“Ayah,”
ia memeluk erat lenganku.
Hening.
“Mas,”
diciumnya keningku.
“Ayah, main kuda-kudaan yuk!” kepala kecil itu
menengadah.
Hening.
“Ayah!”
lenganku berguncang akibat tarikan manja darinya.
“Ma,
kenapa ayah udah gak mau ngomong lagi sama Melati? Ayah jahat!” ia sesenggukan,
air matanya menggenangi pelupuk yang kian sembab.
Gigiku
bergemetak kencang. Bongkahan air bening yang sedari tadi kutahan, akhirnya
mengoyak mata. Ironis, aku membiarkan diriku berteman karib dengan malaikat
pencabut nyawaku sendiri. Pikiranku terbang ke masa silam.
***
Rongga
dadaku makin penuh. Setiap hisapan dan kepulan yang tercipta, justru membuat
paru-paruku serasa mendapat asupan gizi menyegarkan. Ia laksana dewi Aphrodite yang menebarkan cinta dan
keindahan lewat setiap asap yang mampu kupanen. Malaikat itu terlihat manis dan
mengugah untuk segera dilumat. Sebenarnya,
sedari dulu aku sudah sadar bahwa asupan gizi itu hanyalah khayalan semata dari
otakku yang terlalu munafik.
“Mas,
rokoknya bisa dimatikan? Ini kan tempat umum,” tegur wanita itu.
“Justru
karena tempat umum. Jadi, terserah saya mau ngapain aja!” balasku tak kalah
sengit.
“Kamu
mau merokok sampai puas itu terserah kamu! Tapi kamu sudah melanggar hak orang
lain untuk menghirup udara bersih!” dengan sigap, ia mengamit tanganku lalu
mematikan rokok yang baru saja kusulut. Wanita itu pun turun dari bis yang
belum sempat melesat.
Sesederhana
itu pertemuanku dengan Rina. Banyak yang bilang, cinta sejati hadir dengan cara
yang tak terduga. Terkadang menempatkan diri sebagai musuh, atau mungkin sahabat.
Rasa kebencian itu terkikis seiring pertemuan kami yang kian marak. Hingga
akhirnya, sebatang rokok itulah yang menyatukan kami dalam ikatan pernikahan.
***
Tubuhku
kian kurus. Entahlah, kemana perginya gumpalan lemak yang dulu selalu setia
bersanding dengan tulang-tulangku. Tiap kegelapan mulai memeluk bumi, saat itu
juga aku ikut menyertainya dengan partitur irama batuk yang beritme. Perputaran
waktu tak kunjung menghentikan batuk yang kian mengganas. Panas menyelubungi leherku.
“Uhuku
… uhuk….” kucengkram leher ini.
“Mas,
sebaiknya kamu berhenti merokok.”
“Ini
bukan karena rokok, Rin.”
Tiap
malam selalu sama. Tubuhku meringkuk di sudut kamar yang terlihat seperti
neraka. Batuk itu tak kunjung hilang, menyebabkan nyeri yang berkepanjangan di
leher. Kusulut sebatang rokok, dan menyampirkannya di sela-sela jari. Hisapan
pertama seperti angin surga. Batuk itu kalah pamor dengan setiap asap yang
merajai tenggorokanku.
“Mas,
besok kita ke rumah sakit ya?” tegur suarnya pelan.
“Buat
apa?” suaraku tercekat. Sedikit serak.
“Batukmu
makin parah, Mas. Lihat! Suaramu saja
semakin serak,” bujuknya meyakinkanku.
“Aku
ingin hidup tenang tanpa harus terikat akan larangan-larangan dokter, Rin”
***
Sudah
satu bulan ini aku tergolek tak bernyali di kasur. Batuk yang kian menyiksa ini
sudah mengeluarkan cairan merah. Telingaku nyeri. Wajahku pun kebas, tak lagi
terasa saraf yang dapat menghantarkan berjuta ekspresi. Benjolan aneh menghiasi
sudut leherku.
Lihat!
Istri dan anakku sungguh setia mengurusi diriku yang terlihat seperti mayat
hidup ini. Ah, kemana perginya dewi Aphrodite-ku itu? Dewi yang dahulu selalu
mengepulkan asupan gizinya di paru-paruku. Busuk! Ia balut dirinya dengan
kenikmatan, serta rasa manis. Terkadang, ia pun membuat rasa percaya diri ini
meningkat. Namun, pada akhirnya ia hanya mampu meninggalkanku dalam
kesengsaraan. Aku salah! Aku telah membuat nerakaku sendiri.
Aku
hanya dapat membuat keluargaku nelangsa karena telah melibatkan mereka dalam
hal ini. Mereka semua terlihat bersedih, sudah tak terhitung airmata yang
mengaliri kulit pipi. Apa ini yang sedari dulu kuharapkan dari sebatang rokok
itu? Kesedihan yang tak kunjung kandas!
***
Tubuh
kaku ini terpatri pada pembaringan yang entah mengapa terlihat menakutkan
bagiku. Lampu yang menyilaukan mata, seketika menyeruak membuat hati gamang.
Operasi. Yah, ini adalah satu-satunya cara untuk dapat menghilangkan sel kanker yang mulai
menjalar di tenggorokanku.
Hasil
dari operasi itu tak terlalu buruk. Aku hanya kehilangan pita suaraku. Bukankah
ini harga yang harus kubayar dari berbatang-batang rokok itu? Hahaha manusia
bodoh!
BIODATA
NARASI
Ricky
Douglas, seorang penulis muda kelahiran 14 Juli 1994 ini tinggal di Kabupaten
Ogan Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, dan sekarang sedang menempuh pendidikan
di Universitas Diponegoro Semarang. Profil lebih lengkap dari seorang penggila dunia sastra ini dapat kalian
lihat di Facebook: Ricky
Douglas, Twitter: @RickyDouglasz,
atau email : ricky_douglas@rocketmail.com
Terimakasih.
0 comments:
Post a Comment
Silahkan, semuanya dapat berkomentar. Namun, jadilah komentator yang cerdik dan beretika ya :)