BAGIAN KEDUA: MEMORI
LAWAS
Mata masih
melotot. Gigi bergemetak. Detak jantung berdegub kurang ajar. Bagaimana jika
benar-benar aku tak sempat mengambil koper sekarang. Di sanalah sebagaian
pakaian yang nanti akan kukenakan di Jakarta. Pun juga ada beberapa kabel-kabel
gagdet yang sangat penting.
Rahul,
please ambilkan koper Anjali yang tertinggal di pos satpam, ucap batinku
penuh kesedihan. Kepedihan. Kepahitan.
Tapi, tidak.
Tak ada gunanya menggantungkan hal apa pun pada orang lain. Dengan gesit aku
turun ke peron dan kembali ke ruang tunggu penumpang. Suara kereta kembali
terdengar, para petugas pun melakukan gerak-gerik yang menunjukkan kereta
segera pergi. Lariku makin kencang, dengan sigap, tangkas, perkasa, aku
menyambar koper yang berdiri kokoh di pos satpam.
“Pak,
kopernya saya ambil ya. Makasih.” Tanpa menunggu balasan si Bapak, aku pun
berlari masuk peron.
Ah, keretanya
mulai bergerak. Sekuat tenaga, aku menggendong koper. Dan, hap. Berhasil. Kaki
kokoh berbulu domba milikku pun mampu menginjak pintu masuk gerbong kereta.
Huh, hari ini tidak benar-benar buruk ternyata.
C3. Itulah
nomer yang tertera di tiket-ku. Berharap sekali orang yang duduk didekatku
nanti adalah orang yang se-orang-orangnya. Nah kan jadi ribet ngomongnya.
Maksudku, orang sebelah semoga tidak memiliki bau badan yang berlebihan, tidak
rese, dan tentunya bukan pecuri hihihi.
“C3...c3...c3...,”
ucapku pelan sambil menoleh kiri kanan. “Ketemu!”
Segera, tanpa
ba-bi-bu-be-bo lagi, kududuki kursinya. Hm, orang sebelahku belum ada, mungkin
dia akan naik di stasiun berikutnya atau malah orangnya sedang tersasar?
Entahlah. Tak selang berapa lama, Bapak-bapak bangkotan berpakain hitam mendakatiku.
Ia tersenyum lalu menggeletakkan pantat di kursi sebelah. Ha, untung beliau
sepertinya orang baik-baik, jadi bisa menikmati perjalanan.
Kereta terus
saja melaju. Dari jendela, aku mampu melihat bangunan kota Semarang yang
bergerak cepat. Aku telah meninggalkan mereka di belakang. Bangunan-bangunan
yang tentu bersejarah bagiku. Untuk menghibur dari rasa sakit mendadak, kuputar
lagu dengan headset
melekat di lubang telinga. Dan, ahh aku lupa kalau hape-ku hanya ada satu lagu,
dan itu pun kiriman teman lewat WhatsApp. Tapi, tak apa. Tetap saja kudengarkan
lagu yang artinya hanya sedikut kumengerti.
Semarang,
walaupun aku tak besar di sini, tapi dalam jangka tiga tahun ini kau
benar-benar memberiku segalanya. Pertemuan. Pertemanan. Sahabat. Keluarga. Kau
memberiku canda. Tawa. Tangis. Dan kini hal terakhir yang mampu kau tawarkan
adalah perpisahan. Aku bahagia karena kini telah memiliki dua kampung halaman.
Palembang dan Semarang. Tapi jujur, untuk benar-benar pindah dari kota-mu ini
rasanya sungguh berat. Lebih berat dari putus sama mantan terakhirku. Lebih
berat daripada sidang fakultas sekalipun. Bahkan lebih berat daripada kebelet
pup tapi masih harus menahan karena tak ada toilet. Seberat-beratnya perpisahan
adalah meninggalkanmu, Semarang.
Aku menemukan
semuanya di sini. Bertemu makhluk pertama bernama Kamal, Maratus, Rani, lalu
Titus. Aku pun akhirnya memiliki apa yang mereka sebut genk, Yah, Untitled.
Kisah klasik yang sering terjadi cinta sesama sahabat di antara kami. Aku rindu
masa di mana muka lugu dan riuh gurih tawa mereka menemani.
Setelahnya,
kau hadirkan empat laki-laki di hidupku untuk membentuk suatu band. Kami
menamai diri sebagai FIMEE. Meskipun sekarang tak ada rimbanya, setidaknya
terimakasih buat kalian; Dimas, Robi, Tito, Rendy, yang sudah mempercayakan aku
sebagai vokalis band.
Tak
bersalang, kau tambahkan lagi warna di hidupku. BUIH pun muncul. Anak-anak
gila, gokil, absurd yang kutemui dari seni teater kampus. Dari mereka aku belajar
caranya tertawa lepas tanpa beban. Pergi sejauh mungkin untuk mengolah rasa.
Bayusuta, KP, dan semuanya, kalian akan selalu tersimpan.
