singkat.
“Kau tidak merindukan mereka? Sudah dua
tahun kau tak pernah pulang.” Ia menatapku lekat.
“Mereka butuh uang! Maka dari itu
aku harus kerja mati-matian, Fik!” pitamku sedikit berpacu. Ia tak pernah bosan
membahas masalah ini.
***
“Klintung
… klintung….”
Pekatnya malam selalu mengundang
bola mata untuk segera terbenam. Purnama mendelik adalah tanda bahwa aku harus
segera bersembunyi di balik selimut hangat. Senyap.
“Klintung
… klintung ….”
Kusingkap selimut hangat yang semula
hampir menutupi semua bagian tubuh. Suara itu! Sudah hampir satu minggu ini,
selalu menjadi partitur pengganggu di setiap malam. Suaranya membuat bulu
kudukku berdiri menantang. Suara aneh yang sepertinya tercipta dari guncangan
kaleng rombeng.
Perlahan, kubuka pintu kamar kos
yang langsung berhadapan dengan gang kumuh. Alisku saling beradu, menatap aneh
pada kakek tua dengan gerobak lusuhnya. Benar dugaanku! Suara aneh itu akibat
guncangan dari kaleng rombeng, yang terikat pada gerobak reotnya.
***
“Mas, adek sakit,” suara di ujung telepon
itu membuatku menelan ludah.
“Biarkan saja, nanti sembuh
sendiri.”
“Anakmu sakit, Mas. Batuknya makin
parah. Beberapa kali ia menyebut namamu dalam tidurnya,” wanita itu terisak.
“Aku akan kirim uang. Nanti kau ajak
dia berobat!” kumatikan handphone dengan cepat.
***
Berkat pendingin ruangan ini, aku
tak perlu merasakan teriknya mentari. Pekerjaan yang sungguh menyenangkan,
cukup berdiam diri di depan komputer. Hari ini aku pulang lebih awal, karena
tak enak badan.
Langkahku yang semula lunglai, kini
justru terhenti. Aku melihat sosok kakek yang selama ini selalu membuat
partitur pengganggu tidur. Ia sedang mengais kumpulan bekas makanan di bak
sampah. Miris.
***
“Klintung
… klintung …” suara itu kembali terdengar. Tepat saat rembulan tanpa malu
menampakkan diri,
Malam ini aku sengaja menunggu kakek
itu. Cukup penasaran dengan penampilannya yang lusuh, serta bunyi mengerikan
dari kaleng itu. Ia berjalan pelan sambil menarik gerobak reotnya. Tanah yang
berbatu, justru membuat kaleng itu makin beritme.
Ia berhenti pada penghujung gang. Gubuk kecil itu menjadi
pemberhentian terakhirnya. Sesosok wanita tua dengan rambut putihnya, terlihat
berhambur masuk ke dalam pelukan sang kakek. Kemudian, kakek tua itu
mengeluarkan nasi hasil pungutannya.
“Kek,” tegurku yang akhirnya tak
bisa menahan diri.
“Ya, kenapa?” senyuman tulus
menghiasi sudut bibirnya.
“Maaf, Kek. Kalalu boleh tahu, nasi
itu buat siapa? Bukannya itu nasi bekas?” tanyaku perlahan.
Raut wajah sang kakek seketika
berubah sendu.
“Cucu kakek sakit, Nak. Dari
kemarin, ia sangat ingin makan makanan enak. Kakek tak sampai hati setiap hari
harus memberinya nasi aking dan garam saja,” air matanya berkumpul pada pelupuk
yang nampak lelah.
Hening. Pikiranku menembus dan
menerawang ingatan terdahulu. Yah, putriku pun sedang sakit. Dia hanya ingin
bertemu denganku. Lalu, apa yang
kulakukan? Suaraku tercekat.
Perjalanan ini membuatku buta dan
tuli akan suara-suara yang sebenarnya. Terlalu terlena dengan setiap kegiatan
yang merajai tubuhku. Harusnya aku sadar dari dulu! Bukanlah uang dan tahta
yang akan mengukir senyuman di bibir. Senyuman itu akan terukir dari hal kecil
yang sering terlupakan. Yaitu, perhatian.
BIODATA
NARASI
Ricky
Douglas, seorang penulis muda kelahiran 14 Juli 1994 ini tinggal di Kabupaten
Ogan Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, dan sekarang sedang menempuh pendidikan
di Universitas Diponegoro Semarang. Profil lebih lengkap dari seorang penggila dunia sastra ini dapat kalian
lihat di Facebook: Ricky
Douglas, Twitter: @RickyDouglasz,
atau email : ricky_douglas@rocketmail.com
Terimakasih.
Catatan kaki :
Cerita ini merupakan
karya yang dibuat saat mengikuti #KampusFiksiSpesialJogja. Waktu pembuatan
selama dua jam, dengan tema yang sudah ditentukan. "Perjalanan yang
mengubah hati, pikiran, serta pribadi sesorang"
hiks so sweeet -__- jadi inget dlu ketemu kakek2 nggotong gerobak ngangkut rumput pagi2 sekali, demi nyari nafkah
ReplyDeleteTerimakasih sudah mampir :)
ReplyDeleteIya, kalau melihat hal seperti itu jadi sedih, tapi kita harus semangat! Yang tua saja semangat hehe :D