Aku
menyibakkan rambut yang kian panjang. Kubersihkan beberapa bagian seragam yang
nampak sedikit lusuh. Aneh sekali, padahal
ini seragam baru! Kuperhatikan wajahku di cermin. “Cantik,” selorohku dengan
senyum terkembang. Ah, sepertinya, aku terlalu banyak memakai bedak! Putih
wajahku sudah sedikit berlebihan.
***
Langkahku
terasa ringan. Entahlah, mungkin karena aku terlalu bersemangat menimba ilmu. Maklum
saja, hari ini adalah hari pertama masuk sekolah! Tentu semangatku masih
menggebu-gebu. Dengan lahkah cepat, aku mulai masuk ke dalam kelas, walaupun
langit nampak mendung.
Duduk,
lalu diam! Tak seoarang anak pun yang bertata krama padaku. Tak seorang anak
pun yang menyapa atau membalas sapaanku! Menyebalkan! Guru di depan kelas pun nampak
sibuk menjelaskan materi yang sulit buat kupahami.
Aku
duduk di barisan paling belakang, dengan dua anak mengapitku. Sedari tadi, mereka
tak pernah mendengarkan materi yang disampaikan, karena selalu berbicara, dan
sesekali melempar tawa. Aku tersenyum mendengar pembicaraan mereka, dan
beberapa kali ikut andil dalam pembicaraan itu. Walapun mereka mengabaikanku,
bahkan tak melirik sejengkal pun kearahku.
***
Tak jarang kugerakkan pantat ini!
Rasanya tak nyaman duduk berlama-lama di dalam kelas. Bukan karena tak betah,
namun rasa sakit yang mendera leher ini, membuatku sedikit meringis. Kuangkat
tanganku ke atas, berharap guru yang sedang mengajar megnizinkanku pergi ke toilet.
Namun, sekali lagi! Aku diabaikan! Suaraku seperti tertelan bising dari celoteh
sang guru.
Kuseret kaki yang terasa berat,
kemudian menghampiri guru di depan kelas.
“Pak, saya ingin izin ke toilet,”
suaraku sedikit tertahan, karena menahan rasa sakit.
Seperti ada yang mencekik leherku.
Guru itu angkat bicara. Tapi! Bukannya menanggapi omonganku, justru dia
menghampiri salah satu siswa yang terlihat sedang berteriak hiteris.
Tak dapat lagi rasanya kutampung rasa
sakit ini. Aku duduk meringkuk di depan kelas. Leherku kian terasa perih,
seperti di jerat oleh temali tak kasat mata. Mataku kian meremang, dan tubuhku
pun ikut menggigil. Beberapa kali kuhembuskan nafas berat. Teriakan minta
tolongku tak terdengar atau mungkin memang tak diperdulikan mereka! Kuhapus
air mata ini.
“Darah?” gumamku heran. Kenapa air
mataku berwarna merah? Terlihat seperti darah!
“Kamu kenapa?” teriak panik Pak guru,
kepada salah satu siswa.
Kutolehkan kepala kearah mereka.
Hebat! Guru yang pilih kasih! Aku pun menderita! Tak lihatkah kalian sekujur
tubuhku yang kian meringkuk? Lihat! Mataku pun mengeluarkan cairan mirip darah!
Hey! Jangan sungkan untuk menolongku!
“Pak … i … itu … ku … kunti,” pekik
suara anak itu, sambil melihat dan menunjuk kearahku.
“Oh, syukurlah. Bapak kira kamu
sakit. Jangan khawatir, ia cuma ingin ikut belajar. Itu salah satu siswi yang
meninggal dua puluh tahun lalu, akibat bunuh diri,” jelas Pak guru.
“Ayo, kita bacakan doa untuknya,” sambungnya
kemudian.
Mataku membesar, degup jantungku
berirama secepat kilat. Aku? kenapa mereka menyebutku … kunti? Rasa sakit di
tubuhku perlahan menghilang, darah yang menghiasi pipiku pun lenyap tak
bersisa. Seperti bayangan yang tertelan gulita, perlahan tubuhku pun
menghilang. Senyap!
BIODATA
NARASI
Ricky
Douglas, seorang penulis muda kelahiran 14 Juli 1994 ini tinggal di Kabupaten
Ogan Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, dan sekarang sedang menempuh pendidikan
di Universitas Diponegoro Semarang. Facebook: Ricky Douglas, Twitter: @RickyDouglasz, atau email : ricky_douglas@rocketmail.com Terimakasih.
0 comments:
Post a Comment
Silahkan, semuanya dapat berkomentar. Namun, jadilah komentator yang cerdik dan beretika ya :)