Dan, ah, di
masa-masa tua-ku sebagai Mahasiswa, aku diberi lagi satu cobaan yang sungguh
terasa berat bagiku. Semarang, kenapa kau hadirkan lagi orang-orang yang begitu
kucinta untuk nantinya kutinggalkan. Mereka bernama TwoPiece. Aku yang memberi
nama. Alasanya klise, aku sangat suka dengan anime One Piece karena pertemanan
mereka yang solid. Dan dengan harapan yang sama, nama 2piece pun kusematkan
pada ke-delapan temanku. Dari kalian aku mengerti betapa indahnya pertemanan.
Kita bukan lagi sahabat. Tapi kita keluarga. Dengan kalian, aku merasa nyaman
dan aman. Sungguh, aku benci jika mengulas tentang kalian, karena air mataku
mungkin akan turun lagi.
Di dalam
kereta ini kuputar satu video yang sengaja kubikin baut 2piece. Potongan photo
dan video yang kurangkum jadi satu. Di dalam video, aku melihat jelas raut
bahagia kita. Ah, malu sekali dengan bapak di sampingku ini, mungkin ia sudah
menyadari tangisan pecah dari mataku. Aku berpaling menghadap jendela, berusaha
menyembunyikan tangis dan sesak yang benar-benar menyakitkan. Video tentang
kalian masih terus berputar di laptop dengan backsound lagu Pertepan semua tentang
kita dan juga iringan isak tangisku.
Dan sialnya
lagi, beberapa orang kembali hadir di hidupku. Untuk kesekian kalinya, aku pun
terlanjur sayang dengan mereka. Ini teman-teman casting Semarang. Momi Ivon,
Momi Ida, Bunsal, Momi Netty, Mommi Novi, Mas Alam, Mas Caisar, Mba duo Dian,
Wielina, Berlian, Alisha, Mba Ranny, dan semua Crew IMPRO. Dari mereka aku
mengerti tentang perjuangan menggapai cita-cita. Belajar memusnakan persaingan
tidak sehat. Belajar tulus iklash berbagi ilmu. Keluarga baru yang benar-benar
memberi sejuta ilmu.
Aku kira di
detik-detik terakhir-ku di Semarang sudah tak ada lagi kumpulan orang yang akan
membuatku nyaman. Tapi, aku salah. Bertemulah aku dengan anak-anak pencak silat
Merpatih Putih Semarang. Meski aku tak paham apa arti diriku di mata mereka,
tapi setidaknya aku sadar kalau tulus ingin mengenal mereka jauh lebih dalam.
Aku suka saat dengan baiknya Bang Ipul yang menemani menjual motor. Bahagia dan
simpatik mendengar cerita panjang lebar Wawan tentang masa lampau, masa
sekarang, dan masa depan dirinya. Dan juga tersenyum riang saat bercanda dengan
semuanya.
Terimakasih
juga untuk someone
yang namanya sudah tiga tahun ini selalu di hatiku. Dari awal di semarang
sampai akhir kepergianku pun hanya dia yang mampu menyentuh hatiku. Dia
seorang. Tak pernah berubah sejengkal pun. Maafkan aku yang hanya bisa
melihatmu diam-diam. Mengagumimu dari kejauhan. Mencandui senyummu setiap saat.
Maafkan aku yang tak pernah memperjuangkanmu sedikit pun. Bukan tak mau, hanya
saja, aku memang menikmati cinta dengan cara seperti ini. Meski hal yang
kusebut cinta telah menjadi lentera padam yang sukar menyala, tapi tak apa. Aku
tetap akan mencari sinarnya. Maaf untuk tidak bisa mengucapkan kalimat
perpisahan padamu.
Terimakasih tiga tahun
ini, Semarang.
Di dalam
kereta, mata semakin mengantuk. Dan tanpa sadar aku beberapa kali terbangun,
terjaga, terbangun lagi, dan terjaga lagi. Inilah keadaan kereta yang
kunaiki.
Kondisinya
tak buruk. Kursi nyaman. Pendingin udara mantab sekali. Ha, meskipun tadi pagi
ketinggalan keretea, rasanya aku tak menyesal menaiki kereta yang ini. Aku
senyum-senyum sendiri melihat tiket di genggamanku. Lalu kuciumi terus
tiketnya. Kurekatkan dengan bibir tipisku yang menggemaskan (Kata Heldy)
buahahaha.
Tapi, ada
yang berbeda. Rasanya, aku melihat tulisah aneh di secarik perahu kertas
ini. Kuteliti lagi semua kalimat yang ada di tiket.
Berangkat: Semarang
Tawang (SMT). Kamis 19 November 15, 11:30 WIB.
Oke, pada
bagian ini tak masalah. Lanjut ke tulisan di bawahnya.
Tiba:
Gambir, Kamis 19 November 15, 17:00 WIB.
WHAT???
GAMBIR??? Bukannya stasiun akhir tujuanku adalah Pasar Senen??? Agrrrrhh!!! BERARTI AKU SALAH
NAIK KERETA???!!!
0 comments:
Post a Comment
Silahkan, semuanya dapat berkomentar. Namun, jadilah komentator yang cerdik dan beretika ya :)