Kutatap
pundaknya yang kian tertelan jingga. Matahari pun telah lelah bercahaya, dan akhirnya
memilih remang sebagai pilihan terakhir. Telah lama kurasakan mati. Mataku kian
mengkristal, buliran titik bening itu tertelan ombak yang kian beringas. Kini
dia telah pergi. Cinta yang tak mampu berjuang, hati yang kian membatu.
Cintanya telah tergerus masa yang tak mampu ia pertahankan.
***
Cincin
cantik dengan cahaya indah ini telah melingkar dan tersenyum manis di singgah
sana jariku. Cincin yang bagiku hanyalah pertanda kepemilikan. Aku telah
dikekang! Diriku bukanlah aku seutuhnya lagi. Merasa terikat walaupun tanpa
ikatan batin. Aku bisa tersenyum di pelataran akad nikahku ini, walaupun
bayangku tetap terpaku pada panorama pantai dikala bayangnya tertelan pekatnya
langit.
Kukoyak
mahkotanya. Kudaki gunung tingginya. Kubasuh setiap liur yang tersedia bagiku. Rintihan
suaranya makin mengencang di tengah
pendarnya lampu. Kutusuk dalam-dalam, lalu kutarik sekencang mungkin. Begitulah
malam hari ini kuhabiskan dentingan waktu bersama boneka bernyawaku.
Setiap
hari kuhabiskan waktu dengan lekungan bibir yang dipaksakan tersungging. Perut
wanita itu kian membuncit, jalannya pun kini makin terseok-seok. Hebat! Ternyata
kepura-puraanku menghasilkan boneka bernyawa lainnya. Dengan penuh kesabaran, wanita itu menjaga
boneka bernyawanya di dalam perut yang kian membundar.
Cengkraman
hebat ia lantunkan pada kasur tempatnya berbaring. Darah mengucur dari
mahkotanya. Ia bermandikan peluh keringat. Sekali lagi, aku menjadi actor paling handal. Kupegang erat
tangannya, kemudian bibir hitamku memberikan nafas segar yang terdengar cukup
menenangkan. Sedetik kemudian, tangisan cengeng menyeruak mengotori setiap
sudut ruangan ini. Yah, boneka kecilku telah lahir!
***
Boneka
wanitaku terlihat makin bahagia. Senyum terus mengembang diwajahnya yang putih
mulus itu. Boneka kecilku pun kini telah tumbuh besar. Seragam sekolah telah
melapisi kulit indahnya itu. Setiap malam aku terus menghujamkan pisau tajam ke
mahkota wanitaku. Merasakan nikmat dari setiap jengkal sentuhannya, namun setiap
bergumul dengannya, justru wanita jingga itu yang hadir dalam fantasiku.
Mataku
kian nanar. Kering kerontang menghiasi tubuh lunglaiku. Mata sembab dan hitam
selalu menemani bola mata ini. Mimpi itu menjadi teman setiaku selama sepuluh
tahun ini. Sekelebat ingatan terdahulu terus melayang tanpa ampun dalam sepiku.
Pantai itu! Matahari yang kian lelah itu! Jingga yang kian menghilang! Pundak
yang kian luput dari tatapanku! Wanita itu! Runtuh rasanya benteng yang telah
aku pupuk dengan kepalsuan ini. Harusnya, dahulu aku berlari dan menghentikan
langkahnya! Tidak duduk terpekur di atas pasir dan meratapi derai air mata.
***
Kini,
cincin itu tidak lagi berpelukan dengan jemariku. Aku lebih memilih
menyimpannya di laci kecil, dan menjadikannya mimpi terindah dihidupku. Dengan
berderai air mata, wanitaku meratapi kepergianku. Boneka kecilku pun hanya
mematung di balik pintu. Badan kecilnya nampak bergoncang karena menahan
tangis. Betapa laknatnya hidupku! Langkahku makin menjauh, pergi meninggalkan
mereka. Aku harus kembali mengejar wanita jinggaku.
***
Betapa
banyak luka yang kutorehkan di masa lalu, masa sekarang, dan masa depanku. Aku
sadar, harusnya aku tak boleh melangkahkan kaki ke depan jika masih terjerat di
masa lalu. Tak perduli seberapa jauh kakiku melangkah, ternyata hati ini masih
terbenam pada sosok wanita jingga itu.
BIODATA
NARASI
Ricky
Douglas, seorang penulis muda kelahiran 14 Juli 1994 ini tinggal di Kabupaten
Ogan Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, dan sekarang sedang menempuh pendidikan
di Universitas Diponegoro Semarang. Profil lebih lengkap dari seorang penggila dunia sastra ini dapat kalian
lihat di Facebook: Ricky
Douglas, Twitter: @RickyDouglasz,
atau email : ricky_douglas@rocketmail.com
Terimakasih.
0 comments:
Post a Comment
Silahkan, semuanya dapat berkomentar. Namun, jadilah komentator yang cerdik dan beretika ya :)