Baca bagain ke satu dulu ya; Kepuhan Tuhan dalam Diriku (DI SINI)
Tuhan, Terlahir Kembali.
Aku mungkin akan selalu menyebutNya sebagai aroma, sampai tiba di mana
aku tak bisa membauiNya sedikit pun. Dia hilang. Tidak berbekas. Aku mungkin
akan menyebutNya selalu sebagai rasa damai, hingga tangis kepedihan mengusir
Tuhan dari hatiku. Mungkin yang terakhir aku akan selalu memanggilNya sebagai
kenangan, hingga pikun membutakan dan menghapus memori kepedihan dan kesenanganku
bersamaNya. Ya, Tuhan begitu menjadi hambar. Dingin. Membekukan. Aku tak lagi
mengenal aku dan Tuhan-ku. Karena memang tak ada lagi Beliau di hatiku.
Semuanya berjalan begitu saja. Tidak berhenti seperti titik. Tidak
istirahat sejenak seperti koma, dan tidak memberi titah seperti tanda tanya.
Aku melaju seadanya. Sebisanya. Dan sepantasnya. Begitulah, percayakan pada
takdir saja, bukan? Buat apa bersusah payah!
Malam itu aku tengah duduk di peron sepi pengunjung. Lampu-lampu temaram
yang biasanya membiaskan muka angkuh para manusia di sana, kali ini tak
berfungsi. Karena memang hampir tak ada orang di peron ini. Ya, selain para
petugas, beberapa remaja jauh di sudut sana, dan juga nenek peot duduk miris di
lantai peron. Aku menghampiri sang nenek.
“Nek, sedang apa?” tanyaku basa-basi busuk.
“Ini Nenek sedang nunggu orang yang mau nyemir sepatunya, Nak,” ucap dia
kalem. Ah, aku benci senyumnya yang seperti tak ada beban.
“Di sini sepi, kenapa tidak ke tempat lain. Atau ke stasiun lain?”
“Gapapa. Biasanya nenek juga di sini walaupun sepi.” Ia masih senyum.
“Gak takut? Nenek kan sudah tua? Pasti lemah dong!” jawabku agak
tersulut. Aku tidak menyukai raut wajahnya.
“Takut kenapa? Nenek sedang mencari rezeki, tentu tidak sendirian.”
“Oh, nenek bawa teman ya?”
terka-ku.
“Lebih dari teman. Dia segalanya.” Si Nenek masih tersneyum menampakkan
giginya yang sudah tak ada.
“Siapa?”
“Tuhan. Nenek bersama Tuhan, Nak,” ucapnya masih tersenyum.
“Nenek kenapa sih senyum mulu? Dapat banyak uang hari ini, ha? Sok
bahagia!” Aku tak tahan dengannya lalu pergi.
“Nak, tegur si Nenek.”
Aku berhenti walaupun tidak berbalik.
“Bawalah Tuhanmu kemanapun. Jangan biarkan urusan dunia ini membuat
kepunahan Tuhan dalam hatimu, Nak.”
“Bukan aku tidak membawanya, Nek. Hanya saja, Tuhan yang tidak ingin
hadir bersama orang sepertiku.”
“Orang seperti apa kamu, Nak?” suara si Nenek berubah getir.
“Orang biadap yang tidak pantas terlahir. Aku sudah mengemban nereka
bahkan sesaat setelah aku dilahirkan.” Aku kembali melangkah pergi. Namun, langkahku
lagi-lagi terhenti. Hatiku terhenyak mendengar suara sesenggukan si Nenek.
“A-ada apa. Nek?” tanyaku.
*Bersambung.
0 comments:
Post a Comment
Silahkan, semuanya dapat berkomentar. Namun, jadilah komentator yang cerdik dan beretika ya :)