Monday, April 21, 2014

Bukan Aphrodite

BY Ricky Douglas IN No comments




“Ayah,” ia memeluk erat lenganku.
Hening.
“Mas,” diciumnya keningku.
 “Ayah, main kuda-kudaan yuk!” kepala kecil itu menengadah.
Hening.
“Ayah!” lenganku berguncang akibat tarikan manja darinya.
“Ma, kenapa ayah udah gak mau ngomong lagi sama Melati? Ayah jahat!” ia sesenggukan, air matanya menggenangi pelupuk yang kian sembab.
Gigiku bergemetak kencang. Bongkahan air bening yang sedari tadi kutahan, akhirnya mengoyak mata. Ironis, aku membiarkan diriku berteman karib dengan malaikat pencabut nyawaku sendiri. Pikiranku terbang ke masa silam.
***
Rongga dadaku makin penuh. Setiap hisapan dan kepulan yang tercipta, justru membuat paru-paruku serasa mendapat asupan gizi menyegarkan. Ia laksana dewi Aphrodite yang menebarkan cinta dan keindahan lewat setiap asap yang mampu kupanen. Malaikat itu terlihat manis dan mengugah untuk segera dilumat. Sebenarnya, sedari dulu aku sudah sadar bahwa asupan gizi itu hanyalah khayalan semata dari otakku yang terlalu munafik.
“Mas, rokoknya bisa dimatikan? Ini kan tempat umum,” tegur wanita itu.
“Justru karena tempat umum. Jadi, terserah saya mau ngapain aja!” balasku tak kalah sengit.
“Kamu mau merokok sampai puas itu terserah kamu! Tapi kamu sudah melanggar hak orang lain untuk menghirup udara bersih!” dengan sigap, ia mengamit tanganku lalu mematikan rokok yang baru saja kusulut. Wanita itu pun turun dari bis yang belum sempat melesat.

Sesederhana itu pertemuanku dengan Rina. Banyak yang bilang, cinta sejati hadir dengan cara yang tak terduga. Terkadang menempatkan diri sebagai musuh, atau mungkin sahabat. Rasa kebencian itu terkikis seiring pertemuan kami yang kian marak. Hingga akhirnya, sebatang rokok itulah yang menyatukan kami dalam ikatan pernikahan.
***
Tubuhku kian kurus. Entahlah, kemana perginya gumpalan lemak yang dulu selalu setia bersanding dengan tulang-tulangku. Tiap kegelapan mulai memeluk bumi, saat itu juga aku ikut menyertainya dengan partitur irama batuk yang beritme. Perputaran waktu tak kunjung menghentikan batuk yang kian mengganas. Panas menyelubungi leherku.
“Uhuku … uhuk….” kucengkram leher ini.
“Mas, sebaiknya kamu berhenti merokok.”
“Ini bukan karena rokok, Rin.”
Tiap malam selalu sama. Tubuhku meringkuk di sudut kamar yang terlihat seperti neraka. Batuk itu tak kunjung hilang, menyebabkan nyeri yang berkepanjangan di leher. Kusulut sebatang rokok, dan menyampirkannya di sela-sela jari. Hisapan pertama seperti angin surga. Batuk itu kalah pamor dengan setiap asap yang merajai tenggorokanku.
“Mas, besok kita ke rumah sakit ya?” tegur suarnya pelan.
“Buat apa?” suaraku tercekat. Sedikit serak.
“Batukmu makin  parah, Mas. Lihat! Suaramu saja semakin serak,” bujuknya meyakinkanku.
“Aku ingin hidup tenang tanpa harus terikat akan larangan-larangan dokter, Rin”
***
Sudah satu bulan ini aku tergolek tak bernyali di kasur. Batuk yang kian menyiksa ini sudah mengeluarkan cairan merah. Telingaku nyeri. Wajahku pun kebas, tak lagi terasa saraf yang dapat menghantarkan berjuta ekspresi. Benjolan aneh menghiasi sudut leherku.

Lihat! Istri dan anakku sungguh setia mengurusi diriku yang terlihat seperti mayat hidup ini. Ah, kemana perginya dewi Aphrodite-ku itu? Dewi yang dahulu selalu mengepulkan asupan gizinya di paru-paruku. Busuk! Ia balut dirinya dengan kenikmatan, serta rasa manis. Terkadang, ia pun membuat rasa percaya diri ini meningkat. Namun, pada akhirnya ia hanya mampu meninggalkanku dalam kesengsaraan. Aku salah! Aku telah membuat nerakaku sendiri.
Aku hanya dapat membuat keluargaku nelangsa karena telah melibatkan mereka dalam hal ini. Mereka semua terlihat bersedih, sudah tak terhitung airmata yang mengaliri kulit pipi. Apa ini yang sedari dulu kuharapkan dari sebatang rokok itu? Kesedihan yang tak kunjung kandas!
***
Tubuh kaku ini terpatri pada pembaringan yang entah mengapa terlihat menakutkan bagiku. Lampu yang menyilaukan mata, seketika menyeruak membuat hati gamang. Operasi. Yah, ini adalah satu-satunya cara untuk  dapat menghilangkan sel kanker yang mulai menjalar di tenggorokanku.
Hasil dari operasi itu tak terlalu buruk. Aku hanya kehilangan pita suaraku. Bukankah ini harga yang harus kubayar dari berbatang-batang rokok itu? Hahaha manusia bodoh!





BIODATA NARASI

Ricky Douglas, seorang penulis muda kelahiran 14 Juli 1994 ini tinggal di Kabupaten Ogan Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, dan sekarang sedang menempuh pendidikan di Universitas Diponegoro Semarang. Profil lebih lengkap dari seorang penggila dunia sastra ini dapat kalian lihat di Facebook: Ricky DouglasTwitter: @RickyDouglasz, atau email : ricky_douglas@rocketmail.com Terimakasih.







0 comments:

Post a Comment

Silahkan, semuanya dapat berkomentar. Namun, jadilah komentator yang cerdik dan beretika ya :)